• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERLU HUKUMAM BAGI PENISTA AL QUR’AN (5)

PERLU HUKUMAM BAGI PENISTA AL QUR’AN (5)
Drama tentang penistaan Al Qur’an yang dianggap dilakukan oleh Pak Ahok terus menggelinding di seantero Indonesia. Mereka yang berkeinginan untuk memidanakan Pak Ahok juga tidak kalah di dalam menyebarkan informasi tentang keharusan memidanakannya. Bagi kalangan ini, maka memidanakan adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan bangsa ini.
Berbagai upaya juga dilakukan untuk menjernihkan masalah “penistaan Al Qur’an”, misalnya dengan mendatangkan ahli fatwa dari Mesir, Syekh Amru Wardani. kita tentu tidak tahu siapakah beliau ini, akan tetapi beliau tentu didatangkan untuk kepentingan memberikan penjelasan tentang Surat Al Maidah ayat 51. Banyak pihak yang tentu sangat berkepentingan dengan fatwa ini, terutama yang terkait dengan penjelasan terjemahan ayat tersebut.
Sesuai dengan scenario dari mereka yang memperjuangkan pemidanaan bagi penista Al Qur’an, maka proses hukum bagi Pak Ahok dan tuntutan baginya menjadi momentum penting untuk menentukan langkah ke depan. Makanya, mereka sudah merencanakan akan melakukan demo lebih besar dibanding tanggal 4 Nopember 2016 lalu. Konon katanya, dari Jawa Barat sudah disiapkan sebanyak lima juta orang untuk berdemo di Jakarta. Tanggalnya juga sudah ditentukan. Momentumnya hari Jum’at, 25 Nopember 2016.
Terlepas dari benar atau tidak, akan tetapi pengalaman demonstrasi besar yang lalu tentu menjadi pelajaran bagi pemerintah, khususnya para penegak hukum. Jika mereka tidak hati-hati tentu akan bisa menjadi problem bagi bangsa ini. Di tangan para penegak hukum sekarang bola lagi bergulir. Jika tendangannya salah, maka akan menentukan kemana bola tersebut akan diarahkan oleh mereka yang menginginkan koridor hukum sebagaimana yang diinginkan.
Demonstrasi yang lalu, saya kira tuntutannya sudah sangat jelas. Hukum penista Al Qur’an. Artinya, peluang untuk tidak menghukum itu probabilitasnya hanya satu persen. Atau dengan kata lain, 99 persen Pak Ahok harus dihukum. Signal ini tentu sudah dibaca oleh para petinggi negeri ini dan juga aparat hukum. Jadi, apapun fakta lapangannya, akan tetapi yang jelas bahwa hasil akhirnya adalah “hukum Ahok.”
Inilah paradoks hukum yang sedang terjadi di Indonesia. Maju kena mundur juga kena. Pengadilan dituntut untuk adil dan transparan, akan tetapi juga sudah jelas tuntutan public “adili Ahok”. Artinya, “hukum Ahok.” Jadi bukan hanya dijadikan tersangka, akan tetapi hukumlah Ahok sebagaimana yang lain yang dianggap sebagai penista agama. Pernyataan “adili Ahok” dengan demikian bermakna “hukumlah Ahok” sebagaimana yang dituntut oleh mereka.
Memang harus diakui bahwa persoalan ini berkait kelindan dengan berbagai persoalan lainnya. Dimensi politik juga sangat mengedepan. Andaikan Ahok tidak akan merebut posisi gubernur DKI Jakarta, tentu gaung persoalan ini tidaklah sekeras sekarang. Namun karena keterkaitan dengan dunia politik ini, maka situasinya menjadi mengeras dan tidak tertahankan. Rasanya, pertarungan ini tidak akan segera berakhir, jika tuntutan public ini tidak mendapatkan respon yang memadai.
Dilemma ini yang sesungguhnya menjadi problem besar bagi aparat hukum di negeri ini. Mengikuti logika public juga bisa dianggap tidak netral, tetapi “tidak mengadili Ahok dan berujung pada tidak hukuman” juga dianggap public sebagai pengkhiatan terhadap keadilan. Di kalangan public sudah terbangun opini, bahwa Ahok menista agama. Public opinion ini dibangun lewat jejarang medsos. Mereka sudah tidak lagi mempercayai terhadap media televisi, koran dan bahkan radio. Dianggapnya bahwa media cetak, audio visual dan audio ini sudah menyuarakan kepentingan para konglomerat yang dianggapnya juga memihak kepada kepentingan Ahok.
Jika kita dengarkan berbagai ceramah agama, khutbah, pengajian dan lain-lain di media sosial, maka kita sungguh sedang merasakan betapa penolakan terhadap Ahok itu luar biasa. Ibaratnya (dalam bahasa Jawa) sudah sampai di tenggorokan. Hal-hal seperti ini yang didengarkan oleh umat dewasa ini. Dengan mudahnya mereka mendapatkan berbagai informasi, baik yang mengandung nilai kebenaran maupun yang hoax. Tetapi mereka sudah kadung percaya bahwa semua informasi yang menyatakan bahwa Ahok menodai Al Qur’an adalah kebenaran.
Dilemma ini menurut saya harus bisa diselesaikan dengan cerdas. Kita tidak ingin “menyelesaikan masalah tanpa solusi”. Kita harus “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Maka jalan yang terbaik adalah “lakukan pemeriksaan dengan adil, transparan dan hasilnya akan membawa manfaat bagi umat”. Saya kira, dengan tanpa tekanan dari siapapun, maka proses penyelidikan akan bisa berjalan sesuai dengan relnya dan hasilnya akan bisa diyakini sebagai kebenaran bersama.
Tantangan terbesar bagi dunia pengadilan adalah menempatkan masalah Pak Ahok ini on the track, dan tentu berawal dari sini kepercayaan atau trust tentang keadilan itu akan kembali mendapatkan marwahnya.
Di atas semua ini, tentu doa kita adalah agar bangsa ini dijauhkan oleh Allah dari perpecahan dan kerusakan sebagai akibat dari tindakan kita yang merusaknya sendiri. Kerusakan di bumi ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena ulah kita sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (4)

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (4)
Meskipun judul tulisan saya dalam empat artikel ini adalah “Perlu Hukuman Bagi Penista Al Qur’an”, namun saya tidak ingin terlalu jauh memasuki kawasan “hukum” yang memang saya tidak memahaminya secara mendalam. Biarlah ahli hukum yang membicarakannya dan menganalisisnya. Saya tentu lebih senang membahas dari sisi sosiologisnya saja sesuai dengan disiplin keilmuan yang saya geluti selama ini.
Sumber dari semua problema ini tentu saja adalah ucapan Pak Ahok di Kepulauan Seribu. Di sinilah sesungguhnya semuanya berlangsung, baik yang pro maupun yang kontra. Semuanya kemudian menggelinding bak bola salju yang makin lama makin besar dan akhirnya tidak terkendali. Antara yang pro dan kontra kemudian saling membangun imej di media sosial, dan akhirnya terjadilah demonstrasi besar yang telah terjadi tanggal 4 Nopember 2016 tersebut.
Media sosial tentu memiliki peran yang sangat besar sebagai sarana untuk menyebarkan informasi terkait dengan peristiwa penistaan agama. Media sosial bisa menjadi sarana ampuh untuk menggalang solidaritas umat. Melalui bagan teori peluru atau the bullet theory, maka pesan itu bergerak sangat cepat bagaikan peluru untuk memasuki kawasan decodernya atau sasarannya dengan tepat dan jitu. Dan ketika peluru (informasi) tersebut sampai kepada sasarannya, maka akan dapat membangkitkan solidaritas dan menumbuhkan semangat “ayo kita bela Al Qur’an”, “hukum Ahok seadil-adilnya”, “hukum penista agama” dan sebagainya.
Tanpa bermaksud untuk menambah masalah terkait dengan QS Al Maidah ayat 51, maka sesungguhnya kebanyakan umat Islam memang memahaminya sebagai konsep kepemimpinan. Di dalam penafsiran yang dirilis oleh Kementerian Agama, maka dinyatakan bahwa arti dari Surat Al Maidah ayat 51 ialah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. (Surat Al Maidah ayat 51).
Jadi, yang dimaksud dengan “awliya” ialah pemimpin-pemimpin. Terjemahan ini didasarkan atas Terjemahan Departemen Agama dengan Tim Penterjemah berdasarkan Surat Menteri Agama, No. 20 Tahun 1967 dengan keanggotaan, yaitu: Prof. TM. Hasbi Ashshiddiqi, Prof. H. Bastaman A. Gani, Prof. H. Muchtar Yahya, Prof. H.M. Thoha Jahja Oemar, Dr. H. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H. Ghazali Thaib, KHA. Musaddad, KH. Ali Ma’shum, Drs. Busyairi Madjid. Penterjemahan dilakukan selama bertahun-tahun. Terjemahan ini pula yang digunakan oleh Kerajaan Arab Saudi (Mujamma’ al Malik Fahd li hiba al Mushhaf Asy Syarif Madinah Al Munawaroh). Al Qur’an terjemah yang dibagikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada jamaah Haji Indonesia tentu berdasarkan atas terjemah tersebut.
Di satu sisi juga terdapat terjemahan Surat Al Baqarah, ayat 51 dengan terjemahan sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Orang Nasrani sebagai teman setia (mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”
Menurut Dr. Muchlis Hanafi, bahwa terjemahan “awliya” dengan sebutan “teman setia” tersebut merujuk pada Terjemaham Al Qur’an pada Edisi Revisi tahun 2002 dan telah mendapatkan tanda tashih dari Lembaga Pentashih Mushaf Al Qur’an (LPMQ). Jadi terjemahan ini bukanlah terjemahan palsu sebagaimana yang beredar di media sosial. Terjemahan Al Qur’an memang dilakukan dalam periode tahun yang berbeda-beda, yaitu tahun 1998-2002, dengan variasi makna awliya. Misalnya di QS Ali Imron ayat 28, QS Al Nisa’ ayat 139 dan 144 serta QS Al Maidah ayat 57 diterjemahkan dengan kata “pemimpin’ sedangkan pada QS Al Maidah ayat 51 diterjemahkan dengan “teman setia.” Di sisi lain, QS Al Taubah ayat 23 diterjemahkan dengan “pelindung” dan QS Al isa’ ayat 89 diterjemahkan dengan teman-teman. Menurut Muchlis Hanafi, bahwa terjemahan Al Qur’an pertama kali terbit tahun 1965, lalu ada edisi revisi tahun 1989-1990 dan ada lagi revisi tahun 1998-2002.
Tafsiran ini juga menjadi polemic yang cukup panjang di media sosial. Tentu saja di antara para penentang Pak Ahok menggunakan terjemahan yang awal bahwa pengertian “awliya” ialah pemimpin. Mereka menolak terhadap terjemahan “awliya” sebagai teman setia. Di dalam konteks ini, maka sesungguhnya terjemahan itu bisa bermacam-macam sesuai dengan konteks kepentingan yang melingkarinya.
Terhadap hal ini, maka sebagaimana dinyatakan oleh Muchlis Hanafi bahwa terjemahan Al Qur’an bukanlah Al Qur’an. Makanya, di sini ada banyak varian terjemahannya. Hal ini tentu tergantung pada pemahaman seorang penerjemah terhadap Al Qur’an. Dengan kata lain, bahwa varian terjemahan tentu akan sangat mungkin terjadi. Kata “wali” dengan jama’nya “awliya” bisa memiliki makna pemimpin, teman akrab, pelindung dan juga penolong. Teks Al Qur’an sebagaimana kata Sayyidina Ali “mengandung aneka ragam penafsiran atau “hammalun dzu wujuh”.
Melalui telaah ini, maka kiranya dapat dipahami bahwa konteks “penistaan agama” ini tidak bisa dikaitkan dengan terjemah atas teks ini, akan tetapi harus dilihat dari konteks pembicaraan waktu itu. Oleh karena itu, isu tentang “penistaan agama” tidak bisa dibawa ke ranah terjemah Al Qur’an itu sebagai pemimpin atau sebagai teman setia. Harus diletakkan kasus “penistaan Al Qur’an” tersebut pada dimensi konteks dan materi pembicaraannya.
Di sinilah kiranya momentum untuk membuat keadilan hukum itu sebagai isu yang menarik. Jika memang terbukti di pengadilan bahwa Pak Ahok melakukan “penistaan Al Qur’an”, maka sudah selayaknya untuk dipidana sebagaimana adanya. Di sini dituntut netralitas pengadilan agar segala keputusan yang dihasilkan bukan merupakan hasil atau buah dari rekayasa politik sekalipun. Jika Pak Ahok ternyata tidak “menista Al Qur’an” sesuai dengan bukti yang dimilikinya, maka di sini juga keadilan akan membicarakannya atau membuktikannya.
Melalui keadilan hukum, maka baik yang menuntut agar Pak Ahok dipidana karena indikasi “penistaan Al Qur’an”, maupun para pembela Pak Ahok yang menyatakan Pak Ahok tidak bersalah akan bisa memahaminya. Jadi kepada pengadilanlah semuanya akan terjawab.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (3)

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (3)
Di dalam demonstrasi yang dilakukan oleh umat Islam tanggal 4 Nopember 2016 tersebut, saya melihat ada beberapa komponen umat Islam dengan identifikasi dan kepentingan yang berbeda-beda. Mereka satu kesatuan, akan tetapi memiliki agendanya masing-masing.
Kita tentu bersyukur bahwa demonstrasi besar tersebut tidak mengarah kepada tindakan khaos. Jika kemudian terdapat tindakan tidak terpuji, maka hal ini semata-mata penumpang gelap yang memanfaatkan situasi demonstrasi untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji.
Jika dicermati, maka sekurang-kurangnya terdapat enam pengelompokan personal di dalam demonstrasi “Anti Ahok” ini. Pertama, kelompok yang memang beragenda untuk menghukum Pak Ahok karena tindakannya menistakan Al Qur’an. Bagi kelompok ini, maka Pak Ahok harus dihukum karena kesalahannya. Tujuan murninya adalah meminta pemerintah agar bertindak adil di dalam pelecehan agama. Kelompok ini misalnya diidentifikasikan dengan orang-orang Muhammadiyah, Kelompok HMI, para kyai seperti AA Gym, Yusuf Mansur, para Habaib, para pekerja media, seniman dan sejumlah orang NU yang tidak menggunakan bendera apapun. Mereka datang karena solidaritas terhadap gerakan demonstrasi untuk tujuan “menghukum” Pak Ahok.
Kedua, kelompok politisi yang sengaja datang untuk tujuan politik konstituen. Mereka sebenarnya memiliki agendanya sendiri yaitu untuk terlibat dengan konstituennya di dalam kerangka membela agama Allah dan terlibat secara aktif untuk bersama-sama pendemo lainnya meminta agar Pak Ahok diproses hukum secara adil. Meskipun mereka terlibat di dalam orasi, hal itu semata-mata memberikan peluang keterlibatan sebagai wakil rakyat yang empati terhadap gerakan ini. Ada misalnya Fahri Hamzah dari PKS dan Fadly Zon dari Gerindra. Tentu ada banyak politisi dari dua partai ini yang terlibat tetapi tentu tidak bisa disebut satu-persatu.
Ketiga, kelompok yang menuntut agar Pak Ahok diadili dan dihukum serta memiliki tujuan lebih jauh, yaitu mendirikan khilafah. Kelompok ini saya kira yang paling banyak mengikuti demonstrasi. Mereka menjadikan demonstrasi hanya sebagai tujuan antara saja, akan tetapi tujuan lebih jauhnya adalah untuk unjuk kekuatan bahwa kaum militant Islam memiliki basis kekuatan yang tidak bisa dianggap enteng. Demonstrasi ini sesungguhnya hanya bagian dari cara mereka untuk memberikan warning bagi pemerintah bahwa mereka tidak main-main di dalam tujuan mendirikan khilafah ini. Jika disimak pidato mereka yang tergolong ini, misalnya Bachtiar Nashir, Aliansi Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dan lain-lain, maka jelaslah bahwa mereka memang memiliki agenda yang lebih besar, yaitu bagaimana system pemerintahan ini bisa diganti dengan system khilafah yang menjadi tujuannya.
Keempat, kelompok Front Pembela Islam (FPI) di bawah komando Habieb Rizieq. Kelompok ini tidak memiliki agenda lebih jauh untuk mendirikan khilafah Islam. Tujuan utamanya adalah untuk menghentikan pencalonan Pak Ahok dari Gubernur DKI Jakarta. Di dalam banyak hal, yang menjadi tujuanya adalah menerapkan syariah secara kaffah. Target mereka jelas umat Islam tidak boleh dipimpin orang non-Muslim. Jakarta sebagai symbol Indonesia dengan mayoritas umat Islam tidak boleh dipimpin oleh non-Muslim. Di dalam pidatonya, Habib Rizieq tidak menyebut secara eksplisit tentang agenda khilafah. Berbeda dengan kelompok Bachtiar Nashir yang memang secara ekspisit menolak Pak Ahok dan kemudian mendirikan khilafah.
Kelima, kelompok yang membenci Pak Ahok dan tidak menginginkan Pak Ahok maju menjadi Gubernur DKI, akan tetapi penyebabnya karena kekecewaannya atas penggusurannya dari daerah bantaran sungai, misalnya kelompok Penjaringan, Pademangan dan sebagainya. Mereka menyatu di dalam gerakan demonstrasi ini untuk melampiaskan kekecewaannya atas perlakuan Pak Ahok yang dianggapnya tidak mengindahkan “kemanusiaan”. Meskipun mereka disediakan Rumah Susun, akan tetapi mereka tercerabut dari wilayah pekerjaannya atau kehilangan pekerjaannya. Di sini mereka menyatu dalam satu kesatuan untuk menggagalkan pencalonan Ahok menjadi Gubernur DKI.
Keenam, kelompok ikutan atau kaum partisipatif atau mereka yang hanya datang untuk rame-rame sambil mengikuti gerakan demonstrasi. Mereka tidak memiliki agenda apapun kecuali hanya ikut-ikutan. Jadi mereka tidak memiliki tujuan tertentu hanya sekedar ikut arus saja.
Jika dianalisis lebih lanjut, maka sebenarnya yang penting adalah dua arus yang bisa memiliki tujuan jangka panjang, yaitu kelompok yang menjadikan demonstrasi sebagai tujuan antara dan menjadikan gerakan khilafah sebagai final goalnya. Lalu kelompok yang lebih murni tujuannya yaitu berhentinya pencalonan Pak Ahok karena menjadi terpidana kasus penistaan agama. Kelompok lain yang tidak memiliki ideology jangka panjang tentu akan berpikir lebih jauh untuk melakukan demonstrasi lagi. Akan tetapi kelompok ideologis tentu akan terus berupaya agar ke depan akan terjadi lagi demonstrasi yang lebih masif sebagai instrument untuk memberikan warning tentang eksistensinya.
Namun di atas semua ini yang perlu dicermati adalah peranan media sosial sebagai instrument untuk penggalangan massa. Jika penggalangan massa ini mampu menumbuhkan sentiment keagamaan karena factor hukum yang tidak dianggap menyuarakan keinginan mereka, maka akan dipastikan bahwa ke depan akan terjadi lagi demonstrasi yang besar.
Jadi, diperlukan kecermatan untuk melangkah ke depan khususnya di kalangan pemerintah. Jika tidak menempatkan solusi yang memadai di dalam memaknai kasus penistaan Al Qur’an ini, maka rasanya ke depan akan terdapat kerumitan yang lebih kompleks.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (2)

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (2)
Setiap agama pastilah memiliki pengikut teguh. Pengikut yang memiliki kesadaran sangat tinggi untuk membela agamanya. Jika agamanya dinistakan atau dijahili orang, maka dia akan melakukan perbuatan apapun untuk membelanya. Di antara pemeluk agama, merekalah yang sering meneriakkan ungkapan bahwa agama Allah harus dibela lahir dan batin. Orang harus berjihad untuk membela agama Allah ini.
Agama memang mengandung dimensi yang oleh para ahli psikhologi disebut sebagai “sesuatu yang ultimate concern”. Sesuatu yang bercorak keyakinan mendalam, melibatkan seluruh emosi dan perasaan, melibatkan sikap dan perilaku. Makanya, agama merupakan dimensi keyakinan yang absolut. Keyakinan seperti ini dibentuk dari kebenaran agama yang dianggapnya mutlak dan tidak tertandingi kebenarannya.
Orang bisa menjadi marah jika perasaan keagamaanya dinodai atau dihina atau dilecehkan. Jika terjadi semacam ini, maka kunci jawabannya adalah jihad fi sabilillah bagi yang beragama Islam, atau ungkapan lainnya di dalam agama lain. Banyak kasus yang menyebabkan kekerasan atas nama agama ditentukan oleh factor penistaan agama ini.
Banyak kasus, misalnya kasus Syi’ah di Sampang, terutama juga disebabkan salah satunya karena persoalan keyakinan agama. Dengan menyatakan bahwa Sahabat Nabi yaitu Abu Bakar, Umar dan Ustman tidak berhak menjadi khalifah saja, maka akan menyebabkan kemarahan yang tidak terkendali. Demikian pula dengan anggapan kaum Ahmadiyah bahwa Nabi Muhammad saw bukanlah Nabi terakhir atau penutup para Nabi, maka jadilah masalah kekerasan atas nama agama. Demikian pula kasus Lia Eden, Kasus Gafatar, dan kasus-kasus lainnya. Semuanya menggambarkan bahwa di kala ajaran agama dinodai atau dilecehkan, maka sontak akan terjadi kekerasan demi kekerasan.
Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan kenyataan “anggapan” sejumlah kaum Muslimin yang menganggap telah terjadi “penistaan agama” yang dilakukan oleh Pak Ahok. Beliau dianggapnya melakukan “penistaan” agama terkait dengan Surat Al Ma’idah 51. Pak Ahok dianggap menyatakan bahwa Surat Al Maidah 51 itu kebohongan. Ayat yang berisi tentang persyaratan kepemimpinan tersebut dianggap dijadikan sarana untuk membohongi public. Jadi, didugalah Pak Ahok menodai ajaran agama. Terlepas dari konteks pembicaraan macam apa yang diucapkan oleh Pak Ahok, maka masyarakat sudah melabelnya sebagai penista agama.
Berseliweran berbagai informasi yang memberikan berbagai argumentasi tentang penistaan agama tersebut. Ada kelompok yang menyatakan bahwa Pak Ahok tidak melakukan penistaan agama, sebab konteks pembicaraan tersebut bukan ucapan langsung menista agama. Sementara di sisi lain, dianggapnya penistaan agama tersebut telah dilakukan. Ada nama Nusron Wahid yang diidentikkan dengan pembela Ahok yang getol, sementara ada nama Habieb Riziq, Bachtiar Nashir dan lan-lain yang menganggap Pak Ahok menista agama.
Meskipun tidak membaca dengan detil, tetapi saya mengikuti berbagai perdebatan tentang tafsir penodaan agama berdasarkan ucapan Pak Ahok di Kepulauan Seribu itu. Banyak grup WA yang saya ikuti, misalnya WA “Lawan Ahok”, WA “Asyrokol” yang netral, WA “PMII” yang netral dan WA lain yang kebanyakan memang penentang Pak Ahok. Dengan menggunakan analisis kasar, maka dapat diketahui bahwa di antara penentang dan pembela tersebut memang selalu berada di dalam posisi demarkatif yang jelas. Semua memberikan argumentasi untuk kepentingan kelompoknya. Makanya yang juga menarik adalah informasi dari kelompok independen yang terkadang menyuarakan sikap kritis terhadap keduanya. Dari mereka terkadang kita dapatkan informasi yang lebih independen sebab posisi mereka memang tidak terlibat di keduanya.
Penistaan agama memang ranah tafsir. Yaitu tafsir tentang ucapan seseorang atau sekelompok orang tentang ajaran atau teks agama-agama. Jadi bukan ajarannya sendiri atau teksnya sendiri. Ia merupakan tafsiran orang tentang “potensi atau indikasi” penistaan. Terkait dengan ucapan Pak Ahok, maka dipastikan bahwa terdapat dua ranah tafsir, yaitu tafsir yang menganggap bahwa Pak Ahok sudah menistakan agama berdasarkan tafsir atas pidatonya di Kepulauan Seribu. Tidak diperlukan tafsir lain kecuali harus menjatuhkan hukuman kepada Pak Ahok terhadap tindakan penistaan terhadap Al Qur’an khususnya tentang Ayat Al Maidah 51. Di sisi lain, para pendukung Pak Ahok juga menyatakan bahwa tidak ada ucapannya yang menistakan Ayat Al Maidah 51. Mereka melihat bahwa ucapan Pak Ahok yang dirilis di berbagai media sosial tersebut sudah diedit atau direkayasa untuk kepentingan lain.
Memang selalu tidak ada tafsir tunggal atas suatu ucapan atau tindakan seseorang. Masing-masing dengan logika dan kemampuannya untuk menafsirkannya sesuai dengan kepentingan dan logika yang dibangunnya. Makanya, tidak ada yang benar-benar obyektif, jika hal itu menyangkut tafsir atas suatu teks. Pasti ada keragaman tafsir teks itu.
Jadi yang diperlukan adalah bagaimana kita bertindak arif atas dunia tafsir ini dan menyerahkan kepada aparat hukum yang akan memprosesnya. Kita harus sama-sama menahan diri. Jika kita melarang Presiden Jokowi dan segenap aparat lainnya termasuk partai politik untuk tidak melakukan intervensi, maka kita juga jangan melakukan intervensi.
Di dalam konteks dunia tafsir menafsir ini, maka kiranya yang diperlukan adalah kearifan dan terus mengharap bahwa keadilan akan bisa ditegakkan di negeri ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (1)

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (1)
Dalam dua hari pasca demonstrasi damai yang dilakukan oleh banyak kalangan umat Islam di Jakarta, saya memang sengaja tidak membaca berita melalui media cetak. Saya hanya memperhatikan berbagai macam tulisan di WA dari berbagai kelompok yang ada di hand phone saya.
Saya ingin dalam dua hari pasca demonstrasi tersebut pikiran saya tidak dijejali dengan berbagai komentar dan pandangan di seputar demonstrasi damai yang kemudian juga ada sedikit noda kekerasan di Penjaringan Jakarta Utara. Meskipun saya juga berkeyakinan bahwa yang menjadi actor untuk kerusuhan di akhir demonstrasi itu pastilah penumpang gelap.
Penjarahan, kekerasan dan sebagainya memang bisa dilakukan oleh siapa saja di saat terjadi kerumunan massa yang sedemikian besar. Dan inilah yang sesungguhnya saya khawatirkan semenjak semula, bahwa bisa saja demosntrasi ini akan dijadikan sebagai lahan kepentingan sesaat bagi orang atau sekelompok orang yang memiliki tujuan berbeda.
Namun demikian secara keseluruhan saya kira demonstrasi tanggal 4 Nopember 2016 adalah sebuah demonstrasi yang beradab. Saya melihat di media sosial betapa nuansa kemanusiaan di dalam demontrasi itu masih sangat kelihatan. Ada rasa kemanusiaan yang terbawa sedemikian kuat di antara para demonstran dengan aparat keamanan. Sungguh masih terjadi pemandangan yang menyenangkan melihat bahwa mereka saling memberi dan menolong.
Demonstrasi ini terbilang sangat besar. Semenjak reformasi terjadi di tahun 1998 sampai kini, maka demonstrasi yang dilakukan oleh eksponen lintas organisasi agama Islam ini terbilang yang paling besar. Memang tidak didapatkan jumlah yang pasti, akan tetapi menilik banyaknya peserta demontrasi, maka kiranya jumlah satu juta orang akan mendekati kenyataan.
Mereka juga terdiri dari lintas organisasi Islam. Motor gerakan demonstrasi ini adalah mereka yang selama ini dilabel dengan “kaum fundamental” dalam Islam. Misalnya, Ustadz Habib Rizieq, pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Ustadz Bachtiar Nashir dari Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (Ketua GNPFMUI), Munarman (panglima Lapangan), Abu Jibril (MMI), Zaitun Rasmin (Wakil Ketua GNPFMUI) dan sejumlah nama lainnya. Di antara para Kyai yang juga hadir adalah KH. AA Gym, Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Arifin Ilham, KH. Didin Hafiduddin, dan banyak lagi lainnya. Kemudian di antara Habaib juga ada yang datang dan lain-lain. Sementara politisi yang hadir adalah Fadly Zon (Gerindra), Fahri Hamzah (PKS) dan lain-lain.
Demonstrasi ini memang dihadiri oleh berbagai organisasi Islam, misalnya HTI, HMI, FPI, GNPFMUI, Muhammadiyah, MTA, dan sebagainya. Saya nyatakan organisasinya sebab mereka menggunakan bendera yang menggambarkan afiliasi keorganisasian yang bersangkutan. Tentu ada orang-orang dari organisasi seperti NU yang ikut meramaikan demonstrasi ini, akan tetapi karena atributnya tidak didapatkan, makanya keikutsertaan mereka tentu bersifat pribadi.
Secara umum, dapat dinyatakan bahwa demonstrasi ini memang berhasil untuk menggambarkan bahwa mereka bisa membawakan demonstrasi yang aman dan damai. Berdasarkan penilaian saya, bahwa sampai menjelang magrib, sebagai batas toleransi untuk melakukan demonstrasi yang sudah disepakatinya, maka demonstrasi berjalan dengan aman dan damai. Saya menyaksikan sendiri, bagaimana mereka kembali berjalan ke stasiun Cikini, atau kembali ke markasnya secara berangsur-angsur. Saya juga melintasi jalan Thamrin dari sisi Pusat Pertokoan Sarinah, dan mereka berjalan dengan damai untuk kembali ke markasnya masing-masing. Sementara juga ada yang kembali ke masjid Istiqlal dan ke tempat-tempat lainnya.
Kekhawatiran bahwa demonstrasi akan berakhir dengan kerusuhan dan bahkan juga akan terjadi penyusupan untuk membuat keonaran juga tidak terjadi. Bisa kita saksikan di lapangan atau media televisi betapa demonstrasi ini berjalan dalam koridor keamanan dan kedamaian.
Penilaian serupa juga kita dapatkan dari organisasi Islam terbesar di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah yang menyatakan bahwa demonstrasi ini berjalan dengan baik. Jadi, para demonstran sudah menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan unjuk rasa dengan baik dan bermartabat.
Jika kemudian terjadi gesekan di sana-sini dan berakhir dengan tembakan gas air mata, maka hal ini dilakukan semata-mata karena massa sudah tidak bisa dikendalikan. Saya rasa memang ada saatnya, aparat harus bertindak tegas menghadapi demonstran yang sudah tidak lagi kondusif untuk diajak bicara dan bermusyawarah. Mereka adalah kelompok-kelompok kecewa dengan kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta sekarang (nonaktif) dan memanfaatkan momentum ini untuk melakukan tindakan balasan. Bukankah yang terjadi kerusuhan di dalam demonstrasi ini adalah wilayah Penjaringan yang baru saja digusur untuk kepentingan tata ruang Jakarta. Lalu ada kelompok yang juga memanfaatkan kerusuhan tersebut untuk melakukan penjarahan terhadap minimarket. Semua ini merupakan rangkaian dari tindakan seseorang atau sekelompok orang yang memanfaatkan demonstrasi ini untuk kepentingan yang berbeda.
Komitmen untuk menjaga keamanan dan kedamaian di dalam pelaksanaan demonstrasi besar ini saya kira telah terpenuhi. Dan akhirnya kekhawatiran akan terjadi kerusuhan besar juga tidak terjadi, sehingga tudingan mereka yang Islampobhi bahwa pemeluk Islam selalu membawa kerusuhan akhirnya tidak terjawab.
Wallahu a’lam bi al shawab.