• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENUJU JAMINAN PRODUK HALAL VIA PERAN NEGARA

MENUJU JAMINAN PRODUK HALAL VIA PERAN NEGARA
Dalam salah satu acara Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam, 14 Desember 2016, maka saya didapuk untuk menjadi salah satu narasumber. Selain saya juga terdapat narasumber, KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI dan Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Dr. Lukman Hakim, Direktur LPP POM, Prof. Dr. Bambang Prasetya, Kepala BSN/KAN, Kukuh S. Ahmad, Deputi Bidang Penerangan Standard dan Akreditasi BSN, Muhammad Thambrin, Direktur Urusan Agama Islam dan Pemberdayaan Syariah, Dr. Asrarun Ni’am, Ketua KPAI, dan sejumlah peserta lain, baik pejabat maupun undangan lainnya.
Acara ini tentu menarik sebab belum ternah terjadi selama ini, pasca diterbitkannya UU No. 34 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, secara resmi kami bertemu dengan Kyai Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI untuk membicarakan tentang Jaminan Produk Halal atau yang dikenal dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Makanya, acara ini tergolong sangat menarik dan strategis di dalam kerangka untuk menyamakan wawasan mengenai bagaimana penyelenggaraan jaminan produk halal ke depan.
Sebagaimana diketahui bahwa selama ini penyelenggara jaminan produk halal adalah MUI, sebagai lembaga keagamaan yang diberi kewenangan oleh pemerintah selaku penyelenggara jaminan produk halal. Oleh karena itu, kehadiran Undang-Undang yang secara khusus memberikan mandat kepada BPJPH untuk menyelenggarakan jaminan produk halal tentu menyebabkan terjadinya tarik ulur. Ada pro dan kontra. Untunglah bahwa RUU BPJPH yang sudah diinisiasi selama kurang lebih delapan tahun akhirnya bisa diselesaikan pada tahun 2014. Saya tentu merasa senang sebab saya diberi amanah sebagai ketua Panja Pemerintah untuk penerbitan Undang-Undang ini.
Saya sampaikan beberapa hal yang sanggap mendasar mengenai penerapan JPH. Pertama, bahwa ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan ke depan, yaitu: tantangan semua produk harus disertifikasi, misalnya makanan, minuman, barang gunaan seperti pakaian, dan barang gunaan lain, seperti: Hand phone, pulpen, dompet, barang asesori, sabuk, dan lainnya, serta barang-barang makanan dan minuman. Bahkan juga obat-obatan dan kosmetika. Di antara yang dirasakan sebagai problem utama oleh para pelaku usaha adalah mengenai obat-obatan dan kosmetika.
Problem obat-obatan yang paling krusial, sebab hingga saat ini masih didapati sumber bahan obat-obatan dengan bahan yang belum halal dan juga belum diperoleh sumber produk yang halal untuk menggantikannya. Jika dipaksakan harus menggunakan sumber produk halal, maka dipastikan akan terjadi kelangkaan obat. Di satu sisi, kebutuhan akan obat tentu tidak bisa ditunda. Jika ada seseorang yang sakit, maka harus diobati. Lalu jika dipaksakan untuk menggunakan obat halal, maka tidak akan dapat terpenuhi keperluan obat tersebut.
Inilah yang menjadi keluhan dari para pengusaha terkait dengan kewajiban menggunakan obat halal. Di dalam seminar yang diselenggarakan di PP Muhammadiyah, ternyata keluhan seperti ini sangat mengedepan. Oleh karena itu saya kira tim RPP Jaminan Produk Halal harus melakukan pencermatan yang sangat tinggi agar ketika RPP JPH disahkan menjadi PP, maka akan bisa diterapkan dan tidak menjadi boomerang bagi dunia kesehatan.
Kedua, penerapan mandatory untuk jaminan produk halal. Seperti yang kita ketahui, bahwa Malaysia masih menggunakan konsep voluntary dan bukan mandatory. Oleh karena itu, Malaysia begitu menyatakan surprisenya atas “keberanian” Indonesia untuk menyatakan kewajiban atau mandatory bagi jaminan produk halal. Sesuai dengan regulasinya, bahwa UU Jaminan Produk Halal akan berlaku semenjak tahun 2019. Artinya, bahwa semenjak tahun tersebut, maka seluruh produk harus bersertifikat halal. Padahal jumlah perusahaan makanan dan minuman saja sangat banyak dan tidak mungkin diberlakukan halal semuanya semenjak tahun tersebut.
Di dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa makna mandatory bertahap itu artinya bahwa semenjak tahun 2019 semua unit usaha berkewajiban untuk memperoleh sertifikat halal meskipun di dalam pelaksanaannya bersifat bertahap. Hal ini didasari oleh banyaknya unit usaha yang terkait dengan makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika serta barang gunaan, sehingga tidak mungkin untuk melakukan sertifikasi sekaligus. Jadi bertahap dalam makna dapat dilakukan sesuai dengan waktu dan peluang yang harus dilakukan.
Di antara pandangan menarik datang dari Kyai Ma’ruf Amin. Beliau mendukung terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sama sekali tidak ada keberatan dari MUI untuk mengalihkan program sertifikasi tersebut. Dulu MUI melakukan program sertifikasi halal karena mendapat tugas pemerintah, dan ketika sesuai dengan regulasi, program sertifikasi halal harus dilakukan oleh pemerintah, maka tidak ada alasan untuk mencegahnya atau menolaknya.
Beliau menyatakan “tidak benar jika ada anggapan bahwa MUI keberatan untuk mengalihkan sertifikasi halal kepada pemerintah”. Lebih lanjut dinyatakan: “setelah program sertifikasi halal dilakukan pemerintah maka harus lebih banyak yang dapat disertifikasi, lebih baik kualitas laboratoriumnya dan juga lebih mampu menjangkau terhadap produk-produk yang perlu disertifikasi”. Beliau juga menyatakan bahwa “apa yang telah dilakukan oleh MUI selama 20 tahun untuk program sertifikasi agar diteruskan, baik dari sisi sistemnya, baik sistem informasi dan mekanismenya, standarisasi dan tekniknya, sehingga ke depan tinggal melanjutkan pengalaman MUI dalam program sertifikasi halal”.
Di akhir pertemuan saya menyatakan bahwa kerjasama antara BPJPH dengan MUI dan dan juga BSN akan sangat penting di dalam kerangka untuk percepatan pelaksanaan sertifikasi. Di dalam waktu dekat diperlukan semacam press release bersama untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang tetap berlakunya sertifikasi halal di MUI di masa transisi ini. Jadi tidak perlu ada kemandekan di dalam penyelenggaraan sertifikasi halal.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..