TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (3)
TOKOH AGAMA PASCA AKSI 212, LALU MAU APA? (3)
Media-media sosial ramai membicarakan tentang apa yang dilakukan oleh para sesepuh NU di Surabaya beberapa saat yang lalu, yaitu “pengadilan” terhadap Kyai Said Aqil Siraj, yang dianggapnya telah melakukan kesalahan fungsional dan structural dalam kapasitasnya sebagai Ketua PBNU.
Bahkan gerakan mufarraqah pun akan dilakukan terhadap kepemimpinan NU terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh pimpinan NU dimaksud. Berita-berita seperti ini berseliweran luar biasa di media sosial kita. seperti tidak terbendung. Dan informasi-informasi tersebut terus memborbardir semua yang memiliki jaringan internet, di media sosial apapun.
Dunia sungguh telanjang di era cyber war. Tidak ada informasi yang bisa ditahan atau disembunyikan, selama ada yang menguploadnya. Makanya, banyak umat Islam yang kemudian terpengaruh oleh informasi yang terus memborbardirnya. Ditunjang oleh belum cerdasnya masyarakat kita, maka dengan mudah semua informasi dianggapnya sebagai kebenaran. Mereka baru saja memasuki literasi media sosial, sehingga semua dilahapnya tanpa filter apapun.
Banyak di antara kita yang kemudian menjadi sumber berita tanpa terlebih dahulu melakukan check and recheck. Pokoknya semua yang diterima disampaikan kepada yang lain. Makanya, banyak informasi yang kemudian sesungguhnya hoax saja. Misalnya masuk Islamnya Jacky Chan, atau gerakan shalat shubuh jutaan orang di Turki yang ternyata orang yang di Turki saja tidak mengetahuinya. Dalam kunjungan saya di Turki, beberapa saat yang lalu, secara sengaja saya tanyakan kepada kawan-kawan di Turki mengenai fenomena jamaah shalat shubuh jutaan orang di masjid Turki sebagaimana diberitakan di Indonesia, ternyata mereka tidak mengetahuinya.
Di era cyber war ini, ternyata dengan sangat mudah orang untuk melakukan tindakan disinformatif. Melalui media itulah semua orang saling berebut pengaruh. Ada yang ingin membangun charisma baru, ada yang ingin mempertahankan kharismanya, ada yang ingin membangun kekuasaannya dan seterusnya. Makanya, bisa saja terjadi berbagai benturan yang diakibatkan oleh berkecamuknya terpaan media yang terus terjadi.
Di dalam konteks seperti ini, maka para pemimpin agama mestilah saling membangun kesepahaman untuk saling mengingatkan terhadap berbagai informasi yang bercorak disinformatif, menyesatkan dan fitnah sehingga di antara pemimpin agama tersebut tidak saling mencurigai dan mendakwa yang tidak benar.
Yang menjadi dampak sosialnya adalah umat yang sesungguhnya masih menganggap para kyainya atau ulamanya tetap menjadi tumpuan pedoman kehidupannya. Bagi saya, jangan sampai orang lebih percaya kepada informasi melalui media sosial daripada apa yang sebenarnya dinyatakan oleh orang yang bisa dipercaya.
Ke depan, pertarungan di dalam cyber war akan semakin semarak. Baik yang akan membangun otoritasnya, yang akan mempertahankan otoritasnya atau yang mau membangun kembali otoritasnya yang mulai memudar. Pertarungan antar pemimpin tentu akan meningkat eskalasinya. Semua akan berebut pengaruh antara mereka yang dilabel sebagai Islam wasathiyah atau yang fundamental. Pertarungan tersebut bukan dalam bentuk fisikal akan tetapi melalui cyber war.
Umat Islam saya kira membutuhkan informasi yang benar dan relevan dengan kenyataan empirisnya. Di sinilah para pemimpin Islam memiliki peran penting. Maka pemimpin NU dan Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya yang di Indonesia dikenal sebagai pemimpin Islam yang mengagungkan Islam wasathiyah agar tetap di dalam jalurnya untuk mempertahankan keislaman dengan corak seperti itu.
Banyak masyarakat berharap bahwa para ulama atau kyai dari Muhammadiyah dan NU yang dapat menjadi penyangga kuat bagi NKRI. Selain tentu juga organisasi seperti Mathlaul Anwar, Perti, Jamiyatul Washliyah, Nahdlatul Wathan dan sebagainya. Di tangan pemimpin organisasi Islam yang berprinsip wasathan saja Islam Nusantara yang berkemajuan akan bisa meraih momentum hebatnya.
Kita berharap bahwa di antara pemimpin organisasi khas Islam keindonesiaan ini akan dapat menjadi penyangga bagi tegaknya dasar Negara, Pancasila, Undang-Undang dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebhinekaan.
Organisasi cangkokan yang dihadirkan di Indonesia bisa saja berkembang akan tetapi mestilah berada di dalam koridor kebangsaan Indonesia. Dia ibaratnya adalah pupuk yang dapat menyuburkan organisasi khas Islam keindonesiaan, dan bukan yang akan menggulungtikarkan organisasi Islam khas keindonesiaan ini.
Untuk menjadi pupuk yang menguatkan tentu harus dipahami agar semuanya yang terlibat di dalamnya, para ulama dan kyai, berseia sekata di dalam visi dan misi organisasinya. Jangan jadikan pupuk itu menggerogoti akar tunjang yang kuat menghunjam ke bumi dengan membenarkan atau membiarkan pupuk itu membusukkannya.
Menurut saya hanya satu yang bisa dilakukan ialah agar semua elemen pemimpin organisasi Islam khas keindonesia tetap berada di dalam jalur komunikasi dan kebersamaan, sebab hanya dua kata itu saja yang akan memberikan peluang untuk terus eksis dan bertumbuhkembang.
Wallahu a’lam bi al shawab.
