• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERAN STRATEGIS PESANTREN DALAM MEMBINA UMAT (2)

PERAN STRATEGIS PESANTREN DALAM MEMBINA UMAT (2)
Saya merasakan kekaguman setiap kali datang ke pesantren. Hal itu tidak lain karena begitu besarnya peran pesantren di dalam mendidik umat untuk lebih baik di dalam perilaku kesehariannya maupun perilaku keagamaannya. Hal itu yang saya lihat dari dunia pesantren yang unik.
Terus terang, saya sesungguhnya selalu ingin datang kala diundang pesantren. Hanya saja terkadang faktor waktu yang menyebabkan tidak semua keinginan tersebut dapat terlaksana. Itulah sebabnya saya tentu bersyukur sebab bisa hadir pada saat diundang oleh KH. Zaini Ahmad, pimpinan YPP Al Ikhlas, Pasuruan.
Di dalam acara ini, saya sampaikan tiga hal, yaitu: Pertama, terkait dengan peran pesantren dalam pembinaan kehidupan beragama. Peran pesantren di dalam melakukan pembinaan umat tentu tidak diragukan. Secara historis dapat dibuktikan bagaimana pesantren memiliki kontribusi yang sangat besar di dalam mengemban tugas untuk melakukan pembinaan umat, terutama di dalam kehidupan keagamaan.
Ada banyak pesantren di Indonesia yang usianya sudah mencapai ratusan tahun dan hingga sekarang masih eksis di dalam pembinaan umat tersebut. Para ulama memiliki peran kontributif yang sangat besar dalam proses Islamisasi di Indonesia, baik di masa lalu maupun sekarang. Kehadiran pesantren telah memiliki makna yang sangat strategis di dalam proses Islamisasi di Indonesia dengan mengedepankan Islam yang damai.
Bagi masyarakat Indonesia, pesantren merupakan lembaga keagamaan yang mempunyai peran sangat menentukan bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan bermartabat. Melalui pesantrenlah masyarakat Indonesia mengenal peradaban unggul yang hasilnya masih bisa dinikmati oleh generasi sekarang. Pesantren dengan pendidikan akhlaknya dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya bangsa Indonesia itu berperikehidupan.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tentu dapat dikaitkan dengan peran pesantren di dalam Islamisasi di Indonesia. Peran pesantren yang utama adalah untuk mendidik santri agar menjadi pemeluk Islam yang taat dan kemudian mampu menyebarkan ajaran Islam kepada khalayak yang lebih luas. Para santri yang dididik di pesatren itulah yang kemudian secara berantai menyebarkan ajaran Islam, hingga akhirnya bisa dipeluk oleh masyarakat Indonesia.
Sekedar contoh, berapa banyak anak-anak Indonesia yang berhasil dibina oleh Pesantren Tebuireng, Pesantren Gontor, Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Pesantren Mranggen, Pesantren Cipasung dan sebagainya di dalam mendidik anak bangsa. Para santri diajari tentang bagaimana mengamalkan ajaran agama yang benar dan kemudian meneruskannya kepada masyarakat agar melakukan ajaran agama Islam yang sesuai dengan Islam rahmatan lil alamin.
Kedua, pesantren mengajarkan kehidupan berbangsa. Pesantren sesungguhnya tidak hanya mengajarkan agama saja, akan tetapi hakikatnya juga mengajarkan tentang kehidupan. Diajari para santri untuk cinta tanah air. Diajari para santri untuk mencintai bangsa dan negaranya. “Hubbul wathon minal iman”. Para kyai dan ulama pesantren adalah sesesorang yang di dalam jiwanya tertancap sangat kuat untuk mencintai bangsanya. Kita semua tentu masih ingat bagaimana Kyai Hasyim Asy’ari menggelorakan semangat untuk jihad fi sabilillah melawan Belanda, yang disebut sebagai “Resolusi Jihad”. Melalui seruan jihad melawan Belanda ini, maka masyarakat Islam berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjajah Belanda. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bambu runcing dan senjata seadanya dapat dijadikan sebagai sarana untuk melawan tentara sekutu di Surabaya. Melalui pekikan “Allahu Akbar” mereka menyerang tentara Sekutu dan menewaskan Jendral Mallaby, yang kemudian dijadikan sebagai monument kebangsaan “Hari Pahlawan”.
Peristiwa Resolusi Jihad tersebut kemudian diabadikan sebagai “Hari Santri” untuk mengenang bagaimana peran santri, kyai dan pesantren di dalam kontribusinya terhadap nusa dan bangsa. Oleh karena itu, saya berkeyakinan bahwa pesantren memiliki peran yang sangat strategis di dalam membangun bangsa dan Negara terutama dalam kaitannya dengan pengembangan SDM di daerah-daerah pedesaan yang memang membutuhkan sentuhan pemberdayaan dari pesantren.
Ketiga, salah satu yang juga strategis di dalam ranah kebangsaan ialah peran pesantren dalam pengembangan pendidikan. Sebagaimana diceritakan oleh Kyai Zaini Ahmad, bahwa lima tahun yang lalu di pesantren Al Ikhlas hanya ada sebanyak 40 santri, tetapi dalam waktu lima tahun, sekarang sudah terdapat santri sebanyak 556 orang. Mereka ini belajar di Madrasah Diniyah, Raudlatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Saya tentu sangat berterima kasih atas kontribusi pesantren di dalam mendidik bangsa ini. Pemerintah sangat terbatas kemampuannya untuk menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka pesantren bisa menjadi kepanjangan tangan pemerintah di dalam dunia pendidikan. Pemerintah mendorong agar kualitas pendidikan semakin baik. Makanya kemudian dibuat slogan “Madrasah lebih baik, lebih baik Madrasah”. Sekarang kita sudah memetik hasilnya, bahwa pendidikan madrasah sudah memasuki era baru, yaitu pendidikan yang memiliki akses bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan mutu yang baik.
Di tengah perubahan yang terus terjadi, maka saya sampai pada pemahaman bahwa pesantren merupakan institusi sosial keagamaan yang mengedepankan program pendidikan berbasis agama, yang memiliki kontribusi bagi pembangunan bangsa dan juga pelestarian bangsa Indonesia dalam menegakkan pilar consensus kebangsaan dalam kerangka mewujudkan keinginan untuk mengembangkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PERAN STRATEGIS PESANTREN DALAM MEMBINA UMAT ISLAM (1)

PERAN STRATEGIS PESANTREN DALAM MEMBINA UMAT ISLAM (1)
Saya selalu merasa senang kala diundang oleh pesantren. Di tengah-tengah kesibukan yang menumpuk, rasanya saya ingin selalu datang jika diminta untuk memberikan ceramah di pesantren. Tentu saya tidak berceramah seperti kebanyakan kyai-kyai NU yang memang memiliki talenta khusus untuk ceramah agama.
Hari Ahad, 18 Desember 2016, saya diundang oleh Kyai Zaini Ahmad, pengasuh Pondok Pesantren Al Ikhlas, Desa Kendangdukuh, Kecamatan Wonorejo, Pasuruan. Kyai Zaini Ahmad adalah Ketua Ikatan Pesantren Indonesia (IPI), yang sering bertemu saya dalam kapasitas organisasi ini. Bertepatan acaranya adalah Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., dan peringatan berdirinya YPP Al Ikhlas yang ke enam.
Hadir di dalam acara ini adalah Dr. Suhajar Diantara, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, yang mewakili Pak Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri, Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono, yang mewakili Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar, para kyai dan ulama, khususnya Kyai Muslim Ihrom, Syuriah PWNU Jawa Timur, Kankemenag Kabupaten Pasuruan, dan sejumlah wali santri dan undangan lainnya.
Sebagaimana biasa di dunia pesantren, maka yang pidato banyak. Selain tuan rumah, Kyai Zaini Ahmad, juga Pak Suhajar, Pak Kombes Awi, saya dan terakhir adalah ceramah agama oleh Kyai Muslim Ihrom. Lama sekali rasanya saya tidak mendengarkan ceramah kyai-kyai NU, maka ketika saya mendengarkan ceramah Kyai Muslim Ihrom, saya bergumam bahwa “NU itu tidak pernah kehabisan talenta-talenta penceramah agama yang hebat yang bisa membuat senang jamaahnya.”
Ceramah campuran Bahasa Indonesia, Jawa dan Madura yang mendalam meskipun dalam waktu yang singkat. Juga menjadi tradisi di kalangan NU bahwa ceramah selalu diakhiri dengan lagu-lagu shalawatan yang dipadukan dengan ungkapan-ungkapan dakwah yang merakyat dan sesuai dengan tingkatan kemampuan jamaahnya. Dakwah “bi qadri ‘uqulihim.”
Beliau berceramah tentang keunggulan akhlak Rasulullah Muhammad saw. Beliau ceritakan tentang sifat Nabi Muhammad saw yang selalu tersenyum dan memberikan maaf secepatnya, selama itu untuk urusan pribadi. Diceritakan bahwa kebiasaan Nabi Muhammad saw ialah duduk sambil bersandar dinding Ka’bah setelah selesai menjalankan ibadah. Beliau duduk sambil wiridan. Makanya kebiasaan Nabi Muhammad saw ini menarik pikiran jahat Abu Jahal, Abu Lahab dan Abu-Abu yang lain-lain untuk mencelakakan Nabi Muhammad saw. Maka dipilihlah seorang pemuda Arab yang memiliki kekuatan mengangkat batu yang sangat besar. Jika batu yang diangkat itu mengenai tubuh seseorang pastilah hancur berantakan. Mati.
Pemuda itu diminta untuk menjatuhkan batu tepat di mana Nabi Muhammad saw duduk seperti kebiasaannya. Naiklah pemuda itu ke atas Ka’bah dengan tujuan menjatuhkan batu tepat di atas kepala Rasulullah. Maka dijatuhkanlah batu itu tepat di atas Rasulullah duduk. Akan tetapi batu itu tidak mau bergerak jatuh di atas kepala Beliau. Batu itu sepertinya tidak mau jatuh di atas kepala Nabi Muhammad saw, manusia agung itu.
Sebagai kekasih Allah, Nabi Muhammad saw selalu dalam lindungan Allah. Ketika Nabi Muhammad saw beranjak untuk meninggalkan tempat itu dalam jarak empat langkah, maka jatuhlah batu itu. Brug. Rasulullah lalu menoleh ke batu itu dan juga menoleh ke atas Ka’bah. Dilihatnya pemuda Arab itu, Nabi Muhammad tersenyum dan melambaikan tangannya. Pemuda itu terkesima dan kemudian turun dan mengejar Nabi Muhammad saw. Dia berlutut di hadapan Nabi Muhammad saw dan bersyahadat.
Tipu daya Abu Jahal tidak berhenti dengan kegagalan ini. Maka dipasanglah jerat untuk mencelakakan Nabi Muhammad saw. Abu Jahal pura-pura sakit dan meminta agar Nabi Muhammad saw mengunjunginya. Sebenarnya di depan rumahnya sudah dipasang perangkap dengan menggali lobang sumur dan menutupnya dengan bahan-bahan yang seakan tidak ada ada lobang di situ. Kala Nabi Muhammad saw mendekati lobang itu dalam jarak dua langkah, maka Malaikat Jibril memberitahunya. Nabi Muhammad saw lalu balik. Ketika diketahui Nabi Muhammad saw balik, maka ganti Abu Jahal yang berteriak agar Nabi Muhammad saw kembali. Tanpa disadarinya dia lewat lobang yang digalinya sendiri. Maka dia terjebur di situ. Blung. Dia berteriak agar ditolong dengan tali agar bisa naik ke atas. Diturunkan tali itu akan tetapi makin dalam dan tidak terjangkau. Abu Jahal lalu berteriak agar Nabi Muhammad saw yang menolongnya. Datanglah Nabi Muhammad saw dan Abu Jahal menyatakan minta tolong dan apa yang diminta oleh Nabi Muhammad saw akan dipenuhinya. Nabi Muhammad saw hanya meminta agar Abu Jahal bersyahadat. Abu Jahal menyatakan siap akan melakukannya. Bukan kepalang gembiranya Nabi Muhammad saw atas kesediaan Abu Jahal untuk membaca syahadat. “Alhamdulillah berhasillah dakwah saya.” Begitu kira-kira Nabi Muhammad saw bergumam di dalam hati. Setelah itu Nabi Muhammad saw menjulurkan tangannya dan Abu Jahal dapat ditariknya. Ketika sampai di atas, Abu Jahal bukannya berterima kasih dan mengucapkan syahadat, akan tetapi justru menyatakan Nabi Muhammad saw menggunakan sihir. Nabi Muhammad saw tidak marah dan justru tersenyum dan kembali ke tempatnya.
Sebagai akibat dari tindakan Abu Jahal itu, maka ada keluarganya yang kemudian justru menyatakan keislamannya. Akhlak Nabi Muhammad saw ini yang dapat menarik simpati dan kesiapan masyarakat Arab untuk memasuki Islam. Jadi bukan dengan marah-marah dan teriak-teriak, akan tetapi dengan kelemahlembutan dan akhlak yang terpuji. Nabi Muhammad saw mengajarkan agar berakhlak yang baik untuk masyarakatnya dan juga bangsanya.
Sebagaimana ulama-ulama NU, Kyai Muslim Ihrom juga menyatakan bahwa warga NU agar tetap menjaga NKRI. Menjaga Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. “NKRI Harga Mati,” demikian beliau menyatakannya. Begitulah cara-cara Kyai NU memberikan kesadaran kepada jamaahnya agar tetap berada di dalam koridor Islam ahlu sunnah wal jamaah dan itu artinya mereka harus membela negara ini dengan kesungguhan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENUJU JAMINAN PRODUK HALAL VIA PERAN NEGARA

MENUJU JAMINAN PRODUK HALAL VIA PERAN NEGARA
Dalam salah satu acara Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam, 14 Desember 2016, maka saya didapuk untuk menjadi salah satu narasumber. Selain saya juga terdapat narasumber, KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI dan Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Dr. Lukman Hakim, Direktur LPP POM, Prof. Dr. Bambang Prasetya, Kepala BSN/KAN, Kukuh S. Ahmad, Deputi Bidang Penerangan Standard dan Akreditasi BSN, Muhammad Thambrin, Direktur Urusan Agama Islam dan Pemberdayaan Syariah, Dr. Asrarun Ni’am, Ketua KPAI, dan sejumlah peserta lain, baik pejabat maupun undangan lainnya.
Acara ini tentu menarik sebab belum ternah terjadi selama ini, pasca diterbitkannya UU No. 34 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, secara resmi kami bertemu dengan Kyai Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI untuk membicarakan tentang Jaminan Produk Halal atau yang dikenal dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Makanya, acara ini tergolong sangat menarik dan strategis di dalam kerangka untuk menyamakan wawasan mengenai bagaimana penyelenggaraan jaminan produk halal ke depan.
Sebagaimana diketahui bahwa selama ini penyelenggara jaminan produk halal adalah MUI, sebagai lembaga keagamaan yang diberi kewenangan oleh pemerintah selaku penyelenggara jaminan produk halal. Oleh karena itu, kehadiran Undang-Undang yang secara khusus memberikan mandat kepada BPJPH untuk menyelenggarakan jaminan produk halal tentu menyebabkan terjadinya tarik ulur. Ada pro dan kontra. Untunglah bahwa RUU BPJPH yang sudah diinisiasi selama kurang lebih delapan tahun akhirnya bisa diselesaikan pada tahun 2014. Saya tentu merasa senang sebab saya diberi amanah sebagai ketua Panja Pemerintah untuk penerbitan Undang-Undang ini.
Saya sampaikan beberapa hal yang sanggap mendasar mengenai penerapan JPH. Pertama, bahwa ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan ke depan, yaitu: tantangan semua produk harus disertifikasi, misalnya makanan, minuman, barang gunaan seperti pakaian, dan barang gunaan lain, seperti: Hand phone, pulpen, dompet, barang asesori, sabuk, dan lainnya, serta barang-barang makanan dan minuman. Bahkan juga obat-obatan dan kosmetika. Di antara yang dirasakan sebagai problem utama oleh para pelaku usaha adalah mengenai obat-obatan dan kosmetika.
Problem obat-obatan yang paling krusial, sebab hingga saat ini masih didapati sumber bahan obat-obatan dengan bahan yang belum halal dan juga belum diperoleh sumber produk yang halal untuk menggantikannya. Jika dipaksakan harus menggunakan sumber produk halal, maka dipastikan akan terjadi kelangkaan obat. Di satu sisi, kebutuhan akan obat tentu tidak bisa ditunda. Jika ada seseorang yang sakit, maka harus diobati. Lalu jika dipaksakan untuk menggunakan obat halal, maka tidak akan dapat terpenuhi keperluan obat tersebut.
Inilah yang menjadi keluhan dari para pengusaha terkait dengan kewajiban menggunakan obat halal. Di dalam seminar yang diselenggarakan di PP Muhammadiyah, ternyata keluhan seperti ini sangat mengedepan. Oleh karena itu saya kira tim RPP Jaminan Produk Halal harus melakukan pencermatan yang sangat tinggi agar ketika RPP JPH disahkan menjadi PP, maka akan bisa diterapkan dan tidak menjadi boomerang bagi dunia kesehatan.
Kedua, penerapan mandatory untuk jaminan produk halal. Seperti yang kita ketahui, bahwa Malaysia masih menggunakan konsep voluntary dan bukan mandatory. Oleh karena itu, Malaysia begitu menyatakan surprisenya atas “keberanian” Indonesia untuk menyatakan kewajiban atau mandatory bagi jaminan produk halal. Sesuai dengan regulasinya, bahwa UU Jaminan Produk Halal akan berlaku semenjak tahun 2019. Artinya, bahwa semenjak tahun tersebut, maka seluruh produk harus bersertifikat halal. Padahal jumlah perusahaan makanan dan minuman saja sangat banyak dan tidak mungkin diberlakukan halal semuanya semenjak tahun tersebut.
Di dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa makna mandatory bertahap itu artinya bahwa semenjak tahun 2019 semua unit usaha berkewajiban untuk memperoleh sertifikat halal meskipun di dalam pelaksanaannya bersifat bertahap. Hal ini didasari oleh banyaknya unit usaha yang terkait dengan makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika serta barang gunaan, sehingga tidak mungkin untuk melakukan sertifikasi sekaligus. Jadi bertahap dalam makna dapat dilakukan sesuai dengan waktu dan peluang yang harus dilakukan.
Di antara pandangan menarik datang dari Kyai Ma’ruf Amin. Beliau mendukung terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sama sekali tidak ada keberatan dari MUI untuk mengalihkan program sertifikasi tersebut. Dulu MUI melakukan program sertifikasi halal karena mendapat tugas pemerintah, dan ketika sesuai dengan regulasi, program sertifikasi halal harus dilakukan oleh pemerintah, maka tidak ada alasan untuk mencegahnya atau menolaknya.
Beliau menyatakan “tidak benar jika ada anggapan bahwa MUI keberatan untuk mengalihkan sertifikasi halal kepada pemerintah”. Lebih lanjut dinyatakan: “setelah program sertifikasi halal dilakukan pemerintah maka harus lebih banyak yang dapat disertifikasi, lebih baik kualitas laboratoriumnya dan juga lebih mampu menjangkau terhadap produk-produk yang perlu disertifikasi”. Beliau juga menyatakan bahwa “apa yang telah dilakukan oleh MUI selama 20 tahun untuk program sertifikasi agar diteruskan, baik dari sisi sistemnya, baik sistem informasi dan mekanismenya, standarisasi dan tekniknya, sehingga ke depan tinggal melanjutkan pengalaman MUI dalam program sertifikasi halal”.
Di akhir pertemuan saya menyatakan bahwa kerjasama antara BPJPH dengan MUI dan dan juga BSN akan sangat penting di dalam kerangka untuk percepatan pelaksanaan sertifikasi. Di dalam waktu dekat diperlukan semacam press release bersama untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang tetap berlakunya sertifikasi halal di MUI di masa transisi ini. Jadi tidak perlu ada kemandekan di dalam penyelenggaraan sertifikasi halal.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENGUATAN KELUARGA DI ERA MODERNITAS

PENGUATAN KELUARGA DI ERA MODERNITAS
Saya memperoleh kesempatan untuk menjadi keynote speech pada acara yang diselenggarakan oleh kerja sama antara Direktorat Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam, Kementerian Agama dengan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 15 Desember 2016.
Acara ini dihadiri oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Dr. Muchtar Ali, Direktur Penerangan Agama Islam, Wakil Dekan 1,2 dan 3, dan segenap jajaran dosen dan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, serta narasumber Prof. Dr. Zaitunah Subhan dan Prof, Dr. Euis dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Acara ini diselenggarakan dengan menggunakan label “Pengajian Masyarakat Intelektual”.
Saya sampaikan tiga hal terkait dengan Pengajian Masyarakat Intelektual ini, yaitu: pertama, apresiasi terhadap kegiatan yang sangat baik ini. saya selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Agama tentu sangat mengapresiasi terhadap acara kerja sama dengan universitas, sebab kita sesungguhnya mengharapkan agar selalu ada masukan-masukan dari para dosen, professor, dan juga masyarakat akademis tentang bagaimana merumuskan kebijakan terkait dengan tugas Kementerian Agama. Sebenarnya, sebagai Kementerian teknis yang mengurus agama dan pendidikan keagamaan, maka Kemenag tentu memerlukan berbagai masukan yang terkait dengan bagaimana tugas, pokok dan fungsi tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana kepentingan masyarakat.
Kedua, saya sampaikan mengenai tantangan keluarga di era modern. Ada dua tantangan yang bersifat eksternal dan internal. Tantangan eksternal tersebut meliputi era modernitas dan cyber war yang tidak terelakkan. Tantangan modernitas tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk dijawab. Modernitas tersebut berupa semakin mudahnya akses untuk saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Kemudahan akses informasi tersebut akan menyebabkan betapa mudahnya siapapun untuk mengakses informasi yang datang dari mana saja. Contoh sederhana mengenai Korean Wave.
Di era modern, budaya Korea itu telah menjadikan masyarakat dunia terkesima dan mengaguminya. Nyaris semua stasiun televisi dan media informasi menjadikan budaya Korea sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan media sosial itu. Anak-anak muda begitu tertarik dengan apa yang datang dari Korea. Makanya, disebutlah sebagai Korean Wave atau gelombang budaya Korea.
Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana serangan media itu begitu dahsyat, yaitu yang dikonsepsikan sebagai “cyber war”. Di era cyber war ini, maka yang terjadi adalah hate speech, kebencian, fitnah, disinformasi, character assassination dan sebagainya. Begitu mudahnya orang mengakses terhadap berbagai berita yang berisi hal itu. Di media sosial itu, orang bisa melakukan apa saja. Baik informasi yang menyenangkan, menyedihkan, ketidaksenangan dan bahkan kebencian.
Kasus terkuaknya, rencana bom bunuh diri oleh seorang perempuan, Dian Yulia Novi, yang baru menikah tiga bulan, ternyata juga karena pengaruh media sosial. Dia selama setahun terakhir mengakses berbagai tulisan dari media sosial berhaluan ekstrim, dan kemudian tertarik untuk menjadi “pengantin”. Mereka tidak pernah bertemu dengan Bahrun Na’im, seorang pentolan ISIS dari Indonesia yang bermukim di Syria, dan sekarang sedang “merasa” menjadi “mujahid” untuk membela ISIS. Mereka pernah berkomunikasi melalui media sosial dan memperoleh “pencerahan” bahwa jihad tidak harus datang ke Iraq atau Syria, akan tetapi dapat juga berjihad di negerinya sendiri dengan cara apapun. Makanya, dia berkehendak untuk menjadi “mujahid” dengan cara akan melakukan bom bunuh diri di Istana Negara.
Pada saat diwawancarai oleh reporter TV One, maka dengan sangat lancar dia menjawab satu persatu pertanyaan reporter tersebut. Dan yang tentu membuat kita geleng-geleng kepala adalah kesediannya untuk menjadi pengantin bom bunuh diri yang tentu sudah diketahui akibatnya. Rupanya, harapan tentang pahala jihad yang disuntikkan oleh kaum ekstrimis itu begitu merasuki relung batinnya dan membuatnya untuk nekad melakukan tindakan di luar nalar manusia lainnya.
Begitulah keyakinan agama yang bisa menggerakkan seseorang untuk melakukan tindakan berani mati. Jika seseorang sudah terpengaruh pleh janji-janji sangat menarik, seperti pahala jihad fi sabilillah, maka seseorang akan melakukannya dengan keberanian yang tiada terkira. Kiranya, inilah yang disebut oleh Karl Marx bahwa agama adalah candu yang memabukkan.
Ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi keluarga dewasa ini. Anak-anak bisa mengakses informasi dari kamarnya masing-masing. Dengan medium gad get, maka anak akan bisa memperoleh informasi apa saja, termasuk pornografi, dan agama dalam konteks kekerasan. Itulah sebabnya para orang tua harus memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada anak-anak. Jangan biarkan anak-anak berada di dalam situasi bahaya di era cyber war ini.
Lalu, tantangan internal yang juga sangat besar. Factor keterbatasan waktu untuk bertemu keluarga juga bisa menjadi penyebab renggangnya komunikasi anak dengan orang tuanya. Hidup di perkotaan seperti Jakarta tentu meniscayakan kedua orang tua anak bekerja. Bayangkan dengan kemacetan Jakarta ini, maka bisa jadi waktu ketemu anak sangat sedikit. Pergi kala anak masih tidur dan pulang kala anak sudah tidur. Persentase kuantitatif bertemu anak menjadi terbatas, sehingga orang tua tidak tahu apa yang dilakukan oleh anaknya. Belum lagi persoalan perceraian, broken home dan sebagainya. Makanya, di era modern ini banyak terjadi “lonely in the crowd” sebagaimana yang dikonsepsikan oleh David Reismann. Banyak orang yang hidup terasing padahal dia hidup di dunia yang sangat crowded.
Ketiga, secara konseptual, lalu apa yang bisa dilakukan? Kemenag telah melakukan upaya secara riil di dalam menghadapi tantangan keluarga di tengah modernitas ini dengan menambah satu tugas khusus untuk penguatan keluarga, yaitu dengan dibentuknya Direktorat Pemberdayaan KUA dan keluarga Sakinah. Melalui direktorat khusus ini, maka akan banyak program yang dapat dilakukan oleh Kemenag di dalam menghandle masalah-masalah keluarga.
Selain itu juga saya kira harus mengembangkan komunikasi yang baik antar dan intern keluarga. Jika di dalam keluarga terdapat suasana “homy” atau disebut baiti jannati, maka saya perkirakan bahwa terjadinya tindakan menyimpang tidak akan terjadi. Secara konseptual, bahwa “semakin baik komunikasi antar dan intern keluarga serta kemampuan menjadikan rumah sebagai sesuatu yang “homy” maka akan semakin baik ketahanan keluarga tersebut”.
Rasanya perlu ada banyak tesis atau disertasi tentang “sosiologi keluarga” yang kemudian menjadikan dimensi komunikasi keluarga sebagai basis analisisnya. Saya kira, proposisi di atas akan bisa menuntun kita untuk melakuka kajian dalam kerangka mengembangkan lingkungan keluarga yang lebih baik di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MAULID NABI MUHAMMAD SAW 2016 (2)

MAULID NABI MUHAMMAD SAW 2016 (2)
Memperingati Maulid Nabi Muhammad saw., seharusnya dengan merenungkan kembali makna kehidupannya bagi penataan kehidupan umat manusia. Bagi yang ingin memperingati dengan cara selain cara itu, maka dipastikan bahwa yang bersangkutan tidak membawa spirit ajaran Islam sesuai dengan pesan Nabinya.
Di antara prinsip ajaran Islam itu ialah menjaga akal. Mengapa akal manusia harus dijaga. Islam mengajarkan agar kita terus berpikir. Pemikiran menjadi penting sebab dari sini perubahan-perubahan sosial itu akan bersumber. Manusia harus terus mengembangkan pemikirannya dan menemukan inovasi yang relevan dengan kehidupannya. Makanya, akal harus dijaga agar terus produktif, tetapi tetap berada di dalam koridor keagamaan yang benar.
Tentu tidak hanya akal yang perlu dimanej sebagai renungan di dalam memperingati kelahiran junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, akan tetapi yang sangat penting adalah bagaimana mamanej hati atau qalbu. Dari keduanya, maka dapat dipastikan bahwa kita akan berada di dalam jalur yang benar di dalam kehidupan kita.
Agama adalah akal dan hati. Agama adalah “yang lahir dan yang bathin”. Agama adalah “keyakinan dan performace”. Agama adalah “keyakinan dan ekpressi”. Makanya momentum untuk memperingati kelahiran manusia agung, Nabi Muhammad saw merupakan saat kita melakukan introspeksi apakah kita sudah menghadirkan keduanya itu di dalam kehidupan keberagamaan kita.
Allah maha mengetahui yang terjadi secara lahiriyah dan juga yang ada di dalam bathin. Maknanya bahwa Allah sebagai Dzat yang Maha Tahu merupakan dzat yang selalu mengawasi terhadap apa yang dilakukan oleh hambanya. Oleh karena itu, Allah juga tahu apa yang dilakukan manusia terhadap hamba yang dicintainya, yang diberikan shalawat kepadanya, yaitu Muhammad saw. Memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw merupakan ekspressi kecintaan kita kepada manusia agung, Muhammad saw itu.
Ada berbagai ekspressi yang dilakukan manusia untuk melayani yang dicintainya itu. Misalnya jika sesama manusia biasa, maka bisa diberikan lewat bunga, dengan ungkapan kata-kata yang indah, say with flower, atau dengan sikap dan tindakan yang menyenangkan kekasihnya itu. Maka, kala kita ingin mengekspresikan kecintaan kita kepada Nabi Agung Muhammad saw itu, maka juga dengan ekspressi yang bermacam-macam. Ada yang dengan upacara Gerebeg seperti di Keraton Jogyakarta, ada yang dengan membaca shalawat secara berjamaah seperti yang dilakukan oleh jamaah dzikir “Majelis Dzikir Rasulullah” di Masjid Istiqlal, ada juga dengan upacara khusus seperti di daerah, ada yang dengan pawai dan segala pernak-perniknya dan ada juga yang secara individual membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. “innallaha wa malaikatahu yushalluna alan Nabi, ya ayyuhal ladzina amanu shallu alaihi wa sallimu taslima”. Bahkan tidak hanya mencukupkan dengan bacaan “Allahuma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali wa ashhabihi”, akan tetapi dengan menambahkan kata “Allahumma shalli ala nuri Sayyidina Muhammadin wa ala alihi wa ashhabihi” dan seterusnya.
Ada yang memberikannya dengan ungkapan “Sayyidina” sebagai ekspressi “membesarkan, mengagungkan, dan mempertuan akan keagungannya” dan ada juga yang tidak menggunakan kata “Sayyidina” dan bahkan membidh’ahkannya, semua ini adalah ekspressi keagamaan yang tetap harus dimaknai sebagai amalan ibadah yang memiliki makna kebaikan. Jika terhadap para raja saja kita menyatakan “Paduka Yang Mulia”, apalagi terhadap Rasulullah sebagai penyelamat dan pembawa keberkahan bagi seluruh kehidupan umat manusia. Jadi kurang elok jika ada yang menyatakan bahwa menyebut kata “Sayyidina” itu sebagai kesalahan. Inilah mungkin makna bahwa “perdedaan sesungguhnya adalah rahmat”.
Kemarin, 12/12/2016, saya memperoleh WA dari Kemenristekdikti, tentang saat akhir menjelang wafatnya Nabi Muhammad saw. Secara lengkap bunyi WA itu sebagai berikut: “sebelum malaikat Izrail diperintah Allah swt untuk mencabut nyawa Nabi Muhammad, Allah berpesan kepada Malaikat Jibril. “Hai Jibril, jika kekasih-Ku menolaknya, laranglah Izrail melakukan tugasnya”. Sungguh berharganya manusia yang satu ini yang tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. Di rumah Nabi Muhammad SAW, tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk? Tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya sambil berkata, “maafkanlah ayahku sedang deman” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu, kemudian Fatimah kembali menemani Nabi Muhammad SAW yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah, siapakah itu wahai anakku?. “tak tahulah ayahku, sepertinya orang baru, karena baru sekali ini aku melihatnya” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “ketahuilah wahai anakku, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut pun datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertainya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah SWT dan penghulu dunia. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?. Tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu” kata Malaikat Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Malaikat Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?. “Jangan khawatir wahai Rasulullah, kau pernah mendengar bahwa Allah berfirman kepadaku: kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad sudah berada di dalamnya” kata Malaikat Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya malaikat Izrail melakukan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh badan Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril betapa sakit sakaratul maut ini”. Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk makin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu wahai Jibril?’ Tanya Rasulullah kepada Malaikat pengantar wahyu Allah itu. “Siapakah yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajal” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku”. Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali mendekatkan telinganya, “ushikum bis shalati, wama malakat aimanakum (peliharalah shalat dan pelihara orang-orang lemah di antaramu)”. Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummati, ummati, ummati” (umatku, umatku, umatku). Dan berakhirlah hidup manusia yang paling mulai yang memberi sinaran itu.
Saya membacanya dengan hati tidak dengan mata, pelan-pelan dengan tenang dan penuh kesungguhan, dan tiba-tiba saya melelehkan airmata, deras mengalir, membayangkan bagaimana manusia Agung Muhammad saw itu merasakan penderitaan yang luar biasa sampai Beliau mengaduh. Saya tercenung, saya merasakan getaran perasaan yang luar biasa dan sebegitu Rasulullah mencintai hambanya serta saya merasakan betapa tanggungjawab Beliau terhadap umat Islam.
Mungkin inilah ekspressi keagamaan itu. Dan kemudian terus bergulir ucapan yang Allah dan malaikatnya saja melakukannya, yaitu bacaan shalawat kepada Junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw.
Wallahu a’lam bi al shawab.