• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (2)

RADIKALISME DI SEKITAR KITA (2)
Masih ingat sama Ivan Armadi Hasugian, anak Medan usia 17 tahun yang akan melakukan bom bunuh diri di gereja di Medan Sumatera Utara. Tentu semua masih ingat. Bukankah hal itu baru saja terjadi beberapa saat yang lalu, dan rasanya informasi itu masih terngiang di telinga kita.
Anak muda yang benar-benar nekad, sebab di kala usahanya untuk melakukan bom bunuh diri di gereja tersebut gagal, maka dia juga melakukan upaya untuk membunuh Pastor Albert S Pandiangan yang kala itu sedang memimpin ibadah. Sungguh merupakan tindakan yang sangat nekad di usianya yang masih sangat muda. Rasanya, kita yang sudah berusia di atas 50-an ini tidak bisa memahami bagaimana anak muda itu melakukan tindakan yang bagi sebagian orang hanya bisa dilakukan oleh orang yang “tertekan” kejiwaannya dengan luar biasa dan salah satu di antara penyelesaiannya adalah melalui bunuh diri.
Tindakan bunuh diri memang bukan sesuatu yang aneh di dalam jagat relasi agama-agama atau di dalam dunia kekuasaan. Ada banyak kasus yang terkait dengan tindakan bunuh diri tersebut. Masih ingat dengan beberapa catatan tentang bunuh diri di Mapolres Solo, lalu bom bunuh diri di Pusat pertokoan Sarinah dan juga kasus WTC di Washington. Semua itu dilakukan atas nama relasi agama-agama dan juga kekuasaan.
Bunuh diri di dalam literature Ilmu Sosial misalnya dikenalkan oleh Emile Durkheim, yang mengkaji bunuh diri di kalangan masyarakat Eropa kala itu. Ada yang disebut sebagai bunuh diri altruistik da nada yang disebut bunuh diri egoistik. Bunuh diri altruistik dilakukan biasanya terkait dengan upaya sekelompok tertentu untuk melakukan perubahan seperti yang diinginkannya. Misalnya untuk membela keyakinan, solidaritas penderitaan, atau tujuan untuk mempertahankan keyakinan dan sebagainya.
Di dalam konteks ini, maka bunuh diri yang dilakukan oleh kaum radikalis termasuk jenis bunuh diri altruistic yang dilakukan untuk membela keyakinan. Bagi mereka ini bunuh diri sama dengan jihad membela agama Allah. Makanya, di antara mereka berkeyakinan bahwa begitu bom meletus dan tubuhnya hancur berantakan dan meninggal seketika, maka dia sudah dijemput oleh para bidadari dari surga yang akan mengantarkannya ke surganya Allah.
Mereka yang berpaham seperti ini, maka jihad artinya hanya perang dan perang. Tidak ada arti lainnya. Makanya, mereka hanya menginginkan mati atau tujuannya tercapai. “isy kariman auw mut syahidan”. Berdasar atas dalil ini, maka bunuh diri untuk mencapai tujuan bersama di kalangan mereka menjadi absah adanya. Dengan demikian, dalil lain terkait dengan jihad tentu tidak ada maknanya. Bagi mereka jihad hanya berarti perang. Bagi mereka untuk masuk surga harus dilaluinya dengan jihad dan itu artinya perang offensive. Harus melawan musuhnya meskipun dengan pisau dapur sekalipun.
Ivan adalah contoh jhad yang diajarkan oleh kelompok ekstrimis ini. Makanya kala bom yang digunakan tidak bisa meledak dan hanya mengeluarkan asap saja, maka yang penting harus melawan, dan yang dijadikan sasaran adalah Pendeta yang memimpin persembahyangan tersebut. Meskipun hanya dengan pisau, maka perlawanan harus dilakukan. Semua upaya harus dilakukan untuk menunjukkan kuatnya keyakinan tentang kesyahidan yang diimpikan.
Dewasa ini memang terdapat perubahan mendasar terkait dengan terorisme. Data yang diungkapkan oleh Kepala BNPT, Suhardi Alius, menyatakan bahwa telah terjadi perubahan perilaku teroris. Jika di masa lalu teroris itu identic dengan orang yang terpinggirkan, putus asa, miskin, dan tidak ada harapan lagi menghadapi kehidupan ini, maka dewasa ini bergeser kepada yang lebih intelektual, akademisi bahkan kaum birokrat.
Berdasarkan laporan itu dinyatakan bahwa ada seorang direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Pengusahaan Batam, Dwi Djoko Wiwoho yang beserta anak dan istrinya bergabung dengan ISIS. Joko meminta kepada atasannya melalui SMS, untuk memberitahukan kepada orang tuanya bahwa ia akan berhijrah dan bergabung dengan Daulah Islamiyah di Iraq.
Ini hanya sebuah contoh bahwa gerakan terorisme sudah memasuki orang-orang yang secara ekonomi mapan dan memiliki jabatan yang sangat baik untuk bergabung dengan kelompok ISIS. Yang seperti Djoko tentu lebih dari satu. Artinya, bahwa virus radikalisme memang benar-benar sudah memasuki tahapan serius untuk ditangani.
Dan sebagaimana pernyataan, Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, bahwa TNI belum bisa berbuat maksimal untuk terlibat menangani terorisme bukan karena ketidaksadaran akan bahaya radikalisme, akan tetapi karena regulasi yang mengatur hal ini tidak memberikan dukungan untuk melakukannya.
Nah, di tengah kesadaran yang makin membuncah ini apakah kita akan terus larut untuk tidak berbuat dalam kerangka merumuskan atau merevisi UU Terorisme, maka jawabannya tentu kepada para pengambil kebijakan di legislative. Jika pemerintah dengan berbagai upaya sudah melakukannya, maka gilirannya tentu di DPR lah semua harus bermuara. Jika tidak melakukannya, maka kita akan melihat Indonesia ke depan bukan dengan muka tersenyum tetapi dengan hati yang bermuram durja.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..