• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (3)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (3)
Di masa lalu, radikalisme di kalangan anak-anak muda selalu dikaitkan dengan perguruan tinggi umum. Jadi yang dilabelkan dengan radikalisme agama adalah program studi eksakta yang kebanyakan memang di perguruan tinggi umum. Dahulu radikalisme tidak dikaitkan dengan perguruan tinggi agama. Khususnya perguruan tinggi Islam.
Namun demikian fakta tersebut tidak sesederhana itu. Ada kompleksitas di dalam keterlibatan anak-anak muda terkait dengan radikalisme. Hal ini tentu terkait dengan keberadaan gerakan radikalisme yang menyeruak di beberapa perguruan tinggi agama. Sungguh bahwa kekerasan atas nama agama menjadi fenomena baru di kalangan PTA.
Berdasarkan penelitian yang dirilis oleh Lembaga Penelitian di UIN Jakarta (2011), diketahui bahwa survey dengan sampel mahasiswa dari UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Makassar, UIN Surabaya, UIN Bandung, UIN Sumatera Utara, IAIN Padang, tentang jihad menggunakan kekerasan, maka 26,7 persen menyatakan setuju, 68,4 persen menyatakan tidak setuju dan 4,9 persen tidak punya sikap.
Hasil penelitian ini sekaligus memberikan gambaran bahwa potensi radikalisme agama itu sudah menjadi kenyataan di perguruan tinggi Islam. Itulah yang saya nyatakan bahwa radikalisme sudah tidak lagi bisa dikategorisasikan berbasis pada perguruan tinggi agama dan non-agama. Artinya, jika kita hanya menggunakan patokan jenis perguruan tinggi, maka pemikiran tentang dikhotomi PTA dengan PTU untuk masalah radikalisme tidak menjadi jaminan. Maknanya bahwa PTA sudah tidak lagi bisa dijadikan sebagai referensi untuk menyatakan ketiadaan radikalisme di tempat tersebut.
Memang harus diakui bahwa dengan dibukanya program studi umum di PTA, maka memungkinkan sumber mahasiswa tidak hanya datang dari pesantren. Dengan dibukanya program studi umum, seperti Ilmu Sosial, Sains dan Teknologi, maka sumber mahasiswa bisa berasal dari SMA atau SMK selain dari MAN atau MAS. Ada varian sumber mahasiswa yang bisa menjadi variabel penjelas tentang besaran persentase dukungan jihad dengan kekerasan.
Di masa lalu, kala hanya ada program studi keislaman, maka potensi sumber daya mahasiswa berasal kebanyakan dari Madrasah Aliyah Negeri atau Swasta baik yang berada di pesantren atau non pesantren. Saya meyakini bahwa era itu, pesantren menjadi tempat paling steril dari faham radikalisme, demikian pula madrasah Aliyahnya. Namun di era sekarang tentu banyak hal yang tidak bisa dijamin kenetralannya dari faham radikalisme.
Secara empiris memang bisa dijelaskan bahwa penganut faham radikalisme memang semakin muda. Jika di masa lalu yang terlibat di dalam gerakan radikalisme kebanyakan berusia di atas rata-rata 30 tahun, namun dewasa ini justru terjadi sebaliknya. Survey yang dilakukan oleh Setara Institut, 2016, menggambarkan bahwa tingkat toleransi pada siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung Raya dengan responden sebanyak 760 orang, mempresentasikan sebanyak 61 persen bersikap toleran, 35,7 persen intoleran pasif, 2,4 persen intoleran aktif/radikal dan 0,3 persen berpotensi sebagai teroris.
Sungguh merupakan angka yang menyedihkan sebab potensi radikalisme itu nyata ada di sekolah menengah kita, bahkan sekolah negeri. Gambaran yang seharusnya membuat dahi kita berkernyit sebab angka yang berpotensi radikal di atas 30 persen. Meskipun kita tidak ingin melakukan generalisasi, akan tetapi angka ini seirama dengan hasil penelitian sebelumnya yang juga menggambarkan bahwa potensi radikalisme di kalangan PTA juga cukup besar. Jadi sudah saatnya semua berpikir bahwa radikalisme bukan hanya ada di dalam mimpi tetapi sudah menjadi kenyataan.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Wahid Foundation (2016) juga menghasilkan kesimpulan bahwa 72 persen masyarakat Muslim menolak tindakan radikalisme, 7,7 persen menyatakan bersedia berpartisipasi dalam tindakam yang berpotensi kekerasan dan 0,4 persen pernah berpartisipasi dalam tindakan yang berpotensi kekerasan atas nama agama.
Tanpa ada keinginan untuk membuat generalisasi, maka angka 7,6 persen dan angka 0,4 persen yang bersedia ikut di dalam gerakan kekerasan dan bahkan pernah mengalami atau teribat di dalam kekerasan atas nama agama tentu juga menjadi variabel penting untuk dipikirkan. Jadi, kekerasan sudah menjadi bagian di dalam kehidupan keberagamaan di sekeliling kita.
Menilik angka-angka ini, maka sesungguhnya ada pekerjaan rumah yang sangat mendasar bagi kita, selaku warga Negara Indonesia, yaitu: apakah kita akan membiarkan Negara kita tercabik-cabik oleh berbagai kekerasan atas nama agama, atau kita harus menghalangi terhadap potensi itu. Bahkan kita harus melakukan upaya optimal untuk mencegah terhadap potensi kekerasan tersebut menjadi kenyataan empiris.
Itulah sebabnya, selalu saya nyatakan bahwa semua elemen bangsa Indonesia yang di dalam dadanya masih ada semangat persatuan dan kesatuan bangsa di dalam wadah NKRI, yang berdasarkan atas Pancasila sebagai dasar Negara serta kemauan untuk menjadikan UUD 1945 sebagai landasan yuridis bagi bangsa Indonesia, maka tidak ada kata lain kecuali semuanya harus bersatu padu melawan gerakan kekerasan atas nama agama.
Jadi, tugas ini bukan hanya kewajiban Negara dan pamerintah, akan tetapi juga sesungguhnya merupakan tugas segenap anak bangsa. Keberlangsungan Negara Indonesia tentu berada di tangan kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (2)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (2)
Masih ingat sama Ivan Armadi Hasugian, anak Medan usia 17 tahun yang akan melakukan bom bunuh diri di gereja di Medan Sumatera Utara. Tentu semua masih ingat. Bukankah hal itu baru saja terjadi beberapa saat yang lalu, dan rasanya informasi itu masih terngiang di telinga kita.
Anak muda yang benar-benar nekad, sebab di kala usahanya untuk melakukan bom bunuh diri di gereja tersebut gagal, maka dia juga melakukan upaya untuk membunuh Pastor Albert S Pandiangan yang kala itu sedang memimpin ibadah. Sungguh merupakan tindakan yang sangat nekad di usianya yang masih sangat muda. Rasanya, kita yang sudah berusia di atas 50-an ini tidak bisa memahami bagaimana anak muda itu melakukan tindakan yang bagi sebagian orang hanya bisa dilakukan oleh orang yang “tertekan” kejiwaannya dengan luar biasa dan salah satu di antara penyelesaiannya adalah melalui bunuh diri.
Tindakan bunuh diri memang bukan sesuatu yang aneh di dalam jagat relasi agama-agama atau di dalam dunia kekuasaan. Ada banyak kasus yang terkait dengan tindakan bunuh diri tersebut. Masih ingat dengan beberapa catatan tentang bunuh diri di Mapolres Solo, lalu bom bunuh diri di Pusat pertokoan Sarinah dan juga kasus WTC di Washington. Semua itu dilakukan atas nama relasi agama-agama dan juga kekuasaan.
Bunuh diri di dalam literature Ilmu Sosial misalnya dikenalkan oleh Emile Durkheim, yang mengkaji bunuh diri di kalangan masyarakat Eropa kala itu. Ada yang disebut sebagai bunuh diri altruistik da nada yang disebut bunuh diri egoistik. Bunuh diri altruistik dilakukan biasanya terkait dengan upaya sekelompok tertentu untuk melakukan perubahan seperti yang diinginkannya. Misalnya untuk membela keyakinan, solidaritas penderitaan, atau tujuan untuk mempertahankan keyakinan dan sebagainya.
Di dalam konteks ini, maka bunuh diri yang dilakukan oleh kaum radikalis termasuk jenis bunuh diri altruistic yang dilakukan untuk membela keyakinan. Bagi mereka ini bunuh diri sama dengan jihad membela agama Allah. Makanya, di antara mereka berkeyakinan bahwa begitu bom meletus dan tubuhnya hancur berantakan dan meninggal seketika, maka dia sudah dijemput oleh para bidadari dari surga yang akan mengantarkannya ke surganya Allah.
Mereka yang berpaham seperti ini, maka jihad artinya hanya perang dan perang. Tidak ada arti lainnya. Makanya, mereka hanya menginginkan mati atau tujuannya tercapai. “isy kariman auw mut syahidan”. Berdasar atas dalil ini, maka bunuh diri untuk mencapai tujuan bersama di kalangan mereka menjadi absah adanya. Dengan demikian, dalil lain terkait dengan jihad tentu tidak ada maknanya. Bagi mereka jihad hanya berarti perang. Bagi mereka untuk masuk surga harus dilaluinya dengan jihad dan itu artinya perang offensive. Harus melawan musuhnya meskipun dengan pisau dapur sekalipun.
Ivan adalah contoh jhad yang diajarkan oleh kelompok ekstrimis ini. Makanya kala bom yang digunakan tidak bisa meledak dan hanya mengeluarkan asap saja, maka yang penting harus melawan, dan yang dijadikan sasaran adalah Pendeta yang memimpin persembahyangan tersebut. Meskipun hanya dengan pisau, maka perlawanan harus dilakukan. Semua upaya harus dilakukan untuk menunjukkan kuatnya keyakinan tentang kesyahidan yang diimpikan.
Dewasa ini memang terdapat perubahan mendasar terkait dengan terorisme. Data yang diungkapkan oleh Kepala BNPT, Suhardi Alius, menyatakan bahwa telah terjadi perubahan perilaku teroris. Jika di masa lalu teroris itu identic dengan orang yang terpinggirkan, putus asa, miskin, dan tidak ada harapan lagi menghadapi kehidupan ini, maka dewasa ini bergeser kepada yang lebih intelektual, akademisi bahkan kaum birokrat.
Berdasarkan laporan itu dinyatakan bahwa ada seorang direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Pengusahaan Batam, Dwi Djoko Wiwoho yang beserta anak dan istrinya bergabung dengan ISIS. Joko meminta kepada atasannya melalui SMS, untuk memberitahukan kepada orang tuanya bahwa ia akan berhijrah dan bergabung dengan Daulah Islamiyah di Iraq.
Ini hanya sebuah contoh bahwa gerakan terorisme sudah memasuki orang-orang yang secara ekonomi mapan dan memiliki jabatan yang sangat baik untuk bergabung dengan kelompok ISIS. Yang seperti Djoko tentu lebih dari satu. Artinya, bahwa virus radikalisme memang benar-benar sudah memasuki tahapan serius untuk ditangani.
Dan sebagaimana pernyataan, Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, bahwa TNI belum bisa berbuat maksimal untuk terlibat menangani terorisme bukan karena ketidaksadaran akan bahaya radikalisme, akan tetapi karena regulasi yang mengatur hal ini tidak memberikan dukungan untuk melakukannya.
Nah, di tengah kesadaran yang makin membuncah ini apakah kita akan terus larut untuk tidak berbuat dalam kerangka merumuskan atau merevisi UU Terorisme, maka jawabannya tentu kepada para pengambil kebijakan di legislative. Jika pemerintah dengan berbagai upaya sudah melakukannya, maka gilirannya tentu di DPR lah semua harus bermuara. Jika tidak melakukannya, maka kita akan melihat Indonesia ke depan bukan dengan muka tersenyum tetapi dengan hati yang bermuram durja.
Wallahu a’lam bi al shawab.

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (1)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (1)
Sebagaimana diungkapkan oleh kebanyakan ahli di bidang ilmu sosial, bahwa Indonesia merupakan lahan subur bagi pertumbuhan semua aliran atau sekte atau paham keyakinan atau keagamaan apapun yang datang kepadanya. Secara historis pandangan ini bisa dibenarkan, sebab memang Indonesia bisa menjadi multi keyakinan dan agama ini disebabkan oleh sikap “menerima” masyarakat Indonesia terhadap berbagai keyakinan.
Jika kemudian sekarang menjadi tempat persemaian berbagai macam paham keagamaan, tentu tidak lepas dari kesiapan masyarakat kita untuk menerimanya. Berbagai aliran baru, seperti gerakan radikalisme atau fundamentalisme yang terus menggerus keyakinan beragama Islam atau lainnya dari arus tengah, maka hakikatnya tentu tidak terlepas dari prinsip “menerima” apapun yang datang kepadanya itu.
Sebagai contoh, Hizbut Tahrir yang dilarang di negeri asalnya, di Timur Tengah, kemudian laris manis di sini hanya dengan menambahkan kata Indonesia. Jadi yang semula Hizbut Tahrir lalu menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di negeri asalnya, Hizbut Tahrir dilarang karena pandangan politiknya yang berbeda dengan pemerintah. Keinginannya untuk mendirikan negara sesuai dengan prinsipnya itu yang kemudian memantik reaksi pemerintah dan masyarakat di Libanon untuk menolaknya dan membreidelnya.
Namun di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memasuki kawasan baru yang menjanjikan. Dengan memasuki dunia kampus, yang notabene merupakan tempat untuk mendidik calon pemimpin masa depan dan pemimpin bangsa, maka HTI lalu mengepakkan sayapnya sedemikian rupa. Dengan metode yang amat canggih dan nyaris tidak dimiliki oleh organisasi ekstra kampus lainnya, maka HTI menggemakan konsep “Islam Kaffah”, “khilafah Islamiyah”, “Islam Paripurna”, Islam Syumuliyah” dan sebagainya yang kemudian menjadi daya pikat luar biasa di kalangan para mahasiswa.
Mereka menyasar di berbagai masjid kampus, dengan menguasai SDM masjid kampus, dan kemudian menjadikan masjid sebagai basis gerakannya, sehingga tempat paling strategis itu dikuasainya. Sementara itu, organisasi yang mengusung basis Keislaman, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Pemuda Anshar, Ikatan Pemuda Muhammadiyah dan sebagainya justru keluar ring atau berada di luar. Akibatnya, potensi anak-anak muda itu dibina dan dididik oleh aktivis masjid kampus yang kebanyakan atau bahkan seluruhnya merupakan aktivis HTI, KAMMI atau organisasi Islam senafas lainnya.
Mereka, para aktivis HTI, KAMMI dan sebagainya juga menguasai pesantren-pesantren kampus. Lembaga asrama mahasiswa ini menjadi ajang bagi proses indoktrinasi yang sangat strategis untuk menyebarkan ajaran dan faham keagamaan yang diyakininya itu. Itulah sebabnya semakin banyak elemen mahasiswa yang menjadi aktivis atau sekurang-kurangnya pendukung terhadap gerakan khilafah dan sebagainya.
Ini merupakan kenyataan dan bukan lagi impian. Oleh karena itu jika kemudian banyak anak-anak pintar di perguruan tinggi yang terlibat di dalam organisasi ini, maka hal ini tentu disebabkan strategi perjuangan mereka yang memang hebat. Dengan menjadikan anak-anak muda yang pintar di berbagai lembaga pendidikan tinggi sebagai simpatisan atau aktivis, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan memperoleh amunisi baru yang hebat dengan semangat luar biasa. Strategi menempatkan sasarannya pada anak-anak muda yang ke depan akan menjadi penggerak bangsa ini, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan menangguk keuntungan yang sangat tinggi. Di satu sisi akan diperoleh agen-agen fundamental yang militant dan di satu sisi akan didapatkan sumber potensi di lembaga pemerintah yang sangat baik. Dengan demiian, dua keuntungan yang sekaligus bisa dipanen dari strategi jitu yang diterapkannya.
Bukannya para aparat pemerintah tidak sadar akan hal ini, akan tetapi tentu ada kegamangan di dalam melakukan tindakan melawannya. Sering mereka (kaum HTI, KAMMI dan sebagainya) juga menggunakan HAM untuk melawan aparat pemerintah, tetapi di sisi lain mereka menolak HAM yang dianggapnya tidak bersumber dari ajaran agama dan berasal dari dunia Barat.
Kegamangan itu tentu terkait dengan ketiadaan regulasi yang bisa dijadikan untuk mementahkan strategi pergerakan radikalisme atau fundamentalisme untuk terus melakukan maneuver dalam rangka merekrut dan melakukan gerakan kekerasan. Makanya, jika diketahui bahwa upaya untuk meredam radikalisme seakan berjalan di tempat tentu tidak lain adalah karena ketiadaan regulasi ini.
Jadi, dengan dalih apapun seharusnya Undang-Undang Terorisme harus dilahirkan di tengah berbagai gerakan terror dan kekerasan yang tidak dapat disangka-sangka kapan akan terjadi. Oleh karena itu, rasanya masyarakatlah yang harus melakukan upaya deteksi dini agar mereka merasa terus barada di dalam pengawasan masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGELOLA HAJI BAGI KEMENTERIAN AGAMA (3)

MENGELOLA HAJI BAGI KEMENTERIAN AGAMA (3)
Pemberitaan yang sungguh bisa merugikan orang lain tentu harus dihindari. Apalagi jika berita itu tidak jelas sumber dan faktanya. Di Indonesia seirama dengan kebebasan pers yang dikembangkannya, maka semua bisa diberitakan bahkan yang berindikasi hate speech sekalipun.
Di antara yang saya kira mengandung “prinsip hate speech adalah informasi yang bisa mencederai orang lain, kelompok atau masyarakat tertentu.” Jika berita itu menimbulkan perasaan tidak nyaman atau mengandung kebencian, maka dipastikan bahwa itulah yang disebut sebagai hate speech.
Coba kita check pemberitaan di media sosial terkait dengan haji, adakah di sana sebuah informasi yang bisa membuat perasaan tidak nyaman bagi seseorang atau sekelompok orang atau masyarakat tertentu. Dengan menggunakan analisis content, maka kiranya bisa dipahami bahwa ada paragraph di dalam pemberitaan yang bisa melukai perasaan orang.
Di dalam pemberitaan tentang jamaah haji Indonesia yang akan menggunakan visa Filipina disebutkan bahwa biro perjalanannya adalah adik pejabat tinggi Kemenag pusat sehingga harus diurus tuntas. Bahkan juga disebutkan secara jelas, nama dan jabatannya. Pertanyaannya adalah apakah jabatan dan nama yang bersangkutan terkait dengan penyelewengan tindakan pemilik trave Awlad Amin. Akibatnya, masyarakat lalu menghukum secara sosial terhadap pejabat ini.
Padahal senyatanya sama sekali tidak ada keterkaitan antara jabatan Dirjen Pendidikan Islam dengan pemilik travel Awlad Amin di dalam urusan penyelewengan travel ini. Sungguh inilah yang disebut sebagai pers tidak menggunakan asas “praduga tidak bersalah”. Melalui pemberitaan ini, maka Dirjen Pendidikan Islam itu sudah merasa dihukumi dengan hukuman yang riil. Sesuai dengan pengakuannya, bahwa “rasanya semua orang sudah menghukum saya bahwa saya terlibat di dalam urusan travel ini. Padahal sama sekali tidak ada keterkaitan bisnis ini dengan saya baik secara personal maupun jabatan”. Demikian Beliau mengeluh kepada saya.
Apalagi berita-berita itu menggunakan sumber berita para pejabat negara dan pejabat tinggi negara yang secara otoritatif sering menyuarakan kepentingan rakyat. Makanya ketika mereka berkomentar tentang “seakan” ada keterkaitan di antara pejabat dan pengusaha travel, maka hukuman itu terasa sudah dijatuhkan kepadanya. Trial by press sudah berlangsung di saat berita tersebut tersebar.
Dengan demikian, pemberitaan haji yang memang sangat sensitive dan seksi tersebut seakan memperoleh momentumnya. Semua yang terkait dengan tindakan oknum baik pihak swasta maupun lainnya, maka dipastikan pers akan menyebut bahwa Kemenag tidak layak menyelenggarakan ibadah haji atau disebutkan sebagai mismanejemen. Alih-alih memberikan solusi yang cerdas, akan tetapi kenyataannya lebih merupakan upaya untuk mendegradasi peran Kemenag di dalam upaya perbaikan system dan manajemen perhajian.
Pers sepertinya memang by agenda setting selalu berada di dalam konteks “menguliti” penyelenggaraan haji melalui Kemenag. Selalu menjadi agenda di media tentang berita-berita yang mengandung kekurangan dan jarang memberitakan aspek positif haji. Seakan kesalahan itu adalah wujud tidak becusnya Kemenag menyelenggarakan ibadah haji.
Jika dirunut sesungguhnya bahwa penyelenggaraan haji oleh pemerintah (baca Kemenag) merupakan respon positif setelah di era lalu haji diselenggarakan oleh biro perjalanan haji. Ada banyak masalah yang kemudian mengharuskan negara terlibat di dalam penyelenggaraan haji.
Secara historis, bahwa penyelenggaraan haji semula dilaksanakan oleh pihak swasta, namun karena banyaknya masalah yang terjadi di seputar penyelenggaraan haji, maka pemerintah mengambil alih penyelenggaraannya melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2008. Tegas dinyatakan bahwa tugas menyelenggarakan haji adalah pemerintah yang kewenangannya diberikan kepada Kementerian Agama.
Oleh karena itu, semua hal yang terkait dengan penyelenggaraan haji haruslah berada di dalam otoritas Kemenag. Jika kemudian ada pihak lain yang dengan “keberaniannya” mengirimkan jamaah haji ke Tanah Suci Makkah al Mukarramah, maka hal itu jelas-jelas melawan hukum. Dan jika ini terjadi, maka kewenangan menyelesaikannya bukan di Kemenag tetapi di pihak berwajib.
Dan jika yang bersangkutan telah berada di luar negeri, seperti kasus Jemaah Umrah yang terlantar di Thailand atau Arab Saudi, maka yang menyelesaikannya adalah Kemenlu dan otoritas Kedutaan Besar Indonesia di negara dimaksud.
Jika Kemenag, misalnya mengirimkan delegasi seperti kasus 177 calon Jemaah haji yang akan berangkat ke Arab Saudi melalui Filipina, maka hal ini hanyalah factor fasilitasi karena panggilan peran yang sesungguhnya bukan tupoksinya.
Di sinilah kebijakan itu dirumuskan dan seharusnya tindakan ini memperoleh penghargaan dan bukan celaan demi celaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGELOLA HAJI BAGI KEMENTERIAN AGAMA (2)

MENGELOLA HAJI BAGI KEMENTERIAN AGAMA (2)
Ada banyak berita yang terkadang tidak tepat terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Ada banyak bias terkait dengan berbagai tebaran informasi itu. Satu contoh terakhir tentang berita sejumlah WNI yang terdampar di Filipina terkait dengan ibadah haji. Sebanyak 177 orang WNI yang akan berangkat haji ke Tanah Suci melalui Filipina.
Melalui content analysis, maka sebenarnya pemberitaan tersebut kurang tepat, sebab kepergian mereka ini tanpa sengetahuan Kementerian Agama (Kemenag) dan keberangkatan mereka ke Arab Saudi tentu bukan menjadi domain Kemenag untuk mengurusnya. Namun demikian, karena kepergian mereka ke tanah Suci untuk urusan haji, maka semua mata ditujukan untuk melihat Kemenag. Dianggapnya bahwa semua ini adalah kewenangan Kemenag untuk mengurusnya.
Pemberitaan tersebut kebanyakan bias, sebab sesungguhnya yang melakukan tindakan tersebut bukan Kemenag dan bahkan bukan oknum Kemenag. Mereka adalah orang swasta yang memang bekerja di sector tour and travel, dan bukan travel yang berizin untuk mengelola jamaah haji. Jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Kemenag dalam urusan penyelenggaraan haji.
Pemberitaan terlanjur menempatkan Kemenag sebagai subyek tentang penyelenggraan haji, sehingga semua hal yang ada urusannya dengan haji maka dianggapnya sebagai kewenangan Kemenag. Dengan demikian, meskipun urusan tersebut merupakan urusan pihak swasta (pihak tour and travel), akan tetapi sudah terlanjur labeling haji melekat ke Kemenag, maka Kemenaglah yang dianggapnya lalai. Oleh karena itu, selama ada kata “haji”, maka semuanya menjadi domain Kemenag. Demikianlah logika yang berkembang di masyarakat dan para pengamat di negeri ini.
Bahkan dalam suatu pemberitaan, seorang petinggi parlemen, juga secara to the point menganggap bahwa hal ini sebagai kelalaian Kemenag. Meskipun Menteri Agama sudah berupaya secara maksimal, akan tetapi ada saja oknum yang melakukan penyelewengan penyelenggaraan haji. Begitu isi pemberitaan itu. Pemberitaan ini tentu saja tidak didasari oleh fakta empiris, bahwa mereka yang berangkat ke Filipina menggunakan passport bukan passport haji yang dikeluarkan oleh otoritas haji untuk jamaah haji Indonesia.
Seharusnya setiap pemberitaan didasarkan atas fakta yang benar. Bukan didasarkan atas asumsi yang kebenarannya masih dipertanyakan. Jadi, setiap informasi yang dipublish haruslah memenuhi unsur pemberitaan yang benar. Harus jelas bagaimana dan apa faktanya dan bukan didasarkan atas interest tertentu. Berita harus dirumuskan untuk membangun opini berbasis pada fakta empirisnya.
Memang ada kecenderungan bahwa setiap pemberitaan selalu terjadi sesuatu yang hiperbolik, sehingga realitas empirisnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan pemberitaannya. Inilah kecenderungan media dewasa ini. Sesuatu yang diberitakan haruslah memenuhi prinsip eye catcher, sehingga haruslah diperbesar beritanya sehingga seakan-akan menjadi fakta yang sesungguhnya.
Dalam kasus jamaah haji yang akan berangkat ke Arab Saudi melalui Filipina, maka sesungguhnya merupakan peristiwa yang terjadi secara accident. Sebanyak delapan biro tour and travel yang ketepatan tidak memiliki izin mengirimkan jamaah haji, lalu menjalin kerja sama dengan biro travel haji dan umrah di Filipina, lalu ternyata menimbulkan masalah. Jadi yang menjadi penanggungjawab terhadap pengiriman jamaah haji ini sama sekali bukan pemerintah, khususnya Kemenag, akan tetapi pihak swasta yang secara nekad mengirimkan Jemaah haji melalui negara lain.
Jadi seharusnya dipahami bahwa yang melalukan kesalahan karena mengirimkan Jemaah haji illegal adalah para biro tour dan travel yang bekerja sama dengan biro tour dan travel Filipina.
Perkara ini, sebagaimana pernyataan Menteri Agama, bukanlah domain Kemenag untuk menyelesaikannya, sebab memang di luar urusan Kemenag, akan tetapi domain pengusaha tour and travel yang nakal tersebut. Jadi yang harus menyelesaikan adalah pihak berwajib. Kemenag bersama Kemenlu hanya akan memfasilitasi pemulangan yang bersangkutan sesuai dengan kerangka hubungan bilateral antara Filipina dan Indonesia.
Sejauh yang bisa dilakukan oleh Kemenag adalah mencabut izin operasional andaikan biro perjalanan dan travel tersebut sudah mengantongi izin dari Kemenag. Akan tetapi karena mereka tidak berizin, maka penyelesaian kasus ini bukanlah berada di dalam kewenangan Kemenag.
Jadi ketika sebagian berita di media sosial menghujat Kemenag, sebagai institusi yang bertanggungjawab terhadap perkara 177 orang Indonesia yang merencanakan menjadi jemaah haji yang akan lewat Filipina agar bisa pergi ke Arab Saudi, maka hal ini tentu sebuah pemberitaan yang tidak berdasar.
Jadi memang diperlukan check and recheck terhadap informasi yang akan diberitakan sehingga kaidah fit to publish akan bisa dipenuhi. Semua memang harus arif di dalam menanggapi masalah biar tidak ada pihak yang dirugikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.