• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (2)

PERLU HUKUMAN BAGI PENISTA AL QUR’AN (2)
Setiap agama pastilah memiliki pengikut teguh. Pengikut yang memiliki kesadaran sangat tinggi untuk membela agamanya. Jika agamanya dinistakan atau dijahili orang, maka dia akan melakukan perbuatan apapun untuk membelanya. Di antara pemeluk agama, merekalah yang sering meneriakkan ungkapan bahwa agama Allah harus dibela lahir dan batin. Orang harus berjihad untuk membela agama Allah ini.
Agama memang mengandung dimensi yang oleh para ahli psikhologi disebut sebagai “sesuatu yang ultimate concern”. Sesuatu yang bercorak keyakinan mendalam, melibatkan seluruh emosi dan perasaan, melibatkan sikap dan perilaku. Makanya, agama merupakan dimensi keyakinan yang absolut. Keyakinan seperti ini dibentuk dari kebenaran agama yang dianggapnya mutlak dan tidak tertandingi kebenarannya.
Orang bisa menjadi marah jika perasaan keagamaanya dinodai atau dihina atau dilecehkan. Jika terjadi semacam ini, maka kunci jawabannya adalah jihad fi sabilillah bagi yang beragama Islam, atau ungkapan lainnya di dalam agama lain. Banyak kasus yang menyebabkan kekerasan atas nama agama ditentukan oleh factor penistaan agama ini.
Banyak kasus, misalnya kasus Syi’ah di Sampang, terutama juga disebabkan salah satunya karena persoalan keyakinan agama. Dengan menyatakan bahwa Sahabat Nabi yaitu Abu Bakar, Umar dan Ustman tidak berhak menjadi khalifah saja, maka akan menyebabkan kemarahan yang tidak terkendali. Demikian pula dengan anggapan kaum Ahmadiyah bahwa Nabi Muhammad saw bukanlah Nabi terakhir atau penutup para Nabi, maka jadilah masalah kekerasan atas nama agama. Demikian pula kasus Lia Eden, Kasus Gafatar, dan kasus-kasus lainnya. Semuanya menggambarkan bahwa di kala ajaran agama dinodai atau dilecehkan, maka sontak akan terjadi kekerasan demi kekerasan.
Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan kenyataan “anggapan” sejumlah kaum Muslimin yang menganggap telah terjadi “penistaan agama” yang dilakukan oleh Pak Ahok. Beliau dianggapnya melakukan “penistaan” agama terkait dengan Surat Al Ma’idah 51. Pak Ahok dianggap menyatakan bahwa Surat Al Maidah 51 itu kebohongan. Ayat yang berisi tentang persyaratan kepemimpinan tersebut dianggap dijadikan sarana untuk membohongi public. Jadi, didugalah Pak Ahok menodai ajaran agama. Terlepas dari konteks pembicaraan macam apa yang diucapkan oleh Pak Ahok, maka masyarakat sudah melabelnya sebagai penista agama.
Berseliweran berbagai informasi yang memberikan berbagai argumentasi tentang penistaan agama tersebut. Ada kelompok yang menyatakan bahwa Pak Ahok tidak melakukan penistaan agama, sebab konteks pembicaraan tersebut bukan ucapan langsung menista agama. Sementara di sisi lain, dianggapnya penistaan agama tersebut telah dilakukan. Ada nama Nusron Wahid yang diidentikkan dengan pembela Ahok yang getol, sementara ada nama Habieb Riziq, Bachtiar Nashir dan lan-lain yang menganggap Pak Ahok menista agama.
Meskipun tidak membaca dengan detil, tetapi saya mengikuti berbagai perdebatan tentang tafsir penodaan agama berdasarkan ucapan Pak Ahok di Kepulauan Seribu itu. Banyak grup WA yang saya ikuti, misalnya WA “Lawan Ahok”, WA “Asyrokol” yang netral, WA “PMII” yang netral dan WA lain yang kebanyakan memang penentang Pak Ahok. Dengan menggunakan analisis kasar, maka dapat diketahui bahwa di antara penentang dan pembela tersebut memang selalu berada di dalam posisi demarkatif yang jelas. Semua memberikan argumentasi untuk kepentingan kelompoknya. Makanya yang juga menarik adalah informasi dari kelompok independen yang terkadang menyuarakan sikap kritis terhadap keduanya. Dari mereka terkadang kita dapatkan informasi yang lebih independen sebab posisi mereka memang tidak terlibat di keduanya.
Penistaan agama memang ranah tafsir. Yaitu tafsir tentang ucapan seseorang atau sekelompok orang tentang ajaran atau teks agama-agama. Jadi bukan ajarannya sendiri atau teksnya sendiri. Ia merupakan tafsiran orang tentang “potensi atau indikasi” penistaan. Terkait dengan ucapan Pak Ahok, maka dipastikan bahwa terdapat dua ranah tafsir, yaitu tafsir yang menganggap bahwa Pak Ahok sudah menistakan agama berdasarkan tafsir atas pidatonya di Kepulauan Seribu. Tidak diperlukan tafsir lain kecuali harus menjatuhkan hukuman kepada Pak Ahok terhadap tindakan penistaan terhadap Al Qur’an khususnya tentang Ayat Al Maidah 51. Di sisi lain, para pendukung Pak Ahok juga menyatakan bahwa tidak ada ucapannya yang menistakan Ayat Al Maidah 51. Mereka melihat bahwa ucapan Pak Ahok yang dirilis di berbagai media sosial tersebut sudah diedit atau direkayasa untuk kepentingan lain.
Memang selalu tidak ada tafsir tunggal atas suatu ucapan atau tindakan seseorang. Masing-masing dengan logika dan kemampuannya untuk menafsirkannya sesuai dengan kepentingan dan logika yang dibangunnya. Makanya, tidak ada yang benar-benar obyektif, jika hal itu menyangkut tafsir atas suatu teks. Pasti ada keragaman tafsir teks itu.
Jadi yang diperlukan adalah bagaimana kita bertindak arif atas dunia tafsir ini dan menyerahkan kepada aparat hukum yang akan memprosesnya. Kita harus sama-sama menahan diri. Jika kita melarang Presiden Jokowi dan segenap aparat lainnya termasuk partai politik untuk tidak melakukan intervensi, maka kita juga jangan melakukan intervensi.
Di dalam konteks dunia tafsir menafsir ini, maka kiranya yang diperlukan adalah kearifan dan terus mengharap bahwa keadilan akan bisa ditegakkan di negeri ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..