RADIKALISME DI SEKITAR KITA (1)
RADIKALISME DI SEKITAR KITA (1)
Sebagaimana diungkapkan oleh kebanyakan ahli di bidang ilmu sosial, bahwa Indonesia merupakan lahan subur bagi pertumbuhan semua aliran atau sekte atau paham keyakinan atau keagamaan apapun yang datang kepadanya. Secara historis pandangan ini bisa dibenarkan, sebab memang Indonesia bisa menjadi multi keyakinan dan agama ini disebabkan oleh sikap “menerima” masyarakat Indonesia terhadap berbagai keyakinan.
Jika kemudian sekarang menjadi tempat persemaian berbagai macam paham keagamaan, tentu tidak lepas dari kesiapan masyarakat kita untuk menerimanya. Berbagai aliran baru, seperti gerakan radikalisme atau fundamentalisme yang terus menggerus keyakinan beragama Islam atau lainnya dari arus tengah, maka hakikatnya tentu tidak terlepas dari prinsip “menerima” apapun yang datang kepadanya itu.
Sebagai contoh, Hizbut Tahrir yang dilarang di negeri asalnya, di Timur Tengah, kemudian laris manis di sini hanya dengan menambahkan kata Indonesia. Jadi yang semula Hizbut Tahrir lalu menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di negeri asalnya, Hizbut Tahrir dilarang karena pandangan politiknya yang berbeda dengan pemerintah. Keinginannya untuk mendirikan negara sesuai dengan prinsipnya itu yang kemudian memantik reaksi pemerintah dan masyarakat di Libanon untuk menolaknya dan membreidelnya.
Namun di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memasuki kawasan baru yang menjanjikan. Dengan memasuki dunia kampus, yang notabene merupakan tempat untuk mendidik calon pemimpin masa depan dan pemimpin bangsa, maka HTI lalu mengepakkan sayapnya sedemikian rupa. Dengan metode yang amat canggih dan nyaris tidak dimiliki oleh organisasi ekstra kampus lainnya, maka HTI menggemakan konsep “Islam Kaffah”, “khilafah Islamiyah”, “Islam Paripurna”, Islam Syumuliyah” dan sebagainya yang kemudian menjadi daya pikat luar biasa di kalangan para mahasiswa.
Mereka menyasar di berbagai masjid kampus, dengan menguasai SDM masjid kampus, dan kemudian menjadikan masjid sebagai basis gerakannya, sehingga tempat paling strategis itu dikuasainya. Sementara itu, organisasi yang mengusung basis Keislaman, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Pemuda Anshar, Ikatan Pemuda Muhammadiyah dan sebagainya justru keluar ring atau berada di luar. Akibatnya, potensi anak-anak muda itu dibina dan dididik oleh aktivis masjid kampus yang kebanyakan atau bahkan seluruhnya merupakan aktivis HTI, KAMMI atau organisasi Islam senafas lainnya.
Mereka, para aktivis HTI, KAMMI dan sebagainya juga menguasai pesantren-pesantren kampus. Lembaga asrama mahasiswa ini menjadi ajang bagi proses indoktrinasi yang sangat strategis untuk menyebarkan ajaran dan faham keagamaan yang diyakininya itu. Itulah sebabnya semakin banyak elemen mahasiswa yang menjadi aktivis atau sekurang-kurangnya pendukung terhadap gerakan khilafah dan sebagainya.
Ini merupakan kenyataan dan bukan lagi impian. Oleh karena itu jika kemudian banyak anak-anak pintar di perguruan tinggi yang terlibat di dalam organisasi ini, maka hal ini tentu disebabkan strategi perjuangan mereka yang memang hebat. Dengan menjadikan anak-anak muda yang pintar di berbagai lembaga pendidikan tinggi sebagai simpatisan atau aktivis, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan memperoleh amunisi baru yang hebat dengan semangat luar biasa. Strategi menempatkan sasarannya pada anak-anak muda yang ke depan akan menjadi penggerak bangsa ini, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan menangguk keuntungan yang sangat tinggi. Di satu sisi akan diperoleh agen-agen fundamental yang militant dan di satu sisi akan didapatkan sumber potensi di lembaga pemerintah yang sangat baik. Dengan demiian, dua keuntungan yang sekaligus bisa dipanen dari strategi jitu yang diterapkannya.
Bukannya para aparat pemerintah tidak sadar akan hal ini, akan tetapi tentu ada kegamangan di dalam melakukan tindakan melawannya. Sering mereka (kaum HTI, KAMMI dan sebagainya) juga menggunakan HAM untuk melawan aparat pemerintah, tetapi di sisi lain mereka menolak HAM yang dianggapnya tidak bersumber dari ajaran agama dan berasal dari dunia Barat.
Kegamangan itu tentu terkait dengan ketiadaan regulasi yang bisa dijadikan untuk mementahkan strategi pergerakan radikalisme atau fundamentalisme untuk terus melakukan maneuver dalam rangka merekrut dan melakukan gerakan kekerasan. Makanya, jika diketahui bahwa upaya untuk meredam radikalisme seakan berjalan di tempat tentu tidak lain adalah karena ketiadaan regulasi ini.
Jadi, dengan dalih apapun seharusnya Undang-Undang Terorisme harus dilahirkan di tengah berbagai gerakan terror dan kekerasan yang tidak dapat disangka-sangka kapan akan terjadi. Oleh karena itu, rasanya masyarakatlah yang harus melakukan upaya deteksi dini agar mereka merasa terus barada di dalam pengawasan masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.
