• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (5)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (5)
Pengaruh radikalisme melalui media sosial sudah bukan lagi hal yang remeh. Dia sudah memiliki pangsa pasarnya tersendiri. Di Indonesia sudah sangat banyak media sosial yang digunakan sebagai medium propaganda gerakan radikalisme. Kekuatan mereka dalam bidang media sosial sudah agak sulit dikendalikan, selain daya jangkau dan frekuensinya yang banyak juga dana yang mereka miliki sangat memadai.
Kita tidak perlu berdebat tentang dari mana asal muasal dana untuk gerakan ini, tetapi kenyataannya memang memiliki jaringan yang sangat kuat terutama di luar negeri. Banyaknya media sosial yang menjadi jaringan pengembangan gerakan radikalisme tentu terkait dengan upaya untuk meraih sebanyak mungkin simpatisan agar memasuki kawasan radikalisme ini. Bahkan tidak hanya uang yang didapatkan dari berbagai donor di luar negeri akan tetapi juga orator-orator hebat yang bisa direkrutnya.
Kalau kita membandingkannya dengan berapa banyak media sosial yang dimiliki oleh mereka dengan yang dimiliki oleh penganut Islam washatiyah, maka jumlahnya tentu tidak seimbang. Di NU misalnya hanya ada beberapa televise dan juga media cetak. Di Muhammadiyah juga kurang lebih sama. Makanya jika “berperang” melawan media mereka tentu jumlahnya tidak seimbang.
Masyarakat kita makin well educated. Makanya tuntutan untuk memperoleh informasi juga makin kuat. Seirama dengan kenaikan melek huruf dan membaiknya pendidikan pada masyarakat kita tentu mereka membutuhkan semakin banyak informasi yang relevan dengan kebutuhannya. Di sisi lain, semangat beragama di kalangan kelas menengah Indonesia juga makin membaik. Di sinilah kecerdasan mereka untuk membuat semakin banyak sumber informasi dan akhirnya banyak di antara mereka ini terpengaruh oleh ajaran radikalisme.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada korelasi antara semakin membaiknya pendidikan dan semangat kebaragamaan dengan perlunya sumber informasi yang diperlukan. Jadi bertemulah konsep ini dengan layanan informasi di media sosial yang ditayangkan atau disiarkan oleh kelompok radikal yang memang relevan dengan kebutuhan sebagian masyarakat kita. Dengan memberikan layanan tadarrus al Qur’an setiap hari, maka kebutuhan sebagian kelas menengah untuk belajar al Qur’an akan terpenuhi melalui media sosial, begitu seterusnya.
Di antara mereka berpandangan bahwa dari pada mendengarkan radio yang terus menerus mendengkan lagu-lagu, baik pop, dangdut atau lagu-lagu barat lainnya lebih baik mendengarkan bacaan al Qur’an. Nuansa inilah yang ditangkap oleh berbagai pemiliki radio atau televise yang menyiarkan ajaran agama. Namun demikian, bahwa pemilik media sosial ini kebanyakan adalah kaum radikalis yang memang secara sengaja mengambil posisi penyaiaran agama dalam coraknya yang seperti itu.
Jumlah media sosial yang berciri khas seperti ini tentu cukup banyak. Radio atau televise juga sangat memadai jumlahnya. Saya tentu pernah mendengarkan radio dengan karakteristik seperti ini dan ternyata pendengarnya terdiri dari berbagai daerah di Indonesia. Di dalam wawancara yang secara khusus membahas tentang bidh’ah, misalnya pendengarnya bisa datang dari Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan sebagainya.
Bandingkan dengan radio atau televise yang dimiliki oleh kalangan kaum Sunni yang tergabung dalam jaringan Islam wasathiyah, maka jumlahnya tentu tidaklah seimbang. Jadi, pengaruhnya terhadap audience tentulah sangat besar di kalangan radio atau televise yang mengusung tema-tema radikalisme tersebut.
Kementerian Kominfo mestinya memiliki standart yang tegas tentang mana media sosial yang layak tayang atau layak pemberitaan.
Oleh karena itu, sebagaimana saya informasikan melalui Jakarta Post, 15 September 2016, bahwa seharusnya media televise dan radio tidak lagi menggunakan para penyebar agama atau da’i yang oleh sebagian besar masyarakat kita dianggap sebagai kalangan yang berhaluan agama yang keras. Semestinya, Kementrian Komunikasi dan Informasi dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan kritisisme terhadap media yang masih terus menggunakan para da’i yang berindikasi radikal. Janganlah mereka terus dijadikan sebagai ikon di media, sehingga akan semakin mendongkrak popularitasnya untuk terus mengembangkan faham keagamaannya yang radikal dimaksud.
Di dalam konteks ini, maka sinergi antar kementerian dan lembaga sangat diperlukan. Jangan ada kesan bergerak sendiri-sendiri. Untuk menghadapi gerakan radikalisme dan terorisme ini saya kira harus dibangun sinergi yang sangat kuat. Tidak hanya kementerian dan lembaga pemerintah akan tetapi juga lembaga-lembaga sosial keagamaan dan bahkan masyarakat luas. Saya berkeyakinan dengan gerakan bersama untuk memerangi terhadap radikalisme dan terorisme maka laju gerakan ini akan bisa dikurangi bahkan dinihilkan.
Jadi memang diperlukan sinergi yang makin kuat di tengah semakin menguatnya redikalisme dan terorisme di Negara kita. Ke depan tantangan kita semakin besar jika sekarang tidak segera dieliminasi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..