TANTANGAN MAHASISWA PTKIN
TANTANGAN MAHASISWA PTKIN
Saya diminta oleh Ketua STAIN Syekh Abdurrahman Siddiq Bangka Belitung untuk memberikan kuliah iftitah di hadapan para mahasiswa dengan tema “Peran PTKIN di dalam Gerakan Revolusi Mental” (29/09/2016). Saya tidak tahu kenapa tema ini yang dipilih tetapi saya kira ada kaitannya dengan upaya pemerintah Presiden Joko Widodo bahwa yang diperlukan sekarang adalah bagaimana mereformasi mental bangsa ini untuk menuju Indonesia hebat.
Hadir pada acara ini Ketua STAIN, Dr. Ahmad Jayadi, para Wakil Ketua, Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Andi M Darlis, para pejabat structural dan mahasiswa baru berjumlah 400 lebih, dan juga para dosen. Acara ini ditempatkan di halaman STAIN bertenda, sebab ruang aula yang sudah dibangun semenjak tahun 2012 hingga sekarang belum selesai. Jadi gedung mangkrak. Tahun ini dibangun tetapi dengan anggaran yang belum mencukupi.
Pada kesempatan ini, saya sampaikan tiga hal mendasar yang saya kira bisa menjadi pedoman bagi para mahasiswa di dalam proses pembelajarannya. Pertama, tantangan faham keagamaan, baik yang bercorak liberal maupun yang radikal. Keduanya tidak baik untuk dijadikan sebagai praksis kehidupan. Liberalism adalah ibu kandung globalisasi dan modernisasi yang di dalam banyak hal harus disikapi dengan kritis. Liberalism yang merusak terhadap sendi-sendi agama, misalnya dengan mempertanyakan relevansi agama, tafsir agama, ritual-ritual agama dan sebagainya tentu bisa menjadikan kegoyahan di dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Jika liberalism sudah mempertanyakan keabsahan Kitab Suci, seperti Al Qur’an, mengobrak abrik terhadap tafsir agama yang sudah dibakukan oleh ulama salaf yang saleh, dan merusak aturan-aturan keagamaan, maka saya kira tidak produktif di dalam membangun kehidupan beragama yang telah tertata dengan baik. Liberalism yang membangun premis “kebebasan” yang tidak terbatas, tentu akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan beragama yang sesungguhnya menjadi pedoman di dalam perilaku dan tindakan.
Demikian pula radikalisme dan ekstremisme. Kita sungguh menolak terhadap radikalisme dan ekstremisme agama. Keduanya ini jauh lebih berbahaya sebab penekanannya justru pada tindakan anti Negara yang mapan. Mereka ingin mengganti Negara sesuai dengan alam pikirannya dan keyakinannya. Mereka menganggap bahwa Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah berhala-berhala modern yang dipuja oleh masyarakat. Mereka menganggap bahwa hanya system Negara sesuai dengan keyakinannya saja yang benar. Demokrasi, kemodernan, Islam Nusantara, dan sebagainya adalah kesesatan pikiran yang harus diluruskan dengan peperangan. Mereka menganggap bahwa tafsir agamanya saja yang benar dan mengkafirkan semua yang tidak sepaham dengannya. Oleh karena itu, para mahasiswa harus melakukan tindakan kritis dan jangan jadikan radikalisme aau ekstremisme sebagai pedoman di dalam kehidupan.
Di kalangan mahasiswa boleh menjadikan liberalism dan ekstremisme sebagai bahan diskusi akan tetapi harus melalui panduan para dosen yang selalu mengedepankan Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil alamin. Itulah sebabnya para mahasiswa harus elalu berpikir kritis di dalam menghadaoi semua tantangan ini, akan tetapi hendaklah tetap menjadikan Islam Nusantara yang berkemajuan sebagai jalan kehidupan.
Kedua, Yang tidak kalah penting adalah tantangan perkembangan masyarakat yang semakin mengglobal dengan berbagai implikasinya. Melalui teknologi modern, maka masyarakat telah memasuki era baru di dalam kehidupan ini. Dan salah satu implikasinya ialah dengan disepakatinya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sebagai area bebas arus ketenagakerjaan, arus modal, arus perdagangan dan arus barang. Pertanyaan yang selalu saya sampaikan adalah apakah masyarakat Indonesia sudah siap menghadapi persoalan ini. Dan lebih khusus lagi, apakah para mahasiswa sudah siap menghadapi arus ketenagakerjaan yang bebas ini. Itulah sebabnya selalu saya sampaikan kepada para pimpinan PTKIN agar melakukan berbagai diskusi dan praksis untuk menjadikan Standart Kompetensi Lulusan (SKL) PTKIN lebih bersearah dengan tuntutan perubahan zaman seperti ini. Agar para mahasiswa diberi bekal lebih agar bisa bersaing dengan tenaga kerja dari manca Negara yang tidak lagi bisa diproteksi oleh Negara.
Yang tidak kalah keras tantangannya adalah dengan semakin bebasnya aksi pornografi dan narkoba. Keduanya merupakan tantangan yang sangat berat terutama di kalangan anak muda. Keduanya sudah merupakan darurat Negara. Pornografi dan narkoba sudah merasuki kehidupan para remaja kita. Berdasarkan data yang valid dinyatakan bahwa hamper setiap hari terdapat 25.000 anak remaja yang tercatat sebagai pengguna baru pornografi. Sedangkan pecandu narkoba sudah mencapai angka 5,5 juta orang. Di tengah hal semacam ini, maka para mahasiswa harus menjadi agen bagi gerakan Anti Narkoba dan Anti Pornografi. Mahasiswa PTKIN tidak boleh ada yang terlibat dengan narkoba dan pornografi.
Ketiga, tantangan perilaku menyimpang seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang juga terus berlangsung di Indonesia. Itulah sebabnya perlu ada gerakan revolusi mental. Menurut saya bahwa instrument yang ampuh untuk melakukan revolusi mental adalah melalui pendidikan berbasis agama.
