PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (4)
PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (4)
Meskipun judul tulisan saya dalam empat artikel ini adalah “Perlu Hukuman Bagi Penista Al Qur’an”, namun saya tidak ingin terlalu jauh memasuki kawasan “hukum” yang memang saya tidak memahaminya secara mendalam. Biarlah ahli hukum yang membicarakannya dan menganalisisnya. Saya tentu lebih senang membahas dari sisi sosiologisnya saja sesuai dengan disiplin keilmuan yang saya geluti selama ini.
Sumber dari semua problema ini tentu saja adalah ucapan Pak Ahok di Kepulauan Seribu. Di sinilah sesungguhnya semuanya berlangsung, baik yang pro maupun yang kontra. Semuanya kemudian menggelinding bak bola salju yang makin lama makin besar dan akhirnya tidak terkendali. Antara yang pro dan kontra kemudian saling membangun imej di media sosial, dan akhirnya terjadilah demonstrasi besar yang telah terjadi tanggal 4 Nopember 2016 tersebut.
Media sosial tentu memiliki peran yang sangat besar sebagai sarana untuk menyebarkan informasi terkait dengan peristiwa penistaan agama. Media sosial bisa menjadi sarana ampuh untuk menggalang solidaritas umat. Melalui bagan teori peluru atau the bullet theory, maka pesan itu bergerak sangat cepat bagaikan peluru untuk memasuki kawasan decodernya atau sasarannya dengan tepat dan jitu. Dan ketika peluru (informasi) tersebut sampai kepada sasarannya, maka akan dapat membangkitkan solidaritas dan menumbuhkan semangat “ayo kita bela Al Qur’an”, “hukum Ahok seadil-adilnya”, “hukum penista agama” dan sebagainya.
Tanpa bermaksud untuk menambah masalah terkait dengan QS Al Maidah ayat 51, maka sesungguhnya kebanyakan umat Islam memang memahaminya sebagai konsep kepemimpinan. Di dalam penafsiran yang dirilis oleh Kementerian Agama, maka dinyatakan bahwa arti dari Surat Al Maidah ayat 51 ialah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. (Surat Al Maidah ayat 51).
Jadi, yang dimaksud dengan “awliya” ialah pemimpin-pemimpin. Terjemahan ini didasarkan atas Terjemahan Departemen Agama dengan Tim Penterjemah berdasarkan Surat Menteri Agama, No. 20 Tahun 1967 dengan keanggotaan, yaitu: Prof. TM. Hasbi Ashshiddiqi, Prof. H. Bastaman A. Gani, Prof. H. Muchtar Yahya, Prof. H.M. Thoha Jahja Oemar, Dr. H. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H. Ghazali Thaib, KHA. Musaddad, KH. Ali Ma’shum, Drs. Busyairi Madjid. Penterjemahan dilakukan selama bertahun-tahun. Terjemahan ini pula yang digunakan oleh Kerajaan Arab Saudi (Mujamma’ al Malik Fahd li hiba al Mushhaf Asy Syarif Madinah Al Munawaroh). Al Qur’an terjemah yang dibagikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada jamaah Haji Indonesia tentu berdasarkan atas terjemah tersebut.
Di satu sisi juga terdapat terjemahan Surat Al Baqarah, ayat 51 dengan terjemahan sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Orang Nasrani sebagai teman setia (mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”
Menurut Dr. Muchlis Hanafi, bahwa terjemahan “awliya” dengan sebutan “teman setia” tersebut merujuk pada Terjemaham Al Qur’an pada Edisi Revisi tahun 2002 dan telah mendapatkan tanda tashih dari Lembaga Pentashih Mushaf Al Qur’an (LPMQ). Jadi terjemahan ini bukanlah terjemahan palsu sebagaimana yang beredar di media sosial. Terjemahan Al Qur’an memang dilakukan dalam periode tahun yang berbeda-beda, yaitu tahun 1998-2002, dengan variasi makna awliya. Misalnya di QS Ali Imron ayat 28, QS Al Nisa’ ayat 139 dan 144 serta QS Al Maidah ayat 57 diterjemahkan dengan kata “pemimpin’ sedangkan pada QS Al Maidah ayat 51 diterjemahkan dengan “teman setia.” Di sisi lain, QS Al Taubah ayat 23 diterjemahkan dengan “pelindung” dan QS Al isa’ ayat 89 diterjemahkan dengan teman-teman. Menurut Muchlis Hanafi, bahwa terjemahan Al Qur’an pertama kali terbit tahun 1965, lalu ada edisi revisi tahun 1989-1990 dan ada lagi revisi tahun 1998-2002.
Tafsiran ini juga menjadi polemic yang cukup panjang di media sosial. Tentu saja di antara para penentang Pak Ahok menggunakan terjemahan yang awal bahwa pengertian “awliya” ialah pemimpin. Mereka menolak terhadap terjemahan “awliya” sebagai teman setia. Di dalam konteks ini, maka sesungguhnya terjemahan itu bisa bermacam-macam sesuai dengan konteks kepentingan yang melingkarinya.
Terhadap hal ini, maka sebagaimana dinyatakan oleh Muchlis Hanafi bahwa terjemahan Al Qur’an bukanlah Al Qur’an. Makanya, di sini ada banyak varian terjemahannya. Hal ini tentu tergantung pada pemahaman seorang penerjemah terhadap Al Qur’an. Dengan kata lain, bahwa varian terjemahan tentu akan sangat mungkin terjadi. Kata “wali” dengan jama’nya “awliya” bisa memiliki makna pemimpin, teman akrab, pelindung dan juga penolong. Teks Al Qur’an sebagaimana kata Sayyidina Ali “mengandung aneka ragam penafsiran atau “hammalun dzu wujuh”.
Melalui telaah ini, maka kiranya dapat dipahami bahwa konteks “penistaan agama” ini tidak bisa dikaitkan dengan terjemah atas teks ini, akan tetapi harus dilihat dari konteks pembicaraan waktu itu. Oleh karena itu, isu tentang “penistaan agama” tidak bisa dibawa ke ranah terjemah Al Qur’an itu sebagai pemimpin atau sebagai teman setia. Harus diletakkan kasus “penistaan Al Qur’an” tersebut pada dimensi konteks dan materi pembicaraannya.
Di sinilah kiranya momentum untuk membuat keadilan hukum itu sebagai isu yang menarik. Jika memang terbukti di pengadilan bahwa Pak Ahok melakukan “penistaan Al Qur’an”, maka sudah selayaknya untuk dipidana sebagaimana adanya. Di sini dituntut netralitas pengadilan agar segala keputusan yang dihasilkan bukan merupakan hasil atau buah dari rekayasa politik sekalipun. Jika Pak Ahok ternyata tidak “menista Al Qur’an” sesuai dengan bukti yang dimilikinya, maka di sini juga keadilan akan membicarakannya atau membuktikannya.
Melalui keadilan hukum, maka baik yang menuntut agar Pak Ahok dipidana karena indikasi “penistaan Al Qur’an”, maupun para pembela Pak Ahok yang menyatakan Pak Ahok tidak bersalah akan bisa memahaminya. Jadi kepada pengadilanlah semuanya akan terjawab.
Wallahu a’lam bi al shawab.
