PUASA DAN ELIMINASI NAFSU DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (27)
PUASA DAN ELIMINASI NAFSU DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (27)
Kita sungguh tidak bisa memahami bagaimana di bulan puasa, 1437 Hijriyah, yang disucikan oleh seluruh umat Islam di dunia ini justru terjadi banyak pengeboman yang dilakukan oleh sekelompok orang yang “mengaku” sebagai penegak agama.
Pengeboman dilakukan di dekat Masjidil Haram di Madinah, di Malaysia dan juga di Solo Jawa Tengah Indonesia. Bahkan di Baghdad juga menyebabkan ratusan orang meninggal dunia karena pengeboman yang dilakukan oleh kelompok yang ingin mendirikan “Daulah Islamiyah.” Ada kekuatan ISIS di balik berbagai tindakan pengeboman ini.
Mungkin ada banyak orang yang seperti saya, yang tidak paham tentang berbagai tindakan melakukan pengeboman dengan dalih apapun. Saya tidak tahu apakah karena saya “merasa” menjadi bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin, sehingga tidak bisa paham tentang semua ini.
Bisa juga karena saya berada di dalam “zona” nyaman, yang sehari-hari berada di dalam lingkungan yang damai tanpa pertikaian atau konflik antar kelompok atau antar faksi sehingga daya imaginasi saya sama sekali tidak bisa memahami alasan-alasan yang dijadikan sebagai pembenar terhadap tindakan pengeboman.
Pemikiran ini tentu tidak bisa digunakan manakala misalnya kita berada di daerah Gaza dan saya sebagai umat Islam yang lalu dipinggirkan dan dijajah secara fisikal oleh Israel, sehingga saya harus melakukan perlawanan sedemikian rupa. Bisa dibayangkan anak-anak remaja yang kehilangan orang tua dan kerabatnya, harus hidup seorang diri di dalam keganasan peperangan, maka tentu jiwa mereka akan berontak untuk melakukan perlawanan.
Saya bisa paham jika ada sekelompok orang yang terus melakukan perlawanan di tengah kedholiman yang dilakukan oleh Israel sebagai state terrorist seperti di Gaza, Palestina ini. Di dalam analisis sosiologis, maka factor lingkungan menjadi pengungkit terjadinya berbagai kekerasan yang terjadi. Di sana ada siklus kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh Israel akan menyebabkan terjadinya kekerasan demi kekerasan.
Namun saya tidak memahami tentang bagaimana terjadi pengeboman pada masyarakat Indonesia yang damai dan tenteram. Masyarakat yang memberikan peluang untuk beribadah dalam kapasitas yang maksimal. Meskipun kita bukan Negara Islam, akan tetapi menjadi Negara yang sangat menghargai Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menghargai terhadap semua pemeluk agama tanpa kecuali. Makanya, kemudian kala terjadi pengeboman terhadap sejumlah tempat di Indonesia ini, maka saya tidak memahami alasannya.
Memang harus diakui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat segelintir orang Indonesia yang berafiliasi atau sekurang-kurang simpati terhadap Gerakan ISIS yang berkembang di Iraq dan Syria. Melalui berbagai kampanye yang dilakukan dengan menggunakan slogan-slogan memperjuangkan Daulah Islamiyah, maka mereka bisa mempengaruhi terhadap segelintir orang Indonesia.
Ada di antara mereka yang datang ke Iraq arau Syria dan berjuang di sana dan ada yang tetap berada di Indonesia, akan tetapi pemikirannya terpengaruh oleh cita-cita ISIS. Terjadinya pengeboman ini sebenarnya adalah warning bagi pemerintah Indonesia bahwa mereka ada dan eksis di tengah bangsa Indonesia.
Mereka sengaja memanfaatkan momentum menjelang lebaran 1437 Hijriyah untuk menciptakan “kegaduhan” keamanan. Apalagi yang disasar adalah markas polisi, yang dianggap sebagai bosnya Densus 88. Mereka beranggapan bahwa symbol perlawanan tersebut adalah kepada kepolisian yang memiliki perangkat Densus 88 untuk mengejar dan memberangus Gerakan ISIS di Indonesia.
Melalui kenyataan seperti ini, maka dapat dinyatakan bahwa aparat keamanan haruslah menjaga kewaspadaan terkait dengan tempat-tempat strategis terutama menjelang hari raya ini. Selama ini nuansa kerawanan terjadi menjelang Natal atau tahun baru, akan tetapi sekarang justru pengeboman dilakukan menjelang hari raya Umat Islam. Dengan demikian kewaspadaan nasional harus menjadi prioritas bangsa ini.
Saya selalu memahami bahwa puasa adalah wahana untuk mengeliminasi berbagai nafsu yang menjurus kepada kerusakan dan kejelekan. Itulah sebabnya saya selalu tidak bisa memahami berbagai pengeboman atau tindakan kekerasan yang dilakukan di saat kita menjalankan puasa.
Oleh karena itu, rasanya harus disadari bahwa tidak semua orang berpikir sama dengan kita. Ada sebagian kecil orang yang justru menjadikan puasa sebagai momentum untuk menyatakan dirinya sebagai kelompok yang “berbeda”. Mereka ingin menyatakan bahwa kaum garis keras itu ada dan akan selalu ada.
Makanya, semua masyarakat Indonesia harus tetap mengembangkan kewaspadaan dini atau early warning terhadap berbagai potensi kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang Indonesia yang bersearah dengan gerekan kekerasan, seperti ISIS ini.
Dengan demikian, puasa ternyata belum bisa menjadikan segelintir orang untuk tidak melakukan kekerasan demi mencapai keinginannya. Tetapi saya yakin bahwa mayoritas umat Islam Indonesia justru menginginkan puasa adalah wahana untuk mengeliminasi nafsu jahat dan kemudian menyemai nafsu baik dan bermanfat bagi manusia dan kemanusiaan. Kita semua berada di koridor ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.