• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE TURKI: MENGEVALUASI MOU PTKIN DENGAN MARMARA UNIVERSITY (3)

KE TURKI: MENGEVALUASI MOU PTKIN DENGAN MARMARA UNIVERSITY (3)
Jika kita merasa pening kepala karena macet di jalanan Jakarta, maka saya kira juga ada tempat lain yang juga sama macetnya dengan Jakarta, yaitu di Istambul. Kota bersejarah ini juga memiliki tingkat kemacetan yang cukup parah. Sebagai kota lama, maka jalan-jalan di Istambul tergolong tidak lebar. Apalagi jalannya kebanyakan berisi dua arah.
Perjalanan ke Marmara University ternyata memerlukan waktu panjang. Dari Masjid Biru ke Marmara University akan memakan waktu panjang jika memutar dari wilayah Instambul di Eropa dan Wilayah Istambul di Asia. Makanya, harus memotong jalur dengan naik kapal feri melampaui Selat Bosphorus. Dengan naik kapal feri, maka separuh perjalanan bisa dipotong. Memang ada Jembatan Bosphorus, akan tetapi ternyata masih jauh juga tempatnya. Jadilah melewati Selat Bosphorus dengan kapal feri yang sangat baik. Pengalaman juga di Turki naik kapal feri. Jadi teringat menyeberang ke Madura atau ke Bali dengan kapal feri. Tradisi menyebrang dengan kapal feri ini memang tetap dilestarikan oleh Pemerintah Turki, terbukti dari banyaknya kapal feri yang antri dan juga mobil dan penumpang yang antri di sini. Meskipun ada jembatan, akan tetapi sengaja tradisi menyeberang dengan kapal feri tetap dipertahankan.
Setelah melewati jalan-jalan sempit dan naik turun di Istambul Asia, maka sampailah ke Marmara University, Fakultas Ilahiyyat atau Faculty of Theology. Kami diantarkan oleh Mas Syahroni, mahasiswa Program Doktor pada Fakultas Sosiologi Jurusan Hubungan Internasional. Mas Syahroni ini memperoleh gelar Strata satu dari UIN Kalijaga Jogyakarta, lalu Strata dua dari UGM dan program Doktor di Marmara University. Dia memperoleh rekomendasi dari Prof. Dr. Amin Abdullah untuk belajar di Marmara University. Dia belajar atas beasiswa Pemerintah Turki. Selama setahun persiapan Bahasa Turki dan baru masuk program Doktor di tahun kedua.
Mula-mula kami bertemu dengan Wakil Dekan Fakultas Ilahiyyat, Dr. Muhammad Abay, seorang doctor di bidang tafsir al Qur’an dan telah menghasilkan tulisan Khat Al Qur’an yang kemudian diterbitkan oleh Marmara University Publishing. Beliau ditemani oleh Kepala Pusat Riset di Fakultas Ilahiyyat, Dr. Mehmet Toprak.
Kepada Dr. Muhammad Abay, saya perkenalkan peserta kunjungan ke Marmara Universtity ini. Saya perkenalkan Prof. Gun, dengan jabatan akademis dan jabatan strukturalnya, saya perkenalkan Ferimeldy, PhD, dengan jabatannya dan juga saya dengan jabatan akademis dan structural saya, demikian pula Pak Farid Wajdi dengan jabatannya. Kemudian Prof. Gunaryo menyampaikan beberapa hal terkait dengan evaluasi mengenai penandatangan MoU antara PTKIN dengan Fakultas Ilahiyyat pada Marmara University.
Akhirnya, saya dan rombongan diajak untuk masuk ke ruang Dekan Fakultas Ilahiyyat, Prof. Dr. Ali Kofour. Sama dengan kala bertemu dengan Wakil Dekan Bidang akademis pada Fakultas Ilahiyyat, maka saya juga mengenalkan rombongan dari Kementerian Agama kepada Prof. Dr. Ali Kofour dan juga saya sampaikan bahwa di Indonesia ada pendidikan di bawah Kementerian Agama, di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Saya sampaikan bahwa di Kementerian Agama terdapat sebanyak 57 PTKIN, dengan status Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Institut Agama Islam Negeri dan Universitas Islam Negeri. Di PTKIN tidak hanya dikaji Islamic studies akan tetapi juga ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta sain dan teknologi.
Setelah itu, Pak Dekan lalu membeberkan tentang Fakultas Ilahiyyat dengan berbagai program studinya. Beberapa mata kuliah dasar, seperti ilmu Al Qur’an, Ilmu tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqih, Ilmu Sejarah Islam, dan sebagainya diajarkan di sini. Selain itu juga ada program studi internasional, dengan menggunakan bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Dijelaskan juga bahwa Fakultas Ilahiyyat memang menempati satu tempat tersendiri di sini, sebab fakultas-fakultas lain bertebaran di tempat lain.
Saya juga menyampaikan bahwa di beberapa Universitas Islam Negeri, seperti UIN Jakarta juga sudah diselenggarakan program kelas internasional di dalam bidang Islamic economy. Selain itu juga Kemenag memiliki program 5.000 doktor untuk belajar di dalam dan luar negeri dan selain itu juga ada program beasiswa kepada mahasiswa asing yang belajar di Indonesia. Mereka datang dari Thailand, Eropa Timur dan Afrika. Tidak kalah pentingnya, ke depan juga diperlukan program student exchange atau lecturer exchange di dalam kerangka untuk memperkuat kualitas pendidikan.
Prof. Gunaryo kemudian menyampaikan beberapa tujuan untuk datang di Fakultas Ilahiyyat. Ada dua hal yang disampaikan oleh Prof. Gunaryo, yaitu: pertama terkait dengan evaluasi penandatangan Mou antara PTKIN dengan Marmara University, seperti apa dan bagaimana program-program kerjasama tersebut dilakukan. Kedua, apakah kerja sama tersebut bisa dilakukan kegiatannya, atau menjadi MoU “sleeping”. Pihak Kemenag menginginkan agar MoU tersebut bisa menjadi MoU “dinamics”, sehingga kerja sama itu akan bisa saling menguntungkan.
Terhadap pertanyaan ini, maka Pak Dekan menyatakan bahwa ada sebanyak 15 MoU antara PTKIN dengan Marmara University, khususnya Fakultas Ilahiyyat. Namun demikian kebanyakan MoU tersebut tidak terlaksana kegiatannya. Kebanyakan menjadi MoU yang tidak berkelanjutan. Ada memang yang kemudian dilakukan kegiatan bersama, misalnya pelatihan manejemen, pelatihan bahasa Arab dan lainnya, akan tetapi kebanyakan MoU memang belum dilaksanakan.
Terhadap hal ini, Prof. Gun menyatakan bahwa sebaiknya memang harus dilakukan evaluasi mana program yang sudah dilakukan dan mana program yang belum dilakukan. Untuk kepentingan ini, kiranya diperlukan semacam kegiatan seminar internasional bersama antara Fakultas Ilahiyyat dengan PTKIN. Pak Gun juga menegaskan bahwa setelah kunjungan ke Turki dan memperoleh gambaran persepsi dari pimpinan Marmara University tentang MoU signing ini, maka akan menjadi kewajiban Kemenag untuk mendorong agar PTKIN di Indonesia untuk mengembangkan program bersama antara Fakultas Ilahiyyat pada Universitas Marmara dengan PTKIN.
Saya juga menambahkan misalnya ada seminar bersama yang dilakukan oleh kedua institusi pendidikan tinggi, sebab antara Indonesia dan Turki memiliki banyak kesamaan, baik dari paham keagamaan maupun praktek pengamalan agamanya. Turki dan Indonesia memiliki tantangan yang sama di dalam melaksanakan Islam yang rahmatan lil alamin. Indonesia sedang mengalami gerakan radikalisme yang semakin kuat dan demikian pula dengan Pemerintah Turki.
Jadi, ada banyak hal yang bisa dikolaborasikan antara Marmara University dengan PTKIN di dalam kerangka peningkatan mutu, relevansi dan daya saing PTKIN khususnya di era pendidikan global ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE TURKI: SHALAT JUM’AT DI MASJID BIRU (2)

KE TURKI: SHALAT JUM’AT DI MASJID BIRU (2)
Kegiatan saya yang pertama di Turki adalah shalat Jum’at di Masjid Sultan Ahmad. Masjid ini tergolong masjid yang sangat fenomenal dan menjadi ikon masyarakat Turki. Mereka begitu membanggakan terhadap masjid Biru. Masjid ini didirikan oleh Sultan Ahmad pada bulan Agustus 1609 M. Masjid ini didesain untuk menyaingi Hagia Sophia, yang merupakan peninggalan Dinasti Byzantium.
Masjid Biru dibangun dalam waktu tujuh tahun, dan selesai pada tahun 1616 M setahun sebelum wafatnya Sultan Ahmad dalam usia 27 tahun. Masjid ini dilengkapi dengan 260 jendela, ruangan ibadahnya berukuran 64×27 M, dilengkapi dengan 20.000 keramik handmade yang dibuat dari Iznik city dengan hiasan 50 desain bunga tulip yang berbeda. Pada masa awal hiasan lampunya diberikan lapisan emas dan batu mulia. Selain ornament berupa bunga dan hiasan lain, juga dilegkapi dengan kaligrafi al Qur’an.
Sebagaimana cerita Mas Firman, bahwa “masjid ini didirikan sebagai wujud dari sumpah Sultan Ahmad. Beliau berjanji akan membangun dinding Ka’bah dengan emas. Makanya, di kala Beliau berkuasa di Kesultanan Ottoman, maka Beliau berniat untuk mewujudkan janjinya itu. Akan tetapi setelah berkonsultasi dengan para ulama di Turki, dinyatakan bahwa manusia tidak diperkenankan untuk membangun Ka’bah dengan hal-hal lain. Termasuk juga dengan melapisi dindingnya dengan emas sekalipun.”
Selanjutnya Firman menyatakan: “Berdasarkan musyawarah dengan para ulama itu akhirnya diputuskan agar Sultan Ahmad mendirikan masjid yang kelak akan menjadi masjid fenomenal. Pembangunan Masjid Sultan Ahmad ini dilengkapi dengan enam menara, dan yang tengah dilapisi dengan emas. Masjid ini berhadapan dengan Hagia Sophia yang merupakan ikon Turki, yang semula adalah gereja kemudian dijadikan masjid dan sekarang menjadi museum.”
Dia juga menyatakan: “Mengenai penyebutan masjid Biru ini ternyata memiliki dua tafsir, yaitu masjid yang berhadapan dengan laut sehingga pancaran sinar matahari yang mengenai laut tersebut lalu memancar ke masjid, sehingga masjid tersebut beraura biru. Akan tetapi di lain tafsir bahwa masjid ini dinyatakan sebagai masjid biru karena lantai dasar masjid yang berwarna biru. Warna keramik biru yang berasal dari keramik marmara (blue izanik tiles) tersebut memang berwarna biru, sehingga disebutlah sebagai masjid biru.”
Sebagai Ikon Peradaban Turki, masjid ini memang dirancang dengan sangat bagus. Ornamennya yang sangat baik, berwarna-warni dengan corak khas lukisan abad pertengahan Islam, ornament dan juga kaligrafi yang sangat indah dengan warna-warni lampu yang menghiasi masjid. Balutan karpet merah juga menghiasi lantai masjid yang semestinya berwarna biru. Bentuk kubah intinya yang kelihatannya khas Masjid di Turki. Semua masjid memiliki kubah inti seperti masjid Biru ini. Keindahan masjid ini memang harus dilihat di desain interiornya. Dari desain eksteriornya tentu sudah banyak yang mengalami keausan, sebab dirongrong oleh iklim dalam waktu yang sangat lama. Namun demikian keindahan masjid ini tentu sangat luar biasa. Saya selalu menyatakan bahwa ada ide besar yang mengilhami desain dan bentuk masjid di Negara-negara Timur Tengah ini, seperti di Mesir, Maroko, dan Arab Saudi.
Sistem pemerintahan monarchi yang terjadi kala itu tentu menjadi factor dominan, bagaimana pimpinan pemerintahan dapat mendirikan bangunan-bangunan bersejarah seperti masjid Biru ini. Sultan Ahmad dengan kekuasaannya bisa mewujudkan salah satu “peradaban Islam” yang sangat luar biasa. Melalui sistem monarchi, maka raja dapat mewujudkan gagasan besarnya untuk bisa direalisasikan.
Selain mereka yang menjadi jamaah Shalat Jum’at di masjid Biru juga terdapat para turis, terutama turis asing yang berada di sekitar masjid ini. Memang hari Jum’at tidak diperkenankan untuk mengunjungi masjid ini di siang hari, sebab waktunya bersamaan dengan Shalat Jum’at, namun demikian banyak juga turis yang berada di luar masjid. Mungkin mereka ingin juga melihat bagaimana umat Islam di Turki menyelenggarakan shalat Jum’at.
Sebelum pelaksanaan Shalat Jum’at dilakukan ceramah agama oleh ulama di Turki. Ceramah yang cukup panjang tentu saja. Mendengarkan nada tinggi rendahnya suara penceramah, rasanya seperti mendengarkan ceramah agama oleh Kyai di Indonesia. Sayangnya saya tidak mengerti Bahasa Turki. Jadi yang terpenting hadir dan mendengarkannya sambil wiridan. Semua sepatu jamaah masjid dimasukkan ke dalam kantong plastic yang disediakan di depan pintu masjid. Kantong plastic warna putih tipis ini menjadi tempat bagi sandal dan sepatu bagi para Jemaah. Rasanya, tidak ada yang kehilangan sepatu dengan teknis ini. Semua sepatu dibawa masuk masjid oleh pemiliknya masing-masing.
Tepat jam 13 waktu Turki, maka adzan dikumandangkan lalu dilanjutkan dengan shalat Qabliyah Jum’at. Kemudian dilakukan khutbah Jum’at. Menurut Firman, bahwa inti khutbah Jum’at tersebut agar masyarakat berada di dalam ketenangan dan menjaga keamanan. Di saat sekarang ini banyak orang yang tidak menginginkan perdamaian, ketenangan dan keselamatan. Oleh karena itu agar masyarakat Turki selalu berada di dalam menjaga keamanan dan ketertiban tersebut. Naskah khutbah yang dibacakan di seluruh masjid di Turki sama saja, sebab sebelum dijadikan sebagai materi khutbah Jum’at harus diteliti terlebih dulu oleh Kementerian Agama yang memiliki kewenangan untuk itu.
Yang menarik bagi saya, adalah penyebutan Sayyidina Muhammad di dalam khutbah dan juga penyebutan terhadap semua Khulafaur Rasyidin di khutbah kedua. Penyebutan ini menggambarkan bahwa mereka adalah kelompok Islam Sunni yang memang menjadi arus utama Islam di Turki. Sedangkan Imam Shalat Jum’at tidak membaca Basmallah dengan suara keras. Pola yang digunakan tampaknya sama dengan pola bacaan al Fatihah di dalam pelaksanaan shalat di Masjid al Haram maupun Masjid Nabawi.
Sebagai masjid bertaraf internasional dan menjadi tempat wisata ziarah, maka masjid ini memiliki sound system yang sangat bagus. Makanya, detil bacaan khutbah maupun imam masjid dalam melantunkan ayat-ayat al Qur’an tentu sangatlah baik. Memang masjid ini ditata dengan sangat memadai untuk menunjukkan bahwa masjid ini memang bisa menjadi ikon bagi masyarakat Turki. Umat Islam patut bangga dengan peninggalan peradaban berupa masjid yang sangat indah tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE TURKI: PERJALANAN PANJANG (1)

KE TURKI: PERJALANAN PANJANG (1)
Pada suatu sore, 16/11/2016, di Hotel 101, di Jalan Surya Kencana, Bogor, saya dan Prof Gunaryo berbincang sambil menunggu Pak Menteri, Pak Lukman Hakim Saifuddin. Pak Menteri akan memberikan pengarahan pada acara “Rapat Koordinasi Para Ketua dan Sekretaris ULP Se Indonesia”. Sambil membicarakan banyak hal, tiba-tiba Pak Gunaryo menyatakan: “Pak, apa anggaran ke Turki kita kembalikan ke negara saja ya? Maka sontak saya jawab” “sudah Pak kita berangkat saja minggu depan”. Memang acara kunjungan ke Turki ini sudah tiga kali batal. Tentu karena terkait dengan tugas kantor yang sangat padat dan tidak bisa ditinggalkan.
Akhirnya kita sepakati, hari Kamis, 24/11/2016, saya pergi ke Turki dengan Prof. Gunaryo, Pak Ferimeldy, PhD dan Pak Farid Wajdi. Pertimbangannya adalah saya hanya akan meninggalkan kantor hari Jum’at saja, sebab hari Ahad sore sudah sampai di Jakarta. Sementara itu Prof. Gun dan Pak Ferimeldy masih akan berada di Turki sampai tanggal 29/11/2016, hari Selasa.
Jadwal kantor memang sangat padat justru pada akhir tahun ini. Luar biasa. Itulah sebabnya saya tidak tega akan meninggalkan kantor dalam waktu yang lebih lama. Bagi saya ke Turki itu akan menyelesaikan beberapa hal penting saja, seperti bertemu dengan Pimpinan Universitas Marmara, bertemu dengan Pimpinan Pesantren Sulaimaniyah di Turki, dan bertemu dengan Konsul Jenderal RI di Istambul. Lalu, sebisanya untuk melihat Masjid Biru, Museum Aya Sophia, dan melihat Jembatan Bosporus yang menghubungkan antara wilayah Turki di Barat (Eropa) dan Timur (Asia).
Pada Hari Kamis itu, masih ada agenda yang sangat penting, yaitu Rapat Panitia Seleksi (Pansel) untuk rekruitmen anggota Badan Pelaksana (BP) dan Dewan Pengawas (Dewas) Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Rapat ini juga dilakukan secara mendadak, sebab untuk memenuhi amanat UU No.34 Tahun 2014 tentang BPKH, bahwa dalam lima hari semenjak ditetapkan Pansel, maka harus sudah diumumkan tentang pendaftaran anggota BP dan Dewas BPKH dimaksud. Saya bersyukur sebab, sebagian besar dari anggota Pansel bisa hadir, yaitu: Pak Dr. Mulya E. Siregar (Ketua Pansel), Prof. Nur Syam (Sekretaris Pansel), Prof. Dien Syamsudin (anggota), Prof. Nasaruddin Umar (anggota), dan Pak Dr. Aidir Amir Daud (anggota), sedangkan Pak Hadiyanto sedang di Darwin Australia, Pak Zainul Bahar Noor, sedang di Medan, dan Pak Yunus Hussein sedang tugas penting, Pak Dr. Halim Alamsyah sedang di Berlin Jerman. Makanya, diputuskan hari Kamis, 23/11/2016 itu harus diumumkan pemberitahuannya lewat Web Kementerian Agama dan hari Selasa, 29/11/2016 harus diumumkan lewat media massa.
Kamis malam, saya bersama Pak Feri, Prof. Gun dan Pak Farid berangkat ke Turki. Ketika berangkat itu terasa badan lelah dan yang selalu membayangi saya adalah sulitnya tertidur di pesawat meskipun jarak jauh. Makanya, selalu saya siapkan CeTeEm agar di pesawat bisa tidur. Dengan pesawat Turki Airline, Boeing 777 ER, No. TK 057, saya berempat berangkat pada jam 21.00. Begitu masuk pesawat maka pil CeTeEm segera saya minum, dengan harapan agar bisa istirahat. Saya bertiga, Prof. Gun, Pak Feri duduk dalam satu jajaran kursi, sementara Pak Farid duduk sendiri dengan penumpang lain.
Pesawat Turki Airline adalah pesawat Boeing berbadan besar. Tempat duduk VIPnya sangat memadai, bahkan toiletnya juga cukup lebar. Dengan penataan yang cukup baik, rasanya berada di toilet rumah sendiri. Lantainya ditata seperti toilet rumah dengan warna kegelapan warna-warni dan peralatan toilet yang sangat memadai. Pelayanannya juga sangat bagus. Kecekatan pramugarinya juga sangat baik. Layaknya orang-orang Eropa, maka cara jalannya yang cepat dan terampil juga teruji. Saya juga menikmati makanan yang enak di dalam perjalanan ini.
Saya sampai di Bandar Udara Istambul pada jam 06.15 pagi hari. Udara sangat dingin kira-kira 10 derajat Celsius. Saya dijemput oleh Pak Dendi, staf KBRI di Istambul dan diantarkan ke Hotel Golden Horn di Istambul. Hotel dengan gaya bangunan klasik, meskipun sudah cukup tua. Kira-kira dibangun 30-40 tahun yang lalu. Jalanan masih lengang ketika saya menyusuri jalanan menuju ke Hotel ini. Maklumlah di Turki jam sebegitu tentu masih sangat pagi. Dengan cuaca yang dingin tentu mereka, penduduk Turki, sedang menikmati masa istirahat. Masih nyenyak-nyenyaknya tidur.
Sesampainya di Hotel Golden Horn, maka saya menempati lantai dua, nomor 216, sementara Pak Gun dan Pak Farid juga di lantai yang sama. Hanya Pak Feri yang berada di lantai satu. Meskipun mata masih kantuk ternyata juga tidak bisa tidur. Maklum jam di Indonesia menunjukkan pukul 8.30 pagi. Salah satu kelemahan saya adalah tidak bisa tertidur di sembarangan waktu. Makanya, saya hanya rebahan saja di kamar sambil menunggu terbitnya matahari. Di Turki, matahari terbit pukul 8.00 pagi. Baru jam 7.00 pagi saya lihat di taman di depan hotel terdapat beberapa orang yang duduk di kursi. Mereka menikmati hawa pagi yang dingin. Ada lelaki dan perempuan yang duduk di kursi bersama-sama.
Jam 9.00 pagi saya beranjak ke Cafetaria Hotel di lantai enam. Ternyata Pak Feri sudah ada di situ, sementara Pak Farid dan Prof. Gun menyusul. Di resto hotel ini didesain luar dan dalam. Ruang dalam digunakan oleh mereka yang tidak merokok, sementara yang di ruang luar bisa digunakan oleh perokok. Dari ruang luar ini, kita bisa melihat laut dan juga Masjid Biru dan Museum Aya Sophia. Saya sempatkan untuk memotret Masjid Sultan Ahmad atau Masjid Biru ini. Hanya sayangnya karena udara masih agak gelap, sehingga hasilnya kurang maksimal.
Cukup lama saya berada di resto hotel ini tentu untuk membicarakan banyak hal. Meskipun kita di Turki yang sangat jauh dari Indonesia, kami tetap banyak membicarakan urusan kantor. Mulai dari serapan sampai program dan kegiatan yang bisa diakselerasi. Kami juga membicarakan tentang blokir anggaran yang dilakukan oleh KPPN terkait dengan pertanggungjawaban yang agak lambat. Dan sebagainya.
Kami baru keluar hotel kira-kira jam 11.30. Semula sudah datang Mas Firman, anak Jawa Barat, Indonesia, yang sudah selama 6 tahun di Turki. Dia belajar khusus untuk ilmu agama. Firman adalah satu-satunya alumni Pesantren Sulaimaniyah, yang hingga sekarang masih menetap di Turki. Dia harus tetap berada di Turki untuk melakukan pendampingan terhadap para santri yang baru datang ke Pesantren Sulaimaniyah di Turki. Para santri baru ini harus didampingi sebab harus melakukan adaptasi dengan segala hal di Turki. Mulai dari makanan, pergaulan sampai bahasa dan budaya Turki. Firman inilah yang melakukan perjalanan keliling dari pesantren ke pesantren Sulaimaniyah.
Untunglah masih ada anak-anak muda dengan niat yang sangat baik seperti ini. Masih muda, ganteng dan juga berdedikasi tinggi. Dengan senyumannya yang terus mengembang pantas rasanya dia menjadi pendamping para santri baru yang masih berusia sangat muda.
Kami kemudian pergi untuk shalat Jum’at di Masjid Biru, kala utusan KBRI, Pak Hendro dan Pak Adek datang. Kami bertuju: saya, Prof. Gun, Pak Feri, Pak Farid, Mas Firman, Pak Hendro dan Pak Adek lalu shalat di Masjid Biru yang fenomenal itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ULP DAN EFISIENSI ANGGARAN PEMERINTAH

ULP DAN EFISIENSI ANGGARAN PEMERINTAH
Acara yang menarik diselenggarakan oleh Kepala Biro Umum Kementerian Agama dalam tajuk “Rapat Koordinasi Pejabat ULP Kementerian Agama se Indonesia” (16/11/2016). Acara ini dihadiri oleh Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, Kabiro Umum, Kabiro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, Kabiro Kepegawaian, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Sesdirjen Bimas Islam, Sesdirjen Bimas Katolik dan Kristen dan segenap jajaran ketua dan sekretaris ULP Se Indonesia.
Pak Menteri memberikan pengarahan dan sekaligus menjadi narasumber utama di dalam rakor ini dan kemudian saya juga diminta untuk menjadi narasumber dalam tema “Kebijakan Kemenag dalam Pengadaan Barang dan Jasa serta Belanja Modal.” Selain itu juga diundang dari Bareskrim, Kejaksaan, LKPP dan sejumlah lainnya.
Saya sampaikan kepada peserta koordinasi tentang tiga hal, yaitu: pertama, agar melakukan percepatan penyerapan anggaran khususnya untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal. Belanja barang dan jasa memang sudah cukup lumayan serapannya, sebesar 70 persen, akan tetapi untuk pengadaan belanja modal masih memprihatinkan sebab masih berada di persentase sebesar 52 persen. Dua kegiatan ini erat kaitannya dengan keberadaan ULP pada masing-masing satker.
Secara nasional memang serapan kita sudah cukup bagus, bisa memasuki tiga besar Kementerian/Lembaga dengan anggaran besar. Berturut-turut adalah Kepolisian, Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama, sementara itu Kemendikbud di urutan ke empat. Besaran serapan sebanyak 73 persen memang juga lebih baik dibandingkan dengan capaian tahun lalu. Namun demikian kita tidak boleh terlena dengan perbaikan capaian sesuai dengan bulan ini, sebab harus diingat bahwa target serapan anggaran kita, sesuai dengan halaman 3 DIPA Kemenag adalah 98,41 persen. Angka ini terasa memang tidak realistic untuk dicapai, yang paling mungkin adalah serapan sebesar 93 persen.
Meskipun kita harus mempercepat anggaran akan tetapi harus diingat jangan sampai kita melakukan tindakan melawan regulasi atau tidak mengindahkan regulasi. Jangan sampai “ngebut benjut”, akan tetapi kita ngebut (cepat) tetapi tidak benjut (tidak bengkak kepala). Jadi prinsip cepat selamat harus menjadi prinsip kita semua. Untuk menaikkan angka dari 73 persen ke angka 93 persen itu butuh kerja keras dalam waktu yang sangat terbatas, yaitu 30 hari. Angka 20 persen harus diserap dalam waktu yang demikian pendek.
Kedua, kita sudah memiliki regulasi tentang percepatan belanja barang dan jasa serta belanja modal, yaitu Inpres Nomor 1 tahun 2015. Melalui Inpres ini kita diberi peluang untuk melakukan kontrak pekerjaan sebelum DIPA diterima atau di kala Pagu definitive sudah ditentukan. Dengan demikian, maka lelang jangka panjang (konstruksi) dan kebutuhan sehari-hari harus dilakukan semenjak bulan Januari atau harus dilelang sebelum bulan Desember. Misalnya untuk perawatan kantor, web, cleaning service, tenaga keamanan dan sebagainya tentu bisa dilelang sebelum DIPA atau lelang pra-DIPA. Disebut juga sebagai lelang tidak mengikat.
Di perguruan tinggi atau di Bimas Islam, yang di situ banyak kontrak bangunan (konstruksi), maka pada bulan Desember sampai Maret harus sudah dilakukan pelelangan. Sesuai dengan Inpres, maka tanggal 31 Maret seluruh lelang jangka panjang harus sudah diselesaikan dan dilaporkan kepada Kantor Staf Presiden (KSP). Presiden berkepentingan untuk mengetahui perkembangan pelelangan karena hal ini merupakan RKP yang diunggulkannya. Sesuai dengan amanat Presiden Jokowi bahwa penguatan infrastruktur menjadi aspek penting di dalam pembangunan. Ada rel kereta api, tol laut, Bandar udara, pelabuhan, jalan tol, waduk dan lain-lain yang menjadi prioritas pemerintah.
Ketiga, ada beberapa prinsip mendasar yang menjadi pedoman di dalam pelaksanaan lelang melalui ULP. Yaitu: transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan kemandirian, serta demokratis. Melalui pelelangan yang dilakukan oleh ULP, maka prinsip ini dijamin akan dapat dipenuhi. Di dalam menjamin transparansi maka digunakan system LPSE, di dalam menentukan akuntabilitas maka HPS dipastikan benar dan selektif, lalu juga memenuhi prinsip efektif dan efisien, sebab dipastikan akan didapatkan harga yang wajar sehingga akan terdapat efisiensi anggaran. Di ULP pusat saja terdapat sebanyak 14 persen penghematan anggaran.
Yang tidak kalah penting bahwa ULP tidak bisa diintervensi oleh siapapun. ULP memiliki kemandirian di dalam melakukan pekerjaannya. KPA pun tidak bisa melakukan intervensi untuk memengaruhi pemilihan pemenang tender. ULP harus memiliki keberanian untuk menolak berbagai upaya untuk menggagalkan pelelangan atau memenangkan pihak ketiga tertentu. Kewenangan ULP sangat besar di dalam menentukan HPS dan juga menentukan pemenang lelang.
Jika ULP bisa melakukan pelelangan berbasis pada timeline, HPS yang wajar, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, maka saya sungguh menyatakan bahwa penyimpangan tidak akan terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KORELASI LAPORAN KINERJA DENGAN RISET KEBIJAKAN

KORELASI LAPORAN KINERJA DENGAN RISET KEBIJAKAN
Hari Sabtu, 12 Nopember 2016, saya menghadiri acara pertemuan para pejabat structural di IAIN Bengkulu yang waktunya berkaitan dengan acara Pak Rektor IAIN Bengkulu menyelenggarakan walimatul arusy. Ngunduh Mantu. Selain menjadi narasumber pada acara pertemuan pejabat structural IAIN Bengkulu, saya juga diminta untuk mewakili para tamu dalam acara walimatul arusy tersebut. Mewakili Pak Prof. Sirajuddin adalah Pak Gubernur Bengkulu, Dr. Ridlwan Mukti, dan tamu lainnya adalah mantan Gubernur Bengkulu, A. Djunaedi, Kapolda Bengkulu, Brigjen. Yohannes Madha, dan para ulama.
Hadir dalam acara pertemuan dengan pejabat structural tersebut dalah Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, Dr. Hilmi Muhammadiyah, dan juga Kabiro AUAK, IAIN Bengkulu, Hj. Khoiriyah dan juga Kasubdit Sarana Parsarana Ditdiktis, pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag., Sa’diyah dan para pejabat structural lainnya.
Tema yang dibahas di dalam forum tersebut adalah mengenai Laporan Kinerja pada IAIN Bengkulu. Saya tentu bersyukur bisa bertemu dengan pejabat structural IAIN Bengkulu, sebab memang tema perbicangan kita di Kemenag akhir-akhir ini adalah mengenai Elektronik Kinerja atau e-kin, yang memang sangat dibutuhkan oleh semua ASN Kemenag.
Saya sampaikan tiga hal terkait dengan managemen kinerja yang akhir-akhir ini menjadi topic pembahasan di berbagai kementerian. Pertama, Sebagaimana sering saya nyatakan bahwa manajemen pemerintahan sekarang menggunakan konsep yang disebut sebagai manajemen performa atau performance management atau bisa juga disebut sebagai manajemen kinerja.
Kata kunci di dalam manajemen kinerja adalah perjanjian kinerja yang selalu dilakukan di awal tahun antara staf dan pimpinan. Ada empat elemen di dalam perjanjian kinerja yaitu sasaran kinerja, indicator kinerja, target kinerja dan capaian kinerja. Sudah banyak tulisan saya mengenai apa itu sasaran kinerja, indicator kinerja, target kinerja dan capaian kinerja. Dalam kata lain, bahwa semua harus jelas tidak abstrak, tidak konseptual dan harus relevan dengan apa yang menjadi kebutuhan stakeholder. Semuanya harus terukur dan bisa dijelaskan apa pengaruhnya terhadap masyarakat.
Kedua, saya ingin masuk dalam contoh bagaimana merumuskan sasaran kinerja untuk jabatan fungsional atau structural di IAIN Bengkulu. Kita ambil contoh misalnya mengenai jabatan fungsional perpustakaan. Yang menjadi sasarannya adalah jumlah dosen yang dilayani untuk memanfaatkan perpustakaan IAIN Bengkulu bertambah jumlahnya 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Indikatornya adalah sebanyak 300 dosen IAIN Bengkulu yang dilayani dalam pemanfaatan perpustakaan, sebanyak 300 dosen yang memanfaatkan perpustakaan digital dalam bentuk jurnal elektronik atau jurnal tercetak. Jika kemudian ternyata kunjungan dosen di perpustakaan rendah, berdasarkan laporan kinerja pelayanan terhadap dosen di perpustakaan, maka akan bisa menghasilkan rekomendasi pimpinan bahwa perlu dilakukan penelitian oleh Lembaga Penelitian, misalnya untuk menemukan kebijakan terkait dengan peningkatan kunjungan dosen di perpustakaan tersebut.
Dari aspek kepegawaian, misalnya di dalam perjanjian kinerja disebutkan bahwa pelayanan terhadap kenaikan jabatan dosen yang tepat waktu makin banyak sebesar 10 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Makanya jika di akhir jabatan tidak bisa dipenuhi, maka akan bisa dicari kebijakannya apakah terkait dengan pencarian penyebab dosen yang tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk kenaikan jabatan atau ketidakcepatan penyelesaian oleh staf atau tenaga kependidikan. Penelitian oleh Lembaga Penelitian menjadi penting terkait dengan kebijakan yang akan dihasilkan tentang persoalan ini.
Sekedar contoh lain, misalnya Perjanjian Kinerja Wakil Rektor I Bidang Akademik, misalnya di dalam perjanjian kinerja disebutkan bahwa jumlah mahasiswa yang lulus tepat waktu meningkat 10 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Lalu ternyata tidak tercapai, maka melalui penelitian oleh Lembaga Penelitan akan bisa dilakukan penelitian kebijakan untuk menilai ulang terhadap banyak hal, misalnya kurikulum, penilaian dosen, sistem perkuliahan, keaktifan mahasiswa dan sebagainya. Melalui Perjanjian Kinerja yang terdapat sasaran kinerja dan berujung pada laporan kinerja, maka akan menghasilkan penelitian kebijakan yang berpeluang memperbaiki terhadap sistem perkuliahan dan sebagainya.
Ketiga, dewasa ini kita terus melakukan upaya untuk memperbaiki sistem Laporan Kinerja. Untuk itu, diperlukan suatu sistem elektronik atau disebut e-kinerja agar sistem pelaporan menjadi lebih simple dan cepat. Untuk hal ini makanya diperlukan berbagai inovasi yang terkait dengan bagaimana agar tujuan untuk penerapan e-kinerja dapat direalisasikan secepatnya. Tahun 2017 saya kira adalah awal yang bagus untuk menerapkan sistem ini.
Di tengah keinginan untuk membangun e-government, maka mengembangkan sistem e-kinerja adalah suatu keharusan. Saya kira tidak terlambat untuk menerapkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.