• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TOKOH AGAMA PASCAAKSI 212, LALU MAU APA? (1)

TOKOH AGAMA PASCAAKSI 212, LALU MAU APA? (1)
Secara konseptual dan saya kira selalu memperoleh pembenarannya secara empirik adalah tentang ikatan paternalitas yang masih cukup tinggi dari masyarakat terhadap para pemimpinnya. Bisa jadi pemimpin itu adalah tokoh masyarakat, kyai, ulama, bahkan pejabat.
Secara sosiologis bahwa corak masyarakat kita memang paternal. Artinya, menganggap bahwa para pemimpin itu adalah pattern atau pedoman dalam melakukan banyak tindakan atau father yaitu bapak yang memberikan perlindungan, pertolongan dan manfaat. Mungkin ikatan paternalitas itu masih terdapat pada banyak aspek kehidupan, kecuali di bidang politik, yang saya kira memang sudah mengalami perbedaan.
Masyarakat memang semakin cerdas, artinya mulai bisa memilih mana yang dianggap sebagai kepentingan sosial dan keagamaan atau sosial kemasyarakatan dan mana yang dianggap sebagai kepentingan sosial dan politik. Terhadap dua di depan masyarakat masih menjadikan sebagai ikatan paternal, akan tetapi terhadap yang terakhir kiranya memang sudah terjadi perbedaan yang signifikan. Artinya, apa yang dianggap penting oleh tokoh masyarakat (ulama, kyai, ajengan dsb) belum tentu menjadi kepentingan masyarakat.
Masyarakat semakin bisa membedakan mana yang dianggap sebagai kepentingan politik dan mana yang kepentingan agama dan sosial lainnya. Tentu jangan ditafsirkan bahwa di Indonesia sedang terjadi sekularisasi dengan tindakan memisahlkan kepentingan politik dan kepentingan agama dan sosial lainnya. Tindakan ini semata-mata untuk memberikan gambaran bahwa sesungguhnya masyarakat mulai cerdas untuk membawakan dirinya di tengah pilihan-pilihan kehidupan yang harus dilakukannya.
Akhir-akhir ini kita melihat sebuah panggung kehidupan agama, politik, sosial dan lainnya yang secara observasional bisa dinyatakan “menyatu”. Yaitu peristiwa Aksi Super Damai, 2/12/2016, dan juga aksi-aksi sebelumnya. Dan kemudian disusul dengan aksi-aksi lainnya yang saling berkeinginan memperkokoh keberadaannya. Berbagai aksi ini juga memunculkan sejumlah tokoh yang sebelumnya tidak begitu dikenal dengan baik dengan berbagai pikiran dan aksi politik dan sosialnya.
Yang menjadi sebuah pertanyaan menarik untuk dicermati, yaitu apakah kehadiran tokoh-tokoh lama dan baru ini akan menjadi fenomena berkepanjangan atau harus terus menerus digerakkan sampai akhirnya benar-benar menjadi sangat fenomenal. Habib Rizieq, AA Gym, Arifin Ilham memang sudah menjadi tokoh dalam konteks dakwah Islam. Akan tetapi seperti Bachtiar Nashir, dan sebagainya tentu baru memasuki ranah public yang hiruk pikuk. Mereka mengembangkan konsepsi “membela Islam” dengan pekikan Allahu Akbar yang luar biasa, sambil menyelipkan tujuan politiknya. Saya kira aksi-aksi yang digelar tersebut memberikan gambaran tentang apa yang sesungguhnya berada di balik aksi. Meskipun in order to motives-nya bisa berbeda tetapi mereka menyatu dalam perlawanan terhadap Ahok. Calon gubernur DKI (Ahok) hanyalah wadah, akan tetapi sebenarnya terdapat in order to motive yang mulai tampak di permukaan, yaitu untuk mendeklarasikan Islam politik.
Saya kira masyarakat Indonesia, yang bisa mengakses terhadap media sosial, akan mengetahui tentang bagaimana in order to motives yang bervariasi tersebut. Hanya saja yang bisa dikhawatirkan bahwa tidak semua masyarakat yang bisa mengakses terhadap media sosial tersebut adalah kelompok yang cerdas untuk memilah dan memilih terhadap konten media, atau sekurang-kurangnya memahami latar atau konteks bagaimana konten media tersebut terjadi dan berada.
Membesarnya gerakan atau aksi ini, saya kira memang dipicu oleh serbuan atau terpaan media sosial yang sangat luar biasa dan juga diciptakan untuk membesarkan gerakannya. Di era perang media seperti sekarang, maka siapa saja bisa membuat “perang wacana” itu luar biasa pengaruhnya. Dan bagi sekelompok orang bisa saja menjadikan tokoh yang sebenarnya tidak memihak kepada kelompok tertentu menjadi seakan memihak kepadanya.
Misalnya, KH. Hasyim Muzadi bisa saja dijadikan sebagai ikon untuk mendukung sebuah gerakan, meskipun secara realitas empirisnya tidak seperti itu. Bisa saja orang yang memang dibencinya atau dianggap sebagai penghalang dibuli sedemikian rupa. Orang seperti KH. Said Aqil Siraj bisa dihabisi melalui media sosial karena bisa dianggap sebagai kekuatan yang memang menjadi penghalang. Saya menjadi teringat bagaimana Nusron Wahid dan Buya Syafi’i Ma’arif menjadi bulan-bulanan media sosial karena tindakannya yang “berbeda” dengan lainnya.
Era cyber war sungguh merupakan perang di dalam dunia maya yang realistis dan memiliki dampak yang luar biasa secara empiris. Ia dapat membangun public opinion dan juga menjadi wahana agenda setting bagi segolongan orang. Jika kita perhatikan, maka mengapa aksi 212 itu terjadi secara massif adalah karena kemasan cyber war yang diciptakannya.
Dengan demikian, pemanfaatan media sosial, sebenarnya bisa memiliki dua sisi sekaligus, mendidik dan juga memprovokasi atau keduanya sekaligus. Jika sekelompok orang pintar menggunakan keduanya, maka sesungguhnya sekelompok orang itu juga akan menguasai media sosial tersebut.
Makanya, ada satu tambahan lagi proposisi penting di blantika ilmu sosial, bahwa “siapa yang menguasai media, maka dia yang akan menguasai dunia”. Era cyber war membutikannya secara empiris.
Kembali kepada hipotesis di atas, bahwa kehadiran tokoh fenomenal itu bisa berpengaruh berkepanjangan atau temporer tentu sangat tergantung kepada bagaimana para koleganya merawat ketokohannya itu. Jika basis masanya tidak sangat kuat, maka yang diperlukan adalah aksi-aksi solidaritas dengan menggunakan tema atau pesan-pesan emosional yang mampu membangkitkan solidaritas tersebut.
Jika ini yang dibutuhkan, maka peluang untuk melakukan banyak aksi tentu bukan suatu yang berada di angan-angan, akan tetapi akan menjadi kenyataan. Jadi kiranya tetap diperlukan pencermatan secara lebih mendalam.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..