Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN KESADARAN BERBAGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (30)

PUASA DAN KESADARAN BERBAGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (30)
Di antara ajaran Islam yang sangat menonjol dalam kaitannya dengan relasi sesame umat manusia adalah ajaran tentang zakat, infaq dan shadaqah. Zakat merupakan pilar Islam. Zakat termasuk rukun Islam. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, bahwa “didirikan Islam atas lima perkara, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji”.
Sebagai rukun Islam, tentu zakat menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk melakukannya. Hanya saja berbeda dengan syahadat dan shalat yang bercorak kewajiban individual, tidak perduli siapapun yang bersangkutan, namun zakat merupakan kewajiban yang dibebankan hanya kepada orang yang mampu secara ekonomi. Tidak semua umat Islam dibebani untuk mengeluarkan zakat.
Zakat tersebut bermacam-macam. Ada zakat fitrah yang dikeluarkan berkaitan dengan hari raya id al fithri, dan ada zakat mal atau zakat harta yang berkaitan dengan jumlah dan waktu kepemilikan harta, baik berupa benda maupun binatang ternak. Selain itu juga dikenal adanya zakat profesi, yang biasanya dikaitkan dengan pekerjaan yang secara sengaja dizakati.
Kesadaran tentang zakat bagi masyarakat Indonesia tentu belumlah sebagaimana yang diharapkan. Ditilik dari perolehan zakat yang seharusnya mencapai angka ratusan trilyun rupiah ternyata belum sampai seperti itu. Dari potensi angka pendapatan zakat sekitar 217 trilyun yang seharusnya diperoleh dari muzakki, ternyata hanya berkisar 3,7 trilyun saja yang sudah bisa diraih.
Sesungguhnya pemerintah sudah memiliki Undang-Undang No. 25 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan perangkat implementasinya juga sudah dimilikinya yaitu, Badan Amil Zakat Nasional (baznas), dan juga berbagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dan juga Lembaga Amil Zakat (LPZ) yang tersebar di seluruh Indonesia, akan tetapi tingkat penerimaan zakat belumlah sebagaimana yang diinginkan. Sosialisasi dan kesadaran zakat masyarakat Islam masih belum sebagaimana yang diharapkan.
Jika zakat fitrah memang bercorak konsumtif, akan tetapi zakat mal dan zakat profesi dapat didayagunakan untuk kepentingan pemberdayaan umat. Baik terkait dengan pendidikan, kesehatan, perumahan dan infrastruktur lainnya. Zakat dapat menjadi instrument untuk meningkatkan kesejahteraan umat dalam skala yang dapat dicapai.
Begitu pentingnya zakat fitrah misalnya, sampai Rasulullah menyatakan bahwa orang yang puasa dan tidak mengeluarkan zakat fitrah, maka pahala puasanya akan tergantung di antara langit dan bumi. Hal ini menandakan bahwa zakat sebagai bentuk kepedulian terhadap orang miskin menjadi kewajiban umat Islam untuk melakukannya. Oleh karena itu, sekarang kita sudah melihat kesadaran umat Islam untuk mengeluarkan zakat sudah cukup memadai.
Hanya saja yang penting adalah bagaimana menajemen zakat ini bisa dilakukan secara memadai. Zakat akan lebih baik jika disalurkan lewat lembaga-lembaga resmi pengelola zakat dan tidak dilakukan sendiri-sendiri. Apalagi sampai menimbulkan korban karena berebut zakat. Sudah saatnya zakat dikelola dengan manajemen professional, sehingga bisa menimbulkan dampak positif bagi warga masyarakat.
Di sekeliling kita masih banyak orang miskin. Masih banyak orang yang belum layak menempati rumah hunian. Masih banyak orang yang belum layak berpakaian. Maka zakat tentu dapat digunakan untuk mengentas hal ini. Tentu tidak semua masalah bisa diselesaikan oleh zakat, infaq dan shadaqah. Pemerintahlah yang memiliki kewajiban untuk menyelesaikan hal ini. Pemerintah berkewajiban memberi makan bagi orang yang kelaparan, menyediakan rumah bagi yang tidak memiliki rumah dan menyediakan pakaian bagi mereka yang memiliki ketidaklayakan berpakaian.
Namun demikian, zakat dapat memberikan sumbangan yang signifikan untuk penyelesaian tiga hal ini. Jika tangan pemerintah tidak kesampaian untuk menyelesaikan semua urusan masyarakat, maka masyarakat juga harus terlibat untuk berperan serta di dalam penyelesaian masalah tersebut.
Di Jakarta, ada dua kelompok yang berposisi sangat berbeda. Ada mall dan perumahan yang dimiliki dan dihuni oleh orang kaya, sementara ada rumah-rumah petak bertingkat yang dihuni oleh orang-orang yang serba kekurangan. Kedua kelompok ini sungguh berbeda dalam kesejahteraannya. Mereka merupakan kelompok yang memiliki garis demarkasi tebal di dalam kehidupannya. Yang satu kaya dan yang satu miskin.
Jika kelompok kaya yang jumlahnya sedikit itu lalu mengembangkan kesadaran untuk bersedekah atau memberikan sebagian kecil hartanya yang melimpah untuk masyarakat miskin, maka peluang untuk memberdayakan rakyat miskin itu bukanlah isapan jempol belaka.
Charity harus menjadi mainstream bagi orang-orang kaya tanpa memerdulikan apa etnisnya, suku bangsanya dan agamanya. Yang penting bahwa charity tersebut tidak dijadikan sebagai moment untuk mempengaruhi keberagamaan mereka yang sudah beragama. Charity dapat dikelola oleh lembaga-lembaga swasta atau Negara yang nirkepentingan pribadi, golongan dan agama.
Charity seperti ini yang saya rasa masih kurang di negeri ini. Jika kita ingin melihat saudara-saudara kita yang belum beruntung di dalam kehidupannya lalu mereka menjadi lebih sejahtera, maka gap antara yang miskin dan kaya akan terkurangi. Dan efek dominonya adalah akan bisa mengurangi prejudice antara satu dengan lainnya.
Islam mengajarkan agar kita jangan menumpuk harta pada segelintir individu atau segolongan orang, sebab harta itu harus tersebar secara merata di kalangan umat. Sebenarnya masih ada peluang untuk membenahi kesenjangan ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..