• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAULID NABI MUHAMMAD SAW 2016 (2)

MAULID NABI MUHAMMAD SAW 2016 (2)
Memperingati Maulid Nabi Muhammad saw., seharusnya dengan merenungkan kembali makna kehidupannya bagi penataan kehidupan umat manusia. Bagi yang ingin memperingati dengan cara selain cara itu, maka dipastikan bahwa yang bersangkutan tidak membawa spirit ajaran Islam sesuai dengan pesan Nabinya.
Di antara prinsip ajaran Islam itu ialah menjaga akal. Mengapa akal manusia harus dijaga. Islam mengajarkan agar kita terus berpikir. Pemikiran menjadi penting sebab dari sini perubahan-perubahan sosial itu akan bersumber. Manusia harus terus mengembangkan pemikirannya dan menemukan inovasi yang relevan dengan kehidupannya. Makanya, akal harus dijaga agar terus produktif, tetapi tetap berada di dalam koridor keagamaan yang benar.
Tentu tidak hanya akal yang perlu dimanej sebagai renungan di dalam memperingati kelahiran junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, akan tetapi yang sangat penting adalah bagaimana mamanej hati atau qalbu. Dari keduanya, maka dapat dipastikan bahwa kita akan berada di dalam jalur yang benar di dalam kehidupan kita.
Agama adalah akal dan hati. Agama adalah “yang lahir dan yang bathin”. Agama adalah “keyakinan dan performace”. Agama adalah “keyakinan dan ekpressi”. Makanya momentum untuk memperingati kelahiran manusia agung, Nabi Muhammad saw merupakan saat kita melakukan introspeksi apakah kita sudah menghadirkan keduanya itu di dalam kehidupan keberagamaan kita.
Allah maha mengetahui yang terjadi secara lahiriyah dan juga yang ada di dalam bathin. Maknanya bahwa Allah sebagai Dzat yang Maha Tahu merupakan dzat yang selalu mengawasi terhadap apa yang dilakukan oleh hambanya. Oleh karena itu, Allah juga tahu apa yang dilakukan manusia terhadap hamba yang dicintainya, yang diberikan shalawat kepadanya, yaitu Muhammad saw. Memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw merupakan ekspressi kecintaan kita kepada manusia agung, Muhammad saw itu.
Ada berbagai ekspressi yang dilakukan manusia untuk melayani yang dicintainya itu. Misalnya jika sesama manusia biasa, maka bisa diberikan lewat bunga, dengan ungkapan kata-kata yang indah, say with flower, atau dengan sikap dan tindakan yang menyenangkan kekasihnya itu. Maka, kala kita ingin mengekspresikan kecintaan kita kepada Nabi Agung Muhammad saw itu, maka juga dengan ekspressi yang bermacam-macam. Ada yang dengan upacara Gerebeg seperti di Keraton Jogyakarta, ada yang dengan membaca shalawat secara berjamaah seperti yang dilakukan oleh jamaah dzikir “Majelis Dzikir Rasulullah” di Masjid Istiqlal, ada juga dengan upacara khusus seperti di daerah, ada yang dengan pawai dan segala pernak-perniknya dan ada juga yang secara individual membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. “innallaha wa malaikatahu yushalluna alan Nabi, ya ayyuhal ladzina amanu shallu alaihi wa sallimu taslima”. Bahkan tidak hanya mencukupkan dengan bacaan “Allahuma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali wa ashhabihi”, akan tetapi dengan menambahkan kata “Allahumma shalli ala nuri Sayyidina Muhammadin wa ala alihi wa ashhabihi” dan seterusnya.
Ada yang memberikannya dengan ungkapan “Sayyidina” sebagai ekspressi “membesarkan, mengagungkan, dan mempertuan akan keagungannya” dan ada juga yang tidak menggunakan kata “Sayyidina” dan bahkan membidh’ahkannya, semua ini adalah ekspressi keagamaan yang tetap harus dimaknai sebagai amalan ibadah yang memiliki makna kebaikan. Jika terhadap para raja saja kita menyatakan “Paduka Yang Mulia”, apalagi terhadap Rasulullah sebagai penyelamat dan pembawa keberkahan bagi seluruh kehidupan umat manusia. Jadi kurang elok jika ada yang menyatakan bahwa menyebut kata “Sayyidina” itu sebagai kesalahan. Inilah mungkin makna bahwa “perdedaan sesungguhnya adalah rahmat”.
Kemarin, 12/12/2016, saya memperoleh WA dari Kemenristekdikti, tentang saat akhir menjelang wafatnya Nabi Muhammad saw. Secara lengkap bunyi WA itu sebagai berikut: “sebelum malaikat Izrail diperintah Allah swt untuk mencabut nyawa Nabi Muhammad, Allah berpesan kepada Malaikat Jibril. “Hai Jibril, jika kekasih-Ku menolaknya, laranglah Izrail melakukan tugasnya”. Sungguh berharganya manusia yang satu ini yang tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. Di rumah Nabi Muhammad SAW, tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk? Tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya sambil berkata, “maafkanlah ayahku sedang deman” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu, kemudian Fatimah kembali menemani Nabi Muhammad SAW yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah, siapakah itu wahai anakku?. “tak tahulah ayahku, sepertinya orang baru, karena baru sekali ini aku melihatnya” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “ketahuilah wahai anakku, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut pun datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertainya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah SWT dan penghulu dunia. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?. Tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu” kata Malaikat Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Malaikat Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?. “Jangan khawatir wahai Rasulullah, kau pernah mendengar bahwa Allah berfirman kepadaku: kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad sudah berada di dalamnya” kata Malaikat Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya malaikat Izrail melakukan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh badan Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril betapa sakit sakaratul maut ini”. Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk makin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu wahai Jibril?’ Tanya Rasulullah kepada Malaikat pengantar wahyu Allah itu. “Siapakah yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajal” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku”. Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali mendekatkan telinganya, “ushikum bis shalati, wama malakat aimanakum (peliharalah shalat dan pelihara orang-orang lemah di antaramu)”. Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummati, ummati, ummati” (umatku, umatku, umatku). Dan berakhirlah hidup manusia yang paling mulai yang memberi sinaran itu.
Saya membacanya dengan hati tidak dengan mata, pelan-pelan dengan tenang dan penuh kesungguhan, dan tiba-tiba saya melelehkan airmata, deras mengalir, membayangkan bagaimana manusia Agung Muhammad saw itu merasakan penderitaan yang luar biasa sampai Beliau mengaduh. Saya tercenung, saya merasakan getaran perasaan yang luar biasa dan sebegitu Rasulullah mencintai hambanya serta saya merasakan betapa tanggungjawab Beliau terhadap umat Islam.
Mungkin inilah ekspressi keagamaan itu. Dan kemudian terus bergulir ucapan yang Allah dan malaikatnya saja melakukannya, yaitu bacaan shalawat kepada Junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..