• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (2)

TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (2)
Ada perubahan mendasar pasca “Aksi Super Damai” 2 Desember 2016. Di antara perubahan yang mencolok ialah lahirnya beberapa orang tokoh baru yang sebenarnya sudah memiliki basis massa namun terbatas.
Mereka memang sudah bergerak dari masjid ke masjid untuk membangun jejaring antar masjid di dalam kerangka membangun charisma keagamaannya. Bahkan sesungguhnya di beberapa kelompok, nama mereka sudah cukup menjadi jaminan “keislaman” yang dianggapnya paling benar.
Modalitas sosial memang terbatas, akan tetapi modalitas agamanya telah dibangun berdasarkan jejaring yang secara pelan tetapi pasti menemukan tempatnya. Aksi 212 akhirnya membawa namanya melambung ke pelataran tokoh pembela Islam yang paling aktif. Bachtiar Nashir adalah salah satu contohnya. Namanya sudah dikenal di kalangan takmir-takmir masjid di Jakarta. Beliau selalu menjadi khatib-khatib dan juga penceramah yang aktif. Dengan bekal pendidikan di Arab Saudi, makanya tentu dapat meyakinkan bahwa keilmuan Islamnya tidak diragukan.
Saya berkeyakinan bahwa para tokoh yang muncul ini akan terus membangun kharismanya dengan menggunakan cara-cara massif sebagaimana kemunculannya. Dia akan merawat charisma yang sudah diperolehnya dengan sebaik-baiknya. Setiap momentum yang diperkirakan dapat dijadikan sebagai lahan untuk mempertahankan kharismanya, maka akan digunakannya seoptimal mungkin.
Untuk kepentingan itu, maka akan dicari berbagai modalitas sosial berbasis pada sentiment keagamaan. Secara sosiologis, maka cara pelestarian charisma akan digunakannya dengan misalnya menghegemoni media sosial dengan pesan-pesan sentiment keagamaan. Jika seandainya issu pilgub DKI sudah selesai dan kemudian issu Ahok sudah tidak lagi dapat dijadikan sebagai cara untuk mendongkrak kharismanya, maka pastilah akan dicari issu lain yang menarik.
Di antara issu yang menarik adalah tentang gerakan-gerakan keagamaan, misalnya tentang Islam kaffah, Islam syumuliyah, Islam sebagai solusi umat, Islam sebagai solusi kemiskinan dan sebagainya. Issu khilafat tetap menjadi mendasar, akan tetapi tetap akan disimpan sebagai hidden agenda masa depan. Belum saatnya untuk dibuka secara lebar meskipun sudah terdapat massa pendukungnya. Belum cukup kuat dukungan dari berbagai kalangan untuk menjadikannya sebagai open agenda di bumi Nusantara.
Upaya untuk mempengaruhi terhadap tokoh-tokoh Islam garis moderat akan terus dilakukannya. Bukankah mereka sudah memiliki data secara akurat berdasarkan atas “Aksi Super Damai” dan juga aksi-aksi sebelumnya. Mereka akan melakukan upaya untuk tebar pesan-pesan moral dan dukungan. Di Jawa Timur, tentu mereka sudah memiliki sejumlah data tentang siapa kyai-kyai di Jawa Timur yang mendukung terhadapnya. Demikian pula di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Saya menduga bahwa upaya untuk memanfaatkan media sosial terus akan dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan pesan berantai. Di era Cyber War, bukan tidak mungkin akan digunakan cara-cara yang sedikit provokatif dengan titik tekan pada problem bangsa dan umat Islam. Misalnya soal kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakangan sambil memainkan issu etnis yang dominative di dalam bidang ekonomi. Maka issu kesenjangan ekonomi, kesenjangan kesejahteraan, issu penguasaan asset negara yang tidak berimbang dan sebagainya. Saya yakin mereka sudah memiliki sejumlah tahapan dan bisnis process yang sangat tepat untuk menguasai tokoh-tokoh agama moderat.
Sementara di sisi lain, tokoh agama seperti NU dan Muhammadiyah masih berkutat dengan problem internalnya sendiri. Yaitu masih adanya ketidaksamaan visi untuk mempertahankan hegemoni keagamaan yang selama ini di dalam genggamannya. Para tokoh agama itu terus bermanuver sendiri-sendiri dengan melakukan dukungan mereka masing-masing.
Kita tentu masih ingat bagaimana organisasi NU dan Muhammadiyah juga terfragmentasi sedemikian kuat terkait dengan penyikapan terhadap gerakan atau aksi umat Islam di Jakarta. Mereka tidak berada di dalam satu bahasa. Mereka benar-benar berada di dalam kondisi yang saling berseberangan menghadapi realitas empiris yang dihadapinya.
Tampaknya organisasi besar dan stabil di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, juga kedodoran menghadapi realitas empiris di sekelilingnya, terutama aksi massa yang menggunakan issu keagamaan. Alih-alih melakukan tindakan menyatukan visi dan missi utamanya untuk mempertahankan Islam wasathiyah, namun justru mereka bersilang pendapat mengenai apa yang harus dilakukan.
NU dan Muhammadiyah menurut saya berada di persilangan jalan untuk menghadapi gerakan keagamaan yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh agama yang baru saja memperoleh mandate baru di dalam Islamisasi di Indonesia. Saya kira para aktivis NU dan Muhammadiyah harus menilai ulang kebersamaannya, agar ke depan mereka bisa berseia sekata di dalam menghadapi tantangan yang cukup variatif ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..