• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JAGA KEWIBAWAAN PENDIDIKAN DI PTKIN

JAGA KEWIBAWAAN PENDIDIKAN DI PTKIN
Saya berkesempatan untuk menghadiri acara yang diselenggarakan dalam rangka “Taaruf Mahasiswa Baru” IAIN Raden Intan Lampung, 13/09/2016. Acara ini dihadiri oleh Rektor IAIN Raden Intan Lampung, Prof. Dr. Moh. Mukri, para Wakil rector dan juga para dekan dan wakil dekan, serta beberapa pejabat dari Kepolisian Daerah Lampung, dan mahasiswa baru, sebanyak 5119 orang.
Saya merasa senang melihat perkembangan IAIN Raden Intan Lampung yang semakin menggeliat akhir-akhir ini. Sebentar lagi akan berubah statusnya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dan juga akan menyelesaikan beberapa bangunan fisik dan masjid. Untuk bangunan fisik ruang kuliah memang didapatkan anggarannya dari SBSN, dan untuk pembangunan masjidnya diperoleh dana dari masyarakat. Tidak serupiah pun anggaran pemerintah yang digunakan untuk membangun masjid ini.
Pembangunan masjid ini memang mengusung ide besar. Yaitu membangun masjid termegah dan terbesar di PTKIN dan juga di Lampung. Masjid ini benar-benar didesain dengan cita-cita besar. Misalnya bisa dilihat dari marmer untuk pilarnya yang harus didatangkan dari India, demikian pula kubah besarnya yang diinspirasikan dari masjid Biru di Turki. Jika selesai, maka plafon masjid ini juga akan dihiasi dengan ornament yang indah yang menggambarkan inspirasi keislaman, keindonesiaan dan lokalitas. Yang tentu perlu dicatat dengan tebal adalah tentang biaya yang diperkirakan senilai 40 milyar rupiah dan anggaran itu didapatkan dari donatur lembaga bisnis, masyarakat di Lampung dan lainnya.
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan taushiyah bagi mahasiswa baru di IAIN Lampung. Dan sebagaimana biasanya, maka saya selalu memberikan penjelasan tiga hal yang saya rasa penting untuk dikemukakan.
Pertama, apresiasi terhadap keberhasilan pendidikan di IAIN Lampung. Yaitu keberhasilan untuk melakukan percepatan pembanguna fisik dan juga perubahan institusional. Sebentar lagi perubahan status menjadi UIN dipastikan akan terjadi. Seluruh upaya untuk merengkuhnya sudah dilakukan, sehingga sudah saatnya untuk memanen upaya keras tersebut. IAIN Lampung ini dikenal sebagai PTKIN yang sangat memperhatikan lingkungan. Kebersihan kampus ini tidak tertandingi oleh kampus lainnya, baik di PTKIN maupun di PTU. Saya kira kampus ini dapat menjadi contoh tentang bagaimana mengelola kebersihan dan kelestarian lingkungan.
Saya ucapkan selamat kepada mahasiswa baru IAIN Lampung yang hari ini memasuki masa ta’aruf. Saya kira bahwa mahasiswa baru ini tidak salah memilih tempat untuk belajar. Di tempat ini maka mahasiswa tidak hanya dipersiapkan untuk mengejar ilmu duniawi akan tetapi juga ilmu ukhrawi. Mahasiswa diajari untuk bisa bernegosiasi dengan kehidupan dunia dengan berbagai variasinya, dan juga dibekali dengan mental dan keagamaan yang sangat memadai. Maka jadikan tempat ini sebagai instrument untuk meraih kebaikan di masa yang akan datang.
Kedua, mahasiswa yang belajar sekarang tentu adalah mereka yang akan memiliki peran penting pada tahun Indonesia Emas, 2045, yang saatnya akan dimulai pada tahun 2030. Jadi yang sekarang sedang belajar di perguruan tinggi akan menjadi generasi penyangga Indonesia Emas dimaksud. Jika kita berhasil menjadi yang terbaik di saat sekarang terkait dengan pendidikan, maka kita pasti akan memenangkan kebaikan di masa yang akan datang. Masa depan Indonesia sangat tergantung kepada semua mahasiswa Indonesia yang sekarang sedang belajar. Oleh karena itu jangan sia-siakan kesempatan emas seperti ini.
Tugas kita ke depan adalah mengembangkan Indonesia yang modern, demokratis dan beragama yang rahmatan lil alamin. Kita bersyukur bahwa umat Islam memiliki sumbangan yang sangat signifikan di dalam mendialogkan dan mempraktikkan relasi Islam, kemajuan dan demokrasi. Tidak banyak Negara yang berhasil seperti kita ini.
Ketiga, mahasiswa bagi saya adalah agen perubahan masyarakat. Saya kira bukan hanya semboyan atau cita-cita, akan tetapi sudah terdapat bukti empiriknya. Kita sekarang sedang menghadapi tantangan yang luar biasa terkait dengan perubahan sosial, gaya hidup, pandangan kehidupan dan sebagainya. Di antara tantangan yang tidak dalah menariknya adalah tentang gerakan radikalisme, pornografi yang semain semarak serta narkoba.
Saya tentu berharap agar mahasisa memandang dan memperhatikan terhadap tantangan ini dan kemudian menganalisis dan menentukan pilihan bahwa radikalisme, pronografi dan narkoba adalah tantangan besar bagi bangsa ini. Mahasiswa tidak boleh lengah dan harus berdaya menghadapi tantangan ini. Jangan ada kata menyerah untuk terus menerus menjadikan diri kita sebagai agen bagi Negara Kesatuan Republic Indonesia.
Kita semua tidak ingin bahwa rongrongan terhadap consensus kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan, yang sudah dijadikan sebagai pilar kehidupan bangsa ini dihancurkan oleh warga bangsa Indonesia sendiri dan juga warga Negara asing lainnya. Oleh karena itu, berbagai upaya yang dilakukan oleh mereka yang anti Pancasila, anti NKRI, dan anti UUD 1945 haruslah dilawan dengan sekuat tenaga dan dengan semangat kebersamaan.
Pastikan semua bahwa kita Anti-Radikalisme/Terorisme, pastikan kita Anti Narkoba dan juga pastikan kita Anti Pornografi. Jadilah mahasiswa sebagai agen yang terus mengobarkan semangat agar bangsa Indonesia menghindari gerakan-gerakan yang akan merongrong kewibawaan Negara.
Mahasiswa adalah orang yang paling sadar tentang berbagai tantangan ini dan kemudian bergegas untuk saling bekerja sama menolak dan memberantas terhadap kenyataan tersebut.
Wallahu a
Lam bi al shawab.

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (5)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (5)
Pengaruh radikalisme melalui media sosial sudah bukan lagi hal yang remeh. Dia sudah memiliki pangsa pasarnya tersendiri. Di Indonesia sudah sangat banyak media sosial yang digunakan sebagai medium propaganda gerakan radikalisme. Kekuatan mereka dalam bidang media sosial sudah agak sulit dikendalikan, selain daya jangkau dan frekuensinya yang banyak juga dana yang mereka miliki sangat memadai.
Kita tidak perlu berdebat tentang dari mana asal muasal dana untuk gerakan ini, tetapi kenyataannya memang memiliki jaringan yang sangat kuat terutama di luar negeri. Banyaknya media sosial yang menjadi jaringan pengembangan gerakan radikalisme tentu terkait dengan upaya untuk meraih sebanyak mungkin simpatisan agar memasuki kawasan radikalisme ini. Bahkan tidak hanya uang yang didapatkan dari berbagai donor di luar negeri akan tetapi juga orator-orator hebat yang bisa direkrutnya.
Kalau kita membandingkannya dengan berapa banyak media sosial yang dimiliki oleh mereka dengan yang dimiliki oleh penganut Islam washatiyah, maka jumlahnya tentu tidak seimbang. Di NU misalnya hanya ada beberapa televise dan juga media cetak. Di Muhammadiyah juga kurang lebih sama. Makanya jika “berperang” melawan media mereka tentu jumlahnya tidak seimbang.
Masyarakat kita makin well educated. Makanya tuntutan untuk memperoleh informasi juga makin kuat. Seirama dengan kenaikan melek huruf dan membaiknya pendidikan pada masyarakat kita tentu mereka membutuhkan semakin banyak informasi yang relevan dengan kebutuhannya. Di sisi lain, semangat beragama di kalangan kelas menengah Indonesia juga makin membaik. Di sinilah kecerdasan mereka untuk membuat semakin banyak sumber informasi dan akhirnya banyak di antara mereka ini terpengaruh oleh ajaran radikalisme.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada korelasi antara semakin membaiknya pendidikan dan semangat kebaragamaan dengan perlunya sumber informasi yang diperlukan. Jadi bertemulah konsep ini dengan layanan informasi di media sosial yang ditayangkan atau disiarkan oleh kelompok radikal yang memang relevan dengan kebutuhan sebagian masyarakat kita. Dengan memberikan layanan tadarrus al Qur’an setiap hari, maka kebutuhan sebagian kelas menengah untuk belajar al Qur’an akan terpenuhi melalui media sosial, begitu seterusnya.
Di antara mereka berpandangan bahwa dari pada mendengarkan radio yang terus menerus mendengkan lagu-lagu, baik pop, dangdut atau lagu-lagu barat lainnya lebih baik mendengarkan bacaan al Qur’an. Nuansa inilah yang ditangkap oleh berbagai pemiliki radio atau televise yang menyiarkan ajaran agama. Namun demikian, bahwa pemilik media sosial ini kebanyakan adalah kaum radikalis yang memang secara sengaja mengambil posisi penyaiaran agama dalam coraknya yang seperti itu.
Jumlah media sosial yang berciri khas seperti ini tentu cukup banyak. Radio atau televise juga sangat memadai jumlahnya. Saya tentu pernah mendengarkan radio dengan karakteristik seperti ini dan ternyata pendengarnya terdiri dari berbagai daerah di Indonesia. Di dalam wawancara yang secara khusus membahas tentang bidh’ah, misalnya pendengarnya bisa datang dari Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan sebagainya.
Bandingkan dengan radio atau televise yang dimiliki oleh kalangan kaum Sunni yang tergabung dalam jaringan Islam wasathiyah, maka jumlahnya tentu tidaklah seimbang. Jadi, pengaruhnya terhadap audience tentulah sangat besar di kalangan radio atau televise yang mengusung tema-tema radikalisme tersebut.
Kementerian Kominfo mestinya memiliki standart yang tegas tentang mana media sosial yang layak tayang atau layak pemberitaan.
Oleh karena itu, sebagaimana saya informasikan melalui Jakarta Post, 15 September 2016, bahwa seharusnya media televise dan radio tidak lagi menggunakan para penyebar agama atau da’i yang oleh sebagian besar masyarakat kita dianggap sebagai kalangan yang berhaluan agama yang keras. Semestinya, Kementrian Komunikasi dan Informasi dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan kritisisme terhadap media yang masih terus menggunakan para da’i yang berindikasi radikal. Janganlah mereka terus dijadikan sebagai ikon di media, sehingga akan semakin mendongkrak popularitasnya untuk terus mengembangkan faham keagamaannya yang radikal dimaksud.
Di dalam konteks ini, maka sinergi antar kementerian dan lembaga sangat diperlukan. Jangan ada kesan bergerak sendiri-sendiri. Untuk menghadapi gerakan radikalisme dan terorisme ini saya kira harus dibangun sinergi yang sangat kuat. Tidak hanya kementerian dan lembaga pemerintah akan tetapi juga lembaga-lembaga sosial keagamaan dan bahkan masyarakat luas. Saya berkeyakinan dengan gerakan bersama untuk memerangi terhadap radikalisme dan terorisme maka laju gerakan ini akan bisa dikurangi bahkan dinihilkan.
Jadi memang diperlukan sinergi yang makin kuat di tengah semakin menguatnya redikalisme dan terorisme di Negara kita. Ke depan tantangan kita semakin besar jika sekarang tidak segera dieliminasi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PELUANG ALUMNI PTKIN DI ERA DEMOKRATISASI

PELUANG ALUMNI PTKIN DI ERA DEMOKRATISASI
Saya memperoleh kesempatan istimewa untuk memberikan kuliah umum (studium general) untuk mahasiswa strata II dan III di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA) Riau, beberapa hari yang lalu, 24/08/2016. Hadir bersama saya, Rektor UIN SUSKA, Prof. Dr. Mundzir Hitami, Direktur PPs, Prof. Dr. M. Ilyas, dan segenap jajaran pimpinan PPs UIN SUSKA Riau serta sejumlah mahasiswa PPs, Program Magister dan Doktor.
Pada kesempatan yang luar biasa ini, saya sampaikan beberapa hal yang sangat mendasar tentang bagaimana peran alumni PTKIN di dalam era demokratisasi di negeri ini. Kuliah perdana ini tentu berbarengan harinya dengan pertemuan para Kepala Biro PTKIN di seluruh Indonesia. Saya sampaikan beberapa hal yang saya anggap penting.
Pertama, demokratisasi di Indonesia ternyata memiliki dampak positif peningkatan citra positif PTKIN. Rasanya seperti blessing in disguise kala reformasi bergerak dan dengan seirama itu, maka alumni PTKIN memperoleh perluasan peran bagi masyarakat, negara dan bangsa. Saya merasakan bahwa denyut nadi perkembangan PTKIN pun bergerak seirama dengan laju gerakan demokratisasi yang terus berkembang. Sungguh bisa dirasakan bagaimana perluasan peran tersebut berdampak sangat positif bagi proses respon masyarakat terhadap PTKIN.
Respon masyarakat terhadap kehadiran PTKIN tentu kemudian ikut terdongkrak dengan perluasan peran alumni PTKIN. Ada korelasi asimetris di antara keduanya. Jika peran alumni makin baik di tengah masyarakat, maka akan terjadi semakin positif respon masyarakat terhadap PTKIN itu. Kita sekarang sedang menangguk respon positif tersebut. Di mana-mana terjadi lonjakan jumlah calon mahasiswa yang ingin memasuki perkuliahan di PTKIN. Tentu tidak pernah terbayangkan bahwa jumlah mahasiswa di PTKIN begitu banyak. Ada PTKIN (UIN) dengan jumlah mahasiswa sebanyak 37 ribu. Ada juga PTKIN (IAIN) dengan jumlah majasiswa sebanyak 14 ribu. Di masa lalu, jumlah mereka yang kuliah di PTKIN itu masih sedikit. Bisa karena mereka tidak percaya kepada institusi ini dan bisa juga sekedar agar masuk ke PT lain. Melalui melubernya jumlah mahasiswa, maka tentu kita akan mendapatkan calon mahasiswa yang kompetitif.
Demokratisasi yang memberikan peluang bagi semua komponen masyarakat untuk berkompetisi, maka berdampak terhadap terbukanya akses bagi alumni PTKIN untuk bisa tampil secara atraktif di tengah kancah kehidupan bangsa yang makin terbuka dan modern. Dengan demikian, citra PTKIN yang dulu dianggap negative lalu menjadi sangat positif.
Kedua, demokratisasi di Indonesia ternyata memiliki dampak yang luar biasa bagi alumni PTKIN. Mungkin tidak pernah terbayangkan bagaimana alumni PTKIN bisa menjadi pejabat structural di Kementerian/Lembaga, menjadi politisi, menjadi menteri dan bahkan presiden. Jika di masa lalu peran alumni PTKIN itu terbatas pada urusan agama dan keagamaan, maka sekarang sudah tidak lagi seperti itu. Alumni PTKIN bisa memasuki segala ranah pekerjaan yang memungkinkan untuk digelutinya.
Kita tidak akan pernah membayangkan lulusan PTKIN menjadi menteri, misalnya Imam Nahrawi yang menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, dia adalah alumni IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel), lalu Hanief Dhakiri, Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja, alumni STAIN Salatiga (kini IAIN Salatiga), Marwan Dja’far, Menteri Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal, alumni IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN Sunan Kalijaga), dan juga banyak yang menjadi Gubernur, misalnya Gubernur Maluku Utara, KH. Abdul Ghani, Gubernur Bengkulu, Ahmad Junaidi, Bupati Sambas, Bupati Sumenep, KH. Busyro Karim, Bupati Bojonegoro, Suyoto, Bupati Tuban, Fathul Huda dan pimpinan DPR, DPRD, pimpinan Komisi atau Fraksi di DPR dan sebagainya. Selain itu juga banyak yang menjadi pengusaha dan birokrat bahkan pejabat tinggi di militer dan kepolisian. Kita masih ingat Jendral Ahmad Yani, alumni IAIN Sunan Ampel yang menjadi pejabat penting di Mabes Angkatan Darat dan kemudian menjadi staf ahli Presiden SBY dan Dahlan Iskan, pengusaha Media, yang pernah belajar di IAIN Sunan Ampel.
Perluasan medan perjuangan ini menjadikan peran alumni PTKIN Nampak menonjol. Di era keterbukaan dan demokratisasi ini, maka dapat dipastikan bahwa peran alumni PTKIN akan terus menjadi torehan positif sehingga pada gilirannya akan meningkatkan citra PTKIN secara general. Bisa digarisbawahi bahwa di kala Negara dan masyarakat memberikan peluang yang lebih besar kepada semua warganya untuk berpartisipasi di dalam pembangunan, maka kenyataan memberikan bukti bahwa alumni PTKIN makin bisa berkiprah secara memadai.
Demokratisasi sesungguhnya tidak hanya dapat dimaknai sebagai proses pemilihan pimpinan Negara dalam berbagai levelnya, akan tetapi juga bisa menjadi ajang bagi mobilitas vertical di kalangan kaum santri. Jika di masa Orde Baru, mereka selalu berada di wilayah pinggiran, maka di saat kran keterbukaan tersebut dibuka seluas-luasnya, maka mereka yang terpinggirkan tersebut lalu bisa ke tengah dan memainkan peran penting di pusaran kekuasaan.
Dengan demikian, menjadi alumni PTKIN tidak harus berkecil hati atau merasa perannya kecil di dalam pembangunan bangsa. Peran yang lebih juga terbuka lebar. Hanya saja yang diperlukan adalah kemampuan dan kapabilitas yang unggul yang akan menjadi instrument untuk mengantarkan seseorang akan berhasil. Jadi tidak perlu ada keraguan untuk menjadi orang PTKIN.
Wallahu a’lam bi al shawab.

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (4)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (4)
Kita hampir tidak percaya bahwa ada di antara anak-anak remaja kita yang menjadi radikal hanya dengan membaca tulisan di internet atau melalui e-massage di internet. Sungguh bahwa teknologi informasi ternyata bisa menjadi salah satu medium ampuh bagi gerakan radikalisme untuk menyebarkan ajarannya.
Memang kaum radikal ini memahami betul mengenai pengaruh media internet di dalam pemengaruhan terhadap pembacanya. Mereka menyadari bahwa dengan menggunakan situs-situs radikal, maka ajaran mereka akan dapat dengan cepat diterima, dipelajari dan dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan tindakan-tindakan radikal.
Beberapa anak pintar yang bergabung dengan ISIS ternyata hanya berkorespondensi melalui situs radikal. Zefrizal Ananda Mardani, kelahiran Trenggalek, Desember 1993 merupakan contoh bagaimana mereka terpengaruh oleh media sosial. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga diduga pergi ke Syria bersama istrinya yang juga dari Fakultas Saintek Universitas Airlangga untuk bergabung dengan ISIS. Zefrizal pernah menyabet Medali Emas dalam Olimpiade Astronomi pada tahun 2007. Selama dua semester tidak lagi kuliah dan diduga pergi ke Syria untuk bergabung dengan ISIS.
Lalu Ryan Eka Septiawan umur 16 tahun, pelajar SMK Doa Bangsa Pelabuhan Ratu yang sangat mahir untuk merakit bom dan juga membuat senjata api. Dia menguasai tehnik untuk membuat Bom Api Beracun melalui panduan di media sosial. Sejak kecil Ryan memang sangat menggandrungi internet dan kemudian terpengaruh oleh ajaran radikal, sehingga ajaran guru agamanya dianggapnya tidak esuai dengan keyakinannya.
Kemudian Rudi Jaelani, alumnus Universitas Islam Bandung diduga bergabung dengan ISIS melalui Turki. Rudi diketahui berada di kelompok ISIS berdasarkan akun twitternya, dengan mengunggah foto-foto pada April atau Mei 2015. Lalu juga ada Sri Lestari mahasiswa semester akhir Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta hilang dan diduga dibawa lari oleh pacarnya yang mantan Napi Teroris, Bahrum Naim. Di dalam akun twitternya disebutkan tentang cerita-cerita Syria dan keinginannya untuk pergi ke sana. Sekarang ini dia menyatakan di media sosial bahwa dia sedang berada di Syria.
Dan yang tidak kalah menarik adalah Ivan Armadi Hasugian, pemuda 18 tahun yang akan melakukan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosef (28/08/16) Medan, saat terjadi upacara sembahyang di sana. Berdasarkan penyelidikan polisi, bahwa Ivan sama sekali tidak memiliki jaringan dengan gerakan teroris di Indonesia. Dia melakukan tindakan meracik bom dan akan meledaknnya di gereja berdasarkan atas koneksinya dengan media sosial berhaluan radikal. Jadi, dia melakukan cara peracikan bom dan tata cara peledakannya bahkan sampai dia sendiri yang akan menjadi pengantinnya bukan berasal dari indoktrinasi melalui face to face relationship, akan tetapi melalui media sosial.
Mengamati dan mencermati terhadap fakta-fakta ini betapa memberikan gambaran bahwa media sosial memiliki pengaruh yang sangat dahsyat untuk mengubah perilaku orang. Anak-anak muda yang tertarik dengan gerakan ISIS tidak mesti disebabkan oleh indoktrinasi langsung akan tetapi cukup dengan media sosial. Jadi, media sosial memang bisa menjadi jembatan untuk menggerakkan orang untuk terlibat di dalam gerakan-gerakan terlarang, seperti ISIS dan lain-lainnya.
Begitu dominannya pengaruh media sosial, maka semua seharusnya memahami bahwa regulasi yang mengatur tentang media sosial ini harus diwujudkan. Memang harus diakui bahwa era reformasi membawa perubahan yang sangat dahsyat terkait dengan banyak hal. Di antaranya adalah keterbukaan informasi.
Jika di masa lalu keterbukaan informasi itu merupakan hal yang tabu, maka di era reformasi hampir seluruhnya terbuka kecuali yang ditutup. Karenanya, maka berbagai media sosial juga bisa menyajikan apa saja yang dianggapnya bisa diinformasikan. Tidak ayal lagi bahwa semua orang juga bisa mengakses semua informasi sesuai dengan yang dibutuhkan.
Era keterbukaan informasi sudah sangat kebablasan, dalam arti bahwa seakan-akan pemerintah tidak memiliki sama sekali hal untuk melakukan control terhadap arus informasi yang semakin menemukan kebebasannya. Indonesia saya rasa sudah menjadi surga bagi kebebasan pers tersebut.
Di tengah semakin semaraknya media sosial yang mengusung terorisme dan radikalisme, maka seharusnya para pembuat kebijakan dapat melakukan upaya untuk menyelamatkan anak-anak kita dari rongrongan informasi mengenai terorisme. Kita sungguh menyayangkan bahwa anak-anak cerdas yang mestinya memiliki masa depan yang cerah menjadi berantakan kehidupannya karena mengikuti ajaran sesat berupa ajakan terorisme.
Di tengah kenyataan ini, maka saya mendukung terhadap ungkapan Pak Rudiantara bahwa pemerintah harus memiliki regulasi untuk melakukan pembreidelan terhadap situs-situs yang mengandung kekerasan dan kemudian juga dipandu oleh Undang-Undang Terorisme agar aparat keamanan dapat melakukan tindakan preventif terhadap gejala-gejala akan terjadinya terorisme.
Jangan sampai kita selalu ketinggalan peristiwa karena kita tidak memiliki regulasi yang dapat digunakan untuk melakukan deteksi dini terhadap gerakan terorisme. Kita semua mencintai negeri ini dan bertanggung jawab terhadap kelestarian negeri ini. Semua elemen masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DAKWAH ISLAM DI ERA MODERNITAS

DAKWAH ISLAM DI ERA MODERNITAS
SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN AGAMA

Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi

Pada kesempatan yang berbahagia ini, tentu saya mengucapkan selamat dan apresiasi atas terselenggaranya International Conference tentang Dakwah Islam, yang dihadri oleh para pakar di bidangnya, baik dari Asia Tenggara, Australia maupun Eropa dan Amerika Serikat. Saya mengapresiasi sebab beberapa saat yang lalu, saya menantang kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) agar dapat menyelenggarakan seminar internasional, dan hari ini telah dijawabnya.
Saya ingin mempresentasikan pikiran saya, terkait dengan Dakwah Islam di Indonesia dalam keterkaitannya dengan dakwah di era sekarang dan juga di tengah semkin kuatnya arus modernisasi yang menggulung seluruh dunia. Ada tiga hal yang akan saya sampaikan terkait dengan tema ini.
Pertama, Aspek historis dakwah Islam di Nusantara. Islam berkembang di seluruh dunia tentu disebabkan oleh dakwah Islam yang dilakukan oleh par aktivis dakwah Islam. Sebagaimana diketahui bahwa dakwah memegang peran penting di dalam membangun komunitas Islam di seantero dunia. Tanpa kehadiran aktivis dakwah tersebut, maka tidak dimungkinkan Islam bisa menjadi agama dunia yang berlangsung begitu cepat.
Di dalam perjalanan dakwah Islam di beberapa Negara, khususnya di Indonesia, maka menggunakan dua pola yang saling melengkapi. Yaitu:
1) Menggunakan pola kebudayaan. Pola ini dilakukan kala kekuasaan negara berada di bawah orang non-muslim. Misalnya di Jawa dikuasi oleh kerajaan Hindu Budha, yang sudah terjadi dalam ratusan tahun. Kerajaan Majapahit telah mencapai masa keruntuhannya, dan di saat itulah dakwah Islam dilakukan oleh para aktivis dakwah Islam, seperti para Walisongo dan para santrinya.
Melalui kemampuannya yang luar biasa, maka para penyebar Islam ini dapat mempengaruhi masyarakat kala itu, sehingga secara bertahap tetapi pasti, maka masyarakat lalu menjadi pengikutnya. Masyarakat dipimpinnya untuk mengikuti agama baru yang diyakininya. Pengaruh mereka makin besar bersamaan dengan semakin menurunnya kewibawaan aparat Negara dan bahkan negaranya sendiri.
Di dalam situasi yang krusial ini, para waliyullah itu menampilkan figure kesalehan yang luar biasa. Di kala mereka membutuhkan pimpinan yang diperlukan maka hadirlah para wali itu untuk memimpinnya. Dengan demikian kelangkaan kepemimpinan yang memahami tradisi dan kebudayaan mereka, memahami kebutuhan mereka tentu menjadi variabel utama keterpengaruhan masyarakat terhadap kehadiran para waliyullah ini. Itulah sebabnya Negara harus selalu hadir di dalam kehidupan masyarakat agar mereka tidak lari kepada kepemimpinan baru yang lebih baik dalam performanya.
2) Menggunakan pola structural. Kala kekuatan kultural telah diperoleh dan memberikan peluang untuk menyebarkan agama Islam dalam coraknya yang lebih massive, maka dilakukanlah pendekatan structural. Jadi di saat kekuatan kultural telah menjadi nyata kekuatannya, maka kemudian dilakukan pelembagaan agama tersebut dalam corak mendirikan pemerintahan. Maka didirikanlah Kerajaan Demak di pesisir utara Jawa. Melalui pembentukan Negara ini maka babak baru Islamisasi dilakukan. Jika selama ini menggunakan corak kebudayaan, maka berikutnya menggunakan pendekatan kekuasaan.
Pendekatan structural inilah yang kemudian memudahkan proses islamisasi yang terus dilakukan oleh para wali dan penyebar Islam lainnya. Islam terus berkembang ke seluruh Nusantara dengan berbagai dinamikanya. Islam bisa menjadi kekuatan yang sangat mendasar disebabkan oleh kekuatan tradisi atau budaya dan juga kekuatan Negara yang dibangunnya. Dengan dua kekuatan ini. Maka Islam terus mencapkan kekuatan di seluruh Nusantara dan kemudian menjadi agama yang mayoritas di Indonesia.
Tentu ada catatan yang menarik. Meskipun penjajahan berlangsung dalam ratusan tahun di Indonesia ini, mulai aakhir abad 18 dan berakhir di pertengahan abad ke 20, namun para penjajah itu tidak bisa mengubah keyakinan umat Islam Indonesia. Dari sisi structural tentu kekuasaan Islam itu berantakan. Di dalam banyak peperangan antara kerajaan Islam dengan para penjajah, maka dapat dipaastikan kekalahan di pihak kerajaan Islam. Melalui pilitik belah bamboo, maka kekalahan demi kekalahan dialami oleh masyarakat Islam.
Namun demikian, kekalahan secara structural itu tidak diikuti oleh kekalahan dalam beragama. Masyarakat Islam bisa mempertahankan keislamannya dan bahkan terus bisa mengembangkan keberagamaannya. Di dalam konteks ini maka ternyata bahwa kebudayaan masyarakat Islam yang terbentuk dari proses akulturasi yang sangat lama lalu bisa menjadi perekat keberagamaan tersebut. Tradisi Islam yang telah menyatu dengan kebudayaan masyarakat Nusantara ternyata menjadi kekuatan yang tidak tergoyahkan oleh gerakan missi yang dilakukan oleh para penjajah.
Kenyataan inilah yang sangat menarik dari masyarakat Islam Nusantara. Melihat lamanya mereka dijajah, dengan posisi politik, ekonomi dan kekuasaan yang nyaris punah karena selalu kalah di dalam peperangan, ternyata hal ini tidak menggoyahkan posisi keimanan masyarakat Islam Nusantara. Dengan demikian, sesungguhnya masyarakat Nusantara itu sudah teruji di dalam keberagamaannya.
Kedua, Dakwah Islam harus dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan. Sesungguhnya Islam sangat mendorong terhadap peningkatan kualitas kehidupan umat manusia. Islam mendorong umatnya untuk memperoleh kesejahteraan duniawi. Jika salah satu indicator kesejahteraan itu adalah ekonomi, maka tentunya yang harus dikembangkan adalah bagaimana agar kekuatan ekonomi umat Islam menjadi lebih besar.
Problemnya adalah kekuatan ekonomi umat Islam berada di dalam posisi pinggiran. Hampir tidak dijumpai Negara Islam yang memiliki kekuatan ekonomi yang unggul. Komposisi G20 berada di Negara-negara Barat, sedangkan Asia dan Afrika masih tertinggal, kecuali Cina, Jepang, Korea Selatan, Indonesia dan India. Negara Eropa dan Amerika menemnpati Posisi dominan dalam penguasaan ekonomi dunia. Negara yang termasuk G20 adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brasil, Inggris, China, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Perancis, Rusia, Turki dan Uni Eropa. Dengan demikian, masyarakat Islam di dunia ini belum menikmati kesejahteraan duniawi sebagaimana tergambar di dalam ajarannya. Masih ada gap antara cita dan kenyataan.
Disebabkan oleh rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat Islam, maka penggunaan pendekatan ekonomi sebagai instrument dakwah Islam belum bisa dioptimalkan. Memang ada beberapa lembaga dakwah yang sudah menggunakan pendekatan ekonomi untuk kepentingan dakwah Islam, akan tetap secara empiris
Bahwa dakwah melalui program penguatan ekonomi masih di persimpangan jalan.
Di antara iinstrumen untuk memberdayakan umat Islam dengan usaha-usaha produktif adalah melalui program “charity” atau zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS). Namun sayangnya bahwa program pemberdayaan ZIS ternyata belum bisa menjangkau terhadap sudut-sudut kehidupan masyarakat. Potensi zakat di Indonesia sebenar sangat besar, sebesar 3,7 Trilyun rupiah. Namun demikian yang bisa direalisasikan hanya 312 Milyar. Artinya, bahwa instrument ZIS untuk mengentaskan kepada kesejahteraan masyarakat belum bisa diandalkan.
Dakwah melalui ceramah agama memang penting untuk merawat terhadap keberagamaan masyarakat Islam. Dakwah dengan ceramah agama tetap harus menjadi andalan di dalam proses menguatkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dengan ceramah agama ini tentu dapat dilihat hasilnya bahwa pengamalan beragama semakin baik di segala lapisan masyarakat. Oleh karena itu mempersiapkan ahli-ahli ceramah agama yang unggul dalam materi dakwah dan metodologi dakwah tentu sangat diperlukan.
Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dakwah melalui pendekatan kesejahteraan itu. Bagi kita, orang tidak cukup diceramahi saja, namun yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat bisa mengakses ekonomi secara lebih baik. Dakwah dengan demikian merupakan jawaban atas problem kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Dakwah menjadi solusi atas masalah-masalah ketenagakerjaan, dakwah juga menjadi solusi atas ketimpangan sosial yang terjadi sekarang ini.
Ketiga, Dakwah harus menggunakan pendekatan sosial-budaya. Dakwah Islam dapat memperoleh hasil yang optimal di masa lalu tentu disebabkan oleh kelihaian para penyebar Islam (walisongo dan seluruh santri-santrinya) yang menggunakan pendekatan sosial-budaya. Di dalam konteks ini, maka dakwah mestilah menggunakan cara-cara atau metodologi yang relevan dengan masyarakat lokalnya. Dakwah tidak memaksakan menggunakan budaya masyarakat lainnya. Budaya impor tidak bisa dipaksakan untuk digunakan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan. Salah satu yang menyebabkan mengapa proses penyebaran agama-agama di belahan dunia lain adalah disebabkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan budaya local. Itulah sebabnya di dalam literature akademis disebutkan misalnya: Islam Jawa, Islam kolaboratif, Islam transformative, Islam konvergentif, dan sebagainya untuk menandai bahwa Islam dan budaya local adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi koin mata uang, di satu sisi adalah Islam dan di sisi lain adalah budaya local. Inilah yang menyebabkan Islam dapat diterima oleh masyarakat Nusantara sebagaimana yang kita lihat sekarang.
Dakwah Islam harus menjadi jalan damai. Islam harus menampilkan wajah yang bisa mengayomi semuanya. Bukan dakwah yang terus menyalahkan dan mencibir orang lain. Bukan dakwah yang membuat orang justru membenci Islam. Dakwah harus menjadi medium untuk membangun kerukunan, harmoni dan selamat. Dakwah Islam harus menjadi bagian dari resolusi konflik, baik karena factor etnis, budaya, lekolitas dan bahkan agama. Meskipun agama bukan sebagai factor penyebab utama konflik sosial yang terjadi, sebab kebanyakan konflik disebabkan oleh factor kepentingan ekonomi, relasi sosial dan sebagainya, tetapi agama sering dijadikan sebagai factor pendorong yang sangat kuat. Agama terkadang dijadikan sebagai penguat konflik yang terjadi.
Dengan demikian, dakwah diharapkan menjadi medium yang bisa memberikan solusi bagi keberagamaan kita yang tensinya makin mengeras dewasa ini. Jadi dakwah Islam mestilah bisa membangun peradaban dunia yang lebih damai, sejahtera dan bahagia.
Keempat, Dakwah mestilah menggunakan piranti teknologi informasi. Dakwah itu identic dengan penyebaran, pengembangan dan pemberdayaan umat. Makanya dakwah tentu harus berkait kelindan dengan teknologi informasi yang telah menjadi bagian penting pada masyarakat modern. Dunia sekarang ini telah dilipat ke dalam genggaman tangan karena kemajuan teknologi informasi.
Dakwah tentu harus memanfaatkan teknologi informasi ini dalam kerangka menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bisa dibayangkan bahwa dakwah bisa masuk ke ruang-ruang atau bilik-bilik rumah karena keberadaan piranti teknologi. Dakwah tidak harus dengan mengumpulkan orang dalam jumlah besar dan mendengarkan ceramah agama. Dakwah bisa menggunakan piranti teknologi yang bisa diakses kapan dan di mana saja.
Di sini memberikan sinyal bahwa dakwah harus memasuki medium komunikasi modern dalam berbagai variasinya. Ceramah, konsultasi, dialog, film, sinetron, talk show, drama, komik, cerita gambar, cerita bersambung, dan sebagainya bisa menjadi medium dakwah yang dikemas melalui media elektronik.
Saya ingin menyatakan betapa dahsyatnya media elektronik ini di dalam keterpangaruhan anak-anak Indonesia. Bisa dibayangkan channel tontonan anak-anak, seperti Chuchu TV, Badanamo, Pinkfong dan sebagainya bisa diakses oleh jutaan masyarakat dalam hitungan hari bukan bulan. Hal ini menggambarkan betapa besarnya kebutuhan dan keterpengaruhan masyarakat kita tentang tontonan melalui media elektronik.
Saya kira kita juga sudah memasuki era digital ini, hanya saja perlu kemasan dan variasi yang lebih atraktif. Dakwah tidak hanya ditentukan oleh konten dakwah yang baik akan tetapi juga kemasan yang indah. Masyarakat kita makin cerdas dan memiliki banyak pilihan untuk mengisi kehidupannya. Jadi, dakwah juga harus memasuki wilayah pilihan-pilihan masyarakat ini. Dakwah harus menjadi pilihan umat di dalam kerangka meningkatkan pemahaman dan pengamalan agamanya dan sekaligus untuk menghibur dirinya.
Dakwah harus tetap dikuasai oleh mereka yang menyatakan dirinya sebagai penganut agama yang washatiyah, sehingga arah keberagamaan kita ke depan tetap akan berada di dalam koridor “kerukunan, harmoni dan keselamatan”. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, bahwa hari ini dan ke depan harus dipersiapkan ahli-ahli dakwah yang dapat menguasai teknologi informasi dalam kerangka merebut pengaruh dakwah yang sesungguhnya mulai kehilangan antusiasmenya. Jadi, tugas Fakultas Dakwah dan Komunikasi adalah menyiapkan para da’i yang memiliki kemampuan yang unggul di dalam mengembangkan dakwah dalam berbagai variasnya, secara lebih mendalam, dan bukan kemampuan ala kadarnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.