MENGELOLA HAJI BAGI KEMENTERIAN AGAMA (3)
MENGELOLA HAJI BAGI KEMENTERIAN AGAMA (3)
Pemberitaan yang sungguh bisa merugikan orang lain tentu harus dihindari. Apalagi jika berita itu tidak jelas sumber dan faktanya. Di Indonesia seirama dengan kebebasan pers yang dikembangkannya, maka semua bisa diberitakan bahkan yang berindikasi hate speech sekalipun.
Di antara yang saya kira mengandung “prinsip hate speech adalah informasi yang bisa mencederai orang lain, kelompok atau masyarakat tertentu.” Jika berita itu menimbulkan perasaan tidak nyaman atau mengandung kebencian, maka dipastikan bahwa itulah yang disebut sebagai hate speech.
Coba kita check pemberitaan di media sosial terkait dengan haji, adakah di sana sebuah informasi yang bisa membuat perasaan tidak nyaman bagi seseorang atau sekelompok orang atau masyarakat tertentu. Dengan menggunakan analisis content, maka kiranya bisa dipahami bahwa ada paragraph di dalam pemberitaan yang bisa melukai perasaan orang.
Di dalam pemberitaan tentang jamaah haji Indonesia yang akan menggunakan visa Filipina disebutkan bahwa biro perjalanannya adalah adik pejabat tinggi Kemenag pusat sehingga harus diurus tuntas. Bahkan juga disebutkan secara jelas, nama dan jabatannya. Pertanyaannya adalah apakah jabatan dan nama yang bersangkutan terkait dengan penyelewengan tindakan pemilik trave Awlad Amin. Akibatnya, masyarakat lalu menghukum secara sosial terhadap pejabat ini.
Padahal senyatanya sama sekali tidak ada keterkaitan antara jabatan Dirjen Pendidikan Islam dengan pemilik travel Awlad Amin di dalam urusan penyelewengan travel ini. Sungguh inilah yang disebut sebagai pers tidak menggunakan asas “praduga tidak bersalah”. Melalui pemberitaan ini, maka Dirjen Pendidikan Islam itu sudah merasa dihukumi dengan hukuman yang riil. Sesuai dengan pengakuannya, bahwa “rasanya semua orang sudah menghukum saya bahwa saya terlibat di dalam urusan travel ini. Padahal sama sekali tidak ada keterkaitan bisnis ini dengan saya baik secara personal maupun jabatan”. Demikian Beliau mengeluh kepada saya.
Apalagi berita-berita itu menggunakan sumber berita para pejabat negara dan pejabat tinggi negara yang secara otoritatif sering menyuarakan kepentingan rakyat. Makanya ketika mereka berkomentar tentang “seakan” ada keterkaitan di antara pejabat dan pengusaha travel, maka hukuman itu terasa sudah dijatuhkan kepadanya. Trial by press sudah berlangsung di saat berita tersebut tersebar.
Dengan demikian, pemberitaan haji yang memang sangat sensitive dan seksi tersebut seakan memperoleh momentumnya. Semua yang terkait dengan tindakan oknum baik pihak swasta maupun lainnya, maka dipastikan pers akan menyebut bahwa Kemenag tidak layak menyelenggarakan ibadah haji atau disebutkan sebagai mismanejemen. Alih-alih memberikan solusi yang cerdas, akan tetapi kenyataannya lebih merupakan upaya untuk mendegradasi peran Kemenag di dalam upaya perbaikan system dan manajemen perhajian.
Pers sepertinya memang by agenda setting selalu berada di dalam konteks “menguliti” penyelenggaraan haji melalui Kemenag. Selalu menjadi agenda di media tentang berita-berita yang mengandung kekurangan dan jarang memberitakan aspek positif haji. Seakan kesalahan itu adalah wujud tidak becusnya Kemenag menyelenggarakan ibadah haji.
Jika dirunut sesungguhnya bahwa penyelenggaraan haji oleh pemerintah (baca Kemenag) merupakan respon positif setelah di era lalu haji diselenggarakan oleh biro perjalanan haji. Ada banyak masalah yang kemudian mengharuskan negara terlibat di dalam penyelenggaraan haji.
Secara historis, bahwa penyelenggaraan haji semula dilaksanakan oleh pihak swasta, namun karena banyaknya masalah yang terjadi di seputar penyelenggaraan haji, maka pemerintah mengambil alih penyelenggaraannya melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2008. Tegas dinyatakan bahwa tugas menyelenggarakan haji adalah pemerintah yang kewenangannya diberikan kepada Kementerian Agama.
Oleh karena itu, semua hal yang terkait dengan penyelenggaraan haji haruslah berada di dalam otoritas Kemenag. Jika kemudian ada pihak lain yang dengan “keberaniannya” mengirimkan jamaah haji ke Tanah Suci Makkah al Mukarramah, maka hal itu jelas-jelas melawan hukum. Dan jika ini terjadi, maka kewenangan menyelesaikannya bukan di Kemenag tetapi di pihak berwajib.
Dan jika yang bersangkutan telah berada di luar negeri, seperti kasus Jemaah Umrah yang terlantar di Thailand atau Arab Saudi, maka yang menyelesaikannya adalah Kemenlu dan otoritas Kedutaan Besar Indonesia di negara dimaksud.
Jika Kemenag, misalnya mengirimkan delegasi seperti kasus 177 calon Jemaah haji yang akan berangkat ke Arab Saudi melalui Filipina, maka hal ini hanyalah factor fasilitasi karena panggilan peran yang sesungguhnya bukan tupoksinya.
Di sinilah kebijakan itu dirumuskan dan seharusnya tindakan ini memperoleh penghargaan dan bukan celaan demi celaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
