DARI DERADIKALISASI KE DEEKSTRIMISASI KE MODERASI
DARI DERADIKALISASI KE DEEKSTRIMISASI KE MODERASI
Di dalam ceramah saya di PKPT Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 29/09/2016, saya juga menyampaikan hal penting terkait dengan upaya untuk membangun gerakan deradikalisasi atau bahkan deekstrimisasi di kalangan sebagian kecil masyarakat Indonesia yang terkena virus ekstrimisme atau radikalisme.
Ada tiga tawaran saya terkait dengan upaya untuk membangun gerakan deradikalisasi. Pertama, memberikan sosialisasi tentang bahayanya gerakan radikalisme apalagi ekstrimisme. Saya sampaikan di dalam forum itu bahwa masyarakat harus mengetahui tentang bahaya radikalisme. Menjawab pertanyaan audience, saya sampaikan bahwa jangan hanya kita –Islam bercorak rahmatan lil alamin dengan prinsip menjadikan Pancasila, dan NKRI—saja yang menjadi bahan diskusi di kalangan Muslim radikalis, mereka pun harus dijadikan sebagai bahan ceramah atau diskusi. Berdasarkan pamphlet terbitan HTI di Masjid Agung Bangka, maka agar dilakukan diskusi terhadap materi-materi yang terdapat di dalam pamphlet itu. Diskusikan dan ceramahkan lalu dijelaskan mana yang relevan dan benar untuk diamalkan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Masyarakat akan menganggap semua itu kebenaran jika kita tidak menjelaskannya. Jika semua masjid dan kegiatan ceramah membahas hal ini, maka hal itu akan menjadi model penanggulangan terhadap gerakan radikalisme. Jangan biarkan pamphlet itu berbicara sendiri di hadapan pembaca kita, akan tetapi kita yang harus menjelaskan mana yang baik dan mana yang tidak relevan bagi bangsa ini. Semua da’i yang sealiran dengan Islam rahmatan lil alamin harus mengetahui ma huwa radikalisme wa ma adraka ma radikalisme. Berbekal pengetahuan yang mendalam tentang hal ini, maka da’i tersebut tidak akan canggung menjelaskan ideology yang akan membahayakan bangsa ini.
Kedua, jadikan masjid atau tempat ibadah sebagai pusat gerakan anti radikalisme dan ekstrimisme. Kita menjadikan tempat ibadah sebagai pusat gerakan Islam yang rahmatan lil alamin dan sekaligus juga gerakan deradikalisasi atau deekstrimisasi. Di era digital seperti ini, maka bukanlah hal yang sulit untuk mengembangkan basis teknologi untuk saling terkomunikasikan antara satu masjid dengan lainnya dan juga terkomunikasikan antara satu da’i dengan da’i lainnya. BNPT bisa bekerja sama dengan Telkom, DMI, Kementerian Agama dan TNI/POLRI untuk membangun jejaring yang berfungsi saling menghubungkan antara satu dengan lainnya. Antara takmir masjid dengan lainnya dan juga antara da’i dengan da’i lainnya. Untuk menangani radikalisme dan ekstrimisme saya kira tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri akan tetapi harus dengan kebersamaan. Jika terorisme sudah menjadi darurat nasional, maka tidak ada kata lain kecuali kita harus membangun kebersamaan itu. Jangan serahkan penanganan terorisme kepada pemerintah saja, akan tetapi masyarakat dan organisasi keagamaan juga harus terlibat di dalamnya.
Program sosialisasi dan jejaring ini harus menjadi program jangka pendek dan menengah pemerintah dan masyarakat. Coraknya tentu merupakan program penanggulangan dan pendampingan kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Go now atau kita akan terlambat. Sikap masyarakat Indonesia yang abai terhadap apa saja yang memasuki kawasannya harus diubah menjadi peduli terhadap apa saja yang akan memasuki kawasannya.
Ketiga, deradikalisasi atau deekstrimisasi melalui pendidikan. Harus disadari bahwa untuk menegakkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan keberagaman, maka instutusi yang paling berkompeten adalah institusi pendidikan. Pendidikan merupakan instrument yang sangat mendasar untuk menegakkan negeri ini. Itulah sebabnya, gerakan deradikalisasi, deekstrimisasi yang juga sangat relevan adalah melalui institusi pendidikan.
Pendidikan merupakan program jangka panjang untuk menanggulangi terorisme berbasis pada radikalisme dan ekstrimisme. Untuk kepentingan ini, maka sesungguhnya diperlukan program pembelajaran yang akan memberikan pemahaman dan pengalaman tentang kehidupan beragama yang mengedepankan keselamatan dan bukan kehancuran.
Pendidikan harus berbasis pada pendidikan agama yang rahmatan lil alamin. Kementerian Agama sudah merumuskan kurikulum pendidikan agama rahmatan lil alamin. Bahkan sudah dirumuskan modul pembelajaran rahmatan lil alamin. Dengan upaya semacam ini, maka diharapkan bahwa penafsiran tentang agama yang bercorak kekerasan akan bisa dieliminasi, sehingga pemahaman, sikap dan perilaku siswa yang kelak akan menjadi orang dewasa akan dapat diarahkan kepada bangunan Islam yang bercorak keselamatan tersebut.
Sungguh-sungguh harus dipikirkan agar jangan sampai guru dan dosen kita justru menjadi agen munculnya radikalisme atau ekstrimisme. Guru atau dosen sebagai sumber utama transformasi ilmu dan agama harus benar-benar memiliki kesadaran betapa bahayanya gerakan ekstrimisme ini. Makanya, para guru dan dosen juga harus terseleksi secara memadai agar mereka menjadi agen pengembangan Islam rahmatan lil alamin dan bukan agen Islam yang mengajarkan kekerasan.
Jika kita ingin Negara ini terus berada di dalam kedamaian yang bersatu dan berdaulat sesuai dengan praksis Negara yang dilakukan oleh para pendahulu kita, dan kita tidak ingin melihat Indonesia yang tercerai berai seperti di Timur Tengah dan wilayah lainnya, maka hanya ada satu pernyataan “tegakkan Islam wasathiyah untuk menuju Islam rahmah”
Wallahu a’lam bi al shawab.
