MENGELOLA HAJI BAGI KEMENTERIAN AGAMA (1)
Pemberitaan tentang haji selalu menarik. Ada human interest di dalam penyelenggaraan haji dimaksud, sehingga banyak mata yang selalu mengamati terhadap penyelenggaraan haji. Bahkan begitu besarnya minat para pemerhati tersebut, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sering terjadi berbagai bias terkait dengan pemberitaannya.
Sesungguhnya, Kemenag tersebut menyelenggarakan ibadah haji karena amanah Undang-Undang No 13 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, maka penyelenggara ibadah haji adalah pemerintah dan otoritas penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Kementerian Agama.
Memang penyelenggaraan haji di Indonesia sangatlah kompleks. Bukan hanya dari jumlah jamaah haji yang merupakan terbesar di dunia, akan tetapi juga variabilitas jamaah hajinya yang sangat variatif. Mulai dari pendidikan, status ekonomi, status pemahaman agama dan juga asal jamaah yang berasal dari seluruh Indonesia. Makanya kompleksitas penyelenggaraan haji sangatlah kentara.
Sebagai penyelenggara ibadah haji yang sudah bertahun-tahun dilakukannya, akan tetapi kenyataannya juga masih mengalami beberapa kendala. Misalnya, kendala tahun lalu (2015) di mana Visa untuk jamaah haji terlambat, sehingga memicu reaksi berlebihan dari beberapa elemen masyarakat kita. Seharusnya dipahami bahwa otoritas Visa itu adalah kewenengan Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia, sehingga tugas pemerintah adalah fasilitator dan bukan penentu. Sehingga jika ada keterlambatan tersebut tentu bukanlah kesalahan mutlak Kemenag sebagai penyelenggara Ibadah Haji.
Kemudian yang tidak kalah menarik adalah mengenai kuota Jamaah Haji. Pemerintah tentu sudah melakukan upaya maksimal untuk menyiapkan agar seluruh kuota terpenuhi. Kenyataannya memang sampai hari terakhir pengisian kuota terpenuhi. Namun di tengah jalan, setelah tidak memungkinkan pengusulan visa dilakukan karena sudah closed untuk pengusulan visa, maka jika kemudian terjadi kendala pemberangkatan haji, misalnya karena sakit, meninggal atau batal berangkat, maka itulah yang menyebabkan terjadinya gagal berangkat, sehingga kuota seakan-akan masih tersisa.
Yang sesungguhnya terjadi adalah ketidakmungkinan penggantian Jemaah haji lainnya sebab waktu yang tersedia untuk visa sudah tidak ada lagi. Beberapa tahun yang lalu, sisa kuota seperti ini bisa diisi dengan diskresi sebab jarak waktu pelunasan terakhir dengan penerbitan visa masih memungkinkan waktunya. Namun diskresi ini mengandung masalah sebab yang berangkat bukanlah orang yang sesuai dengan urutan. Asal mereka sudah terdaftar dan bisa melunasi dalam waktu yang cekak dan peluang untuk memperoleh visa masih mungkin, maka yang bersangkutan bisa berangkat.
Beberapa tahun terakhir Kemenag tidak lagi menggunakan kebijakan diskresi, artinya jika ada kuota yang tidak terisi, maka yang dilakukan dengan memberikan nomor porsi tersebut kepada urutan berikutnya. Demikian seterusnya. Dan berdasarkan pola ini, maka seluruh kuota sebanyak 165.800 jemaah haji bisa terisi. Jadi sampai closing date, maka seluruh kuota haji telah terpenuhi. Tidak ada sisa sedikitpun.
Hanya saja yang menjadi masalah adalah di kala proses visa sudah ditutup dan kemudian ada yang batal karena factor fisikal dan lainnya, maka dipastikan bahwa pengisian Jemaah atau seat yang kosong tidak akan bisa dilakukan. Inilah yang menyebabkan ada banyak seat kosong yang tidak bisa terisi di musim haji tahun berjalan. Problem inilah yang bisa memicu masalah sebab seakan-akan Kemenag membiarkan seat kosong, sementara jamaah haji tunggu jumlahnya mencapai ratusan ribu orang.
Di dalam konteks seperti ini, maka Kemenag mestinya tidak bisa disalahkan atau bahkan dianggap sebagai mismanagement dalam penyelenggaraan haji. Kesalahan ini benar-benar accident yang tidak mudah diselesaikan. Misalnya mengganti Jemaah yang meninggal, sakit atau sebab lain di saat visa sudah ditutup oleh Kedutaan Besar Saudi Arabia di Indonesia.
Apa yang bisa dilakukan jika situasi seperti ini terjadi. Makanya, menurut saya jika kemudian banyak orang yang merasa tiba-tiba menjadi ahli di bidang perhajian, maka orang tersebut sesungguhnya tidak memahami problem perhajian di Indonesia yang memang kompleks.
Memang harus diakui bahwa banyak orang yang merasa bisa menyelenggarakan haji secara perfect dengan membandingkan dengan pelaksanaan haji di tempat lain. Katakanlah Tabung Haji Malaysia. Tetapi orang lupa bahwa jumlah jamaah haji Indonesia itu sembilan kali lipat dibandingkan dengan jumlah Jemaah haji Malaysia.
Dengan demikian, seharusnya para ahli melihat persoalan haji di Indonesia dengan kompleksitas dan kekhasannya, sehingga para ahli itu tidak terjatuh ke dalam penilaian yang mengandung bias dan selalu “menyalahkan”.
Wallahu a’lam bi al shawab.
JAWAB MEA DENGAN KOMPETENSI DAN KOMPETISI
Selain meresmikan bangunan dan peletakan batu pertama pembangunan kampus II UIN SGD, maka saya memperoleh kesempatan untuk memberikan kuliah perdana pada mahasiswa strata II dan III UIN SGD (25/08/2016). Hadir bersama saya, Rektor UIN SGD, Prof. Dr. Mahmud., Ketua Senat UIN SGD, Prof. Dr. Nanat Fatah Nasir, dan segenap pimpinan Program Pascasarjana (PPs) UIN SGD Bandung.
Saya memberikan tiga hal sebagai bahan renungan bagi mahasiswa PPS UIN SGD pada kesempatan yang penting ini. Pertama, ucapan selamat atas diterimanya para mahasiswa peserta PPs UIN SGD sebab tentu tidak mudah untuk mencapai jenjang pendidikan pasca sarjana seperti ini. Ada proses keterpilihan yang sangat ketat untuk bisa mencapai jenjang pendidikan tinggi prestisius ini. Bayangkan bahwa jika untuk menjadi mahasiswa saja hanya sebanyak 3,5 persen dari seluruh orang Indonesia usia di bawah 40 tahun. Maka berarti bahwa untuk menjadi mahasiswa dibutuhkan persyaratan yang tidak hanya kepandaian atau kecerdasan, akan tetapi juga dana dan kapasitas sosial yang baik.
Dengan menjadi mahasiswa apalagi mahasiswa program master dan doctor, maka sesungguhnya adalah menjadi orang terpilih. Para mahasiswa PPs adalah orang yang terpilih untuk Indonesia ke depan. Indonesia yang maju, modern dan demokratis sangat tergantung pada seberapa banyak orang Indonesia yang terpelajar dan bergelar akademik sarjana, master atau doctor. Itulah sebabnya saya selalu memberikan apresiasi tinggi terhadap mereka yang bisa meraih gelar kesarjanaan master dan doctor.
Kedua, sebagai seorang mahasiswa, tentu tantangan kita adalah bagaimana menghadapi MEA yang kita sudah berada di dalamnya. Kita tidak bisa melarikan diri dari tantangan dunia global ini. Semua akan terlibat di dalamnya, suka atau tidak suka. Sejauh-jauh yang bisa dilakukan adalah menjadi mitra kritis. Jangan larut tanpa alasan dan jangan menolak tanpa sebab. Mari kita masuki kepastian ini dengan sikap menerima dengan kritis. Jika kita menolak dengan keras, maka kita akan menjadi radikal dan jika menerima dengan apa adanya maka kita akan menjadi liberal. Taruhlah sikap kita itu ke dalam empathi. Saya kira sikap inilah yang memungkinkan kita untuk bisa survive di tengah badai globalisasi yang terus menggempur kita dari berbagai aspeknya.
Di tengah MEA maka kita sungguh akan menerima tantangan tentang free of labor selain tantangan free of product, dan free of capital. Yang paling menggelisahkan dari sisi SDM adalah tantangan kebebasan ketenagakerjaan ini. Pengaruhnya terasa langsung bagi rakyat Indonesia. Makanya, pendidikan diharapkan bisa menanggulangi masalah ini dengan cerdas. Tantangan ini sungguh bisa mengkhawatirkan jika kita tidak menghadapinya dengan segenap kekuatan dan kemampuan. Harus ada langkah seribu untuk menghadapinya. Misalnya dengan mempersiapkan alumni PTKIN untuk memiliki kompetensi dan kompetisi yang andal. Tidak cukup yang biasa saja.
PTKIN didesain untuk menjadi perguruan tinggi yang memiliki dua kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan akademik dan kemampuan mentalitas yang baik. Melalui kemampuan akademik maka para alumninya akan memiliki kapasitas dasar profesionalisme yang baik, dan dengan kapasitas mentalitas yang baik, maka alumninya akan memiliki kemampuan kompetisi yang baik pula. Jika PT yang lain hanya disiapkan dengan kemampuan professional saja tanpa dibarengi dengan kemampuan mentalitas yang memadai, maka akan terjadi kepincangan, pintar tetapi berperilaku kurang etis. Itulah sebabnya, alumni PTKIN harus menjadi orang professional di dalam bidangnya, misalnya ahli tafsir dan hadits yang andal, menjadi guru yang professional, menjadi ahli hokum yang hebat, menjadi ahli dakwah yang teruji dan sebagainya. Jadi kita sungguh mengharapkan bahwa alumni PTKIN adalah orang yang memiliki distingsi dan ekselensi di dalam menjawab tantangan kehidupan.
Ketiga, salah satu kelebihan dari PTKIN yang mengembangkan tiga bidang ilmu, Islamic studies, bidang social sicence and humaniora serta science and technology ialah yang disebut sebagai integrasi ilmu. Inilah kekuatan kita. Kita memiliki distingsi dengan PT lainnya. Jika di Unpaj dikembangkan ilmu sosial, maka di UIN dikembangkan ilmu sosial profetik. Jika di ITB dikembangkan program studi sains dan teknologi, maka di UIN dikembangkan sains dan tehnologi profetik.
Jika dari distingsi ini kemudian bisa dikembangkan ekselensi yang unggul, maka itulah yang sesungguhnya menjadi cita-cita kita semua.
Konsep distingsi dan ekselensi dikembangkan saat saya menjadi Dirjen Pendidikan Islam. Istilah ini menjadi penting sebagai bagian tidak terpisahkan untuk menjadikan PTKIN kita memiliki sejumlah pembeda dan keunggulan dibandingkan dengan PT lainnya. Hal ini sangat disadari sebab butuh waktu untuk menjadi seunggul PT lain dalam bidang sosial humaniora, sains dan teknologi, namun dengan semangat mengembangkan integrasi ilmu ini, maka di situlah letak keunggulan kita.
Saya kira jika kita bisa melakukannya, maka ke depan PTKIN kita akan bisa menjadi destinasi dari sejumlah mahasiswa tidak hanya di dalam negeri akan tetapi mahasiswa dari luar negeri.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MAKNA MEMBANGUN KAMPUS PTKIN
Saya sungguh merasa sangat bergembira atas diresmikannya bangunan baru pada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (UIN SGD Bandung) dan sekaligus juga peletakan batu pertama pada pembangunan di kampus ini. Bangunan tersebut berada di dalam hamparan tanah milik Kementerian Agama, seluas 40 hektar di Bandung.
Acara ini dihadiri oleh Rektor UIN SGD Bandung, Prof. Dr. Mahmud., dan segenap civitas akademika, Kapolda Jawa Barat, Irjen. Pol. Drs. Bambang Waskito, dan segenap jajarannya, serta pimpinan Konsutan Pengawas, Konsultan Perencana dan pemenang tender konstruksi untuk bangunan kampus ini. Acara ini diselenggarakan pada hari Kamis, 25/08/2016.
Acara ini dimulai dengan tarian selamat datang yang berciri khas Sunda, dilanjutkan dengan sambutan Rektor dan saya tentu memperoleh kesempatan untuk memberikan sambutan dan Kapolda Jawa Barat juga memberikan sambutan serta terakhir dilanjutkan dengan ground breaking bangunan baru kampus UIN SGD Bandung. Sebagaimana biasa, maka saya sampaikan tiga hal penting di dalam acara ini.
Pertama, saya mengapresiasi atas kegigihan pimpinan UIN SGD Bandung yang terus berupaya untuk mengembangkan kampus ini. Saya merasakan aura semangat untuk maju kala berada di kampus ini. Sepengetahuan saya, bahwa melalui kemampuan yang memadai dari segenap civitas akademika PT, maka dapat dipastikan bahwa PT tersebut akan mengalami kemajuan. Saya sering sampaikan bahwa “dunia ini dibangun di atas mimpi, maka siapa yang memiliki mimpi maka dialah yang akan membangun dunia ini”.
Saya merasakan aura kemajuan kampus ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Pak Rektor. Ke depan akan dibangun rumah-rumah al Qur’an berdasar atas kerjasama dengan para bupati di Jawa Barat. Mereka akan menghibahkan bangunan tersebut untuk dijadikan sebagai pusat pengajian Al Qur’an. Ada keinginan untuk membangun pusat studi Al Qur’an di UIN SGD Bandung yang merupakan hasil dari kerja sama antara UIN SGD dan para Bupati. Sudah ada tiga bupati yang bersedia untuk memberikan hibah bangunan bagi pengembangan PTKIN kita ini. Jika ini terlaksana, maka saya pikir ini merupakan kerjasama mutual action yang sangat baik, dan bisa menjadi percontohan bagi pengembangan PTKIN lainnya.
Kedua, saya sampaikan bahwa membangun kampus sama artinya dengan membangun peradaban. Harus diingat bahwa kampus merupakan instrument paling baik untuk mengembangkan SDM dan SDM yang baik merupakan kunci utama membangun peradaban. Ada banyak prediksi bahwa sumber inspirasi Islam dunia dimulai dari Indonesia. Hal ini tentu tidak terlepas dari potensi Indonesia untuk menjadi pimpinan dunia Islam. Dengan jumlah populasi yang beragama Islam, dan dengan tingkat kemajuan dan modernisasi yang memadai bukan suatu prediksi yang keliru jika Indonesia akan menjadi sumber dan praksis bagi pengembangan peradaban dunia.
Indonesia sangat dikenal sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar dengan semangat keagamaan yang wasathiyah, moderat dan menjunjung tinggi semangat rahmatan lil alamin. Islam seperti ini yang tentu akan menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan peradaban dunia di tengah semakin terpuruknya Timur Tengah yang terus berkecamuk dengan peperangan. Sebagaimana diketahui bahwa peperangan akan selalu menghadirkan kemunduran ratusan tahun. Bisa dibayangkan bahwa untuk membangun sebuah Negara memerlukan waktu ratusan tahun, dan hal itu bisa hancur binasa karena peperangan. Betapa hancurnya berbagai bangunan bersejarah di Iraq dan Syria karena peperangan tersebut. Makanya, kedamaian dan persaudaraan tentu menjadi kata kunci untuk membangun peradaban dan penuh kemaslahatan.
Di dalam kerangka ini maka saya nyatakan bahwa membangun kampus hakikatnya adalah membangun peradaban. Hanya dimulai dengan pembangunan kampus yang baik saja maka pembangunan peradaban dunia tersebut akan bisa dilakukan. Sekali lagi saya nyatakan bahwa jika kampus kita baik, dan di dalamnya diajarkan kebaikan dan keluarannya juga kebaikan, maka apa yang menjadi cita-cita para pendiri negeri ini akan bisa menjadi kenyataan. Tugas kampus tidak hanya untuk mencerdaskan bangsa, akan tetapi juga untuk membangun perdamaian abadi sebagai prasyarat membangun peradaban dunia.
Ketiga, kita sekarang sedang menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu gerakan terorisme, radikalisme, narkoba dan pornografi. Sebagaimana yang kita dengar dan baca di berbagai media, bahwa tantangan atas hal ini bukan sesuatu yang bisa dipandang remeh, akan tetapi sudah menjadi tantangan actual yang harus diperhitungkan. Sebagaimana pertemuan di Menkopolhukam, bahwa tantangan terorisme sudah merupakan permasalahan bangsa sehingga harus dilakukan upaya bersama. Salah satu yang memiliki peran penting untuk terlibat di dalam penanggulangan terorisme, radikalisme, narkoba dan pornografi adalah perguruan tinggi.
Oleh karena itu, saya berharap agar semua komponen civitas akademika di UIN SGD Bandung untuk terlibat secara proaktif di dalam kerangka gerakan anti terorisme, anti radikalisme, anti narkoba dan anti pornografi. PTKIN harus menjadi leading sector di dalam hal ini. Saya kira, dengan kerja sama yang baik dan dipandu oleh semangat kebersamaan yang andal, maka kita pasti bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KESEJAHTERAAN LAHIR DAN BATIN ITU KEBAHAGIAAN (2)
Indicator kebahagiaan yang lebih bercorak fisikal tentu berakibat kepada tidak masuknya orang-orang yang secara fisikal-material tidak memenuhi syarat untuk berposisi bahagia. Mereka pasti akan tersisih disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi untuk tergabung di dalam club bahagia.
Menjadi bahagia dalam konsepsi ini berarti harus memiliki sejumlah persyaratan fisikal-material. Jika tidak dimilikinya maka dipastikan bahwa yang bersangkutan akan tercerabut dari daftar orang bahagia. Inilah yang menurut saya agak mengandung “bias” sebab tidak selamanya orang yang mampu secara ekonomi mesti bahagia. Banyak di antaranya yang justru “lonely in the crowd”.
Jika dianalisis, maka beberapa variabelnya tentu terkait dengan kehidupan ekonomi seseorang, misalnya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pendapatan dan pengeluaran, jumlah anak, jumlah keluarga, semuanya adalah variabel-variabel ekonomi yang dominan. Sedangkan variabel keamanan lingkungan, keadaan keluarga, kenyamanan di dalam lingkungan sosial dan sebagainya menggambarkan tentang aspek fisik dan kejiwaan. Orang yang hidup di dalam limgkungan yang nyaman dan aman tentu secara fisik dan psikhis menjadi tenang.
Di dalam konteks kebahagiaan, maka yang tidak kalah menarik adalah ketenangan batin yang tidak hanya terkait dengan ketenangan jiwa saja akan tetapi ketenangan spiritual karena telah berhubungan dengan kekuatan Adi Kodrati yang Maha Agung. Orang yang berada di dalam level ini, maka kekayaan, keadaan lingkungan dan kenyamanan duniawi tidak menjadi problem utama. Bukannya mereka escape dari kehidupan duniawi akan tetapi batinnya tidak terpengaruh oleh hal-hal yang duniawi tersebut.
Mari kita simak pernyataan Syekh Hasan Syadzili yang menyatakan bahwa “kekayaan merupakan jalan terdekat untuk sampai kepada Tuhan”. Jadi orang yang sudah trans-materi justru menjadikan harta sebagai sarana pengabdian kepada Allah. Harta bukan untuk dirinya tetapi untuk Allah. Orang yang seperti ini beranggapan bahwa harta itu milik Allah, sehingga akan kembali kepada Allah saja. Makanya, harta itu lalu digunakan untuk mengabdi kepada kemanusiaan dan Ketuhanan. Karena hatinya tidak tertambat sedikitpun kepada harta yang dimilikinya, maka harta itu lalu digunakan untuk berjuang fi sabilillah.
Ukuran kebahagiaan bukanlah banyaknya harta atau pemenuhan kebutuhan fisik dan biologis itu akan tetapi karena terpenuhinya kebutuhan spiritual yang bercorak religious. Makanya, banyak orang spiritualis yang secara material tidak memenuhi standart kebahagiaan fisikal akan tetapi kebahagiaan justru muncul di dalam kehidupannya. Studi yang dilakukan oleh Chabib Musthofa, tentang “Pengikut Tarekat Syadziliyah” (2016), memberikan gambaran bahwa spiritual wellbeing itu yang menentukan terhadap kebahagiaan seseorang. Semakin tinggi spiritual wellbeingnya maka semakin tinggi pula tingkatan kebahagaiannya.
Di dalam studi kesejahteraan Sosial, maka spiritual wellbeing makin menempati posisi yang penting. Semakin banyak para pakar di bidang ilmu ini yang mengkaji tentang posisi spiritual wellbeing di dalam studi-studi kesejahteraan sosial. Hal ini tentu menggambarkan bahwa dunia spiritualitas semakin bermakna di dalam kajian ilmu sosial.
Yang juga seharusnya menjadi factor penting di dalam mengukur kebahagiaan adalah perasaan cinta. Bukan hanya cinta dalam bentuk relasi gender, akan tetapi cinta dalam konteks kemanusiaan. Cinta yang tumbuh di dalam diri seseorang kepada kehidupan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan kenyamanan fisikal dan spiritual.
Ahli-ahli filsafat kehidupan menyatakan: “dimana ada cinta maka di situ ada kehidupan”. “Cinta bisa menjadikan kita hidup dan membuat kita berani untuk mengarungi kehidupan”. Bahkan Nabi Muhammad, saw menyatakan: “cintailah yang di bumi, maka akan dicintai yang di langit.” Jadi sesungguhnya cinta dapat menggerakkan manusia untuk hidup menjadi lebih bermakna. Hidup menjadi berarti bagi orang lain dan hidup menjadi suka cita.
Bayangkan di dalam peperangan, maka di situ pasti tidak ada cinta yang menghasilkan kebahagiaan. Di dalam peperangan maka yang ada adalah kebencian dan keinginan untuk menghanguskan, menghancurkan dan menihilkan lainnya. Dunia hanya dipilah dalam dua sisi yang sangat ketat dan distingtif. Hitam dan putih. Semua orang yang tidak bersamanya dianggapnya musuh dan mestilah dihancurkan.
Bayangkan kehidupan di Iraq dan Syria, dan daerah lain yang sedang berkecamuk peperangan, maka di situ pasti tidak ada kebahagiaan. Yang ada hanyalah ketakutan dan ketidakpastian. Di dalam setiap peperangan, maka yang ada hanyalah kehancuran fisik dan kehancuran kemanusiaan.
Di dalam konteks ini, maka kebahagiaan sekali lagi merupakan akumulasi dari kebahagiaan fisik dan kebahagiaan spiritual. Jika keduanya ini menyatu di dalam kehidupan, maka dipastikan kebahagaiaan akan datang menjelang.
Wallahu a’lam bi al shawab.
KESEJAHTERAAN LAHIR DAN BATIN ITU BAHAGIA (1)
Saya ingin membahas sekali lagi tentang penjelasan saya pada waktu memberikan arahan di dalam kerangka pemilihan Keluarga Teladan Nasional. Saya sebenarnya gamang juga kala memberikan pengarahan ini, sebab dari sisi usia, pengalaman dan pengabdian kehidupan tentu keluarga-keluarga yang terpilih di dalam ajang kompetisi keluarga sakinah ini sudah tidak diragukan lagi.
Tetapi karena factor struktual, sehingga saya harus berbicara di tengah perhelatan untuk menemukan keluarga teladan tingkat nasional yang memang dilakukan setiap tahun. Saya merasakan bahwa mereka yang hadir sebagai kontestan di dalam ajang kompetisi keluarga sakinah ini merupakan orang yang memang benar-benar menjadi teladan dalam upaya pengembangan masyarakat dalam kapasitasnya masing-masing.
Saya terus terang yang sering melakukan kritik terhadap pengukuran kebahagiaan yang lebih menggunakan ukuran fisikal ketimbang spiritual. Berdasarkan ukuran fisikal itu lalu ditentukan berapa indeks kebahagiaan yang didapatkan oleh keluarga Indonesia. Jadi ukurannya adalah seberapa pencapaian fisikal yang didapatkannya.
Pandangan kebahagiaan dari fisikal adalah tipe pemikiran positifistik yang selalu berproposisi bahwa ukuran untuk menentukan segala sesuatu adalah fisik atau materi dan terukur secara kuantitatif. Melalui pengukuran kuantitatif ini maka akan dikategorikan berapa besaran kebahagiaan yang diperoleh secara makro dan agregat. Dengan demikian, kebahagiaan diukur berdasarkan indikasi-indikasi fisikal atau material yang lebih menggambarkan hal-hal yang bercorak lahiriyah.
Cobalah kita simak beberapa indicator kebahagiaan itu, yaitu: pekerjaan, pendapatan, pendidikan, keadaan rumah tangga, keadaan anak, keamanan lingkungan, hubungan dengan lingkungan sosial, status sosial dan sebagainya. Semua ini merupakan indikasi fisikal seseorang di dalam dunia sosialnya. Dengan kata lain, bahwa kebahagiaan tidak menggambarkan posisi spiritual yang bersangkutan.
Di dalam konsepsi agama, maka kehidupan itu tidak hanya terdiri dari hal-hal yang bercorak fisikal, akan tetapi juga yang bercorak spiritual. Kebahagiaan merupakan perpaduan antara kehidupan fisikal dan spiritual itu. Makanya, di dalam banyak hal, banyak orang kaya tetapi hidupnya tidak menyenangkan, terpuruk bahkan berbunuh diri. Ada banyak orang yang secara sosial sangat berpengaruh, tetapi jiwanya kosong tidak berisi. Sementara ada orang yang secara material mestinya jauh dari kata bahagia, akan tetapi mereka merasakan kehidupannya yang cukup.
Lalu, pertanyaannya apakah ukuran fisikal itu relevan untuk mengukur kebahagiaan. Jawabannya tidak cukup. Saya kira Rudolf Wage Soepratman sangat bagus menciptakan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dengan baitu “bangunlah Jiwanya, Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.” Lagu yang sangat indah dalam kerangka memberikan arahan tentang pembangunan di Indonesia. Kita tidak boleh terlena hanya membangun fisiknya saja akan tetapi juga membangun rohani atau jiwanya.
Islam mengajarkan bahwa harus ada keseimbangan antara dunia fisik dan spiritual. Ada banyak ayat dan hadits Nabi Muhammad saw yang mengajarkan tentang hal ini. Islam sangat mengajarkan tentang ketentraman batin atau keselamatan batin. Ketenangan batin bukan ditentukan oleh banyaknya finansial yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi ditentukan oleh sebarapa yang bersangkutan ingat atau dzikir kepada Tuhannya. Dzikir merupakan instrument untuk memenuhi gelegak spiritualitas yang diperlukan oleh manusia. Manusia bukan hanya makhluk fisik tetapi juga makhluk rohani.
Manusia adalah eksistensi ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Makanya, manusia selalu berada di dalam kerinduannya dengan Tuhannya itu. Jika ada manusia yang sama sekali tidak pernah mengingat Tuhannya, maka sebenarnya hal itu merupakan pengingkarab terhadap eksistensinya sendiri. Saya berkeyakinan bahwa di saat berada di dalam kesendirian, kesepian atau dalam nuansa krisis yang sangat berat, maka manusia akan merasakan betapa kecil dirinya itu dibandingkan dengan dunia yang luas. Di saat itulah maka manusia akan mengingat penciptanya atau Tuhannya.
Orang yang mengingkari keberadaan Tuhan saya kira sungguh keterlaluan. Berdasarkan penelitian-penelitian psikhologi, bahwa orang sedang berada di dalam kesulitan makin banyak menyebut nama Tuhan. Artinya, bahwa mereka ingin menghadirkan Tuhan dan memberikan pertolongannya. Jadi, sebenarnya eksistensi Ruh Tuhan di dalam dirinya dalam bentuk nilai spiritual itu ingin dibangkitkannya.
Dengan demikian, untuk mengindikasikan kebahagiaan yang juga penting adalah bagaimana harus ada ukuran tentang kesejahteraan lahir dan batin. Tugas ilmuwan adalah menemukan indicator kebahagian yang lebih komprehensif.
Wallahu a’lam bi al shawab.