LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (1)
LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (1)
Tulisan ini memang agak lambat saya tulis, tiga hari setelah hari raya Id al Fithri 1437 H. Saya harus menyelesaikan nadzar saya untuk menulis 30 buah selama bulan Ramadlan, dan Alhamdulillah bisa saya lakukan sesuai dengan waktu yang tersedia. Meskipun hanya nadzar menulis selama bulan Ramadlan, tetapi rasanya menjadi kewajiban untuk memenuhinya.
Lebaran kali ini memang terasa special selain bisa berhari raya bersamaan bagi seluruh umat Islam Indonesia, juga karena saya berlebaran di Jakarta. Tidak sebagaimana biasanya yang setelah open house di Rumah Pak Menteri, saya langsung ngacir ke Bandara untuk terbang ke Surabaya, tetapi tahun ini saya harus merelakan kebiasaan saya itu karena sedang menunggu proses persalinan putri kami yang bertepatan mukim di Jakarta.
Kebersamaan berlebaran memang terasa menyenangkan. Biasanya ada saat masyarakat Indonesia berlebaran pada hari yang berbeda. Semuanya tahu kadangkala antara Muhammadiyah dan Pemerintah berbeda. Organisasi Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab dengan pendekatan wujud al hilal bisa berbeda dengan pemerintah yang menggunakan metode hisab dan rukyah dengan pendekatan imkanur ru’yah.
Hilal sedang baik hati, begitu kata Pak Cecep Purwandaya, anggota Badan Hisab dan Ru’yat Kementerian Agama. Hal ini bisa dipahami sebab berdaraskan perhitungan dengan metode apapun, posisi hilal berada di bawah 0 derajat, sehingga tidak mungkin bisa diru’yat dan hilal juga memang belum wujud. Akan lain halnya jika posisi hilal 0,1 derajat saja, maka pasti akan berbeda jatuhnya tanggal 1 syawal tersebut.
Berdasarkan almanac sampai tahun 2022 akan terjadi kesamaan pelaksanaan hari raya. Hal ini karena posisi hilal memang berada di bawah 0 derajat. Dengan kata lain, kita akan bisa menikmati kebersamaan hari raya sampai dengan tahun tersebut. Setelah itu tidak tahu lagi apa yang akan terjadi, apakah akan berbeda atau ada semangat untuk menyamakan pelaksanaan hari raya.
Terkadang kita bisa berkelakar “apakah penetapan tanggal 1 Syawal itu termasuk pertanyaan kubur atau tidak”. Dan jawabannya bahwa pertanyaan kubur itu adalah hak prerogative Malaikat Munkar dan Nakir. Meskipun di dalam acara Talqin mayat, ada pertanyaan dan jawaban yang disampaikan oleh kyai atau ulama, akan tetapi pertanyaan tersebut hanyalah pertanyaan dan jawaban yang bercorak potensi yang ditanyakan.
Namun secara sosiologis dan keberagamaan tentu berbeda hari raya dalam satu kawasan Negara adalah hal yang kurang etis. Bukan kesalahan hanya secara etika ada perasaan yang mengganjal. Dalam hal menentukan awal Ramadlan dan awal Syawal saja tidak bisa bersatu, bagaimana dengan urusan yang lebih besar dan strategis.
Makanya jika ada yang meragukan bahwa umat Islam tidak mungkin bersatu dalam pilihan politik, maka hal tersebut sangatlah wajar. Yang terkait dengan ibadah saja tidak bisa menyatu apalagi yang lainnya. Rupanya memang perbedaan itu menjadi komoditas untuk menyatakan diri. Jadi, dengan perbedaan, maka makin diakui sebagai kelompok yang eksis di tengah kehidupan beragama di Indonesia.
Jika kemudian juga makin banyak yang ingin mengekspresikan keagamaan dengan cara yang berbeda dengan arus utama pemahaman beragama di Indonesia ini, maka hal ini tentu hal yang sangat wajar. Mereka ingin diakui dan karena tidak mungkin diakui oleh kelompok dominan di negeri ini, maka biar memperoleh perhatian dan menonjol, maka dibuatlah sesuatu yang berbeda. Munculnya kelompok-kelompok agama yang makin semarak akhir-akhir ini tentu bisa dikaitkan dengan identitas diri dimaksud.
Saya sungguh merasakan bahwa umat Islam merasa menikmati perbedaan ini. Dan hingga hari ini –meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk menyatukannya—akan tetapi juga tidak kunjung ada keinginan untuk menyatukannya. Jarak antara wujud al hilal dengan kriteria selama sudah wujud hilal berapapun bersarnya, bahkan 0,001 pun sudah bisa dinyatakan tanggal satu sudah pasti eksis. Melalui pendekatan seperti ini, maka pintu untuk bertemu akan sangat sulit diperoleh.
Sementara dengan pendekatan imkanur ru’yat yang sudah disepakati oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) juga tidak bisa bergerak sebab dengan ketinggian derajat seperti itulah yang memungkinkan hilal akan teramati.
Hanya satu peluang yang menyisakan madzab wujudul hilal dan madzab imkanur ru’yat ini bertemu, jika Muhammadiyah mau memindahkan pusat penentuan hilal dari Jogyakarta ke Papua. Dengan menggunakan ukuran Papua sebagai pusatnya, maka peluang untuk ketinggian bulan mencapai 2 derajat masih dimungkinkan untuk wilayah Indonesia Barat. Jika di Papua 0 derajat, bisa jadi di Sumatera sudah mencapai 2 derajat.
Inilah satu-satunya peluang agar penyatuan pendapat tentang kapan dimulai 1 Romadlon, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah akan dapat dilakukan. Kita berharap bahwa umat Islam tetap bisa bersatu untuk kepentingan ibadah ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.