• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAULID NABI MUHAMMAD SAW 2016 (1)

MAULID NABI MUHAMMAD SAW 2016 (1)
Rasanya baru kemarin kita memperingati peristiwa agung di dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran junjungan kita Nabi Muhammad saw. Ternyata hari ini kita sudah memperingatinya lagi. Hari ini, 12 Maulid 1437 H atau tanggal 12 Desember 2016 kita semua umat Islam memperingati hari kelahirannya.
Umat Islam tentu menyambut dengan suka cita untuk memperingati hari kelahiran Nabiyullah Muhammad saw ini. Berbagai macam ekspressi dilakukan untuk menyambutnya. Semua ditujukan untuk menggambarkan kesukacitaan sebagai umat Islam terhadap hari kelahiran Nabi Muhammad saw tersebut.
Secara sosiologis, bahwa agama yang diyakini benar selalu menghadirkan sekurang-kurangnya empat hal, yaitu: Tuhan sebagai Dzat yang diyakini keberadaannya, pemimpin agama yang menjadi panutannya, ajaran agama yang didapatkan di dalam kitab sucinya, dan umatnya yang meyakini kebenaran ajaran agamanya dan mengamalkan ajaran agamanya itu.
Sebagai agama, Islam mengajarkan tentang dimensi keyakinan dan praksis amalannya di dalam kitab Suci Al Qur’an yang sangat diyakini kebenarannya oleh para pengikutnya. Kitab suci itu diturunkan oleh Tuhan (Allah swt) kepada Nabi Muhammad saw dan kemudian secara berantai sampai ke tangan pengikutnya sampai akhir zaman.
Tuhan adalah sesuatu yang misterium. Dia dekat tetapi tidak dapat dilihat. Bagi sekelompok ahli spiritual, lalu kehadirannya bisa dirasakan oleh perasaan yang sangat halus, dunia spiritualitas. Tidak semua orang bisa merasakannya. Orang awam, hanya diberikan petunjuk agar menjadikan alam dan seluruh isinya untuk dipelajari akan keberadaannya.
Agama harus menghadirkan yang misteri. Agama yang tidak menghadirkan misteri tentu bukan agama yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi para perindunya. Semua hal yang terkait dengan dunia eksoteris dan esoteric itu telah diajarkannya kepada umat manusia dan sambung bersambung melalui guru-guru atau para da’i dan tokoh agama (ulama, kyai dan sebagainya) agar terus sampai kepada kita.
Di antara salah satu keagungan Islam sebagai agama adalah memiliki manusia unggul sebagai Nabinya. Muhammad saw dikenal sebagai sosok super agung yang luar biasa, yang diakui oleh umat Islam dan bahkan tokoh agama lain. Manusia kaffah yang sesungguhnya. Ahli strategi kemasyaraatan, ahli strategi perang, ahli komunikasi yang unggul, ahli pemberi nasehat yang tiada taranya dan juga ahli peradaban dan negarawan yang tiada tandingannya.
Bisa dibayangkan bahwa Beliau melahirkan Deklarasi Madinah yang memiliki otentisitas di dalam urusan kemasyarakatan dan kenegaraan. Corak heterogenitas etnis yang dikemas di dalam aksi multikulturalitas dan pluralitas atau keanekaragaman dan kebhinekaan. Madinah menjadi salah satu eksperimen bagi terselenggaranya sistem kenegaraan berbasis pada kebhinekaan. Nabi Muhammad saw berhasil di dalam melaksanakan sistem kemasyarakatan berbasis pada kebhinekaan dimaksud.
Dalam waktu 23 tahun, Beliau berhasil meletakkan dasar-dasar sosial kemasyarakatan yang berbasis pada ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Ajaran agama yang memberikan peluang untuk hidup bersama tanpa ada rasa terdholimi. Di antara mereka ada saling kepercayaan untuk memperoleh dan memenuhi hajad kehidupannya. Meskipun masa kenabiannya dapat dinyatakan cukup pendek, 23 tahun, akan tetapi Beliau sukses untuk meletakkan dasar-dasar kehidupan bersama yang dipedomani oleh Al Qur’an sebagai wahyu Allah swt.
Sesungguhnya, kelahiran Nabi Muhammad saw., menandai zaman baru di tengah masih terjadinya zaman yang dilabel sebagai zaman jahiliyah. Suatu zaman yang disebut sebagai zaman kegelapan. Tatanan masyarakat yang bercorak kesukuan dan menetapkan regulasi atas siapa yang kuat. Siapa yang kuat, maka dia yang mengatur dan memerintah. Era di mana masyarakat mengagungkan terhadap system kekerabatan sebagai penentu terhadap system sosial secara menyeluruh. Suatu era di mana tiada aturan yang secara umum mengatur terhadap kebersamaan dan kemajemukan. Hukum besi kekuasaan digunakan sebagai dasar untuk melakukan berbagai pengaturan kehidupan di tengah masyarakat.
Nabi Muhammad saw hadir untuk mengentas masyarakat dari keterbelakangan di segala bidang kehidupan. Beliau meletakkan dasar bagi kehidupan sosial yang didasari atas kebebasan dan tanggungjawab sosial. Diletakkan prinsip yang menjamin ketentraman dan keselamatan di dalam kehidupan sosial. Diajarkan kepada masyarakat untuk hidup bertetangga, berkeluarga, bermasyarakat berdasar atas prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu untuk menjaga keturunan, harta, jiwa, akal dan agama.
Dengan prinsip seperti ini, maka akan terjadi proses untuk saling menjaga antara satu dengan lainnya. Orang tidak hanya menuntut hak, akan tetapi juga menunaikan kewajiban. Di dalam hak orang ada kewajiban orang lain. Bertemunya hak dan kewajiban itulah yang akan membangun keselarasan dan keharmonisan dan akhirnya akan tercapai keselamatan.
Memperingati terhadap kelahiran Nabi Muhammad saw berarti merenungkan terhadap ajaran Islam yang dibawakan oleh Beliau. Artinya, kita akan terus menerus memegang spirit menjalankan ajaran agama yang memberikan kerahmatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Dengan demikian, semua uraian tentang peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., hakikatnya ialah mengingatkan kepada kita semua untuk bisa meneladani kehidupan beliau yang penuh dengan keharmonisan, kerukunan dan keselamatan tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (3)

TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (3)
Media-media sosial ramai membicarakan tentang apa yang dilakukan oleh para sesepuh NU di Surabaya beberapa saat yang lalu, yaitu “pengadilan” terhadap Kyai Said Aqil Siraj, yang dianggapnya telah melakukan kesalahan fungsional dan structural dalam kapasitasnya sebagai Ketua PBNU.
Bahkan gerakan mufarraqah pun akan dilakukan terhadap kepemimpinan NU terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh pimpinan NU dimaksud. Berita-berita seperti ini berseliweran luar biasa di media sosial kita. seperti tidak terbendung. Dan informasi-informasi tersebut terus memborbardir semua yang memiliki jaringan internet, di media sosial apapun.
Dunia sungguh telanjang di era cyber war. Tidak ada informasi yang bisa ditahan atau disembunyikan, selama ada yang menguploadnya. Makanya, banyak umat Islam yang kemudian terpengaruh oleh informasi yang terus memborbardirnya. Ditunjang oleh belum cerdasnya masyarakat kita, maka dengan mudah semua informasi dianggapnya sebagai kebenaran. Mereka baru saja memasuki literasi media sosial, sehingga semua dilahapnya tanpa filter apapun.
Banyak di antara kita yang kemudian menjadi sumber berita tanpa terlebih dahulu melakukan check and recheck. Pokoknya semua yang diterima disampaikan kepada yang lain. Makanya, banyak informasi yang kemudian sesungguhnya hoax saja. Misalnya masuk Islamnya Jacky Chan, atau gerakan shalat shubuh jutaan orang di Turki yang ternyata orang yang di Turki saja tidak mengetahuinya. Dalam kunjungan saya di Turki, beberapa saat yang lalu, secara sengaja saya tanyakan kepada kawan-kawan di Turki mengenai fenomena jamaah shalat shubuh jutaan orang di masjid Turki sebagaimana diberitakan di Indonesia, ternyata mereka tidak mengetahuinya.
Di era cyber war ini, ternyata dengan sangat mudah orang untuk melakukan tindakan disinformatif. Melalui media itulah semua orang saling berebut pengaruh. Ada yang ingin membangun charisma baru, ada yang ingin mempertahankan kharismanya, ada yang ingin membangun kekuasaannya dan seterusnya. Makanya, bisa saja terjadi berbagai benturan yang diakibatkan oleh berkecamuknya terpaan media yang terus terjadi.
Di dalam konteks seperti ini, maka para pemimpin agama mestilah saling membangun kesepahaman untuk saling mengingatkan terhadap berbagai informasi yang bercorak disinformatif, menyesatkan dan fitnah sehingga di antara pemimpin agama tersebut tidak saling mencurigai dan mendakwa yang tidak benar.
Yang menjadi dampak sosialnya adalah umat yang sesungguhnya masih menganggap para kyainya atau ulamanya tetap menjadi tumpuan pedoman kehidupannya. Bagi saya, jangan sampai orang lebih percaya kepada informasi melalui media sosial daripada apa yang sebenarnya dinyatakan oleh orang yang bisa dipercaya.
Ke depan, pertarungan di dalam cyber war akan semakin semarak. Baik yang akan membangun otoritasnya, yang akan mempertahankan otoritasnya atau yang mau membangun kembali otoritasnya yang mulai memudar. Pertarungan antar pemimpin tentu akan meningkat eskalasinya. Semua akan berebut pengaruh antara mereka yang dilabel sebagai Islam wasathiyah atau yang fundamental. Pertarungan tersebut bukan dalam bentuk fisikal akan tetapi melalui cyber war.
Umat Islam saya kira membutuhkan informasi yang benar dan relevan dengan kenyataan empirisnya. Di sinilah para pemimpin Islam memiliki peran penting. Maka pemimpin NU dan Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya yang di Indonesia dikenal sebagai pemimpin Islam yang mengagungkan Islam wasathiyah agar tetap di dalam jalurnya untuk mempertahankan keislaman dengan corak seperti itu.
Banyak masyarakat berharap bahwa para ulama atau kyai dari Muhammadiyah dan NU yang dapat menjadi penyangga kuat bagi NKRI. Selain tentu juga organisasi seperti Mathlaul Anwar, Perti, Jamiyatul Washliyah, Nahdlatul Wathan dan sebagainya. Di tangan pemimpin organisasi Islam yang berprinsip wasathan saja Islam Nusantara yang berkemajuan akan bisa meraih momentum hebatnya.
Kita berharap bahwa di antara pemimpin organisasi khas Islam keindonesiaan ini akan dapat menjadi penyangga bagi tegaknya dasar Negara, Pancasila, Undang-Undang dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebhinekaan.
Organisasi cangkokan yang dihadirkan di Indonesia bisa saja berkembang akan tetapi mestilah berada di dalam koridor kebangsaan Indonesia. Dia ibaratnya adalah pupuk yang dapat menyuburkan organisasi khas Islam keindonesiaan, dan bukan yang akan menggulungtikarkan organisasi Islam khas keindonesiaan ini.
Untuk menjadi pupuk yang menguatkan tentu harus dipahami agar semuanya yang terlibat di dalamnya, para ulama dan kyai, berseia sekata di dalam visi dan misi organisasinya. Jangan jadikan pupuk itu menggerogoti akar tunjang yang kuat menghunjam ke bumi dengan membenarkan atau membiarkan pupuk itu membusukkannya.
Menurut saya hanya satu yang bisa dilakukan ialah agar semua elemen pemimpin organisasi Islam khas keindonesia tetap berada di dalam jalur komunikasi dan kebersamaan, sebab hanya dua kata itu saja yang akan memberikan peluang untuk terus eksis dan bertumbuhkembang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (2)

TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (2)
Ada perubahan mendasar pasca “Aksi Super Damai” 2 Desember 2016. Di antara perubahan yang mencolok ialah lahirnya beberapa orang tokoh baru yang sebenarnya sudah memiliki basis massa namun terbatas.
Mereka memang sudah bergerak dari masjid ke masjid untuk membangun jejaring antar masjid di dalam kerangka membangun charisma keagamaannya. Bahkan sesungguhnya di beberapa kelompok, nama mereka sudah cukup menjadi jaminan “keislaman” yang dianggapnya paling benar.
Modalitas sosial memang terbatas, akan tetapi modalitas agamanya telah dibangun berdasarkan jejaring yang secara pelan tetapi pasti menemukan tempatnya. Aksi 212 akhirnya membawa namanya melambung ke pelataran tokoh pembela Islam yang paling aktif. Bachtiar Nashir adalah salah satu contohnya. Namanya sudah dikenal di kalangan takmir-takmir masjid di Jakarta. Beliau selalu menjadi khatib-khatib dan juga penceramah yang aktif. Dengan bekal pendidikan di Arab Saudi, makanya tentu dapat meyakinkan bahwa keilmuan Islamnya tidak diragukan.
Saya berkeyakinan bahwa para tokoh yang muncul ini akan terus membangun kharismanya dengan menggunakan cara-cara massif sebagaimana kemunculannya. Dia akan merawat charisma yang sudah diperolehnya dengan sebaik-baiknya. Setiap momentum yang diperkirakan dapat dijadikan sebagai lahan untuk mempertahankan kharismanya, maka akan digunakannya seoptimal mungkin.
Untuk kepentingan itu, maka akan dicari berbagai modalitas sosial berbasis pada sentiment keagamaan. Secara sosiologis, maka cara pelestarian charisma akan digunakannya dengan misalnya menghegemoni media sosial dengan pesan-pesan sentiment keagamaan. Jika seandainya issu pilgub DKI sudah selesai dan kemudian issu Ahok sudah tidak lagi dapat dijadikan sebagai cara untuk mendongkrak kharismanya, maka pastilah akan dicari issu lain yang menarik.
Di antara issu yang menarik adalah tentang gerakan-gerakan keagamaan, misalnya tentang Islam kaffah, Islam syumuliyah, Islam sebagai solusi umat, Islam sebagai solusi kemiskinan dan sebagainya. Issu khilafat tetap menjadi mendasar, akan tetapi tetap akan disimpan sebagai hidden agenda masa depan. Belum saatnya untuk dibuka secara lebar meskipun sudah terdapat massa pendukungnya. Belum cukup kuat dukungan dari berbagai kalangan untuk menjadikannya sebagai open agenda di bumi Nusantara.
Upaya untuk mempengaruhi terhadap tokoh-tokoh Islam garis moderat akan terus dilakukannya. Bukankah mereka sudah memiliki data secara akurat berdasarkan atas “Aksi Super Damai” dan juga aksi-aksi sebelumnya. Mereka akan melakukan upaya untuk tebar pesan-pesan moral dan dukungan. Di Jawa Timur, tentu mereka sudah memiliki sejumlah data tentang siapa kyai-kyai di Jawa Timur yang mendukung terhadapnya. Demikian pula di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Saya menduga bahwa upaya untuk memanfaatkan media sosial terus akan dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan pesan berantai. Di era Cyber War, bukan tidak mungkin akan digunakan cara-cara yang sedikit provokatif dengan titik tekan pada problem bangsa dan umat Islam. Misalnya soal kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakangan sambil memainkan issu etnis yang dominative di dalam bidang ekonomi. Maka issu kesenjangan ekonomi, kesenjangan kesejahteraan, issu penguasaan asset negara yang tidak berimbang dan sebagainya. Saya yakin mereka sudah memiliki sejumlah tahapan dan bisnis process yang sangat tepat untuk menguasai tokoh-tokoh agama moderat.
Sementara di sisi lain, tokoh agama seperti NU dan Muhammadiyah masih berkutat dengan problem internalnya sendiri. Yaitu masih adanya ketidaksamaan visi untuk mempertahankan hegemoni keagamaan yang selama ini di dalam genggamannya. Para tokoh agama itu terus bermanuver sendiri-sendiri dengan melakukan dukungan mereka masing-masing.
Kita tentu masih ingat bagaimana organisasi NU dan Muhammadiyah juga terfragmentasi sedemikian kuat terkait dengan penyikapan terhadap gerakan atau aksi umat Islam di Jakarta. Mereka tidak berada di dalam satu bahasa. Mereka benar-benar berada di dalam kondisi yang saling berseberangan menghadapi realitas empiris yang dihadapinya.
Tampaknya organisasi besar dan stabil di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, juga kedodoran menghadapi realitas empiris di sekelilingnya, terutama aksi massa yang menggunakan issu keagamaan. Alih-alih melakukan tindakan menyatukan visi dan missi utamanya untuk mempertahankan Islam wasathiyah, namun justru mereka bersilang pendapat mengenai apa yang harus dilakukan.
NU dan Muhammadiyah menurut saya berada di persilangan jalan untuk menghadapi gerakan keagamaan yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh agama yang baru saja memperoleh mandate baru di dalam Islamisasi di Indonesia. Saya kira para aktivis NU dan Muhammadiyah harus menilai ulang kebersamaannya, agar ke depan mereka bisa berseia sekata di dalam menghadapi tantangan yang cukup variatif ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TOKOH AGAMA PASCAAKSI 212, LALU MAU APA? (1)

TOKOH AGAMA PASCAAKSI 212, LALU MAU APA? (1)
Secara konseptual dan saya kira selalu memperoleh pembenarannya secara empirik adalah tentang ikatan paternalitas yang masih cukup tinggi dari masyarakat terhadap para pemimpinnya. Bisa jadi pemimpin itu adalah tokoh masyarakat, kyai, ulama, bahkan pejabat.
Secara sosiologis bahwa corak masyarakat kita memang paternal. Artinya, menganggap bahwa para pemimpin itu adalah pattern atau pedoman dalam melakukan banyak tindakan atau father yaitu bapak yang memberikan perlindungan, pertolongan dan manfaat. Mungkin ikatan paternalitas itu masih terdapat pada banyak aspek kehidupan, kecuali di bidang politik, yang saya kira memang sudah mengalami perbedaan.
Masyarakat memang semakin cerdas, artinya mulai bisa memilih mana yang dianggap sebagai kepentingan sosial dan keagamaan atau sosial kemasyarakatan dan mana yang dianggap sebagai kepentingan sosial dan politik. Terhadap dua di depan masyarakat masih menjadikan sebagai ikatan paternal, akan tetapi terhadap yang terakhir kiranya memang sudah terjadi perbedaan yang signifikan. Artinya, apa yang dianggap penting oleh tokoh masyarakat (ulama, kyai, ajengan dsb) belum tentu menjadi kepentingan masyarakat.
Masyarakat semakin bisa membedakan mana yang dianggap sebagai kepentingan politik dan mana yang kepentingan agama dan sosial lainnya. Tentu jangan ditafsirkan bahwa di Indonesia sedang terjadi sekularisasi dengan tindakan memisahlkan kepentingan politik dan kepentingan agama dan sosial lainnya. Tindakan ini semata-mata untuk memberikan gambaran bahwa sesungguhnya masyarakat mulai cerdas untuk membawakan dirinya di tengah pilihan-pilihan kehidupan yang harus dilakukannya.
Akhir-akhir ini kita melihat sebuah panggung kehidupan agama, politik, sosial dan lainnya yang secara observasional bisa dinyatakan “menyatu”. Yaitu peristiwa Aksi Super Damai, 2/12/2016, dan juga aksi-aksi sebelumnya. Dan kemudian disusul dengan aksi-aksi lainnya yang saling berkeinginan memperkokoh keberadaannya. Berbagai aksi ini juga memunculkan sejumlah tokoh yang sebelumnya tidak begitu dikenal dengan baik dengan berbagai pikiran dan aksi politik dan sosialnya.
Yang menjadi sebuah pertanyaan menarik untuk dicermati, yaitu apakah kehadiran tokoh-tokoh lama dan baru ini akan menjadi fenomena berkepanjangan atau harus terus menerus digerakkan sampai akhirnya benar-benar menjadi sangat fenomenal. Habib Rizieq, AA Gym, Arifin Ilham memang sudah menjadi tokoh dalam konteks dakwah Islam. Akan tetapi seperti Bachtiar Nashir, dan sebagainya tentu baru memasuki ranah public yang hiruk pikuk. Mereka mengembangkan konsepsi “membela Islam” dengan pekikan Allahu Akbar yang luar biasa, sambil menyelipkan tujuan politiknya. Saya kira aksi-aksi yang digelar tersebut memberikan gambaran tentang apa yang sesungguhnya berada di balik aksi. Meskipun in order to motives-nya bisa berbeda tetapi mereka menyatu dalam perlawanan terhadap Ahok. Calon gubernur DKI (Ahok) hanyalah wadah, akan tetapi sebenarnya terdapat in order to motive yang mulai tampak di permukaan, yaitu untuk mendeklarasikan Islam politik.
Saya kira masyarakat Indonesia, yang bisa mengakses terhadap media sosial, akan mengetahui tentang bagaimana in order to motives yang bervariasi tersebut. Hanya saja yang bisa dikhawatirkan bahwa tidak semua masyarakat yang bisa mengakses terhadap media sosial tersebut adalah kelompok yang cerdas untuk memilah dan memilih terhadap konten media, atau sekurang-kurangnya memahami latar atau konteks bagaimana konten media tersebut terjadi dan berada.
Membesarnya gerakan atau aksi ini, saya kira memang dipicu oleh serbuan atau terpaan media sosial yang sangat luar biasa dan juga diciptakan untuk membesarkan gerakannya. Di era perang media seperti sekarang, maka siapa saja bisa membuat “perang wacana” itu luar biasa pengaruhnya. Dan bagi sekelompok orang bisa saja menjadikan tokoh yang sebenarnya tidak memihak kepada kelompok tertentu menjadi seakan memihak kepadanya.
Misalnya, KH. Hasyim Muzadi bisa saja dijadikan sebagai ikon untuk mendukung sebuah gerakan, meskipun secara realitas empirisnya tidak seperti itu. Bisa saja orang yang memang dibencinya atau dianggap sebagai penghalang dibuli sedemikian rupa. Orang seperti KH. Said Aqil Siraj bisa dihabisi melalui media sosial karena bisa dianggap sebagai kekuatan yang memang menjadi penghalang. Saya menjadi teringat bagaimana Nusron Wahid dan Buya Syafi’i Ma’arif menjadi bulan-bulanan media sosial karena tindakannya yang “berbeda” dengan lainnya.
Era cyber war sungguh merupakan perang di dalam dunia maya yang realistis dan memiliki dampak yang luar biasa secara empiris. Ia dapat membangun public opinion dan juga menjadi wahana agenda setting bagi segolongan orang. Jika kita perhatikan, maka mengapa aksi 212 itu terjadi secara massif adalah karena kemasan cyber war yang diciptakannya.
Dengan demikian, pemanfaatan media sosial, sebenarnya bisa memiliki dua sisi sekaligus, mendidik dan juga memprovokasi atau keduanya sekaligus. Jika sekelompok orang pintar menggunakan keduanya, maka sesungguhnya sekelompok orang itu juga akan menguasai media sosial tersebut.
Makanya, ada satu tambahan lagi proposisi penting di blantika ilmu sosial, bahwa “siapa yang menguasai media, maka dia yang akan menguasai dunia”. Era cyber war membutikannya secara empiris.
Kembali kepada hipotesis di atas, bahwa kehadiran tokoh fenomenal itu bisa berpengaruh berkepanjangan atau temporer tentu sangat tergantung kepada bagaimana para koleganya merawat ketokohannya itu. Jika basis masanya tidak sangat kuat, maka yang diperlukan adalah aksi-aksi solidaritas dengan menggunakan tema atau pesan-pesan emosional yang mampu membangkitkan solidaritas tersebut.
Jika ini yang dibutuhkan, maka peluang untuk melakukan banyak aksi tentu bukan suatu yang berada di angan-angan, akan tetapi akan menjadi kenyataan. Jadi kiranya tetap diperlukan pencermatan secara lebih mendalam.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBANGUN BUDAYA DAMAI DI KALANGAN PENDIDIK

MEMBANGUN BUDAYA DAMAI DI KALANGAN PENDIDIK
Pendidikan multikulturalisme sudah bukan barang baru di kalangan pendidik di Indonesia. Model pendidikan seperti ini sudah merupakan ranah yang menjadi lahan diskursus dan aksi di dalam program pendidikan.
Sesungguhnya, program pendidikan seharusnya diarahkan untuk membangun sikap multicultural sebab betapapun diketahui bahwa masyarakat Indonesia ini merupakan masyarakat yang multikultur dan plural. Pendidikan tentu harus berselaras dengan kenyataan kehidupan masyarakat.
Gagasan mengenai pendidikan multikultur tentu sudah sangat lama ditemukan di dalam khasanah kebangsaan kita. Jadi, di dalam masyarakat kita sendiri sudah tertanam dengan kuat tentang sikap dan tindakan multicultural ini. Dan pendidikan sebagai salah satu instrument untuk membudayakan sikap dan tindakan multicultural tentu dimulai dari para pendidiknya.
Beberapa hari yang lalu, 8/12/2016, saya menjadi narasumber di dalam acara yang digelar untuk membekali para trainers tentang pendidikan multicultural. Acara ini diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum (Ditpaisum) Ditjen Pendidikan Islam. Acara ini diikuti oleh calon trainers untuk program pendidikan multicultural yang nantinya akan melatih para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum.
Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam hal ini, yaitu: pertama, guru adalah pendidik untuk mengembangkan peradaban Islam yang rahmatan lil alamin. Guru adalah orang pertama yang mengajarkan agar anak-anak menjadi dewasa baik dalam dimensi kecerdasan intelektualnya, kecerdasan emosionalnya dan juga kecerdasan spiritualnya. Anak-anak harus dicetak untuk menjadi yang terbaik di dalam tiga aspek itu. Makanya, anak-anak haruslah menjadi agen bagi menciptakan masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap bangsa dan negaranya.
Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia karena keberhasilannya di dalam pendidikan. Banyaknya ahli di dalam berbagai bidang kajian keilmuan dapat menjadi pelita di dalam membangun peradaban dunia itu. Islam menjadi agama yang sangat masyhur berkat keberhasilan para ilmuwannya untuk terus mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Makanya tidak salah jika kemudian Islam dapat menjadi pusat kemajuan pada eranya.
Sebenarnya, kemajuan dan kemunduran Islam tentu disebabkan oleh guru-guru atau para pendidiknya. Di era lalu, maka Islam menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena peran para pendidiknya. Islam menjadi mundur juga karena kelengahan para pendidiknya. Kuat atau lemahnya negara dalam banyak hal ditentukan bukan pada banyak atau sedikitnya angkatan perang yang dimilikinya, akan tetapi oleh ketahanan masyarakatnya yang memiliki kesadaran akan arti dan makna negara bagi dirinya.
Oleh karena itu, para pendidik yang memiliki dedikasi, kemampuan bekerja professional, memiliki jiwa penemu, dan memiliki kapasitas mendidik yang baik tentu akan menghasilkan anak didik yang istimewa. Jika makin banyak anak didik yang istimewa, maka tentu akan menguntungkan bangsa dan negaranya. Dan jika mereka bersekutu untuk mengembangkan kebudayaannya, maka kelak akan dapat mengembangkan peradaban bagi dunia.
Kedua, pendidik merupakan kata kunci bagi keberhasilan pembangunan bangsa. Guru atau pendidik yang baik akan dapat menjadi pengungkit bagi keberhasilan pendidikan. Makin banyak pendidik yang berkualitas tentu akan menjadi kata kunci kesuksesan pendidikan. Jika kita ingin melihat Indonesia yang hebat di masa depan, maka para pendidik harus diberdayakan.
Di tengah tantangan yang semakin kuat di kalangan anak didik kita dewasa ini untuk tertarik kepada berbagai isme yang berkembang di dunia ini, baik yang kanan maupun yang kiri, maka para pendidik memiliki peran strategis untuk mengembalikan dan mengarahkan para anak didik agar kembali ke jalan yang relevan dengan semangat keislaman di negeri ini.
Sebagaimana diketahui bahwa arus utama Islam di negeri kita dan bahkan juga di beberapa Negara Asean lainnya, seperti Malaysia, Brunei Darus Salam, Singapura dan bahkan Thailand adalah Islam yang moderat, yang wasathiyah. Itulah sebabnya, mereka menjadi meradang dengan semakin kuatnya muslim radikal atau fundamental bahkan ekstrim yang terus berkembang. Ada semacam kekhawatiran bahwa dengan semakin menguatnya posisi mereka (kaum muslim fundamental), maka akan membawa dampak bagi sektarianisme yang semakin kental
Jadi para pendidik di lembaga pendidikan baik setara pendidikan dasar, menengah dan bahkan pendidikan tinggi merupakan kelompok strategis untuk menjaga prinsip Islam yang menjadi arus utama di negeri-negeri Asean agar selalu berada di dalam pemahaman dan praksis Islam yang rahmatan lil alamin.
Ketiga, pendidik harus menjadi penyangga bagi terbentuknya sikap dan perilaku anak didik yang mengedepankan kecintaannya kepada nusa, bangsa dan agama. Kita tidak ingin para pendidik justru menjadi agen bagi tumbuhkembangnya sikap dan perilaku intoleran. Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini sedang terjadi peningkatan intoleransi yang cukup mengejutkan terutama di lembaga pendidikan umum. Para pendidik tentu harus menjadi agen utama bagi semakin kuatnya pemahaman dan perilaku keagamaan yang mengedepankan Islam yang ramah dan bukan Islam yang menyebabkan ketakutan bagi kelompok lainnya.
Oleh karena itu, ke depan para pendidik meski mengembangkan paham dan perilaku yang memberi contoh agar para anak didik merindukan kehadirannya dan menjadi teladan bagi kehidupannya. Jadi, di tangan para pendidik kiranya kelestarian Islam rahmatan lil alamin akan terus kita alami di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.