• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENGUATAN AKADEMIK UNTUK TRANSFORMASI INSTITUSI PTKIN

PENGUATAN AKADEMIK UNTUK TRANSFORMASI INSTITUSI PTKIN
Hari Kamis, 22 Desember 2016, saya diminta untuk memberikan pembekalan bagi civitas akademika STAIN Pamekasan dalam acara Rapat Koordinasi Akhir Tahun dalam kaitannya dengan upaya transformasi menuju perubahan status dari STAIN ke IAIN. Acara ini dihadiri oleh seluruh pejabat baik structural maupun fungsional. Tentu saja hadir Ketua STAIN, Dr. Mohammad Qosim, dan para wakil ketua. Acara ini diselenggarakan di Hotel Syahid Surabaya.
Saya tentu bergembira dengan penyelenggaraan acara rakor ini, sebab tentu bisa menjadi ajang silaturrahmi bagi seluruh pejabat di STAIN pasca pemilihan ketua STAIN. Makanya, yang hadir adalah pejabat-pejabat baru yang diangkat untuk pengabdian pada tahun 2016-2020. Mumpung mereka baru menjabat, maka tentu saya berkewajiban untuk memberikan inspirasi di dalam kepemimpinan PTKIN yang ada di Madura ini.
Saya memberikan tiga masukan dalam acara di sini, yaitu: Pertama, perlunya membangun kekuatan akademik di dalam kerangka transformasi menuju ke IAIN. Harus disadari bahwa tugas pendidikan tinggi tentu adalah menguatkan dunia akademik yang unggul. Untuk kepentingan ini maka yang dibutuhkan adalah bagaimana agar PTKIN memiliki keunggulan akreditasi. Jika ada program studi yang bernilai C, maka agar segera diupayakan agar sesegera mungkin dilakukan evaluasi ulang dan kemudian diajukan untuk memperoleh nilai yang lebih baik.
Kita harus menunjukkan bahwa program studi yang kita kembangkan bisa memiliki pengakuan nasional sesuai dengan standart akreditasi dari BAN-PT. Hingga sekarang untuk mengetahui apakah PT itu maju dan berkualitas adalah melalui pengakuan BAN-PT. Kita bersyukur bahwa sudah ada beberapa PTKIN yang memperoleh nilai A dari BAN-PT, seperti UIN Jakarta, UIN Malang, UIN Yogyakarta dan terakhir IAIN Banjarmasin.
Program pembelajaran, riset, pengabdian masyarakat dan kapasitas akademik semua komponen harus terus meningkat. Harus diupayakan lahirnya inovasi pembelajaran, misalnya pembelajaran berbasis IT. Demikian pula jurnal akademik juga harus terwujud dan memperoleh pengakuan yang layak dari Kemenristekdikti atau LIPI. Semua visi harus ditujukan pada keinginan untuk mengembangkan program studi yang distingtif dan ekselen. Kita tidak boleh merasa puas dengan apa yang kita capai hari ini, akan tetapi terus berupaya agar kita mencapai yang terbaik.
Kedua, peningkatan kekuatan SDM. Tenaga pendidik dan kependidikan adalah kunci sukses sebuah PT. Jika di PT itu dihuni oleh orang-orang hebat sesuai dengan keahliannya, maka dipastikan bahwa PT itu akan diminati oleh masyarakat. Di dunia ini, perguruan tinggi terbaik, seperti Harvard University, Oxford University, MIT, dan beberapa yang lain itu menjadi PT hebat di dunia disebabkan oleh banyaknya dosen yang memperoleh penghargaan Nobel. Penghargaan ini menandai upaya terus menerus dari seorang dosen di dalam riset dan program pendidikannya.
Untuk berubah status di PTKIN, maka tantangannya ialah berapa banyak professor, doctor dan dosen yang memiliki karya-karya akademik yang outstanding. Di Kemen PAN dan RB, maka penilaian tentang kualifikasi dosen sangat dipentingkan. Makanya, banyaknya professor dan doctor menjadi ukuran utama untuk alih status. Kita tentu patut bergembira karena hasil evaluasi yang dilakukan oleh Men PAN dan RB dan Kemenag “selalu” menghasilkan peringkat yang sama. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil penilaian Kemenag dan Kemen PAN dan RB. Ini menandakan bahwa instrument yang kita gunakan memiliki validitas yang memadai.
Selain itu, para dosen juga harus menulis apakah dalam bentuk karya akademik murni ataukah karya akademik popular. Keduanya dibutuhkan sebagai pertanda bahwa kita ini ada. Saya selalu menjadikan pepatah “verba valent scripta manent” sebagai panduan. “Kita menulis maka kita ada.” Saya tentu mengapresiasi bahwa STAIN Pamekasan sudah memiliki dua jurnal terakreditasi. Ke depan harus semakin banyak jurnal yang terakreditasi, sehingga semakin banyak peluang dosen untuk mempublis hasil penelitian dan permenungannya tentang dunia akademik.
Ketiga, penguatan academic environment. Para civitas akademika harus menjadikan PT sebagai masyarakat akademis dan bukan masyarakat politis. Bukan yang dimaksud adalah menjadikan kampus “tabu” membicarakan mengenai politik, akan tetapi jangan jadikan kampus sebagai ajang untuk kontestasi politik. Tentu boleh ada faksi-faksi karena itu sangat manusiawi, akan tetapi jangan jadikan faksi-faksi itu sebagai ajang untuk saling berkonstestasi negative dan menghakimi.
Sebagai lingkungan akademis, maka PT harus mengembangkan nuansa untuk saling berdiskusi, meneliti dan mengembangkan kapabilitas akademik. Harus ada tradisi menulis yang kuat di PT. Bukan maksud saya untuk menyombongkan diri, akan tetapi hingga hari ini, saya masih rajin menulis meskipun hanya di blog saja. Tidak pernah saya bayangkan bahwa dari 1449 artikel yang saya tulis di blog itu, ternyata ada sebanyak 48.183 orang Amerika yang mengakses. Artikel saya itu dibaca oleh masyarakat di 37 negara di dunia dan sebanyak 568.854 halaman yang dibaca orang. Jika ada dosen yang menguasai ilmu al Qur’an dengan baik dan Ilmu tafsir dengan baik, maka betapa banyak tulisan yang bisa dihasilkan. Jika ada yang memiliki kebiasaan ceramah agama tiap hari dan kemudian dituliskan bahan-bahannya meskipun hanya satu halaman, maka akan didapatkan kekayaan akademik yang luar biasa.
PT harus mengembangkan hal-hal seperti ini agar kampus bisa menjadi lahan akademik yang ekselen. Jadi, kewajiban para pimpinan PT adalah menjadikan kampusnya sebagai medan akademik yang unggul dengan terus memberikan dukungan bagi SDM-nya untuk maju dan berbuat optimal untuk dunia pendidikan.
Untuk bisa alih status tersebut, berikan kami senjata akademiknya, sehingga di saat mendiskusikan kekuatan PTKIN yang akan alih status di Kementerian lain, kami dengan kepala tegak dan dada membusung untuk menyatakan kekuatannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

SIAPKAN PERENCANAAN TPG BERBASIS DATA

SIAPKAN PERENCANAAN TPG BERBASIS DATA
Hari Selasa, 20 Desember 2016, saya diminta oleh Pak Syihabuddin (Kepala Biro Keuangan dan BMN Kemenag) untuk memberi materi tentang “Kebijakan Perencanaan pada Penganggaaran Tunjangan Profesi Guru di Kementerian Agama”. Acara ini diselenggarakan di Hotel Cemara, Jakarta dengan dihadiri oleh para perencana di DKI, dan beberapa dari Jawa Barat. Saya ditemani oleh Pak Syihabuddin dan juga pejabat eselon 3 dan 4 pada Biro Keuangan dan BMN.
Acara ini tentu menarik sebab dilakukan di dalam kerangka untuk mencermati terhadap anggaran TPG yang selama ini memang selalu menyisakan masalah terutama di dalam serapannya. Hingga saat ini serapan anggaran TPG memang masih terkendala secara administrative.
Di dalam kesempatan ini, saya sampaikan tiga hal yang sangat penting, yaitu: pertama, tentang regulasi. Selama ini regulasi memang menjadi kendala untuk penyerapan anggaran. Masih ada sejumlah tafsir atas regulasi mengenai pembayaran TPG.
Tunjangan Profesi Guru diberikan sesungguhnya untuk memenuhi amanah Undang-Undang Sisdiknas, No. 20 Tahun 2003 dan juga Undang-Undang Guru dan Dosen, No. 14 Tahun 2005. Kedua undang-undang ini mengamanahkan agar para guru dan dosen diberikan tunjangan profesi sebagai konsekuensi guru dan dosen sebagai jabatan professional.
Kedua regulasi ini memang memihak kepada para guru dan dosen, sebab diindikasikan bahwa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan oleh rendahnya kesejahteraan guru dan dosen. Para guru dan dosen tidak terfokus pada program pembelajaran di dunia pendidikan sebab harus melakukan berbagai aktivitas untuk peningkatan kesejahteraannya. Kesejahteraan guru dan dosen sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan guru dan dosen di Malaysia.
Melalui pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen ini, maka para guru dan dosen diharapkan akan dapat berkonsentrasi di dalam program pendidikan sehingga kualitas pendidikan di Indonesia akan dapat mengejar posisi kualitas pendidikan di Negara-negara Asean lainnya, khususnya Singapura, Malaysia dan Thailand.
Namun demikian, masih terdapat kendala regulasi yang multi-interpretable. Yaitu mengenai kapan pembayaran TPG tersebut diberikan. Apakah setelah yang bersangkutan memperoleh kelulusan sertifikasinya ataukah setelah yang bersangkutan mendapatkan Nomor Registrasi Guru (NRG). Di sinilah persoalan yang memicu kelambatan pembayaran TPG.
Di Kemendikbud, sebagaimana yang kita ketahui, pembayaran TPG dapat diberikan tepat waktu, yaitu pada tahun berikutnya setelah yang bersangkutan mendapatkan NRG. Harap diketahui bahwa penerbitan NRG di Kemendikbud nyaris tidak pernah melampaui tahun kelulusan. Jika seorang guru lulus, misalnya tahun 2014, maka tahun 2014 pula NRG terbit dan tahun 2015 dapat dibayarkan TPG-nya.
Di Kemenag, memang agak sedikit berbeda. Banyak yang lulus tahun 2014 akan tetapi NRG-nya terbit di tahun berikutnya. Sehingga jika mengikuti regulasinya, maka pembayaran NRG akan dilakukan pada tahun setelah terbitnya NRG. Jadi, di Kemendikbud tepat waktu, sedangkan di Kemenag lompat waktu. Di dalam konteks ini, maka dibuatlah kebijakan agar terjadi “kesamaan” pembayaran yaitu penentuan pembayaran dilakukan berdasar atas tahun kelulusan. Jika misalnya guru lulus tahun 2014 dan NRG-nya terbit tahun 2015, maka TPG akan dibayarkan semenjak tahun 2015 dengan cara rapel setelah NRG-nya terbit. Problem ini yang kemudian membutuhkan “penyamaan” persepsi di antara Jnspektorat Jenderal, BPKP dan BPK. Akhirnya disepakati bahwa tahun 2016 merupakan tahun eksepsi bagi pembayaran TPG dengan pola pasca kelulusan dimaksud.
Kedua, masih ada problema perencanaan dan implementasi. Sebagaimana diketahui bahwa di era perencanaan berbasis kinerja ini, maka perencanaan dirumuskan setahun lebih awal, sehingga untuk pelaksanaan anggaran tahun 2017, maka perencanaan dilakukan semenjak Januari tahun 2016. Melalui system Pagu Indikatif, Pagu Sementara dan Pagu definitive. Dengan demikian, kita harus merumuskan perencanaan yang sangat akurat agar implementasi program dapat dilakukan secara lebih relevan dan tertib.
Namun demikian, yang menjadi problem utama adalah mengenai pendataan sebagai basis perencanaan. Saya melihat bahwa basis data perencanaan kita masih belum optimal. Untuk melihat belum optimalnya perencanaan itu dapat dilihat dari besarnya sisa serapan anggaran belanja pegawai yang di dalam dua tahun terakhir menyisakan angka yang cukup besar, demikian pula TPG yang juga belum terserap secara memadai. Penentuan besaran anggaran didasarkan atas pagu tahun sebelumnya, sehingga masih banyak yang belum relevan dengan kenyataan kebutuhan akan anggaran.
Yang tidak kalah menarik juga mengenai distribusi anggaran. Masih banyak daerah yang kekurangan anggaran, namun di tempat lain menyisakan anggaran yang cukup besar. Jadi ada problem distribusi yang masih menyisakan problem. Sebagai contoh untuk pembayaran belanja makan bagi pegawai di wilayah Kabupaten Kuningan kurang, sementara ada kelebihan anggaran belanja makan yang cukup besar. Jadi ketepatan perencanaan kita belum berbasis data yang akurat. Saya kira bukan tidak ada data yang bisa dijadikan sebagai rujukan, akan tetapi system perencanaan yang memang diperlukan untuk dibenahi.
Ketiga, untuk membenahi terhadap perencanaan yang masih kurang sesuai dengan kebutuhan ini, maka: (1) Biro Perencanaan telah memanggil seluruh kabag perencanaan di tingkat Kanwil agar menilai ulang terhadap distribusi dan besaran anggarannya. (2) Biro perencanaan harus mengembangkan system perencanaan melalui e-planning yang berbasis data akurat. Sesungguhnya melalui e-MPA dapat dikembangkan satu bagian yang penting yaitu mengenai e-planning ini. Tahun 2017 harus sudah diselesaikan perencanaan yang berbasis elektronik, sehingga akurasi program dan anggarannya akan dapat lebih relevan. (3) SDM Perencanaan harus memiliki kapasitas visioner. Sekarang di era perencanaan berbasis kinerja, maka SDM perencanaan harus betul-betul memahami apa yang akan dilakukan ke depan. Jadi bukan hanya copy paste terhadap apa yang dilakukan sebelumnya, akan tetapi bagaimana membuat terobosan baru di dalam perumusan perencanaan dan penganggarannya.
Jadi memang membutuhkan system yang baik dan juga SDM yang andal. System yang baik tentu tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh SDM yang hebat. Jadi keduanya diperlukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI TENGAH KONTESTASI (3)

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI TENGAH KONTESTASI (3)
Bagi Indonesia, memiliki organisasi semacam NU, Muhammadiyah, dan organisasi lain yang berwawasan wasathiyah tentu sangat menguntungkan. Melalui keberadaannya, maka jaminan untuk kelangsungan negeri ini dari berbagai perpecahan tentu akan bisa dihindarkan. Bukankah sudah terbukti bahwa organisasi ini yang menjadi penyangga terhadap pilar consensus kebangsaan dalam berbagai dinamikanya.
Secara historis telah dibuktikan bahwa melalui organisasi semacam NU dan Muhammadiyah, maka dukungan terhadap pemerintah tersebut berlangsung dengan indahnya melalui dinamika pemikiran dan aksinya yang sangat brillian di dalam mengekspressikan sikap dan tindakan kebangsaan. Suatu sikap yang sangat nyata di dalam memandang relasi agama dan negara yang bercorak simbiosis mutualisme. Agama membutuhkan negara di dalam ekpressi keagamaannya, dan negara memerlukan agama sebagai dasar pijak etikanya.
NU misalnya pernah menerima Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) yang pernah digagas oleh Presiden Soekarno sebagai pemikiran akomodatif terhadap pemerintahan yang secara realitas politik memang seperti itu. Di dalam kerangka menyelamatkan warga NU yang jumlahnya sangat banyak tentu harus dipikirkan bagaimana jalan menyelamatkannya. Di sisi lain, dengan menolak terhadap gagasan Nasakom berarti harus berada di luar, dan itu berarti tidak ada lagi control internal yang bisa dilakukan.
Namun di kala PKI membuat ulah dengan akan mengkomuniskan Indonesia, maka NU menjadi penyangga utama Pancasila, NKRI dan Islam. Suatu sikap yang saya kira berbanding terbalik dengan penerimaannya terhadap “komunisme” di dalam konsepsi Nasakom. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa NU sangat tegas di dalam pembelaannya terhadap Islam, NKRI dan Kebangsaan. Oleh banyak kalangan sikap seperti ini dianggap sebagai ambivalensi atau bahkan tidak konsisten, akan tetapi inilah pilihan terbaik yang dilakukan oleh pemimpin NU di dalam membaca realitas politik yang sedang terjadi.
NU juga pernah menjadi penyangga Pancasila dan pembela Pancasila yang luar biasa. Di saat semua organisasi keagamaan “menolak” terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik, keagamaan, kebudayaan dan sebagainya, maka NU menerimanya di dalam Mu’tamar di Situbondo, tahun 1984. Dan dengan cara begitu, hubungan NU dan pemerintah yang selama itu beku karena NU memilih sebagai organisasi politik berhadapan dengan Golkar yang menjadi artikulasi politik pemerintah.
Muhammadiyah juga menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan pembelaannya terhadap Pancasila, NKRI dan Islam. Memang Muhammadiyah mengambil cara yang berbeda dengan NU dalam artikulasi sosial politiknya. Muhammadiyah menggunakan konsepsi yang disebut sebagai high politics atau politik canggih di dalam artikulasi kepentingannya. Muhammadiyah tidak pernah terjun secara politis secara organisasional. Muhammadiyah lebih bergerak di bidang pendidikan, sosial dan kesehatan. Makanya, Muhammadiyah memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang sangat baik mulai dari Busthanul Athfal sampai perguruan tinggi. Semua berada di dalam satu komando sehingga memungkinkan mobilisasi dukungan terhadap gerakan Muhammadiyah di dalam praksis pendidikan. Lembaga kesehatannya juga menjadi alternative pilihan bahkan menjadi pilihan utama bagi masyarakat di dalam mengakses kesehatan, demikian pula di dalam pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi.
Muhammadiyah menempatkan orang-orangnya yang terbaik di dalam pemerintahan. Jadi, meskipun secara organisasional Muhammadiyah tidak menyatakan secara tegas mendukung Pancasila sebagai satu-satunya asas, akan tetapi secara personal mereka mendukungnya. Para pejabat yang berafiliasi kepada Muhammadiyah tentu seirama dengan pemerintah yang kala itu memang sedang giat-giatnya untuk menegakkan Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah menerapkan konsep “politik alokatif” untuk menjaga relasi dengan pemerintah di satu sisi dan masyarakat di sisi yang lain. Secara organisasional Muhammadiyah tidak menjadi organisasi politik, tetapi menempatkan kader-kader terbaiknya untuk duduk di birokrasi pemerintahan. Dengan demikian, Muhammadiyah secara organisasional dapat berkhidmat untuk umat melalui medium pendidikan, sosial dan kesehatan dan di sisi lain bisa menempatkan kader-kadernya untuk menempati pos-pos penting di dalam birokrasi.
Saya kira NU dan Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat baik di dalam dukungannya terhadap Islam, Pancasila dan NKRI. Dua cara yang berbeda, tetapi tetap berada di dalam satu visi, yaitu tegaknya Islam, Pancasila dan NKRI tersebut. Saya kira ini adalah dinamika dukungan yang luar biasa dari dua organisasi besar di Indonesia yang ke depan tentu akan tetap memainkan peran strategis di dalam menjaga pilar consensus kebangsaan.
Ke depan peran NU dan Muhammadiyah untuk memainkan high politics akan tetap diperlukan. Keduanya akan menjadi penyangga politik keislaman, kebangsaan dan kenegaraan dengan cara dan variasinya yang jitu dengan tetap mengedepankan satu visi Keislaman, Kebangsaan dan Kenegaraan. Organisasi lain yang hingga sekarang tetap mengedepankan Islam wasathiyah tentu juga akan dapat memainkan peranan yang seirama. Ibaratnya, permainan high politics organisasi Islam itu seperti pagelaran orchestra yang padu padan yang semua ingin menciptakan keharmonisan untuk Indonesia.
Dengan demikian, selama NU dan Muhammadiyah tetap memiliki visi yang sama dalam memandang relasi Islam, Pancasila dan NKRI, maka selama itu pula negara ini akan tetap berada di dalam jalur yang benar, on the track. Organisasi Islam wasathiyah akan berada di depan, tengah dan belakang negara untuk menjadi benteng yang kokoh.
Hanya saja yang menjadi penting juga dipikirkan adalah bagaimana negara harus hadir secara adil dalam bidang ekonomi, hukum, politik dan sebagainya, sehingga tidak membuat kekecewaan “mendalam” dari para penyangga negara seperti NU dan Muhammadiyah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (2)

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (2)
Satu hal yang saya kira sangat menarik untuk dicermati dewasa ini adalah berbagai kontestasi yang terjadi di antara organisasi Islam, meskipun dalam aras yang masih tertutup. Memang tidak kelihatan sangat mengemuka, akan tetapi nuansa kontestasi tersebut sesungguhnya sudah merupakan sesuatu yang mengeksis.
Pertarungan ajaran itu sudah sedemikian kuat. Misalnya antara Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA) yang berpusat di Solo dan sudah menyebar di seluruh Indonesia. Mereka sudah memiliki cabang-cabangnya di seluruh Indonesia dan ditopang oleh Radio Roja dan juga Televisi Roja. Bahkan dulu ada salah seorang sopir saya yang selalu memutar Radio Roja itu di dalam perjalanan macet di Jakarta.
Pengajian-pengajian yang dilakukan selalu menggunakan materi Islam puris, sebagaimana yang terjadi di Arab Saudi. Di dalam pemahamannya, Islam yang benar itu adalah Islam yang dikembangkan oleh dan sesuai dengan tafsir Wahabi. Makanya, mereka juga disebut sebagai aliran Wahabiyah. Di beberapa daerah di Madura, yang selama ini dikenal sebagai basis NU yang sangat kuat pun sudah dimasukinya. Mereka menggelar pengajian-pengajian secara periodik tetapi rutin untuk melakukan pembinaan terhadap para pengikutnya. Kelompok ini yang sering melakukan pengajian dengan isi “bidh’ah, khurafat dan tachayul” sebagaimana terjadi di masa lalu tahun 60-70an.
Semua yang tidak ada di praktik kehidupan beragama di Saudi Arabia dianggapnya sebagai bidh’ah. Makanya, tahlilan, yasinan, dzibaan, maulidan, rejeban dan sebagainya. Bahkan menurut Prof. Moh. Ali Azis, membaca Surat Al Fatihah berkali-kali pun ditanyakan dalilnya. Ada seseorang yang bertanya kepada Beliau, apa dalilnya membaca Fatihah berkali-kali. Maka dengan lugas dijawabnya, “walah membaca Al Fatihah saja kok dicari dalilnya. Itu ya ibadah, membaca Al Qur’an.”
Mereka tidak membedakan antara tradisi beragama dengan praktik ritual beragama. Dalam pandangannya, bahwa semua yang dilakukan umat Islam dalam ekspressi keagamaan harus diperoleh atau didasari melalui Al Qur’an dan Al Hadits. Jika tidak ada di dalamnya dianggapnya sebagai tambahan-tambahan di dalam ajaran agama, maka disebutnya sebagai bidh’ah.
Sebagaimana yang diakuinya, bahwa mereka menginginkan agar praktik beragama Islam itu harus ada landasannya sesuai dengan Al Qur’an dan Al Sunnah. Apapun. Bahkan ada fatwa yang menyatakan bahwa membaca lafal “Sayyidina” untuk Nabi Muhammad saw juga merupakan bidh’ah. Sebab Nabi Muhammad tidak mensayyidinakan dirinya sendiri. Orang yang menyebut nama Rasulullah dengan kata “Sayyidina” adalah kelompok ahli bidh’ah.
Kelompok ini masih menghindari berbicara tentang kekhalifahan. Khilafah Islamiyah belum menjadi targetnya. Mereka baru menginginkan agar Islam kaffah itu terbentuk terlebih dahulu. Islam yang sesuai dengan amalan Islam ala Wahabiyah itu terbentuk dengan kuat terlebih dahulu. Dengan demikian, target jangka pendek dan menengahnya adalah terciptanya masyarakat Islam yang pengamalan beragamanya sesuai dengan Islam ala Wahabiyah.
Tentu ajaran Wahabiyah memiliki kebaikannya sendiri. Pemurnian Islam memang diperlukan di dalam kerangka untuk melakukan koreksi terhadap pengamalan Islam yang lebih menekankan pada dimensi kebudayaan dibandingkan dengan ajaran Islamnya sendiri. Pemahaman dan praktik keberislaman yang sinkretik tentu harus diluruskan. Mereka yang masih berada di dalam kawasan ini perlu dibenahi paham dan pengamalan Islamnya. Namun demikian, tentu tidak semua berkehidupan beragama di Indonesia itu harus dibabat habis untuk disesuaikan dengan pahamnya. Semua harus disesuaikan dengan keberislaman di Arab Saudi.
Ada lokus budaya yang tidak sama antara Arab Saudi dengan Indonesia, baik dalam rentangan sejarah maupun tradisi. Lokus budaya itulah yang disebut sebagai tradisi Islam, yang selalu memiliki relevansi dengan lokalitasnya masing-masing. Di Indonesia lalu disebut oleh ulama NU sebagai Islam Nusantara, atau oleh Muhammadiyah disebut sebagai Islam Berkemajuan.
Keduanya tentu tidak melepaskan umat Islam dari konteks ajaran asalnya, yaitu Al Qur’an dan Al Sunnah. Bukankah NU dan Muhammadiyah juga menggunakan rujukan Al Qur’an dan Al Hadits. Keduanya menjadi rujukan utama. Baru jika diperlukan tafsir dan pemahaman yang lebih kontekstual dicarilah rujukan pada ijtihad para ulama terdahulu. NU menggunakan manhaj ijma’ dan qiyas. Jadi, tidak ada sedikitpun yang terlepas dari sumber asasi di dalam Islam.
Era sekarang merupakan era yang cukup krusial di tengah paham dan praksis beragama. Suatu era yang ditandai dengan pertarungan paham dan praksis beragama. Semua sedang berebut pengaruh. NU dan Muhammadiyah, sebagai organisasi terbesar di Indonesia, tentu merasa bahwa jamaahnya sedang di dalam perebutan. Makanya, ada upaya-upaya untuk membentengi jamaahnya dengan berbagai fatwa dan ajakan. Semua ditujukan agar jamaahnya tetap berada di dalam otoritasnya.
Sementera itu aliran-aliran baru keagamaan juga sangat progresif dan proaktif. Melalui kemampuan teknologi informasi dan agen-agennya juga terus mengeksploitasi mereka yang sudah menjadi anggotanya. Makanya, di era ini sesungguhnya sedang terjadi kontestasi perebutan sumber daya organisasi yang tengah berlangsung.
Saya teringat akan konsepsi Ralf Dahrendorf, seorang teoritisi konflik, yang menyatakan bahwa di dalam konflik itu yang sesungguhnya terjadi adalah pertarungan otoritas. Mereka yang berkonflik hakikatnya adalah untuk mempertahankan otoritasnya masing-masing. NU, Muhammadiyah, MTA dan lainnya tentu sedang berada di dalam nuansa pertarungan otoritasnya ini untuk mempertahankan sumber daya organisasinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (1)

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (1)
Hari Jum’at, 23/12/16 yang lalu, saya mengikuti shalat Jum’at di masjid Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) setelah mengikuti acara Pertemuan Koordinasi antar Menteri di bawah Kemenko PMK. Saya ditugaskan mewakili Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, sebab Beliau harus melakukan beberapa tugas yang tidak bisa diwakilkan.
Karena waktunya tidak memungkinkan untuk shalat Jumat di Masjid Istiqlal, sebagaimana kebiasaan saya, maka saya putuskan untuk shalat Jumat di sini. Bersama saya juga Pak Mendikbud, Prof. Dr. Muhajir Effendi dan Pak Menteri PUPERA, Pak Basuki Hadimulyo, yang bertepatan duduk di samping saya. Menjelang shalat Jum’at, Pak Menteri sempat mengungkapkan perasaannya, bahwa “khutbah seperti ini, seharusnya tidak dilakukan. Bagaimana khatib membicarakan agama lain, sedangkan kita menghakimi orang lain yang membicarakan agama kita.” Secara spontan saya nyatakan, bahwa “jika hadirinnya homogin, seperti ini, tidak ada loud speaker yang sampai ke masyarakat luas, saya kira masih bisa ditoleransi, akan tetapi kalau menggunakan pengeras suara dan didengarkan oleh penganut agama lain tentu bisa bermasalah.” Tentu ini jawaban sekenanya, akan tetapi saya kira untuk sementara bisa dipahami.
Sesungguhnya sekarang ini agak sulit memberikan label terhadap para da’i atau khatib bahwa mereka berasal dan berafiliasi ke organisasi apa. Jika di masa lalu, dengan mudah kita akan bisa mengidentifikasi seseorang berasal dari mana, misalnya dari atribut keagamaannya. Dari sisi outward looking, misalnya bisa kopyah, pakaian, atau asesori lainnya. Akan tetapi sekarang tentu kurang relevan, untuk tidak menyebut tidak relevan.
Jika saya analisis dari apa yang dibicarakan oleh khatib ini, maka dengan mudah kita bisa menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah Islam hard line. Sekurang-kurangnya adalah dengan label Muhammadiyah. Akan tetapi di saat membaca Surat Al Fatihah, dia menyuarakan lafadz Basmalah dengan suara keras. Orang Muhammadiyah membacanya bil sirri dan orang NU dengan bil jahri. Jadi rasanya bukan orang Muhammadiyah dan juga bukan orang NU.
Si Khatib membicarakan dengan fasih mengenai agama Nasrani, baik dari sisi theologinya, ajaran ritualnya dan aspek sosialnya. Misalnya diungkapkan bahwa tidak ada sebutan ketuhanan bagi Yesus Kristus di dalam Kitab Injil dan sebagainya. Sebagian besar khutbah ini berisi tentang bagaimana perbandingan antara Islam dan Nasrani.
Sebagai khutbah yang ditujukan untuk umat Islam dalam kerangka memperkuat aqidah Islam tentu bukan sebuah kesalahan. Sebagaimana yang saya nyatakan selama jamaahnya homogin dan hanya didengarkan oleh orang dalam satu tempat dan tidak menggunakan pengeras suara yang bisa didengarkan oleh umat agama lain, maka hal ini merupakan kebolehan. Ada pembenarannya.
Namun yang membuat saya tercenung di saat yang bersangkutan juga menyatakan bahwa “orang yang menjaga gereja saat Natal dan mengamankan penganut agama lain adalah orang munafiq,” tentu saya menjadi kaget. Tentu masih untung sebab tidak dinyatakan sebagai “kafir”. Namun demikian, bagi saya bahwa dewasa ini memang sedang berkembang dengan suburnya ungkapan-ungkapan yang melabel terhadap sebagian umat Islam dengan sebutan “munafiq, kafir” dan sebagainya yang disebut sebagai gerakan takfiri.
Mereka adalah sekelompok orang yang memperjuangkan Islam kaffah, Islam syumuliyah, khilafah dan sebagainya. Mereka berpandangan bahwa “la hukma illa lillah”. Hukum yang dibuat manusia bukanlah hukum yang harus dipatuhi, sebab yang bisa dipatuhi hanya hukum Allah semata. Semua regulasi produk manusia merupakan hukum yang hanya nisbi dan tidak perlu untuk dipatuhi. Makanya, di Indonesia juga harus diterapkan hukum Islam, sebab hanya dengan cara ini, maka negara ini akan mencapai derajad negara yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.
Saya kira ungkapan-ungkapan seperti ini bukan lagi signal. Bukan lagi wacana. Akan tetapi sudah menjadi gerakan. Bahkan masjid-masjid pemerintah pun sudah menjadi ajang bagi mereka untuk mengekspresikan keberagamaannya dalam konsepsi seperti itu. Tiada keraguan sedikitpun di antara mereka untuk menyuarakan aspirasinya di dalam mendirikan khilafah Islamiyah.
Saya juga membaca WA dari kawan-kawan Jamaah Asyrakal, yang menginformasikan bahwa di masjid Universitas Negeri Jakarta (UNJ), perguruan tinggi negeri yang akan melahirkan calon guru di Indonesia, ternyata juga khutbahnya sudah sampai akan mendirikan khilafah Islamiyah. Jadi, bukan lagi wacana tetapi gerakan yang terstruktur. Melalui masjid dan jamaah-jamaahnya.
Saya tentu bergembira dengan upaya untuk mengembangkan Islam dalam konteks agar umat Islam makin menjalankan ajaran agamanya secara benar, secara kaffah atau menyeluruh. Kaffah tentu dalam konteks menjalankan ajaran agama yang memberikan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Dilengkapkan aqidahnya dan dan komplit pengamalan agamanya.
Namun demikian, jika pemahaman agamanya sudah mengacu kepada upaya untuk membangun relasi agama dan negara yang integrated atau negara agama, maka saya kira harus ditata ulang. Kita semua sudah merasakan bagaimana para pendahulu membangun kebersamaan untuk menegakkan negeri ini. Upaya mereka sudah kita nikmati selama ini, sehingga bentuk eksperimen tentang negara ini sudah selayaknya tidak dilakukan.
Para ulama Islam di masa lalu sudah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk membangun “keindonesiaan” yang bisa bersatu padu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam bahasa Ketua STAIN Jayapura, Dr. Idrus al Hamid “NKRI Harga Mati.” Oleh karena itu, paham tentang khilafah dan sebagainya tentu bisa menjadi tantangan yang nyata di hadapan Islam Nusantara Berkemajuan.
Jadi, saya kira, seluruh komponen bangsa ini dengan dipandu oleh NU dan Muhammadiyah dan organisasi Islam lain yang sevisi dan semisi sudah selayaknya untuk mendorong agar perjuangan menegakkan Indonesia dengan consensus kebangsaan harus tetap dikedepankan.
Wallahu a’lam bi al shawab.