DERADIKALISASI (1)
Saya telah berulang kali menulis tentang gerakan deradikalisasi khususnya di Indonesia. Hal ini saya tulis tentu terkait dengan semakin maraknya gerakan radikalisasi agama di Indonesia dan yang masih sering menjadi kenyataan adalah tindakan-tindakan untuk melakukan pengeboman di beberapa wilayah di Indonesia.
Kita belum melupakan kasus terorisme di Kompleks Pertokoan Sarinah beberapa saat yang lalu dan kemudian di tengah umat Islam menyelenggarakan ibadah puasa, tiba-tiba muncul bom bunuh diri di depan Mapolresta Solo. Tanpa perlu analisis yang tajam, maka semua mata lalu mengarahkan pandangannya pada gerakan ISIS yang memang telah menancapkan kukunya di Bumi Nusantara.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan siapapun terkait dengan pengeboman ini. Jika ada orang yang menyalahkan Badan Intelejen Negara (BIN), Kepolisian, Densus 88 dan sebagainya, maka saya pikir bahwa ini adalah kesalahan kita semua. Bukankah masyarakat kita juga abai terhadap gerakan radikalisme berbaju agama ini. Masyarakat kita memang memberikan peluang bagi kaum radikalis untuk mengepakkan sayapnya di bumi Nusantara.
Mereka sekarang sudah memiliki landasan organisasional yang cukup kuat dengan militansi yang sangat baik. Mereka juga sudah bisa memasuki hampir seluruh sistem pemerintahan, baik sipil maupun militer. Di dunia pendidikan sudah tidak asing lagi. Mereka berhasil merekrut anak-anak muda pintar untuk menjadi calon penerus generasi radikal yang andal.
Merekalah yang kelak akan dijadikan sebagai penerus generasi Indonesia dengan faham radikal yang mumpuni. Strategi memasuki perguruan tinggi dengan berbagai program radikalisasinya adalah pilihan strategis jangka panjang yang kelak akan menentukan bagaimana Indonesia ke depan. Mereka dipersiapkan untuk mengisi tenaga pendidik di perguruan tinggi dan inilah tempat yang sesungguhnya sangat ideal di dalam kerangka mengemban tugas masa depan.
Gerakan radikalisasi sudah mengakar kuat di dalam kehidupan masyarakat kita. Lihatlah di beberapa instansi pemerintah. Tanda-tanda sebagai penganut agama yang radikal itu sangat kentara. Hampir seluruh kementerian didapati elemen-elemen seperti ini. Mereka adalah anak-anak muda dengan usia 30-40 tahun, yang telah benar-benar menjadi ideolog gerakan radikal ini. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah jika mereka juga masuk di dinas ketentaraan, atau kepolisian. Tetapi melihat stratagi sistemik dan terencana yang sudah dilakukan bukan tidak menutup kemungkinan bahwa mereka sudah ada di sana juga.
Di dalam kerangka inilah, maka menurut saya negara harus hadir untuk mencegah semakin menguatnya pengaruh radikalisme di Indonesia. Di antara yang penting adalah bagaimana mencegah radikalisme melalui pendidikan. Jangan sampai lembaga pendidikan menjadi ajang strategis untuk mengembangkan agama yang radikal ini.
Lembaga pendidikan harus dan terus terjaga dengan nilai-nilai agama yang toleran, moderat dan rahmatan lil alamin. Bukan agama yang memberangus pemeluknya untuk mengembangkan sikap anti manusia lainnya yang berbeda keyakinan agamanya. Lembaga pendidikan haruslah menjadi institusi yang mengemban tugas dan fungsi untuk melestarikan ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan oleh para pendahulu kita. Yaitu agama yang mengedepankan pembelaan terhadap kemanusiaan kita. Agama yang tidak mengajarkan kekerasan dan terror kepada umat lainnya, bahkan saudara seiman sekepercayaan dengannya.
Untuk menggapai hal ini, maka kata kuncinya adalah pendidikan harus menghadirkan guru-guru atau pendidik yang memahami dan mendalami agama sebagaimana yang kita inginkan bersama. Saya membayangkan jika para guru atau pendidik lalu memiliki mindset yang bersearah dengan amalan kekerasan dan terror, lalu mau menjadi apa anak didiknya.
Yang diajarkan bukan kedamaian dan toleransi, akan tetapi kekerasan dan mencederai penganut atau pemeluk agama yang berbeda tafsirnya. Itulah sebabnya, pendidikan harus mereview ulang tentang tenaga pendidiknya, kurikulum pendidikannya dan bagaimana penerapan kurikulum tersebut terkait dengan agama dan keagamaan. Jadi memang dibutuhkan pendidikan yang memihak kepada pemahaman dan pengamalan agama yang berada di dalam koridor rahmatan lil alamin.
Oleh karena Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi perlu terus membangun sinergi untuk memahami tentang potensi masalah di masa depan terutama terkait dengan pemahaman peserta didik tentang Keindonesiaan, Keagamaan dan kemoderenan. Jangan sampai anak didik kita salah arah dalam memahami agamanya dan kemudian berpeluang membuat masalah di masa depan.
Pendidikan merupakan kata kunci untuk membentuk manusia Indonesia yang tangguh, berdedikasi dan bertanggungjawab terhadap kelestarian Indonesia di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (4)
Tradisi mudik tidak mengenal strata sosial. Inilah yang unik dari tradisi di seputar lebaran di Indonesia. Bahkan karena mudik diperkirakan pengguanaan listrik akan tinggal 50 persen saja. Bahkan juga terjadi peredaran uang, yang biasanya memutar saja di Jakata, lalu dengan mudik akan terjadi peredaran uang sampai ke desa-desa di Indonesia.
Hampir setiap tahun saya menulis tentang lebaran, akan tetapi selalu saja ada yang baru terkait dengan lebaran itu. Selalu ada saja yang bisa dituliskan berbeda dengan lebaran sebelumnya. Kali ini saya ingin menulis tentang tradisi open house yang juga menjadi tradisi di kalangan masyarakat kita. Tradisi open house biasanya digunakan oleh para pejabat, seperti presiden, wakil presiden, menteri atau pejabat-pejabat lain.
Di masyarakat kita tumbuh juga pertemuan kerabat atau yang disebut halal bihalal Bani X. Biasanya dilakukan untuk mempertemukan semua kerabat yang dihitung mulai dari kakek atau nenek atau buyut hingga ke bawah. Tradisi ini telah berkembang beberapa tahun terakhir dan rupanya menjadi salah satu tradisi untuk saling mengenalkan antar kerabat yang tidak saling bertemu.
Di dalam tradisi Jawa, ada yang disebut sebagai “sedulur cedak” atau saudara dekat dan “sedulur adoh” atau saudara jauh. Biasanya batasannya adalah jika mereka bersaudara sampai tahap “misanan” atau “sedulur kapisan” yaitu anak dari saudara dan bertemu dengan anak dari saudara kandung. Makanya disebut sebagai saudara tahap pertama. Lalu dikenal “mindoan” atau sedulur kapindo” atau saudara sampai tahap kedua. Yaitu relasi bersaudara antara “misanan” atau saudara tahap pertama dengan anak dari “misanan” atau tahap pertama. Hubungan saudara seperti ini disebut sebagai “sedulur mindoan”. Jika bersaudara dalam tahapan pertama disebut sebagai saudara dekat, maka bersaudara dalam tahap kedua disebut sebagai saudara jauh atau “sedulur adoh”.
Maka, acara pertemuan Bani itu akan mempertemukan sampai tahap “sedulur adoh” atau saudara jauh dengan saudara dekat tersebut. Jika di masa lalu, istilah Bani itu adalah istilah keluarga Arab yang ada di Indonesia, namun sekarang telah menjadi tradisi tidak hanya orang Arab, tetapi juga orang Indonesia lainnya. Pertemuan ini menjadi penting lantaran, di antara misanan apalagi mindoan tersebut sudah terpaut jauh relasinya. Tentu ada yang masih saling mengenal satu dengan lainnya, akan tetapi juga ada yang sudah tidak saling mengenal.
Salah satu kehebatan orang Indonesia adalah daya kemampuannya untuk menimbulkan institusi baru manakala dirasa terdapat kebutuhan yang mendesak. Jadi munculnya institusi baru tentu didasari oleh kepentingan akan fungsi institusi baru dimaksud untuk mereka semua. Oleh karena itu munculnya instutusi Bani tidak lain adalah untuk menyambungkan kembali keberserakan relasi kekeluargaan karena jarak tempat tinggal, wilayah dan pekerjaan yang tidak memungkinkan lagi untuk terus saling mengenal dan bertemu.
Melalui kerangka konseptual “continuity and change”, maka dapat dipahami bahwa tumbuhnya institusi-institusi baru hakikatnya adalah untuk melestarikan tradisi lama yang masih diperlukan, akan tetapi terkendala oleh sekian banyak factor yang menghalangi berfungsinya institusi tersebut. Ada hal-hal yang mendasar yang harus dipertahankan kontinuitasnya dan ada yang bisa berubah.
Di dalam tradisi pertemuan keluarga, atau pertemuan Bani atau bahkan open house, maka yang mendasar dan menjadi intinya adalah silaturrahim. Menjalin hubungan kekerabatan, persahabatan, kekeluargaan adalah inti dari berfungsinya institusi dimaksud. Dengan demikian, wadah bisa berubah seirama dengan perubahan zaman, akan tetapi isi atau inti tradisi tidak bisa atau tidak boleh berubah.
Masyarakat Indonesia terkenal dengan kemampuannya untuk melakukan ramuan-ramuan seperti ini. Manakala institusi lama sudah dianggap tidak lagi fungsional untuk menjaga tradisi, maka diciptakanlah institusi baru yang memiliki fungsi menjaga tradisi lama yang memang masih diperlukan keberadaannya.
Manakala kunjungan dari rumah ke rumah sudah tidak lagi dimungkinkan di tengah kesibukan antar individu, maka diciptakanlah institusi baru open house yang dilakukan setahun sekali dan waktu yang tepat adalah bersamaan dengan hari raya id al fithri.
Kedutaan besar Inggris menyelenggarakan open house di London untuk menjadi medium bertemunya warga Indonesia di negeri Ratu Elizabeth ini. Mereka diingatkan kembali tentang Indonesia melalui kuliner, pakaian khas Indonesia dan juga kesenian Indonesia. Demikian pula Duta Besar RI untuk PBB juga menyelenggarakan open house untuk menjadi ajang temu muka para pemukim Indonesia di Amerika Serikat.
Mereka mendatangi acara ini meskipun berasal dari kota yang berbeda dan berjarak cukup jauh. Namun demikian mereka hadir sebagai bagian dari tradisi melestarikan keindonesiaan mereka. Yang menarik bahwa mereka secara sengaja hadir di acara ini karena kangen dengan nuansa keindonesiaan di dalam acara ini.
Mereka bisa makan makanan khas Indonesia, ada soto, rawon, rendang, dan juga bakso. Mereka tidak hanya datang untuk menikmati makanan khas Indonesia, akan tetapi juga bernostalgia dengan sesama kawannya dari Indonesia. Jika di dalam kehidupan mereka sehari-hari menggunakan bahasa Inggris sebagai medium komunikasi, maka kali ini mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai medium untuk saling menyapa.
Masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat “paguyuban”, maka hari raya memang benar-benar menjadi medan untuk guyub atau bertemu hati dengan hati, pikiran dengan pikiran. Jadi, mereka tidak hanya bertemu secara fisik akan tetapi juga bertemu pikiran dan hati keindonesiaannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (3)
Indonesia memang kaya dengan tradisinya. Mungkin tidak ada negara lain dengan varian tradisi, bahasa dan budaya sebagaimana di Indonesia. Varian tradisi ini bisa saja memang karena factor etnis, suku bangsa dan bahasa yang sangat luar biasa banyaknya dan bisa juga karena masyarakat Indonesia memang pelestari tradisi yang hebat di dunia.
Bayangkan di seputar puasa saja ada macam-macam tradisi yang unik dan menarik. Semua merupakan tradisi yang genuine atau khas Indonesia. Misalnya tradisi megengan, colokan, wewehan, sedekahan dan silaturrahim yang telah menjadi tradisi nasional. Semua ini merupakan tradisi leluhur masyarakat Nusantara yang kemudian dilestarikan atau dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman yang terjadi sekarang ini.
Pada tulisan ini saya ingin mengulas sedikit tentang tradisi mudik yang kiranya tidak ada di negara lain. Di negara tetangga, seperti Malaysia, saya kira tidak didapati tradisi mudik yang hingar bingar dan penuh pesona. Saya anggap penuh pesona sebab tradisi mudik telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari peristiwa hari raya. Rasanya tanpa mudik hari raya itu tidak ada artinya.
Bagaikan sayur tanpa garam, begitulah kiranya gambaran hari raya tanpa mudik. Makanya semua bersuka cita untuk melakukan mudik tanpa mengenal kata resiko perjalanan panjang berhari-hari dengan tingkat kemacetan yang luar biasa. Mudik tidak hanya dilakukan sekali, akan tetapi hampir setiap tahun dilakukannya. Dari Jakarta ke berbagai tempat di Indonesia.
Memang yang luar biasa adalah mudik dari Jakarta ke wilayah timur, Jawa Tengah dan jawa Timur. Luar biasa karena jauhnya, macetnya dan lamanya di perjalanan. Sungguh mudik merupakan tradisi khas yang melibatkan tidak hanya orang kebanyakan, akan tetapi juga para pejabat dan kaum intelektual. Semua terlibat di dalam acara tahunan, yang unik ini.
Tiket kereta api tentu sudah ludes tiga bulan yang lalu, demikian pula tiket pesawat terbang khususnya pada hari puncak mudik. Bagi yang tidak naik kereta atau pesawat, maka pilihannya adalah membawa kendaraan sendiri bersama seluruh keluarganya. Banyaknya kendaraan roda empat ke wilayah timur ini, maka menyebabkan antrian panjang di ruas jalan, misalnya ujung tol Cipali yang antrean panjangnya mencapai 18 Km. Lalu di kawasan Nagrek juga macet selama kurang lebih 11 jam. Meskipun demikian, kemacetan tidak menjadikan mereka menghentikan tradisi mudik ini. Bahkan juga menyebabkan terjadinya korban tewas sebagai akibat kelelahan atau lainnya.
Satu kata kunci yang dijadikan sebagai referensi mudik adalah “silaturrahim”. Mereka ingin menjalin tali kekerabatan dengan keluarganya yang masih ada di tempat semula. Mereka akan kembali merasakan dunia kekerabatan dan persahatan yang kental dengan kemanusiaannya. Selama setahun mereka bergulat dengan kehidupan kota yang complicated dengan kemacetan, ketegangan, kekerasan lingkungan dan kemudian setahun sekali pula mereka merasakan betapa hangatnya persaudaraan dan persahabatan di antara keluarga melalui mudik.
Mereka ingin sekali di dalam setahun merasakan masa-masa bersama dengan segenap kerabat, handai taulan, sahabat dan orang-orang dekatnya. Mereka merasa menyatu dengan alamnya yang lama dan yang lebih penting juga untuk menunjukkan keberhasilannya. Jika ada di antara mereka yang tidak menyempatkan diri pulang kampong, maka dianggapnya mereka telah melupakan asal usulnya. Bahkan yang lebih “mengerikan” jika tidak mudik dianggapnya sebagai orang yang gagal di dalam hidupnya.
Di dalam bayangan orang kampong, bahwa siapapun yang berani meninggalkan desanya, berani bekerja di kota adalah orang yang berani untuk menanggung kerja keras dan ukurannya adalah keberhasilannya. Itulah sebabnya kebanyakan mereka yang pulang kampong lalu pura-pura mendadak kaya dengan membagi-bagikan uang recehan dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan hingga dua puluh ribuan. Semua demi mudik.
Coba perhatikan bahwa menjelang hari raya selalu muncul pedagang dadakan “pedagang tukar uang”. Mereka menjajakan uang recehan untuk kepentingan mudik yang telah mentradisi. Sungguh mudik adalah tradisi khas Indonesia, yang tidak akan dijumpai di manapun termasuk di negeri asal agama Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.
LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (2)
Meskipun melaksanakan shalat id, baik id al fithri maupun id al adha itu sunnah saja, tetapi menjalankan dua shalat ini bagi masyarakat Islam Indonesia menempati posisi penting. Bahkan terkadang ada orang Islam yang tidak melakukan shalat lima waktu secara rutin, akan tetapi menjalankan shalat id menjadi penting baginya. Itulah sebabnya mushalla, masjid dan lapangan yang dijadikan sebagai tempat shalat id akan penuh sesak dengan manusia.
Memang harus diakui bahwa kemeriahan hari raya id al fithri maupun id al adha itu melebihi perayaan-perayaan keagamaan lainnya. Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Islam Indonesia untuk menggelar berbagai kegiatan keagamaan di bulan puasa, semacam tarawih, tadarrus al Qur’an, sampai I’tikaf di masjid yang dilakukan secara berjamaah. Mereka memang memiliki kerinduan yang sangat tinggi terhadap kehadiran bulan puasa.
Bahkan bagi mereka yang memiliki uang, maka tidak cukup bagi mereka untuk I’tikaf di masjid di Indonesia, akan tetapi justru pergi ke tanah suci, Makkah al Mukarramah. Mereka mengikuti paket umrah bulan Ramadlan. Kalau sempat melihat program televisi di layar Saudi Al Qur’an, maka akan dilihat betapa penuh sesaknya orang melakukan ibadah thawaf. Seperti musim haji saja.
Kerinduan beribadah itu seperti ditumpahkan kala bulan Ramadlan tiba. Saya yakin bahwa mereka yang datang ke Ka’bah akan merasakan nuansa kebatinan yang luar biasa. Memang harus diakui bahwa berdoa, membaca al Qur’an dan juga melakukan ibadah yang lain di arena Ka’bah itu memiliki sensasi religiositas yang luar biasa. Itulah sebabnya mengapa orang berkeinginan untuk datang berkali-kali ke rumah Allah yang suci ini.
Ada misteri religiositas yang tidak bisa digambarkan dengan akal pikiran dan hanya bisa dipahami dengan hati nurani saja. Kala orang memandang ka’bah, maka aura religiositas itu akan muncul seketika dan orang bisa terharu, menangis, bahkan bisa terisak-isak karena bisa memandang rumah Allah yang suci itu. Bagaimana pun juga ka’bah adalah lambang rumah Allah yang suci dalam pengertian tempat menyatunya seluruh ibadah yang dilakukan di muka bumi. Ka’bah adalah pusat dan sumber spiritualitas yang sangat menarik bagi perindu Tuhan.
Setahun sekali umat Islam menyelenggarakan acara shalat Id dengan segala asesorisnya. Makanya, kala untuk shalat id lalu tidak bersamaan waktunya, maka terasa ada yang kurang relevan dengan semangat peringatan hari raya. Andaikan dilakukan survey tentang apa yang diinginkan oleh umat Islam terkait dengan hari raya, maka jawabannya pastilah “ingin shalat id bersamaan waktunya”.
Yang penting bukan tumbuhnya rasa pemahaman tentang perbedaan antara umat Islam, tetapi yang lebih mendasar adalah bagaimana membangun kebersamaan intern umat Islam di dalam penyelenggaraan ibadah di dalam hari raya. Mungkin kita merasa biasa, akan tetapi dilihat dari sisi dunia internasional, lalu menjadi aneh bahwa umat Islam di dalam satu Negara, tetapi menyelenggarakan acara hari raya berbeda waktunya.
Jika ditilik dari konsepsi ajaran Islam pada waktu hari raya tiba, maka diharamkan melakukan puasa, artinya semua harus berbuka, lalu masih ada umat lainnya yang melakukan puasa karena anggapan bahwa tanggal 1 Syawal belumlah tiba. Ini menurut saya adalah ironi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Meskipun kita memahami perbedaan sebagai rahmat Tuhan, namun hal ini hanya aneh saja. Itulah sebabnya saya nyatakan “apakah menjalankan shalat id termasuk yang ditanyakan oleh Malaikat di alam kubur”. Apakah malaikat akan bertanya” anda dari golongan mana? Sebab kalau ada yang haram dan ada yang tidak haram dalam menjalankan puasa, pastilah akan menimbulkan kerumitan di dalam penilaiannya. Untunglah bahwa malaikat tentu sudah dibekali dengan ilmu yang sangat mumpuni untuk mendeteksi semuanya. Pertanyaan-pertanyaan liberal semacam ini akan muncul manakala kita terus berbeda di dalam penentuan awal puasa, akhir puasa dan juga awal Dzulhijah.
Bagi masyarakat Islam Indonesia, sesungguhnya para pimpinannya yang menjadi referensi di dalam tindakannya. Oleh karena itu, beban yang dipanggul oleh pimpinan umat tidaklah ringan. Merekalah yang akan mempertanggungjawabkan terhadap hal-hal strategis dan pasti termasuk di dalam penentuan hari raya ini.
Makanya, para pimpinan NU, pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan organisasi Islam lainnya yang masih silang sengkarut tentang metode penentuan bulan Qamariyah, hendaknya berpikir arif untuk secara bersama-sama duduk menyelenggarakan mudzakarah agar memperpendek jarak perbedaan di antara mereka.
Di pundak para pimpinan organisasi Islam itulah sesungguhnya kualitas dan kuantitas umat Islam Indonesia akan diarahkan. Jika para pimpinannya masih memiliki semangat untuk berbeda, maka juga jangan pernah berpikir akan terjadi kesatuan dan persatuan umat Islam. Masih jauh rasanya kita berbicara persatuan umat Islam Indonesia secara kaffah.
Wallahu a’lam bi al shawab.
LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (1)
Tulisan ini memang agak lambat saya tulis, tiga hari setelah hari raya Id al Fithri 1437 H. Saya harus menyelesaikan nadzar saya untuk menulis 30 buah selama bulan Ramadlan, dan Alhamdulillah bisa saya lakukan sesuai dengan waktu yang tersedia. Meskipun hanya nadzar menulis selama bulan Ramadlan, tetapi rasanya menjadi kewajiban untuk memenuhinya.
Lebaran kali ini memang terasa special selain bisa berhari raya bersamaan bagi seluruh umat Islam Indonesia, juga karena saya berlebaran di Jakarta. Tidak sebagaimana biasanya yang setelah open house di Rumah Pak Menteri, saya langsung ngacir ke Bandara untuk terbang ke Surabaya, tetapi tahun ini saya harus merelakan kebiasaan saya itu karena sedang menunggu proses persalinan putri kami yang bertepatan mukim di Jakarta.
Kebersamaan berlebaran memang terasa menyenangkan. Biasanya ada saat masyarakat Indonesia berlebaran pada hari yang berbeda. Semuanya tahu kadangkala antara Muhammadiyah dan Pemerintah berbeda. Organisasi Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab dengan pendekatan wujud al hilal bisa berbeda dengan pemerintah yang menggunakan metode hisab dan rukyah dengan pendekatan imkanur ru’yah.
Hilal sedang baik hati, begitu kata Pak Cecep Purwandaya, anggota Badan Hisab dan Ru’yat Kementerian Agama. Hal ini bisa dipahami sebab berdaraskan perhitungan dengan metode apapun, posisi hilal berada di bawah 0 derajat, sehingga tidak mungkin bisa diru’yat dan hilal juga memang belum wujud. Akan lain halnya jika posisi hilal 0,1 derajat saja, maka pasti akan berbeda jatuhnya tanggal 1 syawal tersebut.
Berdasarkan almanac sampai tahun 2022 akan terjadi kesamaan pelaksanaan hari raya. Hal ini karena posisi hilal memang berada di bawah 0 derajat. Dengan kata lain, kita akan bisa menikmati kebersamaan hari raya sampai dengan tahun tersebut. Setelah itu tidak tahu lagi apa yang akan terjadi, apakah akan berbeda atau ada semangat untuk menyamakan pelaksanaan hari raya.
Terkadang kita bisa berkelakar “apakah penetapan tanggal 1 Syawal itu termasuk pertanyaan kubur atau tidak”. Dan jawabannya bahwa pertanyaan kubur itu adalah hak prerogative Malaikat Munkar dan Nakir. Meskipun di dalam acara Talqin mayat, ada pertanyaan dan jawaban yang disampaikan oleh kyai atau ulama, akan tetapi pertanyaan tersebut hanyalah pertanyaan dan jawaban yang bercorak potensi yang ditanyakan.
Namun secara sosiologis dan keberagamaan tentu berbeda hari raya dalam satu kawasan Negara adalah hal yang kurang etis. Bukan kesalahan hanya secara etika ada perasaan yang mengganjal. Dalam hal menentukan awal Ramadlan dan awal Syawal saja tidak bisa bersatu, bagaimana dengan urusan yang lebih besar dan strategis.
Makanya jika ada yang meragukan bahwa umat Islam tidak mungkin bersatu dalam pilihan politik, maka hal tersebut sangatlah wajar. Yang terkait dengan ibadah saja tidak bisa menyatu apalagi yang lainnya. Rupanya memang perbedaan itu menjadi komoditas untuk menyatakan diri. Jadi, dengan perbedaan, maka makin diakui sebagai kelompok yang eksis di tengah kehidupan beragama di Indonesia.
Jika kemudian juga makin banyak yang ingin mengekspresikan keagamaan dengan cara yang berbeda dengan arus utama pemahaman beragama di Indonesia ini, maka hal ini tentu hal yang sangat wajar. Mereka ingin diakui dan karena tidak mungkin diakui oleh kelompok dominan di negeri ini, maka biar memperoleh perhatian dan menonjol, maka dibuatlah sesuatu yang berbeda. Munculnya kelompok-kelompok agama yang makin semarak akhir-akhir ini tentu bisa dikaitkan dengan identitas diri dimaksud.
Saya sungguh merasakan bahwa umat Islam merasa menikmati perbedaan ini. Dan hingga hari ini –meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk menyatukannya—akan tetapi juga tidak kunjung ada keinginan untuk menyatukannya. Jarak antara wujud al hilal dengan kriteria selama sudah wujud hilal berapapun bersarnya, bahkan 0,001 pun sudah bisa dinyatakan tanggal satu sudah pasti eksis. Melalui pendekatan seperti ini, maka pintu untuk bertemu akan sangat sulit diperoleh.
Sementara dengan pendekatan imkanur ru’yat yang sudah disepakati oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) juga tidak bisa bergerak sebab dengan ketinggian derajat seperti itulah yang memungkinkan hilal akan teramati.
Hanya satu peluang yang menyisakan madzab wujudul hilal dan madzab imkanur ru’yat ini bertemu, jika Muhammadiyah mau memindahkan pusat penentuan hilal dari Jogyakarta ke Papua. Dengan menggunakan ukuran Papua sebagai pusatnya, maka peluang untuk ketinggian bulan mencapai 2 derajat masih dimungkinkan untuk wilayah Indonesia Barat. Jika di Papua 0 derajat, bisa jadi di Sumatera sudah mencapai 2 derajat.
Inilah satu-satunya peluang agar penyatuan pendapat tentang kapan dimulai 1 Romadlon, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah akan dapat dilakukan. Kita berharap bahwa umat Islam tetap bisa bersatu untuk kepentingan ibadah ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.