• May 2025
    M T W T F S S
    « Apr    
     1234
    567891011
    12131415161718
    19202122232425
    262728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (4)

LEBARAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (4)
Tradisi mudik tidak mengenal strata sosial. Inilah yang unik dari tradisi di seputar lebaran di Indonesia. Bahkan karena mudik diperkirakan pengguanaan listrik akan tinggal 50 persen saja. Bahkan juga terjadi peredaran uang, yang biasanya memutar saja di Jakata, lalu dengan mudik akan terjadi peredaran uang sampai ke desa-desa di Indonesia.
Hampir setiap tahun saya menulis tentang lebaran, akan tetapi selalu saja ada yang baru terkait dengan lebaran itu. Selalu ada saja yang bisa dituliskan berbeda dengan lebaran sebelumnya. Kali ini saya ingin menulis tentang tradisi open house yang juga menjadi tradisi di kalangan masyarakat kita. Tradisi open house biasanya digunakan oleh para pejabat, seperti presiden, wakil presiden, menteri atau pejabat-pejabat lain.
Di masyarakat kita tumbuh juga pertemuan kerabat atau yang disebut halal bihalal Bani X. Biasanya dilakukan untuk mempertemukan semua kerabat yang dihitung mulai dari kakek atau nenek atau buyut hingga ke bawah. Tradisi ini telah berkembang beberapa tahun terakhir dan rupanya menjadi salah satu tradisi untuk saling mengenalkan antar kerabat yang tidak saling bertemu.
Di dalam tradisi Jawa, ada yang disebut sebagai “sedulur cedak” atau saudara dekat dan “sedulur adoh” atau saudara jauh. Biasanya batasannya adalah jika mereka bersaudara sampai tahap “misanan” atau “sedulur kapisan” yaitu anak dari saudara dan bertemu dengan anak dari saudara kandung. Makanya disebut sebagai saudara tahap pertama. Lalu dikenal “mindoan” atau sedulur kapindo” atau saudara sampai tahap kedua. Yaitu relasi bersaudara antara “misanan” atau saudara tahap pertama dengan anak dari “misanan” atau tahap pertama. Hubungan saudara seperti ini disebut sebagai “sedulur mindoan”. Jika bersaudara dalam tahapan pertama disebut sebagai saudara dekat, maka bersaudara dalam tahap kedua disebut sebagai saudara jauh atau “sedulur adoh”.
Maka, acara pertemuan Bani itu akan mempertemukan sampai tahap “sedulur adoh” atau saudara jauh dengan saudara dekat tersebut. Jika di masa lalu, istilah Bani itu adalah istilah keluarga Arab yang ada di Indonesia, namun sekarang telah menjadi tradisi tidak hanya orang Arab, tetapi juga orang Indonesia lainnya. Pertemuan ini menjadi penting lantaran, di antara misanan apalagi mindoan tersebut sudah terpaut jauh relasinya. Tentu ada yang masih saling mengenal satu dengan lainnya, akan tetapi juga ada yang sudah tidak saling mengenal.
Salah satu kehebatan orang Indonesia adalah daya kemampuannya untuk menimbulkan institusi baru manakala dirasa terdapat kebutuhan yang mendesak. Jadi munculnya institusi baru tentu didasari oleh kepentingan akan fungsi institusi baru dimaksud untuk mereka semua. Oleh karena itu munculnya instutusi Bani tidak lain adalah untuk menyambungkan kembali keberserakan relasi kekeluargaan karena jarak tempat tinggal, wilayah dan pekerjaan yang tidak memungkinkan lagi untuk terus saling mengenal dan bertemu.
Melalui kerangka konseptual “continuity and change”, maka dapat dipahami bahwa tumbuhnya institusi-institusi baru hakikatnya adalah untuk melestarikan tradisi lama yang masih diperlukan, akan tetapi terkendala oleh sekian banyak factor yang menghalangi berfungsinya institusi tersebut. Ada hal-hal yang mendasar yang harus dipertahankan kontinuitasnya dan ada yang bisa berubah.
Di dalam tradisi pertemuan keluarga, atau pertemuan Bani atau bahkan open house, maka yang mendasar dan menjadi intinya adalah silaturrahim. Menjalin hubungan kekerabatan, persahabatan, kekeluargaan adalah inti dari berfungsinya institusi dimaksud. Dengan demikian, wadah bisa berubah seirama dengan perubahan zaman, akan tetapi isi atau inti tradisi tidak bisa atau tidak boleh berubah.
Masyarakat Indonesia terkenal dengan kemampuannya untuk melakukan ramuan-ramuan seperti ini. Manakala institusi lama sudah dianggap tidak lagi fungsional untuk menjaga tradisi, maka diciptakanlah institusi baru yang memiliki fungsi menjaga tradisi lama yang memang masih diperlukan keberadaannya.
Manakala kunjungan dari rumah ke rumah sudah tidak lagi dimungkinkan di tengah kesibukan antar individu, maka diciptakanlah institusi baru open house yang dilakukan setahun sekali dan waktu yang tepat adalah bersamaan dengan hari raya id al fithri.
Kedutaan besar Inggris menyelenggarakan open house di London untuk menjadi medium bertemunya warga Indonesia di negeri Ratu Elizabeth ini. Mereka diingatkan kembali tentang Indonesia melalui kuliner, pakaian khas Indonesia dan juga kesenian Indonesia. Demikian pula Duta Besar RI untuk PBB juga menyelenggarakan open house untuk menjadi ajang temu muka para pemukim Indonesia di Amerika Serikat.
Mereka mendatangi acara ini meskipun berasal dari kota yang berbeda dan berjarak cukup jauh. Namun demikian mereka hadir sebagai bagian dari tradisi melestarikan keindonesiaan mereka. Yang menarik bahwa mereka secara sengaja hadir di acara ini karena kangen dengan nuansa keindonesiaan di dalam acara ini.
Mereka bisa makan makanan khas Indonesia, ada soto, rawon, rendang, dan juga bakso. Mereka tidak hanya datang untuk menikmati makanan khas Indonesia, akan tetapi juga bernostalgia dengan sesama kawannya dari Indonesia. Jika di dalam kehidupan mereka sehari-hari menggunakan bahasa Inggris sebagai medium komunikasi, maka kali ini mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai medium untuk saling menyapa.
Masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat “paguyuban”, maka hari raya memang benar-benar menjadi medan untuk guyub atau bertemu hati dengan hati, pikiran dengan pikiran. Jadi, mereka tidak hanya bertemu secara fisik akan tetapi juga bertemu pikiran dan hati keindonesiaannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..