RADIKALISME DI SEKITAR KITA (4)
RADIKALISME DI SEKITAR KITA (4)
Kita hampir tidak percaya bahwa ada di antara anak-anak remaja kita yang menjadi radikal hanya dengan membaca tulisan di internet atau melalui e-massage di internet. Sungguh bahwa teknologi informasi ternyata bisa menjadi salah satu medium ampuh bagi gerakan radikalisme untuk menyebarkan ajarannya.
Memang kaum radikal ini memahami betul mengenai pengaruh media internet di dalam pemengaruhan terhadap pembacanya. Mereka menyadari bahwa dengan menggunakan situs-situs radikal, maka ajaran mereka akan dapat dengan cepat diterima, dipelajari dan dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan tindakan-tindakan radikal.
Beberapa anak pintar yang bergabung dengan ISIS ternyata hanya berkorespondensi melalui situs radikal. Zefrizal Ananda Mardani, kelahiran Trenggalek, Desember 1993 merupakan contoh bagaimana mereka terpengaruh oleh media sosial. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga diduga pergi ke Syria bersama istrinya yang juga dari Fakultas Saintek Universitas Airlangga untuk bergabung dengan ISIS. Zefrizal pernah menyabet Medali Emas dalam Olimpiade Astronomi pada tahun 2007. Selama dua semester tidak lagi kuliah dan diduga pergi ke Syria untuk bergabung dengan ISIS.
Lalu Ryan Eka Septiawan umur 16 tahun, pelajar SMK Doa Bangsa Pelabuhan Ratu yang sangat mahir untuk merakit bom dan juga membuat senjata api. Dia menguasai tehnik untuk membuat Bom Api Beracun melalui panduan di media sosial. Sejak kecil Ryan memang sangat menggandrungi internet dan kemudian terpengaruh oleh ajaran radikal, sehingga ajaran guru agamanya dianggapnya tidak esuai dengan keyakinannya.
Kemudian Rudi Jaelani, alumnus Universitas Islam Bandung diduga bergabung dengan ISIS melalui Turki. Rudi diketahui berada di kelompok ISIS berdasarkan akun twitternya, dengan mengunggah foto-foto pada April atau Mei 2015. Lalu juga ada Sri Lestari mahasiswa semester akhir Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta hilang dan diduga dibawa lari oleh pacarnya yang mantan Napi Teroris, Bahrum Naim. Di dalam akun twitternya disebutkan tentang cerita-cerita Syria dan keinginannya untuk pergi ke sana. Sekarang ini dia menyatakan di media sosial bahwa dia sedang berada di Syria.
Dan yang tidak kalah menarik adalah Ivan Armadi Hasugian, pemuda 18 tahun yang akan melakukan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosef (28/08/16) Medan, saat terjadi upacara sembahyang di sana. Berdasarkan penyelidikan polisi, bahwa Ivan sama sekali tidak memiliki jaringan dengan gerakan teroris di Indonesia. Dia melakukan tindakan meracik bom dan akan meledaknnya di gereja berdasarkan atas koneksinya dengan media sosial berhaluan radikal. Jadi, dia melakukan cara peracikan bom dan tata cara peledakannya bahkan sampai dia sendiri yang akan menjadi pengantinnya bukan berasal dari indoktrinasi melalui face to face relationship, akan tetapi melalui media sosial.
Mengamati dan mencermati terhadap fakta-fakta ini betapa memberikan gambaran bahwa media sosial memiliki pengaruh yang sangat dahsyat untuk mengubah perilaku orang. Anak-anak muda yang tertarik dengan gerakan ISIS tidak mesti disebabkan oleh indoktrinasi langsung akan tetapi cukup dengan media sosial. Jadi, media sosial memang bisa menjadi jembatan untuk menggerakkan orang untuk terlibat di dalam gerakan-gerakan terlarang, seperti ISIS dan lain-lainnya.
Begitu dominannya pengaruh media sosial, maka semua seharusnya memahami bahwa regulasi yang mengatur tentang media sosial ini harus diwujudkan. Memang harus diakui bahwa era reformasi membawa perubahan yang sangat dahsyat terkait dengan banyak hal. Di antaranya adalah keterbukaan informasi.
Jika di masa lalu keterbukaan informasi itu merupakan hal yang tabu, maka di era reformasi hampir seluruhnya terbuka kecuali yang ditutup. Karenanya, maka berbagai media sosial juga bisa menyajikan apa saja yang dianggapnya bisa diinformasikan. Tidak ayal lagi bahwa semua orang juga bisa mengakses semua informasi sesuai dengan yang dibutuhkan.
Era keterbukaan informasi sudah sangat kebablasan, dalam arti bahwa seakan-akan pemerintah tidak memiliki sama sekali hal untuk melakukan control terhadap arus informasi yang semakin menemukan kebebasannya. Indonesia saya rasa sudah menjadi surga bagi kebebasan pers tersebut.
Di tengah semakin semaraknya media sosial yang mengusung terorisme dan radikalisme, maka seharusnya para pembuat kebijakan dapat melakukan upaya untuk menyelamatkan anak-anak kita dari rongrongan informasi mengenai terorisme. Kita sungguh menyayangkan bahwa anak-anak cerdas yang mestinya memiliki masa depan yang cerah menjadi berantakan kehidupannya karena mengikuti ajaran sesat berupa ajakan terorisme.
Di tengah kenyataan ini, maka saya mendukung terhadap ungkapan Pak Rudiantara bahwa pemerintah harus memiliki regulasi untuk melakukan pembreidelan terhadap situs-situs yang mengandung kekerasan dan kemudian juga dipandu oleh Undang-Undang Terorisme agar aparat keamanan dapat melakukan tindakan preventif terhadap gejala-gejala akan terjadinya terorisme.
Jangan sampai kita selalu ketinggalan peristiwa karena kita tidak memiliki regulasi yang dapat digunakan untuk melakukan deteksi dini terhadap gerakan terorisme. Kita semua mencintai negeri ini dan bertanggung jawab terhadap kelestarian negeri ini. Semua elemen masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama.
Wallahu a’lam bi al shawab.
