EVALUASI PENYELENGGARAAN HAJI TAHUN 2016 (2)
Tidak sebagaimana tahun lalu yang evaluasi haji itu kita laksanakan sendiri, namun untuk tahun ini (2016), evaluasi haji itu dihadiri oleh Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Saudi Arabia (Pak Agus Maftuh Abegebriel) dan sekaligus juga Konsul Jenderal Republik Indonesia di Jeddah (pak Herry Saparuddin). Itulah sebabnya evaluasi ini terasa sangat berbeda dengan evaluasi yang kita selenggarakan tahun kemarin.
Di dalam kesempatan ini, saya sampaikan beberapa hal terkait dengan beberapa problema yang disampaikan oleh Pak Dumyathi (Ketua PPIH Arab Saudi). Pertama, sebaiknya bahwa data laporan evaluasi itu mencakup semua jamaah haji kita, baik yang regular maupun PIHK. Supaya jangan ada kesan bahwa yang diurus oleh PPIH itu hanya yang regular saja. Jumlah seluruh jamaah haji kita sebanyak 168.800 orang, dan angka inilah yang sebaiknya disampaikan di dalam laporan ini. Jadi bukan hanya yang regular sebanyak 154.441 jamaah haji. Semua harus digambarkan profilenya, sehingga akan menjadi laporan yang lengkap.
Kedua, mengenai waktu penyelesaian administrasi di debarkasi, baik di Madinah maupun Jeddah, rasanya rentang waktu itu terasa lama. Tiga sampai empat jam. Ini yang selalu menjadi kritikan dari Komisi VIII DPR RI, apakah waktunya tidak bisa dipangkas, mengingat jarak tempuh Indonesia ke Arab Saudi selama delapan jam. Apalagi jamaah kita banyak yang resiko tinggi atau manula.
Ketiga, catatan tentang penerima penghargaan Maktab 66 yang menyisakan problem, sebab berdasarkan penilaian kita (PPIH) menjadi yang terbaik, akan tetapi berdasarkan otoritas haji Arab Saudi kurang layak. Tentu harus ada ukuran universal yang diakui oleh kedua otoritas haji, Indonesia dan Arab Saudi mengenai kriteria terbaik itu. Jangan sampai ada perbedaan yang menyebabkan penghargaan ini justru kurang produktif. Ke depan harus dipikirkan mengenai kriteria yang komprehensip tersebut.
Keempat, tentang petugas yang hanya satu orang di Halte Pemberhentian Bus Shalawat, saya kira ke depan perlu direspon permohonan dari TNI/POLRI agar petugas dari kedua institusi ini ditambah. Di dalam pertemuan evaluasi antara DPR RI dengan institusi terkait penyelenggaraan haji yang dipimpin oleh Ade Komaruddin (Ketua DPR RI), pihak TNI/POLRI meminta jatah tambahan untuk TNI/POLRI mengingat jumlah jamaah haji yang dilayani dengan personil yang dikirim sangat tidak seimbang. Hanya 80 orang. Ada beberapa catatan bahwa kerja TNI/POLRI di dalam penyelenggaraan haji memiliki etos yang sangat memadai.
Kelima, pemakaian gelang identitas haji palsu yang digunakan oleh kira-kira 150 orang di Arab Saudi. Akhirnya diketahui bahwa pelakunya adalah haji non kloter, yang secara sengaja menyelundup di antara haji kloter. Hal ini harus menjadi catatan penting sebab jika hal ini terjadi lagi berarti bahwa aspek pengamanan terhadap jamaah haji kurang memadai. Makanya, harus ditemukan cara untuk mengidentifikasi mengenai gelang identitas tersebut. Upaya pembaharuan mengenai identitas haji berbasis IT, misalnya dengan GPS sebagaimana digagas oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, beberapa saat yang lalu kiranya akan bisa menjadi solusi menghadapi pemalsuan identitas jamaah haji ini.
Keenam, banyaknya petugas pembimbing haji yang tidak kompeten, bisa jadi merupakan bagian dari system rekruitmen petugas pembimbing haji daerah (TPHD). Sepengetahuan saya, TPIHI yang direkrut oleh Kemenag sudah sangat standardized. Mereka direkrut melalui mekanisme system yang akurat dan terjamin bahwa yang menjadi pembimbing ibadah haji adalah orang yang kapabel dan bertanggungjawab. Makanya, pola rekruitmen untuk TPHD saya kira harus dipertegas, agar TPHD tidak menjadi ajang untuk balas budi bagi pelaksanaan pilkada dan sebagainya.
Keenam, saya kira bahwa di dalam pelaporan ini yang perlu ditonjolkan adalah mengenai problem yang dialami selama penyelenggaraan ibadah haji. Harus dipetakan secara memadai apa yang sesungguhnya menjadi problem berdasarkan atas pengalaman yang dirasakan oleh para petugas haji. PPIH sesungguhnya memiliki basis pengalaman empiris yang sangat mendasar mengenai penyelenggaraan haji, sehingga tahu betul tentang peta masalah yang dihadapi di lapangan. Dari gambaran peta masalah tersebut tentu akan menjadi diskusi mendasar mengenai bagaimana penyelesaiannya.
Usulan-usulan dari Pak Dubes dan saya ini direspon oleh Pak Konjen RI di Jeddah, bahwa hal-hal positif dan kekurangan memang harus diungkap secara memadai. Peta masalah agar digambarkan secara jelas, baik dari sisi akar masalah maupun akibatnya, sehingga akan bisa dicari apa solusi yang mendasar. Mengenai pentingnya kerjasama dengan Kedubes RI di Arab Saudi dan Konjen RI, perlu untuk ditindaklanjuti sebab haji ini bukan hanya tugas satu dua kementerian akan tetapi tugas bangsa. Misi haji itu adalah misi bangsa dan Negara, makanya kerjasama yang makin kokoh tentu akan menjadi penyebab keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji.
Saran yang tidak kalah penting juga disampaikan oleh Pak Syihab, bahwa notulensi evaluasi seperti ini harus ditulis dan dilaporkan kepada para pengambil kebijakan, sehingga akan dapat dicarikan solusi yang memadai untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji tahun berikutnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
EVALUASI PENYELENGGARAAN HAJI TAHUN 2016 (1)
Bertempat di Kantor Misi Haji Indonesia di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah, 16 Oktober 2016 diselenggarakan Rapat Evaluasi Penyelenggaraan Haji Tahun 2016. Hadir di dalam rapat ini adalah Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Saudia Arabia, Agus Maftuh Abegebriel, Konsul Jenderal RI di Jeddah, Herry Saparuddin, Sekjen Kementerian Agama, Ketua PPIH Arab Saudi, Ahmad Dumyathi, Kadaker Mekkah dan Madinah, Kabiro Keuangan dan BMN Kemenag, Kepala Biro Umum Kemenag, Sesdirjen PHU, Tim Kesehatan, anggota PPIH, dan jajaran Konsulat lainnya.
Acara ini memang didesain untuk mendengarkan laporan PPIH tentang penyelenggaraan haji tahun 2016 dan kemudian beberapa catatan terkait dengan hal itu. Di dalam kata pengantarnya, Pak Dumyathi menyampaikan tentang profile jamaah haji Indonesia, baik dari sisi usia, latar belakang pendidikan, pengalaman haji, jumlah petugas haji, kawasan tempat tinggal jamaah haji, jarak pemondokan dengan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, jumlah jamaah haji yang wafat, sakit dan sebagainya. Selain itu juga dipaparkan tentang beberapa problema yang dihadapi oleh penyelenggaraan ibadah haji tahun 2016.
Di antara yang penting untuk dicatat adalah; 1) tentang kurangnya petugas untuk mengawal jamaah di halte bus shalawat. Hanya ada satu orang petugas yang bekerja secara marathon nyaris 24 jam. Sehingga untuk pergi toilet dan makan saja rasanya susah sebab tidak ada orang lain yang akan menggantikannya. Sehingga jika yang bersangkutan pergi sebentar untuk kepentingan yang tidak bisa ditunda, maka dengan terpaksa ruang penjagaan tersebut kosong.
2) terkait dengan lama waktu untuk penyelesaian administrasi di debarkasi baik di Madinah maupun di Jeddah. Di Madinah membutuhkan waktu tiga jam, sementara itu di Jeddah membutuhkan waktu tiga sampai empat jam. Artinya bahwa pengurusan admiistrasi membutuhkan waktu yang cukup lama.
3) bus yang belum terupgrade dalam rentang waktu 10 hari. Ada kesalahpahaman antara otoritas haji di Arab Saudi dengan PPIH. Namun demikian melalui surat yang dikirimkan oleh Menteri Agama, akhirnya upaya untuk melakukan upgrade bus tersebut dapat diselesaikan.
4) Catering di Airport yang tidak sigap di dalam memberikan makanan kepada jamaah haji Indonesia. Ada satu catering yang terpaksa harus diperingatkan sebab tidak dapat memberikan pelayanan optimal kepada jamaah haji. Kala jamaah haji datang, maka jamaah haji tersebut hanya diberikan roti kecil, apel dan air mineral. Dan hal ini tentu tidak sesuai dengan perjanjian yang sudah diteken bersama.
5) Pemalsuan gelang jamaah haji. Berdasarkan temuan lapangan bahwa ada sebanyak 150 jamaah haji yang menggunakan gelang palsu. Ada di antara mereka yang diketahui oleh petugas dan ternyata setelah dicheck adalah jamaah haji non kloter dan kebanyakan berasal dari Pasuruan. Mereka diketahui petugas di saat menggelar tempat tidur tiup dan akhirnya diketahui bahwa mereka adalah jamaah haji non kloter. Mereka menyelinap di antara Jemaah haji kloter dan tentu menginginkan pelayanan sebagaimana jamaah haji lainnya.
6) Tim Pemandu Haji yang kurang professional. Ditengarahi bahwa ada sebagian dari Tim Pemandu Haji yang tidak memiliki kapasitas sebagai pemandu ibadah haji. Padahal yang diinginkan bahwa para pemandu ibadah haji adalah mereka yang sangat memahami tentang seluk beluk ibadah haji, sehingga akan dapat memberikan bimbingan yang memadai kepada para jamaah haji.
Sementara itu, Pak Agus Maftuh memberikan beberapa catatan kritik, baik yang terkait dengan tata administrasi yang dilakukan oleh PPIH dan Kementerian Agama. Ada beberapa kesalahan yang dilakukan terkait dengan tata persuratan yang selama ini terjadi. Selain itu juga melakukan kritik terhadap mekanisme kerja sama antara PPIH, Kementerian Agama dan Kedutaan Besar di Riyad. Dan yang tidak kalah pentingnya juga bagaimana membangun relasi antara kerajaan Saudi Arabia dengan pemerintah Indonesia.
Beliau ungkapkan tentang Poros Arab Saudi-Indonesia yang disebut sebagai Aranesia Axis. Melalui sumbu Aranesia ini, maka hubungan antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi akan bisa menjadi lebih baik. Hal itu ditandai dengan kunjungan kenegaraan antara Presiden Jokowi dan Pangeran Talal dan juga ke depan akan hadir ke Indonesia, Raja Saudi Arabia.
Indonesia perlu membangun diplomasi kesetaraan dengan Saudi Arabia. Sehingga kita akan bisa duduk berkesetaraan di antara keduanya. Hal itu misalnya ditandai dengan penempatan Ketua DPR RI (Ade Komaruddin) yang bisa duduk sejajar dengan para Kepala Negara lainnya dalam pertemuan dengan Raja Saudi Arabia.
Menurut Pak Maftuh bahwa semenjak diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Kerajaan Saudi Arabia, maka ada banyak prioritas yang akan menjadi tanggungjawabnya, dan salah satu yang sangat penting adalah agar penyelenggaraan haji semakin sukses. Penyelenggaraan haji tahun ini meraih kesuksesan itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Putra Mahkota Waliyul Ahdi Muhammad bin Nayif bin Abdul Aziz Alu Saud yang menyatakan “semenjak lama saya tidak melihat penyelenggaraan haji yang sedemikian sempurna sebagaimana yang terjadi tahun ini. Hal ini tentu saja berkat kerja sama yang sangat baik semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan haji ini”.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MELEPAS KLOTER AKHIR JAMAAH HAJI DI MADINAH
Salah satu di antara tugas kami yang penting ialah melepas Jamaah Haji Indonesia kloter akhir di Madinah. Sebagaimana tahun lalu, maka tugas ini memang menjadi kewajiban saya. Saya memang tidak mengikuti kepergian Pak Menteri Agama ke Saudi Arabia bersamaan dengan waktu ibadah haji, akan tetapi tugas saya ialah melepas kloter akhir, baik di Madinah maupun Jeddah. Acara pelepasan jamaah haji Indonesia kloter akhir dilaksanakan di Hotel Mubarok Zahabi, Jeddah, 14/10/2016.
Yang membahagiakan saya tentu saja adalah kedatangan Pak Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Saudia Arabia. Pak Agus Maftuh Abegebriel memang menyempatkan datang pada acara ini. Beliau baru saja landing dari Jakarta lalu bergabung dengan kita di acara ini. Selain itu juga datang Konsul Jenderal RI di Jeddah, Pak Heri Saparuddin, Ketua Muassasah Adilla, Hatim bin Ja’far Bali, Ketua PPIH Arab Saudi, Dr. Ahmad Dumyati, dan seluruh Kadaker, Pak Arsyad, serta para petugas PPIH, General Manager Saudi Arabia dan Middle East, Muhammad Luthfi. Dan tentu saja adalah jamaah Haji Indonesia, yang berasal dari Ujungpandang, Jawa Tengah, DKI, Lombok dan lain-lain.
Acara ini dipimpin oleh Pak Nasrullah Jasam, dan kemudian berturut-turut memberikan sambutan, yaitu Pak Dubes, lalu saya dan Pak Hatim.
Didalam sambutan ini, saya sampaikan tiga hal yang sangat penting. Pertama, apresiasi dan penghargaan kepada semua jamaah haji Indonesia yang telah dapat menyelenggarakan ibadah haji dengan sebaik-baiknya. Para jamaah haji telah melakukan serangkaian prosesi ibadah haji sesuai dengan pedoman melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu doa kita bersama tentu adalah agar jamaah haji Indonesia semuanya dapat mencapai derajat mabrur, yaitu derajat tertinggi bagi jamaah haji. Dan sebagaimana diketahui bahwa imbalan bagi jamaah haji tidak lain adalah dapat memasuki surganya Allah swt.
Sebagaimana yang sering diungkapkan oleh Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa jamaah haji adalah duta-duta bangsa. Dan kita semua telah menyaksikan bahwa jamaah haji kita adalah duta bangsa yang baik. Semuanya mengakui bahwa jamaah haji Indonesia terkenal dengan kesopanan dan kebaikannya. Oleh karena itu harapan kita tentu saja adalah agar ketika sampai di tanah air, para jamaah haji ini dapat menjadi teladan bagi umat di sekitarnya. Sebagai orang Islam yang sudah menjalankan secara sempurna terhadap ajaran Islam, maka jamaah haji harus menjadi bagian dari masyarakat yang terbaik. Harus menjadi contoh bagi umat lainnya tentang perilaku beragama dan bermasyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua, saya mengapresiasi terhadap Tim Muassah Adilla yang juga sudah memberikan yang terbaik bagi jamaah haji Indonesia. Melalui penyediaan tempat pemondokan yang setara dengan Hotel Bintang empat dan lima di Madinah ini, maka jamaah haji Indonesia merasa nyaman. Dengan penempatan jamaah Haji Indonesia di wilayah Markaziyah, maka kedekatan dan kenyamanan beribadah menjadi sangat terjaga. Kerja sama ini ke depan tentu perlu untuk ditingkatkan sehingga kenyamanan jamaah haji Indonesia akan menjadi semakin baik dan pelaksanaan ibadah haji juga makin sempurna. Kepada Pak Hatim dan segenap jajarannya, tentu kami dari Kementerian Agama mengucapkan syukron jazilan dan semoga ke depan pelayanannya makin sempurna.
Ketiga, terhadap seluruh jajaran penyelenggara ibadah haji. Pak Dubes dan segenap jajarannya juga memiliki andil yang luar biasa. Jajaran Kedutaan Besar Indonesia di Arabia Saudia telah memberikan kontribusi, perhatian, dan juga berbagai tindakan untuk melayani dan melindungi jamaah haji kita. Demikian pula kepada para PPIH yang seluruhnya sudah bekerja maksimal. Mulai dari pimpinan PPIH, Kadaker, sampai mereka yang bertugas di daker dan sector lainnya, semua sudah bekerja dengan sebaik-baiknya. Saya kira pesan bahwa tugas utama adalah bekerja untuk melayani jamaah dan kemudian beribadah sudah dijadikan prinsip yang mendasar. Terhadap semua pengabdian dan kerja sama yang baik ini, semoga menjadi amal ibadah yang baik dan dapat membawa kemanfaatan bagi perbaikan pelayanan terhadap jamaah haji.
Penilaian terhadap pelayanan haji tentu ditentukan oleh bagaimana aktivitas PPIH di dalam melayani jamaah haji. Dan melihat terhadap bagaimana pelayanan haji tahun 2016 yang makin baik, maka menjadi pertanda bahwa pelayanan seluruh jajaran di PPIH sangat baik. Sekali lagi selamat atas semua prestasi yang hebat ini.
Tentu tidak ada gading yang tidak retak. Demikian pula terhadap pelayanan jamaah Haji kita. Namun di atas hal ini semua, kita tentu berbangga bahwa penyelenggaraan haji tahun ini memang luar biasa. Semua menyatakan kebanggaannya atas penyelenggaraan ibadah haji itu dan semoga tahun depan akan dapat dicapai yang lebih baik lagi.
Wallahu a’lam bi al shawab.
BERZIARAH KE MAKAM RASULULLAH SAW
Salah satu agenda penting saya kala di Madinah adalah mengikuti shalat Jum’at di Masjid Nabawi. Siapapun saya kira tahu betapa pentingnya mengikuti shalat jamaah di masjid ini. Dan ini pula yang dikejar oleh jamaah haji kita kala berada di tanah suci Madinah.
Tentu tidak ada yang istimewa terkait dengan menjalankan shalat Jum’at itu. Nyaris semuanya sama dengan shalat Jum’at yang dilakukan di Indonesia. Jika di Indonesia, orang sering membedakan antara shalat Jum’at versi NU dan Muhammadiyah, maka di sini keduanya ada. Ada yang sama dengan NU dan ada yang sama dengan Muhammadiyah, ada yang beda dengan NU dan ada yang beda dengan Muhammadiyah. Makanya di cerita-cerita yang sering kita dengar, bahwa di Makkah dan Madinah itu, perbedaan antara Muhammadiyah dan NU tidak persoalan. Misalnya dalam shalat Jum’at saja, adzannya dua kali, hal ini tentu sama dengan NU di Indonesia. Tetapi kala membaca Fatihah tidak memakai lafadz Basmalah, artinya sama dengan Muhammadiyah. Jadi mempertentangkan NU dan Muhammadiyah di sini tidak lagi berlaku. Yang penting pokoknya shalat saja. Yang tidak boleh adalah tidak melakukan shalat.
Saya berangkat ke Masjid Nabawi jam 10.30 WAS. Meskipun jaraknya dekat dari Kantor Daker Madinah, akan tetapi kami diantarkan oleh Pak Masykur dengan Ford-nya. Tentu hanya dalam waktu 10 menit sudah sampai di Masjid. Seperti biasa kita lalu selfi di depan masjid, di bawah tenda-tenda otomatic yang didirikan di halaman Masjid Nabawi. Kami minta tolong pada pelayan kebersihan Masjid Nabawi untuk kepentingan foto tersebut.
Kami tidak bisa lagi mendekati Raudhah sebab jamaahnya memang membludak. Kami menempati shaf pertama di dalam masjid tepat di bawah tenda yang didirikan di dalamnya. Jaraknya memang tidak jauh dari Raudhah. Masjid ini penuh sesak dengan jamaah, mungkin penduduk setempat dan juga jamaah haji yang belum pulang ke kampung halamannya. Saya sempat melihat beberapa jamaah haji dengan tanda khususnya, Lambang Bendera Indonesia, Merah Putih dan tanda-tanda jamaah lainnya. Senang juga melihat orang Indonesia, jamaah Haji yang menggunakan atribut-atribut khusus seperti itu. Tanda-tanda ini yang membuat jamaah haji Indonesia begitu dikenal di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi. Saya menjadi ingat kala kami, memasuki Masjidil Haram, maka petugas pintu King Fahd menyatakan: “Andanusia, Andanusia” maka lalu saya jawab sekenanya, “aiwa”. Mereka melafalkan Indonesia dengan ucapan seperti itu.
Di dalam khotbahnya yang menggunakan bahasa Arab, saya sempat perhatikan beberapa kata kunci penting. Pertama, khatib ini menyebutkan nama Nabi Muhammad, saw dengan sebutan Sayyidina Muhammad terutama di awal khutbah. Kedua, beliau menekankan tentang pentingnya menjaga Islam ala sunni. Islam ala sunni telah melakukan yang terbaik bagi umat Islam di dunia. Kita harus terus menerus untuk menjaga dan mengembangkan Islam ala sunni ke seluruh dunia agar Islam yang memberikan kedamaian dan ketentraman akan dapat dilakukan. Ketiga, agar umat Islam terus memerangi terhadap hal-hal yang churafat dan bidh’ah di dalam beragama. Islam harus terus dimurnikan dengan ajaran yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagaimana khutbah Shalat Jum’ah di Indonesia, maka khutbah pertama dan kedua terdapat jeda waktu. Hanya saja di sini jeda waktu tersebut sangat pendek, sehingga untuk berdoa pendek saja tidak cukup waktunya.
Usai shalat Jum’at, saya pun bergegas menuju makam Rasulullah. Ternyata peminat mengunjungi makam Rasulullah itu luar biasa. Saya harus keluar masjid, sebab area Raudhah ditutup dengan kain pembatas dan dijaga dengan ketat oleh asykar. Dengan pakaiannya yang khas mereka menjaga Raudhah agar jamaah shalat Jum’at tidak memasuki kawasan itu. Gelombang jamaah Shalat Jum’at yang ingin berziarah memang sangat banyak. Di sinilah akhirnya semua berebut masuk. Benar-benar penuh sesak. Kita berhimpitan luar biasa. Begitulah kiranya orang ingin menziarahi makam Nabi Muhammad saw.
Kita berebut, berhimpitan dan berdesakan menuju satu titik makam Rasulullah Muhammad saw. Saya berhimpitan didahului oleh Pak Farid dan sebelah saya Pak Buchori, sementara itu Pak Syihab di depan dan berhimpitan dengan Pak Syafrizal. Sungguh-sungguh butuh perjuangan untuk bisa sampai ke area makam Rasulullah Muhammad saw ini. Pelan-pelan akhirnya sampai juga untuk melintas di depan makam Rasulullah, dan para sahabatnya. Tumpahlah bacaan-bacaan dan doa kepada Nabi Muhammad saw itu di saat melintas makam beliau.
Begitu selesai tidak terasa meleleh air mata sebagai penanda keberhasilan untuk mengunjungi makam manusia agung, Nabiyullah Muhammad saw. Ada rasa bahagia yang tidak terkirakan. Kebahagiaan yang datang melalui perjuangan untuk mencapai tujuan. Kami berpelukan dengan Pak Syihab usai bisa bersama-sama mengunjungi makam Rasul yang mulya ini.
Kala kita berjalan di halaman masjid Nabawi, saya nyatakan kepada Pak Syafrizal bahwa untuk memperoleh kebahagiaan itu memang membutuhkan usaha bahkan jihad. Dan rasanya untuk bisa mengunjungi makam Rasulullah pun perlu berjihad. Ya Rasulullah jadikan kami umatmu yang mencintaimu dan yang terus menjalankan ajaran agamamu. Jadikan kami umatmu yang terus mengembangkan Islam sebagaimana yang Engkau ajarkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MENGUNJUNGI MASJID NABAWI
Jam 09.00 WAS, saya dan tim kembali menelusuri jalan dari Makkah al Mukarramah menuju ke Madinatun Nabawi. Perjalanan tersebut membutuhkan waktu kira-kira 4,5 jam. Perjalanan yang panjang. Namun dengan jalan bebas hambatan, maka jarak tersebut terasa tidak jauh. Kendaraan dipacu dengan kecepatan rata-rata 140 KM perjam. Kendaraan yang andal tentu membuat perjalanan panjang ini terasa nyaman saja. Buktinya, saya bisa tertidur meskipun tidak lama.
Sebagaimana perjalanan kami dari Jeddah ke Mekkah, maka sepanjang perjalanan dari Makkah ke Madinah juga memiliki kesamaaan itu. Wilayah yang kering kerontang. Berbukit-bukit, hamparan bebatuan dan pasir sepanjang mata memandang. Warna udara yang kelihatan keruh sebab sering terjadi semacam putting beliung yang menghamburkan pasir ke atas. Beberapa kali saya lihat ada putting beliung berupa pasir yang berputar-putar dengan menjulang tinggi. Jika di desa saya dahulu orang menamakannya dengan angin lesus atau pusaran angin yang menerbangkan debu ke udara. Dan jika besar bisa menghancurkan bangunan rumah.
Sepanjang perjalanan sungguh kami rasakan betapa panas itu menyengat. Hampir tidak dijumpai lalu lalang orang. Hanya hamparan bebatuan dan gurun pasir yang diselimuti cuaca panas mengganas yang terdapat di wilayah ini. Binatang tentu enggan hidup di daerah dengan keadaan seperti ini. Hanya binatang tertentu saja yang bisa hidup dan bertahan di tengah cuaca panas terik di Arab Saudi.
Sepanjang perjalanan kami sempat melihat beberapa unta yang dipelihara. Mungkin jumlahnya banyak tetapi tentu tidak terlihat. Selain itu juga ada kera-kera yang berkeliaran di jalan bebas hambatan itu. Ada tiga atau empat kera yang memakan buah-buahan yang kiranya sengaja dilempar untuk menjadi makanannya. Gemuk benar kera-kera itu. Rasanya mereka datang dari gunung di sebelah jalan yang tempatnya cukup jauh. Sayangnya saya tidak bertanya apa nama gunung itu.
Kami sempat untuk mengisi perut di tengah perjalanan. Sama seperti tahun lalu, saya juga berhenti di tempat ini. Biasa di dalam perjalanan pastilah pertama yang dicari jika berhenti adalah toilet. Ada kebutuhan yang tidak bisa diwakilkan. Pak Farid memesan makanan. Ternyata makanan yang lezat. Lauk ikan dan nasi kebuli. Porsinya sangat besar. Jumbo. Rupanya takarannya orang Arab. Jadi kami tidak bisa menghabiskan nasi yang disediakan. Separuh saja sudah untung.
Kami sampai di Kantor Urusan Haji (KUH) jam 13.30 WAS. Kami langsung istirahat sampai jam 17.00 WAS. Kami berlima lalu menuju ke Masjid Nabawi. Kami merangsek ke depan sampai di arena Raudhah bagian luar. Karena tempat Raudhah sudah ditutup, maka kami harus memutar keluar masjid lalu masuk ke wilayah Raudhah. Semula kami harus duduk berdesakan, namun kala shalat Maghrib dilakukan ternyata kami semua mendapatkan tempat untuk melakukan shalat. Alhamdulillah, kami bisa melakukan shalat dan meneruskannya dengan membaca Al Qur’an dan dzikiran.
Kami memang sengaja untuk terus di tempat itu sampai shalat Isyak. Rasanya menyenangkan juga bisa mengikuti shalat jamaah di masjid Nabawi. Meskipun hanya shalat Maghrib dan Isyak. Akan tetapi rasanya memang sangat menyenangkan.
Shalat di tempat ini juga dikejar oleh jamaah haji Indonesia. Mereka harus melakukan jamaah empat puluh kali di Masjid Nabawi. Itulah sebabnya, jamaah haji Indonesia harus bertempat tinggal di Madinah selama kurang lebih delapan hari. Perhitungannya adalah bisa shalat jamaah 40 kali tersebut.
Apapun resikonya, jamaah haji Indonesia harus mencapai empat puluh kali shalat jamaah. Mereka selalu menggunakan strategi untuk mencapai angka ini. Ada yang melakukannya dengan strategi shalat shubuh berjamaah lalu pulang ke pemondokan, terus kembali saat menjelang shalat Dhuhur dan diteruskan dengan shalat Ashar, lalu kembali ke pemondokan. Lalu shalat maghrib dan diteruskan dengan shalat Isyak. Setelah itu mereka baru istirahat di hotel untuk tidur.
Hampir seluruh jamaah haji menggunakan metode ini. Kecuali yang tempatnya memang sangat berdekatan dengan Masjid Nabawi.
Tentu mengikuti shalat jamaah di Masjid Nabawi memiliki pengalamana spiritual tersendiri. Bagaimanapun seseorang akan merasakan betapa indahnya shalat di Masjid Nabi Muhammad saw. Orang merasakan shalat berdekatan dengan tempat Rasulullah dimakamkan. Makanya, sebagian besar jamaah yang mengikuti shalat melanjutkannya untuk ziarah ke makam Nabi Muhammad, saw, Makam Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali.
Peristiwa-peristiwa religious semacam ini yang rasanya juga menjadi penyebab mengapa seseorang ingin secara terus menerus untuk berziarah dan melakukan perjalanan ke tanah Suci Makkah al Mukaramah maupun ke Madinatun Nabawi. Sangat sulit rasanya untuk menyalahkan kenapa orang berkeinginan untuk menjumpai makam Nabi Muhammad selama hidupnya dan berhaji juga beberapa kali.
Hanya karena factor banyaknya calon jamaah haji yang menginginkan berhaji dan factor daftar tunggu yang panjang saja yang akhirnya harus mengesahkan bahwa haji dapat dilakukan sekali saja seumur hidup. Hanya Allah saja yang tahu bagaimana hal ini harus terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.