KESEJAHTERAAN LAHIR DAN BATIN ITU KEBAHAGIAAN (2)
KESEJAHTERAAN LAHIR DAN BATIN ITU KEBAHAGIAAN (2)
Indicator kebahagiaan yang lebih bercorak fisikal tentu berakibat kepada tidak masuknya orang-orang yang secara fisikal-material tidak memenuhi syarat untuk berposisi bahagia. Mereka pasti akan tersisih disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi untuk tergabung di dalam club bahagia.
Menjadi bahagia dalam konsepsi ini berarti harus memiliki sejumlah persyaratan fisikal-material. Jika tidak dimilikinya maka dipastikan bahwa yang bersangkutan akan tercerabut dari daftar orang bahagia. Inilah yang menurut saya agak mengandung “bias” sebab tidak selamanya orang yang mampu secara ekonomi mesti bahagia. Banyak di antaranya yang justru “lonely in the crowd”.
Jika dianalisis, maka beberapa variabelnya tentu terkait dengan kehidupan ekonomi seseorang, misalnya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pendapatan dan pengeluaran, jumlah anak, jumlah keluarga, semuanya adalah variabel-variabel ekonomi yang dominan. Sedangkan variabel keamanan lingkungan, keadaan keluarga, kenyamanan di dalam lingkungan sosial dan sebagainya menggambarkan tentang aspek fisik dan kejiwaan. Orang yang hidup di dalam limgkungan yang nyaman dan aman tentu secara fisik dan psikhis menjadi tenang.
Di dalam konteks kebahagiaan, maka yang tidak kalah menarik adalah ketenangan batin yang tidak hanya terkait dengan ketenangan jiwa saja akan tetapi ketenangan spiritual karena telah berhubungan dengan kekuatan Adi Kodrati yang Maha Agung. Orang yang berada di dalam level ini, maka kekayaan, keadaan lingkungan dan kenyamanan duniawi tidak menjadi problem utama. Bukannya mereka escape dari kehidupan duniawi akan tetapi batinnya tidak terpengaruh oleh hal-hal yang duniawi tersebut.
Mari kita simak pernyataan Syekh Hasan Syadzili yang menyatakan bahwa “kekayaan merupakan jalan terdekat untuk sampai kepada Tuhan”. Jadi orang yang sudah trans-materi justru menjadikan harta sebagai sarana pengabdian kepada Allah. Harta bukan untuk dirinya tetapi untuk Allah. Orang yang seperti ini beranggapan bahwa harta itu milik Allah, sehingga akan kembali kepada Allah saja. Makanya, harta itu lalu digunakan untuk mengabdi kepada kemanusiaan dan Ketuhanan. Karena hatinya tidak tertambat sedikitpun kepada harta yang dimilikinya, maka harta itu lalu digunakan untuk berjuang fi sabilillah.
Ukuran kebahagiaan bukanlah banyaknya harta atau pemenuhan kebutuhan fisik dan biologis itu akan tetapi karena terpenuhinya kebutuhan spiritual yang bercorak religious. Makanya, banyak orang spiritualis yang secara material tidak memenuhi standart kebahagiaan fisikal akan tetapi kebahagiaan justru muncul di dalam kehidupannya. Studi yang dilakukan oleh Chabib Musthofa, tentang “Pengikut Tarekat Syadziliyah” (2016), memberikan gambaran bahwa spiritual wellbeing itu yang menentukan terhadap kebahagiaan seseorang. Semakin tinggi spiritual wellbeingnya maka semakin tinggi pula tingkatan kebahagaiannya.
Di dalam studi kesejahteraan Sosial, maka spiritual wellbeing makin menempati posisi yang penting. Semakin banyak para pakar di bidang ilmu ini yang mengkaji tentang posisi spiritual wellbeing di dalam studi-studi kesejahteraan sosial. Hal ini tentu menggambarkan bahwa dunia spiritualitas semakin bermakna di dalam kajian ilmu sosial.
Yang juga seharusnya menjadi factor penting di dalam mengukur kebahagiaan adalah perasaan cinta. Bukan hanya cinta dalam bentuk relasi gender, akan tetapi cinta dalam konteks kemanusiaan. Cinta yang tumbuh di dalam diri seseorang kepada kehidupan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan kenyamanan fisikal dan spiritual.
Ahli-ahli filsafat kehidupan menyatakan: “dimana ada cinta maka di situ ada kehidupan”. “Cinta bisa menjadikan kita hidup dan membuat kita berani untuk mengarungi kehidupan”. Bahkan Nabi Muhammad, saw menyatakan: “cintailah yang di bumi, maka akan dicintai yang di langit.” Jadi sesungguhnya cinta dapat menggerakkan manusia untuk hidup menjadi lebih bermakna. Hidup menjadi berarti bagi orang lain dan hidup menjadi suka cita.
Bayangkan di dalam peperangan, maka di situ pasti tidak ada cinta yang menghasilkan kebahagiaan. Di dalam peperangan maka yang ada adalah kebencian dan keinginan untuk menghanguskan, menghancurkan dan menihilkan lainnya. Dunia hanya dipilah dalam dua sisi yang sangat ketat dan distingtif. Hitam dan putih. Semua orang yang tidak bersamanya dianggapnya musuh dan mestilah dihancurkan.
Bayangkan kehidupan di Iraq dan Syria, dan daerah lain yang sedang berkecamuk peperangan, maka di situ pasti tidak ada kebahagiaan. Yang ada hanyalah ketakutan dan ketidakpastian. Di dalam setiap peperangan, maka yang ada hanyalah kehancuran fisik dan kehancuran kemanusiaan.
Di dalam konteks ini, maka kebahagiaan sekali lagi merupakan akumulasi dari kebahagiaan fisik dan kebahagiaan spiritual. Jika keduanya ini menyatu di dalam kehidupan, maka dipastikan kebahagaiaan akan datang menjelang.
Wallahu a’lam bi al shawab.
