• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (2)

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (2)
Satu hal yang saya kira sangat menarik untuk dicermati dewasa ini adalah berbagai kontestasi yang terjadi di antara organisasi Islam, meskipun dalam aras yang masih tertutup. Memang tidak kelihatan sangat mengemuka, akan tetapi nuansa kontestasi tersebut sesungguhnya sudah merupakan sesuatu yang mengeksis.
Pertarungan ajaran itu sudah sedemikian kuat. Misalnya antara Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA) yang berpusat di Solo dan sudah menyebar di seluruh Indonesia. Mereka sudah memiliki cabang-cabangnya di seluruh Indonesia dan ditopang oleh Radio Roja dan juga Televisi Roja. Bahkan dulu ada salah seorang sopir saya yang selalu memutar Radio Roja itu di dalam perjalanan macet di Jakarta.
Pengajian-pengajian yang dilakukan selalu menggunakan materi Islam puris, sebagaimana yang terjadi di Arab Saudi. Di dalam pemahamannya, Islam yang benar itu adalah Islam yang dikembangkan oleh dan sesuai dengan tafsir Wahabi. Makanya, mereka juga disebut sebagai aliran Wahabiyah. Di beberapa daerah di Madura, yang selama ini dikenal sebagai basis NU yang sangat kuat pun sudah dimasukinya. Mereka menggelar pengajian-pengajian secara periodik tetapi rutin untuk melakukan pembinaan terhadap para pengikutnya. Kelompok ini yang sering melakukan pengajian dengan isi “bidh’ah, khurafat dan tachayul” sebagaimana terjadi di masa lalu tahun 60-70an.
Semua yang tidak ada di praktik kehidupan beragama di Saudi Arabia dianggapnya sebagai bidh’ah. Makanya, tahlilan, yasinan, dzibaan, maulidan, rejeban dan sebagainya. Bahkan menurut Prof. Moh. Ali Azis, membaca Surat Al Fatihah berkali-kali pun ditanyakan dalilnya. Ada seseorang yang bertanya kepada Beliau, apa dalilnya membaca Fatihah berkali-kali. Maka dengan lugas dijawabnya, “walah membaca Al Fatihah saja kok dicari dalilnya. Itu ya ibadah, membaca Al Qur’an.”
Mereka tidak membedakan antara tradisi beragama dengan praktik ritual beragama. Dalam pandangannya, bahwa semua yang dilakukan umat Islam dalam ekspressi keagamaan harus diperoleh atau didasari melalui Al Qur’an dan Al Hadits. Jika tidak ada di dalamnya dianggapnya sebagai tambahan-tambahan di dalam ajaran agama, maka disebutnya sebagai bidh’ah.
Sebagaimana yang diakuinya, bahwa mereka menginginkan agar praktik beragama Islam itu harus ada landasannya sesuai dengan Al Qur’an dan Al Sunnah. Apapun. Bahkan ada fatwa yang menyatakan bahwa membaca lafal “Sayyidina” untuk Nabi Muhammad saw juga merupakan bidh’ah. Sebab Nabi Muhammad tidak mensayyidinakan dirinya sendiri. Orang yang menyebut nama Rasulullah dengan kata “Sayyidina” adalah kelompok ahli bidh’ah.
Kelompok ini masih menghindari berbicara tentang kekhalifahan. Khilafah Islamiyah belum menjadi targetnya. Mereka baru menginginkan agar Islam kaffah itu terbentuk terlebih dahulu. Islam yang sesuai dengan amalan Islam ala Wahabiyah itu terbentuk dengan kuat terlebih dahulu. Dengan demikian, target jangka pendek dan menengahnya adalah terciptanya masyarakat Islam yang pengamalan beragamanya sesuai dengan Islam ala Wahabiyah.
Tentu ajaran Wahabiyah memiliki kebaikannya sendiri. Pemurnian Islam memang diperlukan di dalam kerangka untuk melakukan koreksi terhadap pengamalan Islam yang lebih menekankan pada dimensi kebudayaan dibandingkan dengan ajaran Islamnya sendiri. Pemahaman dan praktik keberislaman yang sinkretik tentu harus diluruskan. Mereka yang masih berada di dalam kawasan ini perlu dibenahi paham dan pengamalan Islamnya. Namun demikian, tentu tidak semua berkehidupan beragama di Indonesia itu harus dibabat habis untuk disesuaikan dengan pahamnya. Semua harus disesuaikan dengan keberislaman di Arab Saudi.
Ada lokus budaya yang tidak sama antara Arab Saudi dengan Indonesia, baik dalam rentangan sejarah maupun tradisi. Lokus budaya itulah yang disebut sebagai tradisi Islam, yang selalu memiliki relevansi dengan lokalitasnya masing-masing. Di Indonesia lalu disebut oleh ulama NU sebagai Islam Nusantara, atau oleh Muhammadiyah disebut sebagai Islam Berkemajuan.
Keduanya tentu tidak melepaskan umat Islam dari konteks ajaran asalnya, yaitu Al Qur’an dan Al Sunnah. Bukankah NU dan Muhammadiyah juga menggunakan rujukan Al Qur’an dan Al Hadits. Keduanya menjadi rujukan utama. Baru jika diperlukan tafsir dan pemahaman yang lebih kontekstual dicarilah rujukan pada ijtihad para ulama terdahulu. NU menggunakan manhaj ijma’ dan qiyas. Jadi, tidak ada sedikitpun yang terlepas dari sumber asasi di dalam Islam.
Era sekarang merupakan era yang cukup krusial di tengah paham dan praksis beragama. Suatu era yang ditandai dengan pertarungan paham dan praksis beragama. Semua sedang berebut pengaruh. NU dan Muhammadiyah, sebagai organisasi terbesar di Indonesia, tentu merasa bahwa jamaahnya sedang di dalam perebutan. Makanya, ada upaya-upaya untuk membentengi jamaahnya dengan berbagai fatwa dan ajakan. Semua ditujukan agar jamaahnya tetap berada di dalam otoritasnya.
Sementera itu aliran-aliran baru keagamaan juga sangat progresif dan proaktif. Melalui kemampuan teknologi informasi dan agen-agennya juga terus mengeksploitasi mereka yang sudah menjadi anggotanya. Makanya, di era ini sesungguhnya sedang terjadi kontestasi perebutan sumber daya organisasi yang tengah berlangsung.
Saya teringat akan konsepsi Ralf Dahrendorf, seorang teoritisi konflik, yang menyatakan bahwa di dalam konflik itu yang sesungguhnya terjadi adalah pertarungan otoritas. Mereka yang berkonflik hakikatnya adalah untuk mempertahankan otoritasnya masing-masing. NU, Muhammadiyah, MTA dan lainnya tentu sedang berada di dalam nuansa pertarungan otoritasnya ini untuk mempertahankan sumber daya organisasinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..