• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BISA MELAKUKAN UMRAH

BISA MELAKUKAN UMRAH
Tidak seperti tahun lalu, yang waktunya sangat terbatas, hanya tiga hari di Arab Saudi, akan tetapi untuk tahun 2016 ini, saya memang meminta waktu agak sedikit lebih longgar, yaitu lima hari di Arab Saudi. Makanya, untuk tahun ini rasanya lebih bisa menyesuaikan waktu dengan kondisi fisik yang memang sudah saatnya dipikirkan. Sudah harus menghindari berkejar-kejaran waktu dengan kegiatan. Sudah saatnya untuk berintrospeksi diri.
Sesuai dengan alokasi waktu tersebut, maka berdasarkan pembicaraan dengan tim Jakarta dan Tim Arab Saudi, maka jadwal waktu untuk perjalanan di Arab Saudi diatur untuk ke Mekkah Al Mukarramah terlebih dahulu. Perjalanan ke Mekkah juga dilakukan siang hari setelah semalam sempat beristirahat di Jeddah. Jam Sembilan WAS kami berangkat dengan kendaraan darat (Mobil Ford) yang bertepatan dikemudikan oleh Pak Masykur yang Orang Madura. Dengan kecepatan rata-rata 140 KM perjam, maka perjalanan ke Mekkah ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Kami sudah berpakaian ihram semenjak di Jeddah. Bisa dipahami, sebab salah satu miqat bagi jamaah umrah adalah Jeddah.
Udara memang sangat panas. Jauh lebih panas dibandingkan udara di Jakarta atau Surabaya. Kira-kira 48 derajat Celsius. Udara yang sangat panas tentu. Di dalam perjalanan panjang itu yang bisa dilihat hanyalah hamparan gunung, lembah dan perbukitan yang terdiri batu dan pasir. Jika ada pepohonan hanyalah pohon-pohon perdu, yang meranggas dan tidak lagi berwarna hijau. Kecoklat-coklatan. Maklumlah udara yang sangat panas tentu membakar dedaunan pohon tersebut. Saya pun berpikir bagaimana pohon bisa hidup di tengah terik panas matahari yang membakar tersebut. Dengan nada gurau Pak Syafrizal menyatakan bahwa di Arab ini langitnya pendek atau buminya yang tinggi, sehingga udaranya panas sekali.
Sepanjang perjalanan tidak didapati lalu lalang orang. Seingat saya ada ada seorang yang berjalan di pinggir jalan. Hanya ada mobil-mobil berbagai merek dengan laju yang sangat tinggi. Juga ada beberapa bangkai kendaraan yang kelihatannya terbakar. Saya terpikir bagaimana di tempat seperti ini terdapat kehidupan. Bagi saya alam sungguh tidak bersahabat. Selain itu juga ada beberapa bekas bangunan yang ditinggalkan begitu saja. Rasanya, bangunan itu adalah bekas tempat usaha makanan yang ditinggalkan karena izin usahanya yang telah habis.
Saya, Pak Syihab, Pak Syafrizal, Pak Buchori dan Pak Farid bergegas ke Masjidil Haram. Kami turun di tol samping masjid dan langsung ke Toilet untuk buang air kecil dan juga berwudlu. Kami menuju Ka’bah melalui pintu King Fahd. Kami langsung ke Ka’bah untuk mengerjakan umrah. Sungguh senang bisa kembali hadir di Rumah Allah yang suci ini. Tanpa terasa meleleh air mata bening membasahi pelupuk mata. Ada rasa haru, senang dan bahagia. Mungkin inilah yang membuat orang ingin berkali-kali datang ke Rumah Allah yang suci ini. Perasaan yang campur aduk, bergerak-gerak di antara keharuan, kesenangan dan kebahagiaan.
Prosesi untuk umrah pun kami lakukan. Kami bersama-sama bergerak untuk melakukan shalat, thawaf dan juga berdzikir. Acara di seputar Ka’bah diakhiri dengan shalat dan berdoa di Hijir Ismail. Di sinilah rasanya semua ingin disampaikan kepada Allah subhanallahu wata’ala. Karena lamanya Pak Syihab berdoa lalu menjadi bahan godaan. Akhirnya beliau menyatakan bahwa dia berdoa “Ya Allah kembalikan WTP-ku”. Selalu ada hal-hal yang bisa ditertawakan bersama.
Kami menuju ke tempat melakukan Sya’i. melalui pintu hijau, kami menuju tempat Shafa. Di situ kami berniat dan berdoa dan melambaikan tangan ke arah Ka’bah. Prosesi sya’i dari Bukit Shafa ke Marwah pun dilakukan. Di tahun 2000 dan tahun 2003 kala saya melakukan ibadah haji, maka kaki kita bisa menyentuh bebatuan di bukit Shafa dan Marwah. Tetapi kini tempat bebatuan itu sudah ditutup dengan pembatas kaca. Pasca menyelesaikan sya’i, saya katakan, bahwa diperlukan kaca pembatas di bebatuan Bukit Shafa dan Marwah, sebab ada kekhawatiran bebatuan itu dicungkil untuk dijadikan Batu Akik. Kami berlima pun tertawa lepas.
Sungguh bahwa putaran thawaf di Ka’bah itu merupakan sesuatu yang sangat religious. Kita bisa berdoa sambil air mata bercucuran, bisa menangis, bisa merasakan kekuatan adi kodrati yang tidak bisa dirasakan di tempat lainnya. Saya berkeyakinan bahwa Rumah Suci Allah ini memang memiliki kekuatan spiritual yang sangat menakjubkan. Di saat seperti ini segala doa untuk diri, keluarga, bangsa dan negara bisa dilantunkan. Orang bisa berdoa untuk istri atau suaminya, anak-anaknya, cucu-cucunya, keluaga lainnya bahkan juga untuk bangsa.
Oleh karena itu tidak salah kiranya, jika di setiap keberangkatan jamaah haji lalu Menteri Agama dan para pejabat lainnya menitipkan doa untuk bangsa, agar bangsa ini menjadi lebih baik di masa depan. Indonesia ke depan menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE TANAH HARAM LAGI

KE TANAH HARAM LAGI
Sebagaimana yang pernah saya tulis dulu, tahun 2015, bahwa salah satu hal yang membuat saya itu segan pergi ke luar negeri adalah factor sulit tidur di kendaran, baik kendaraan darat maupun udara. Makanya, keengganan untuk bepergian jauh yang berbilang jam itu tentu terkait dengan factor ini.
Tetapi saya bergembira di dalam kepergian saya ini, sebab di pesawat saya bisa tidur pulas. Bahkan sempat bermimpi waktu tidur pulas itu. Meskipun tidak lama, kira-kira tiga jam, tetapi cukup rasanya menjadi pengobat lelah. Seingat saya hanya dua kali saya tertidur lelap di pesawat itu bahkan sampai bermimpi. Yaitu kala saya ke Surabaya dalam perjalanan malam, pesawat terakhir dan ke Jeddah kali ini.
Saya terbangun kala pramugari menyiapkan makan malam, kira-kira jam 24 WIB atau pukul 20 WAS. Pada jam itu disajikan makan malam sebagaimana tradisi di dalam pesawat Saudia Airline yang menerbangkan kami. Semenjak itu, maka saya lalu tidak bisa lagi istirahat, sebab pesawat lalu landing, terus kami ke Kantor Urusan Haji di Jeddah untuk bertemu dengan kawan-kawan petugas.
Pak Arsyad dan kawan-kawan sudah menunggu kami di bandara. Seperti tahun lalu, maka saya bersama dengan tim dan kawan-kawan petugas haji di Jeddah bersama-sama ke kantor. Sebenarnya masih sore, jam 21 WAS, akan tetapi di Indonesia tentu sudah jam 1.00 WIB. Kira-kira jam 22.30 WAS, Saya, Pak Syihab, Pak Syafrizal, Pak Buchori dan Pak Farid segera bergegas istirahat. Sebagaimana yang sering saya katakan, saya tidak bisa memejamkan mata. Di Indonesia, saya terbiasa jam sebegitu sudah bangun. Jam 3.00 WIB atau jam 3.30 WIB saya selalu terbangun untuk melakukan acara malam.
Di dalam diskusi saya malam itu dengan Pak Dumyati, Pak Arsyad dan beberapa lainnya, ternyata ada juga hal-hal menarik untuk menjadi catatan di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Misalnya, para jamaah haji yang tidak bisa dipulangkan karena sakit. Bahkan ada yang sakitnya berkepanjangan. Tahun lalu ada yang sampai enam bulan di rumah sakit, dan ada pula yang kemudian meninggal di rumah sakit pasca haji.
Di dalam diskusi itu, Pak Dumyati mengusulkan agar ada tim kesehatan yang terus berada di Rumah Sakit di Arab Saudi yang di tempat itu terdapat jamaah haji kita yang menderita sakit. Beliau menyatakan bahwa perlu ada dokter atau tim kesehatan yang menjadi pemantau jamaah haji kita yang sakit. Mereka harus memiliki kemampuan bahasa Arab atau Inggris. Bahasa Inggris dirasa cukup sebab kebanyakan perawat memang berasal dari Filipina sehingga kebanyakan tentu bisa berbahasa Inggris.
Pak Dumyati menyampaikan cerita ironis tentang jamaah haji yang menderita sakit dan dirawat di Rumah sakit Jeddah. Ada seorang jamaah haji yang hanya mau memakan pisang saja, akan tetapi karena tidak saling mengerti bahasanya, maka oleh perawat Rumah Sakit, pisang itu dicampur dengan makanan yang disediakan untuknya. Tentu saja si pasien tidak mau memakannya. Bisa dibayangkan jika peristiwa seperti ini terus berlangsung, maka si pasien tidak akan menjadi cepat sembuh akan tetapi justru akan menderita lebih jauh.
Meskipun mata sudah tidak bisa diajak kompromi tetapi diskusi pun terus berlangsung. Saya menyampaikan beberapa alternative. Pertama, menjalin Memory of Understanding (MoU) dengan Kementerian Kesehatan untuk program pendampingan. Program ini memang program pendampingan dan bukan program intervensi tim kesehatan di Rumah Sakit di Arab Saudi. Jadi tugasnya memang melakukan pendampingan saja dan melakukan perawatan secara psikhologis berbasis pada ilmu kesehatan. Melalui MoU ini, maka Kementerian Kesehatan yang akan mengirimkan tim kesehatan pasca penyelenggaraan ibadah haji. Tentu di dalam MoU akan bisa ditegaskan apa fungsi dan bagaimana mereka bekerja termasuk penganggaran dan sebagainya.
Kedua, Kementerian Agama bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atau juga mungkin Fakultas Kedokteran lainnya yang bersedia untuk mengirimkan tim pedamping kesehatan bagi jamaah haji yang menderita sakit di Arab Saudi. Persyaratan dasarnya tentu bisa berbahasa Inggris, sudah memiliki Sarjana Kedokteran (S. Ked.), dan sedang memasuki masa Co Assistance (Co As). Mereka bisa dikirim selama satu bulan untuk mengikuti program ini. Saya kira Fakultas Kedokteran akan merasa senang dengan program ini, sebab akan bisa memberikan pembekalan empiris kepada calon dokternya, dan selain juga bisa melakukan ibadah umroh dan sebagainya.
Untuk kepentingan pendampingan ini, maka bisa dikirim sebanyak seorang di setiap Rumah Sakit yang terdapat jamaah haji Indonesia selama satu bulan. Sehingga dibutuhkan tiga orang pendamping untuk masa tiga bulan pendampingan. Bisa juga diperpanjang sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian, jumlah berapa banyak dokter atau tim pendamping sangat tergantung kepada berapa banyak mereka yang dirawat di Rumah Sakit di Arab Saudi.
Tentu saja juga harus ada kesepahaman dengan Rumah Sakit di Arab Saudi tentang program ini agar tidak terdapat problem lapangan yang menghambat. Jangan sampai pihak Rumah Sakit di Arab Saudi menganggap bahwa program ini liar. Itulah sebabnya rasanya diperlukan juga Letter of Implementation (LoI) dengan Rumah Sakit di Arab Saudi.
Program ini tentu merupakan bagian dari perlindungan terhadap jamaah haji Indonesia, yang memang memerlukan program seperti ini. Saya kira kita masih bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada jamaah haji kita, tidak hanya pra dan pelaksanaan ibadah haji, akan tetapi juga untuk pasca penyelenggaraan haji.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DARI DERADIKALISASI KE DEEKSTRIMISASI KE MODERASI

DARI DERADIKALISASI KE DEEKSTRIMISASI KE MODERASI
Di dalam ceramah saya di PKPT Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 29/09/2016, saya juga menyampaikan hal penting terkait dengan upaya untuk membangun gerakan deradikalisasi atau bahkan deekstrimisasi di kalangan sebagian kecil masyarakat Indonesia yang terkena virus ekstrimisme atau radikalisme.
Ada tiga tawaran saya terkait dengan upaya untuk membangun gerakan deradikalisasi. Pertama, memberikan sosialisasi tentang bahayanya gerakan radikalisme apalagi ekstrimisme. Saya sampaikan di dalam forum itu bahwa masyarakat harus mengetahui tentang bahaya radikalisme. Menjawab pertanyaan audience, saya sampaikan bahwa jangan hanya kita –Islam bercorak rahmatan lil alamin dengan prinsip menjadikan Pancasila, dan NKRI—saja yang menjadi bahan diskusi di kalangan Muslim radikalis, mereka pun harus dijadikan sebagai bahan ceramah atau diskusi. Berdasarkan pamphlet terbitan HTI di Masjid Agung Bangka, maka agar dilakukan diskusi terhadap materi-materi yang terdapat di dalam pamphlet itu. Diskusikan dan ceramahkan lalu dijelaskan mana yang relevan dan benar untuk diamalkan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Masyarakat akan menganggap semua itu kebenaran jika kita tidak menjelaskannya. Jika semua masjid dan kegiatan ceramah membahas hal ini, maka hal itu akan menjadi model penanggulangan terhadap gerakan radikalisme. Jangan biarkan pamphlet itu berbicara sendiri di hadapan pembaca kita, akan tetapi kita yang harus menjelaskan mana yang baik dan mana yang tidak relevan bagi bangsa ini. Semua da’i yang sealiran dengan Islam rahmatan lil alamin harus mengetahui ma huwa radikalisme wa ma adraka ma radikalisme. Berbekal pengetahuan yang mendalam tentang hal ini, maka da’i tersebut tidak akan canggung menjelaskan ideology yang akan membahayakan bangsa ini.
Kedua, jadikan masjid atau tempat ibadah sebagai pusat gerakan anti radikalisme dan ekstrimisme. Kita menjadikan tempat ibadah sebagai pusat gerakan Islam yang rahmatan lil alamin dan sekaligus juga gerakan deradikalisasi atau deekstrimisasi. Di era digital seperti ini, maka bukanlah hal yang sulit untuk mengembangkan basis teknologi untuk saling terkomunikasikan antara satu masjid dengan lainnya dan juga terkomunikasikan antara satu da’i dengan da’i lainnya. BNPT bisa bekerja sama dengan Telkom, DMI, Kementerian Agama dan TNI/POLRI untuk membangun jejaring yang berfungsi saling menghubungkan antara satu dengan lainnya. Antara takmir masjid dengan lainnya dan juga antara da’i dengan da’i lainnya. Untuk menangani radikalisme dan ekstrimisme saya kira tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri akan tetapi harus dengan kebersamaan. Jika terorisme sudah menjadi darurat nasional, maka tidak ada kata lain kecuali kita harus membangun kebersamaan itu. Jangan serahkan penanganan terorisme kepada pemerintah saja, akan tetapi masyarakat dan organisasi keagamaan juga harus terlibat di dalamnya.
Program sosialisasi dan jejaring ini harus menjadi program jangka pendek dan menengah pemerintah dan masyarakat. Coraknya tentu merupakan program penanggulangan dan pendampingan kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Go now atau kita akan terlambat. Sikap masyarakat Indonesia yang abai terhadap apa saja yang memasuki kawasannya harus diubah menjadi peduli terhadap apa saja yang akan memasuki kawasannya.
Ketiga, deradikalisasi atau deekstrimisasi melalui pendidikan. Harus disadari bahwa untuk menegakkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan keberagaman, maka instutusi yang paling berkompeten adalah institusi pendidikan. Pendidikan merupakan instrument yang sangat mendasar untuk menegakkan negeri ini. Itulah sebabnya, gerakan deradikalisasi, deekstrimisasi yang juga sangat relevan adalah melalui institusi pendidikan.
Pendidikan merupakan program jangka panjang untuk menanggulangi terorisme berbasis pada radikalisme dan ekstrimisme. Untuk kepentingan ini, maka sesungguhnya diperlukan program pembelajaran yang akan memberikan pemahaman dan pengalaman tentang kehidupan beragama yang mengedepankan keselamatan dan bukan kehancuran.
Pendidikan harus berbasis pada pendidikan agama yang rahmatan lil alamin. Kementerian Agama sudah merumuskan kurikulum pendidikan agama rahmatan lil alamin. Bahkan sudah dirumuskan modul pembelajaran rahmatan lil alamin. Dengan upaya semacam ini, maka diharapkan bahwa penafsiran tentang agama yang bercorak kekerasan akan bisa dieliminasi, sehingga pemahaman, sikap dan perilaku siswa yang kelak akan menjadi orang dewasa akan dapat diarahkan kepada bangunan Islam yang bercorak keselamatan tersebut.
Sungguh-sungguh harus dipikirkan agar jangan sampai guru dan dosen kita justru menjadi agen munculnya radikalisme atau ekstrimisme. Guru atau dosen sebagai sumber utama transformasi ilmu dan agama harus benar-benar memiliki kesadaran betapa bahayanya gerakan ekstrimisme ini. Makanya, para guru dan dosen juga harus terseleksi secara memadai agar mereka menjadi agen pengembangan Islam rahmatan lil alamin dan bukan agen Islam yang mengajarkan kekerasan.
Jika kita ingin Negara ini terus berada di dalam kedamaian yang bersatu dan berdaulat sesuai dengan praksis Negara yang dilakukan oleh para pendahulu kita, dan kita tidak ingin melihat Indonesia yang tercerai berai seperti di Timur Tengah dan wilayah lainnya, maka hanya ada satu pernyataan “tegakkan Islam wasathiyah untuk menuju Islam rahmah”
Wallahu a’lam bi al shawab.

DARI RADIKALISME KE EKSTREMISME KE TERORISME

DARI RADIKALISME KE EKSTREMISME KE TERORISME
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan presentasi di dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bekerja sama dengan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 29/09/2016. Acara ini dihadiri oleh Bupati Sungai Liat, Ir. Tarmizi Saat, BNPT Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pejabat Polda Kepulauan Bangka Belitung, SKPD Kabupaten Sungai Liat, dan para da’i dari seluruh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Saya tentu sangat gembira dilibatkan di dalam acara yang sangat menarik, sebab saya menyadari betul, sebagaimana ungkapan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, Kepala BNPT, Suhardi Alius, dan juga Menko Polhukam, Wiranto, yang menyatakan bahwa terorisme sudah merupakan darurat Negara. Kita tidak boleh main-main lagi dengan gerakan terorisme yang makin diminati oleh usia muda, kaum intelek dan bahkan juga kaum birokrat.
Saya menyampaikan tiga hal penting terkait dengan acara ini. Pertama, tentang makna radikalisme yang telah berkembang di Indonesia. Radikalisme sudah menjadi wacana penting di dalam kamus kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga setiap ada gerakan yang mencederai terhadap kesatuan dan persatuan bangsa, gerakan terror yang dilakukan oleh orang per orang, maka asosiasinya pastilah dilakukan oleh kaum radikalisme.
Kata radikal memang sering diartikan sebagai pengetahuan, sikap dan perilaku yang mendasar atau yang mendalam atau menyeluruh sebagai dampak keyakinan yang dimiliki oleh seseorang. Jadi, jika orang radikal di dalam beragama, maka berarti dia beragama secara mendasar, mendalam dan menyeluruh. Namun jika kata radikal ditambah dengan isme atau radikalisme, maka konotasinya sudah berubah menjadi lebih mendasar, menyeluruh dan menganggap yang lain tidak ada. Hanya ismenya yang bersangkutan yang benar.
Sebenarnya ada satu kata yang lebih tepat menggambarkan tentang sikap radikal yang berlebihan dan berkecenderungan lebih keras bahkan mengarah kepada tindakan terror, yaitu ekstrimisme. Sikap ekstrim lebih cocok digunakan untuk menggambarkan tentang tindakan dan perilaku yang cenderung nekad untuk memperjuangkan keyakinannya bahkan dengan cara-cara yang keras dan berakibat kehancuran. Mereka berkeinginan untuk menihilkan semua yang dianggap tidak sejalan dengannya. Termasuk dengan cara-cara terror yang sering dilakukan.
Dengan demikian, ada gradasi yang sistemik yaitu dari fundamentalism ke radikalisme ke ekstrimisme lalu terahir ke terorisme.
Kaum beragama pastilah memiliki sikap fundamental, sebab setiap agama mengajarkan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar dan sementara yang lain salah. Hal ini merupakan keyakinan dasar dari setiap umat beragama yang taat pada agamanya. Kira-kira seperti beragama secara kaffah. Ketika sikap ini sangat kuat menancap di dalam diri umat beragama dan kemudian yang bersangkutan bersikap membenci, menghalangi dan menganggap bahwa kesalahan keyakinan tersebut tidak boleh diberi hak hidup, dan berkeinginan menihilkan lainnya, maka seseorang sudah jatuh ke radikalisme. Kala seseorang menggunakan berbagai cara kekerasan, bahkan dengan bom bunuh diri untuk menihilkan lainnya atau yang dianggap sebagai musuhnya, maka yang bersangkutan sudah jatuh kepada tindakan terorisme. Jadi ada prosesi untuk menuju radikalisme dan terorisme dimaksud.
Kedua, tentang jihad. Kata jihad merupakan kata yang multi interpretable. Bisa memiliki makna yang variatif. Misalnya, memenuhi sepenuh keyakinan, memenuhi sepenuh syariat, memerangi dengan sungguh-sungguh dan juga bisa bermakna kesungguhan dalam usaha, menolong, dan mengerjakan kebaikan secara sungguh-sungguh.
Di kalangan Islam yang berpaham wasathiyah, maka pengertian jihad lebih dimaknasi sebagai upaya untuk memenuhi keyakinan dan ritual-ritualnya, memberikan pertolongan yang sungguh-sungguh atau berusaha di dalam kebaikan secara optimal. Jihad dalam makna peperangan lebih dihindari dalam suasana damai. Sedangkan di kalangan kaum radikalisme dan ekstrimisme serta terorisme maka kata jihad hanya bermakna peperangan offensive. Hal ini didasarkan oleh keinginan untuk menerapkan ajaran agamanya yang dianggapnya benar dan yang lain salah dan harus dinihilkan. Untuk menihilkan kelompok lainnya, maka harus dilakukan dengan peperangan, bahkan menggunakan bom bunuh diri.
Makanya, di dalam upaya untuk memerangi masyarakat yang dianggapnya memuja thaghut, seperti masyarakat Indonesia yang menggunakan Pancasila sebagai ideology kenegaraan, maka mereka melakukannya dengan upaya untuk merekrut terhadap anak-anak cerdas melalui media sosial atau pengkaderan secara langsung untuk bersiap menjadi martir-martir yang siap melakukan peperangan offensive kapan dan di manapun, bahkan menggunakan pisau dapur sekalipun.
Ketiga, gerakan radikalisme itu ternyata semakin mengakar terutama di kalangan anak-anak muda. Ada arah baru bahwa pengikut radikalisme dan ekstremisme itu semakin muda usianya. Selain juga mulai merasuki kaum intelektual dan akademisi, bahkan juga kaum birokrat. Mereka sudah memasuki hampir semua institusi pemerintah. Mereka juga memasuki parlemen dan juga aparat hukum. Nyaris tidak ada suatu lembaga baik pemerintah dan non pemerintah yang kebal terhadap gerakan radikalisme ini.
Di masa lalu, kita bisa berbangga bahwa perguruan tinggi agama bisa menjadi penangkal terhadap radikalisme, akan tetapi sekarang tentu tidak lagi bisa menyatakan seperti itu. Bahkan juga pesantren pun bisa saja dimasukinya. Oleh karena itu, kita semua harus melakukan deteksi dini agar kita bisa mengetahui bagaimana gerakan mereka itu di tengah masyarakat.
Kiranya memang sangat diperlukan gerakan pencegahan dengan sungguh-sungguh agar radikalisme atau ekstrimisme bisa dicegah dengan segenap kekuatan. Harus ada sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat dan organisasi sosial lainnya agar kita bisa melakukan penanggulangan dan pemberantasan gerakan ini secara lebih massif.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TANTANGAN MAHASISWA PTKIN

TANTANGAN MAHASISWA PTKIN
Saya diminta oleh Ketua STAIN Syekh Abdurrahman Siddiq Bangka Belitung untuk memberikan kuliah iftitah di hadapan para mahasiswa dengan tema “Peran PTKIN di dalam Gerakan Revolusi Mental” (29/09/2016). Saya tidak tahu kenapa tema ini yang dipilih tetapi saya kira ada kaitannya dengan upaya pemerintah Presiden Joko Widodo bahwa yang diperlukan sekarang adalah bagaimana mereformasi mental bangsa ini untuk menuju Indonesia hebat.
Hadir pada acara ini Ketua STAIN, Dr. Ahmad Jayadi, para Wakil Ketua, Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Andi M Darlis, para pejabat structural dan mahasiswa baru berjumlah 400 lebih, dan juga para dosen. Acara ini ditempatkan di halaman STAIN bertenda, sebab ruang aula yang sudah dibangun semenjak tahun 2012 hingga sekarang belum selesai. Jadi gedung mangkrak. Tahun ini dibangun tetapi dengan anggaran yang belum mencukupi.
Pada kesempatan ini, saya sampaikan tiga hal mendasar yang saya kira bisa menjadi pedoman bagi para mahasiswa di dalam proses pembelajarannya. Pertama, tantangan faham keagamaan, baik yang bercorak liberal maupun yang radikal. Keduanya tidak baik untuk dijadikan sebagai praksis kehidupan. Liberalism adalah ibu kandung globalisasi dan modernisasi yang di dalam banyak hal harus disikapi dengan kritis. Liberalism yang merusak terhadap sendi-sendi agama, misalnya dengan mempertanyakan relevansi agama, tafsir agama, ritual-ritual agama dan sebagainya tentu bisa menjadikan kegoyahan di dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Jika liberalism sudah mempertanyakan keabsahan Kitab Suci, seperti Al Qur’an, mengobrak abrik terhadap tafsir agama yang sudah dibakukan oleh ulama salaf yang saleh, dan merusak aturan-aturan keagamaan, maka saya kira tidak produktif di dalam membangun kehidupan beragama yang telah tertata dengan baik. Liberalism yang membangun premis “kebebasan” yang tidak terbatas, tentu akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan beragama yang sesungguhnya menjadi pedoman di dalam perilaku dan tindakan.
Demikian pula radikalisme dan ekstremisme. Kita sungguh menolak terhadap radikalisme dan ekstremisme agama. Keduanya ini jauh lebih berbahaya sebab penekanannya justru pada tindakan anti Negara yang mapan. Mereka ingin mengganti Negara sesuai dengan alam pikirannya dan keyakinannya. Mereka menganggap bahwa Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah berhala-berhala modern yang dipuja oleh masyarakat. Mereka menganggap bahwa hanya system Negara sesuai dengan keyakinannya saja yang benar. Demokrasi, kemodernan, Islam Nusantara, dan sebagainya adalah kesesatan pikiran yang harus diluruskan dengan peperangan. Mereka menganggap bahwa tafsir agamanya saja yang benar dan mengkafirkan semua yang tidak sepaham dengannya. Oleh karena itu, para mahasiswa harus melakukan tindakan kritis dan jangan jadikan radikalisme aau ekstremisme sebagai pedoman di dalam kehidupan.
Di kalangan mahasiswa boleh menjadikan liberalism dan ekstremisme sebagai bahan diskusi akan tetapi harus melalui panduan para dosen yang selalu mengedepankan Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil alamin. Itulah sebabnya para mahasiswa harus elalu berpikir kritis di dalam menghadaoi semua tantangan ini, akan tetapi hendaklah tetap menjadikan Islam Nusantara yang berkemajuan sebagai jalan kehidupan.
Kedua, Yang tidak kalah penting adalah tantangan perkembangan masyarakat yang semakin mengglobal dengan berbagai implikasinya. Melalui teknologi modern, maka masyarakat telah memasuki era baru di dalam kehidupan ini. Dan salah satu implikasinya ialah dengan disepakatinya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sebagai area bebas arus ketenagakerjaan, arus modal, arus perdagangan dan arus barang. Pertanyaan yang selalu saya sampaikan adalah apakah masyarakat Indonesia sudah siap menghadapi persoalan ini. Dan lebih khusus lagi, apakah para mahasiswa sudah siap menghadapi arus ketenagakerjaan yang bebas ini. Itulah sebabnya selalu saya sampaikan kepada para pimpinan PTKIN agar melakukan berbagai diskusi dan praksis untuk menjadikan Standart Kompetensi Lulusan (SKL) PTKIN lebih bersearah dengan tuntutan perubahan zaman seperti ini. Agar para mahasiswa diberi bekal lebih agar bisa bersaing dengan tenaga kerja dari manca Negara yang tidak lagi bisa diproteksi oleh Negara.
Yang tidak kalah keras tantangannya adalah dengan semakin bebasnya aksi pornografi dan narkoba. Keduanya merupakan tantangan yang sangat berat terutama di kalangan anak muda. Keduanya sudah merupakan darurat Negara. Pornografi dan narkoba sudah merasuki kehidupan para remaja kita. Berdasarkan data yang valid dinyatakan bahwa hamper setiap hari terdapat 25.000 anak remaja yang tercatat sebagai pengguna baru pornografi. Sedangkan pecandu narkoba sudah mencapai angka 5,5 juta orang. Di tengah hal semacam ini, maka para mahasiswa harus menjadi agen bagi gerakan Anti Narkoba dan Anti Pornografi. Mahasiswa PTKIN tidak boleh ada yang terlibat dengan narkoba dan pornografi.
Ketiga, tantangan perilaku menyimpang seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang juga terus berlangsung di Indonesia. Itulah sebabnya perlu ada gerakan revolusi mental. Menurut saya bahwa instrument yang ampuh untuk melakukan revolusi mental adalah melalui pendidikan berbasis agama.