Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA DAN KESADARAN BERBAGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (29)

PUASA DAN KESADARAN BERBAGI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (29)
Jika ingin melihat bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia dalam hal kesejahteraannya, maka datanglah ke wilayah-wilayah padat penduduk di beberapa tempat di Jakarta. Misalnya di wilayah Grogol Jakarta Barat. Saya tidak ingin menyebut nama kampungnya, akan tetapi kala kita datang ke sana, maka dapat diketahui bagaimana tingkat kepadatan penduduknya dan bagaimana kondisi perumahannya.
Mereka hidup di wilayah dengan tingkat hunian penduduk yang sangat padat. Rumah-rumah bertingkat semi permanen, satu kamar satu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak. Mereka hidup berdesakan. Bahkan tempat untuk memasak dan mandi pun bergantian.
Saya yang hidup di rumah dinas Kementerian tentu merasa bahwa di Jakarta ini ada sangat banyak mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika menggunakan konsepsi Orang Jawa, yaitu; ketercukupan sandang, pangan dan papan, maka ketiganya masih relative memprihatinkan. Saya bayangkan rumah-rumah besar di sekitar saya, dengan luasan yang sangat besar, sementara itu hanya dihuni oleh para penjaga atau satpam, dan pemiliknya tidak menempatinya.
Sungguh pemandangan yang sangat kontras antara kehidupan satu golongan sosial dengan golongan sosial lainnya. Ada di antara yang kekurangan untuk memenuhi hajat hidupnya, makan dan papan, sementara ada yang berlebihan luar biasa. Data tentang penguasaan 50,2 persen kekayaan Negara Indonesia oleh satu persen keluarga terkaya di Indonesia akan bisa dijelaskan dengan mengamati terhadap kenyataan kehidupan masyarakat kita seperti di wilayah Grogol tersebut.
Pembangunan yang dahulu dirancang agar kesenjangan antara yang miskin dan kaya itu makin mengecil, ternyata justru sebaliknya. Rasanya, pembangunan yang dilakukan ini ternyata tidak menghasilkan distribusi kekayaan yang makin baik. Gap antara dua golongan ini makin tajam saja. Secara konseptual, pembangunan tentu dirancang dari semua untuk semua, dari rakyat untuk rakyat. Namun kenyataan empiris justru memberikan gambaran bahwa konsepsi tersebut belum dapat diaplikasikan di dalam realitas empiris. Saya kira bukan konsepnya yang tidak bisa dilakukan, akan tetapi rasanya ada “kesalahan” di dalam penyelenggaraan kebijakan yang lebih mengarah kepada pengembangan yang kaya saja dan kurang menyentuh kepada yang miskin.
Urban poor itu bukan sekedar gambaran di dalam konsep, akan tetapi sungguh-sungguh merupakan kenyataan riil di masyarakat kita. Makanya, pembangunan masyarakat sudah selayaknya ditujukan untuk memperkuat basis kehidupan masyarakat miskin perkotaan ini. Saya kira problem utama mereka adalah mengenai perumahan dan ketercukupan makan.
Mengamati terhadap rumah-rumah kontrakan yang kebanyakan dihuni oleh para pendatang ini, maka bisa memberikan gambaran bahwa problem utama mereka adalah bagaimana ke depan memperoleh rumah yang layak untuk berteduh. Dengan kondisi perumahan yang berhimpitan seperti itu, maka tentu bisa dibayangkan bagiamana mereka menempatkan diri dan keluarganya dalam situasi yang baik.
Dengan demikian, program utama pemerintah Indonesia adalah bagaimana menyediakan rumah layak huni bagi kaum miskin perkotaan. Program sejuta, dua juta rumah untuk rakyat dan seterusnya, akan dapat dilaksanakan jika pemerintah concern untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya. Anggaran pemerintah kiranya memang harus diprioritaskan untuk pencukupan perumahan rakyat ini. Jika jalan dan sarana transportasi telah sedikit banyak disentuh oleh pemerintah, maka yang juga tidak kalah penting adalah insfrastuktur perumahan tersebut.
Ajaran agama sebenarnya juga sarat dengan pentingnya pemenuhan hajad hidup umat ini. Ada konsepsi zakat dan wakaf yang bisa digunakan sebagai instrument untuk membantu pemerintah di dalam kerangka pemenuhan insfrastuktur perumahan ini. Zakat, infaq dan shadaqah perlu memperoleh perhatian di kalangan umat Islam. Jika umat Islam belum bisa memenuhi kepentingan ini, karena mayoritas bukanlah orang-orang kaya, maka semestinya program Corporate Social Responsibility (CSR) perlu untuk didayagunakan bagi kepentingan pemenuhan kelayakan rumah bagi warga miskin.
Hanya sayangnya bahwa CSR masih dipertanyakan solusinya untuk mengentas kemiskinan. CSR masih menjadi wacana di kalangan tertentu. Masih rendah kesadaran untuk mendayagunakan CSR bagi kepentingan mengurangi kesenjangan ekonomi.
Dengan demikian, perlu dilakukan akselerasi untuk menyadarkan para konglomerat yang sudah menikmati hasil usahanya di Indonesia untuk berbagi kepada yang membutuhkan. Jika tidak seperti ini, maka saya bayangkan kapan orang-orang miskin perkotaan akan memperoleh kelayakan perumahan dan mentas dari kemiskinannya.
Puasa yang telah menjadi tradisi umat Islam ini, kiranya bisa juga dimaknai bulan sedekah, bulan zakat dan bulan charity untuk kepentingan sesama. Orang miskin di perkotaan yang jumlahnya cukup besar perlu uluran tangan kita semua, tidak hanya umat Islam akan tetapi juga bagi penganut agama lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..