• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE TANAH HARAM LAGI

KE TANAH HARAM LAGI
Sebagaimana yang pernah saya tulis dulu, tahun 2015, bahwa salah satu hal yang membuat saya itu segan pergi ke luar negeri adalah factor sulit tidur di kendaran, baik kendaraan darat maupun udara. Makanya, keengganan untuk bepergian jauh yang berbilang jam itu tentu terkait dengan factor ini.
Tetapi saya bergembira di dalam kepergian saya ini, sebab di pesawat saya bisa tidur pulas. Bahkan sempat bermimpi waktu tidur pulas itu. Meskipun tidak lama, kira-kira tiga jam, tetapi cukup rasanya menjadi pengobat lelah. Seingat saya hanya dua kali saya tertidur lelap di pesawat itu bahkan sampai bermimpi. Yaitu kala saya ke Surabaya dalam perjalanan malam, pesawat terakhir dan ke Jeddah kali ini.
Saya terbangun kala pramugari menyiapkan makan malam, kira-kira jam 24 WIB atau pukul 20 WAS. Pada jam itu disajikan makan malam sebagaimana tradisi di dalam pesawat Saudia Airline yang menerbangkan kami. Semenjak itu, maka saya lalu tidak bisa lagi istirahat, sebab pesawat lalu landing, terus kami ke Kantor Urusan Haji di Jeddah untuk bertemu dengan kawan-kawan petugas.
Pak Arsyad dan kawan-kawan sudah menunggu kami di bandara. Seperti tahun lalu, maka saya bersama dengan tim dan kawan-kawan petugas haji di Jeddah bersama-sama ke kantor. Sebenarnya masih sore, jam 21 WAS, akan tetapi di Indonesia tentu sudah jam 1.00 WIB. Kira-kira jam 22.30 WAS, Saya, Pak Syihab, Pak Syafrizal, Pak Buchori dan Pak Farid segera bergegas istirahat. Sebagaimana yang sering saya katakan, saya tidak bisa memejamkan mata. Di Indonesia, saya terbiasa jam sebegitu sudah bangun. Jam 3.00 WIB atau jam 3.30 WIB saya selalu terbangun untuk melakukan acara malam.
Di dalam diskusi saya malam itu dengan Pak Dumyati, Pak Arsyad dan beberapa lainnya, ternyata ada juga hal-hal menarik untuk menjadi catatan di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Misalnya, para jamaah haji yang tidak bisa dipulangkan karena sakit. Bahkan ada yang sakitnya berkepanjangan. Tahun lalu ada yang sampai enam bulan di rumah sakit, dan ada pula yang kemudian meninggal di rumah sakit pasca haji.
Di dalam diskusi itu, Pak Dumyati mengusulkan agar ada tim kesehatan yang terus berada di Rumah Sakit di Arab Saudi yang di tempat itu terdapat jamaah haji kita yang menderita sakit. Beliau menyatakan bahwa perlu ada dokter atau tim kesehatan yang menjadi pemantau jamaah haji kita yang sakit. Mereka harus memiliki kemampuan bahasa Arab atau Inggris. Bahasa Inggris dirasa cukup sebab kebanyakan perawat memang berasal dari Filipina sehingga kebanyakan tentu bisa berbahasa Inggris.
Pak Dumyati menyampaikan cerita ironis tentang jamaah haji yang menderita sakit dan dirawat di Rumah sakit Jeddah. Ada seorang jamaah haji yang hanya mau memakan pisang saja, akan tetapi karena tidak saling mengerti bahasanya, maka oleh perawat Rumah Sakit, pisang itu dicampur dengan makanan yang disediakan untuknya. Tentu saja si pasien tidak mau memakannya. Bisa dibayangkan jika peristiwa seperti ini terus berlangsung, maka si pasien tidak akan menjadi cepat sembuh akan tetapi justru akan menderita lebih jauh.
Meskipun mata sudah tidak bisa diajak kompromi tetapi diskusi pun terus berlangsung. Saya menyampaikan beberapa alternative. Pertama, menjalin Memory of Understanding (MoU) dengan Kementerian Kesehatan untuk program pendampingan. Program ini memang program pendampingan dan bukan program intervensi tim kesehatan di Rumah Sakit di Arab Saudi. Jadi tugasnya memang melakukan pendampingan saja dan melakukan perawatan secara psikhologis berbasis pada ilmu kesehatan. Melalui MoU ini, maka Kementerian Kesehatan yang akan mengirimkan tim kesehatan pasca penyelenggaraan ibadah haji. Tentu di dalam MoU akan bisa ditegaskan apa fungsi dan bagaimana mereka bekerja termasuk penganggaran dan sebagainya.
Kedua, Kementerian Agama bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atau juga mungkin Fakultas Kedokteran lainnya yang bersedia untuk mengirimkan tim pedamping kesehatan bagi jamaah haji yang menderita sakit di Arab Saudi. Persyaratan dasarnya tentu bisa berbahasa Inggris, sudah memiliki Sarjana Kedokteran (S. Ked.), dan sedang memasuki masa Co Assistance (Co As). Mereka bisa dikirim selama satu bulan untuk mengikuti program ini. Saya kira Fakultas Kedokteran akan merasa senang dengan program ini, sebab akan bisa memberikan pembekalan empiris kepada calon dokternya, dan selain juga bisa melakukan ibadah umroh dan sebagainya.
Untuk kepentingan pendampingan ini, maka bisa dikirim sebanyak seorang di setiap Rumah Sakit yang terdapat jamaah haji Indonesia selama satu bulan. Sehingga dibutuhkan tiga orang pendamping untuk masa tiga bulan pendampingan. Bisa juga diperpanjang sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian, jumlah berapa banyak dokter atau tim pendamping sangat tergantung kepada berapa banyak mereka yang dirawat di Rumah Sakit di Arab Saudi.
Tentu saja juga harus ada kesepahaman dengan Rumah Sakit di Arab Saudi tentang program ini agar tidak terdapat problem lapangan yang menghambat. Jangan sampai pihak Rumah Sakit di Arab Saudi menganggap bahwa program ini liar. Itulah sebabnya rasanya diperlukan juga Letter of Implementation (LoI) dengan Rumah Sakit di Arab Saudi.
Program ini tentu merupakan bagian dari perlindungan terhadap jamaah haji Indonesia, yang memang memerlukan program seperti ini. Saya kira kita masih bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada jamaah haji kita, tidak hanya pra dan pelaksanaan ibadah haji, akan tetapi juga untuk pasca penyelenggaraan haji.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..