PENGUATAN AKADEMIK UNTUK TRANSFORMASI INSTITUSI PTKIN
PENGUATAN AKADEMIK UNTUK TRANSFORMASI INSTITUSI PTKIN
Hari Kamis, 22 Desember 2016, saya diminta untuk memberikan pembekalan bagi civitas akademika STAIN Pamekasan dalam acara Rapat Koordinasi Akhir Tahun dalam kaitannya dengan upaya transformasi menuju perubahan status dari STAIN ke IAIN. Acara ini dihadiri oleh seluruh pejabat baik structural maupun fungsional. Tentu saja hadir Ketua STAIN, Dr. Mohammad Qosim, dan para wakil ketua. Acara ini diselenggarakan di Hotel Syahid Surabaya.
Saya tentu bergembira dengan penyelenggaraan acara rakor ini, sebab tentu bisa menjadi ajang silaturrahmi bagi seluruh pejabat di STAIN pasca pemilihan ketua STAIN. Makanya, yang hadir adalah pejabat-pejabat baru yang diangkat untuk pengabdian pada tahun 2016-2020. Mumpung mereka baru menjabat, maka tentu saya berkewajiban untuk memberikan inspirasi di dalam kepemimpinan PTKIN yang ada di Madura ini.
Saya memberikan tiga masukan dalam acara di sini, yaitu: Pertama, perlunya membangun kekuatan akademik di dalam kerangka transformasi menuju ke IAIN. Harus disadari bahwa tugas pendidikan tinggi tentu adalah menguatkan dunia akademik yang unggul. Untuk kepentingan ini maka yang dibutuhkan adalah bagaimana agar PTKIN memiliki keunggulan akreditasi. Jika ada program studi yang bernilai C, maka agar segera diupayakan agar sesegera mungkin dilakukan evaluasi ulang dan kemudian diajukan untuk memperoleh nilai yang lebih baik.
Kita harus menunjukkan bahwa program studi yang kita kembangkan bisa memiliki pengakuan nasional sesuai dengan standart akreditasi dari BAN-PT. Hingga sekarang untuk mengetahui apakah PT itu maju dan berkualitas adalah melalui pengakuan BAN-PT. Kita bersyukur bahwa sudah ada beberapa PTKIN yang memperoleh nilai A dari BAN-PT, seperti UIN Jakarta, UIN Malang, UIN Yogyakarta dan terakhir IAIN Banjarmasin.
Program pembelajaran, riset, pengabdian masyarakat dan kapasitas akademik semua komponen harus terus meningkat. Harus diupayakan lahirnya inovasi pembelajaran, misalnya pembelajaran berbasis IT. Demikian pula jurnal akademik juga harus terwujud dan memperoleh pengakuan yang layak dari Kemenristekdikti atau LIPI. Semua visi harus ditujukan pada keinginan untuk mengembangkan program studi yang distingtif dan ekselen. Kita tidak boleh merasa puas dengan apa yang kita capai hari ini, akan tetapi terus berupaya agar kita mencapai yang terbaik.
Kedua, peningkatan kekuatan SDM. Tenaga pendidik dan kependidikan adalah kunci sukses sebuah PT. Jika di PT itu dihuni oleh orang-orang hebat sesuai dengan keahliannya, maka dipastikan bahwa PT itu akan diminati oleh masyarakat. Di dunia ini, perguruan tinggi terbaik, seperti Harvard University, Oxford University, MIT, dan beberapa yang lain itu menjadi PT hebat di dunia disebabkan oleh banyaknya dosen yang memperoleh penghargaan Nobel. Penghargaan ini menandai upaya terus menerus dari seorang dosen di dalam riset dan program pendidikannya.
Untuk berubah status di PTKIN, maka tantangannya ialah berapa banyak professor, doctor dan dosen yang memiliki karya-karya akademik yang outstanding. Di Kemen PAN dan RB, maka penilaian tentang kualifikasi dosen sangat dipentingkan. Makanya, banyaknya professor dan doctor menjadi ukuran utama untuk alih status. Kita tentu patut bergembira karena hasil evaluasi yang dilakukan oleh Men PAN dan RB dan Kemenag “selalu” menghasilkan peringkat yang sama. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil penilaian Kemenag dan Kemen PAN dan RB. Ini menandakan bahwa instrument yang kita gunakan memiliki validitas yang memadai.
Selain itu, para dosen juga harus menulis apakah dalam bentuk karya akademik murni ataukah karya akademik popular. Keduanya dibutuhkan sebagai pertanda bahwa kita ini ada. Saya selalu menjadikan pepatah “verba valent scripta manent” sebagai panduan. “Kita menulis maka kita ada.” Saya tentu mengapresiasi bahwa STAIN Pamekasan sudah memiliki dua jurnal terakreditasi. Ke depan harus semakin banyak jurnal yang terakreditasi, sehingga semakin banyak peluang dosen untuk mempublis hasil penelitian dan permenungannya tentang dunia akademik.
Ketiga, penguatan academic environment. Para civitas akademika harus menjadikan PT sebagai masyarakat akademis dan bukan masyarakat politis. Bukan yang dimaksud adalah menjadikan kampus “tabu” membicarakan mengenai politik, akan tetapi jangan jadikan kampus sebagai ajang untuk kontestasi politik. Tentu boleh ada faksi-faksi karena itu sangat manusiawi, akan tetapi jangan jadikan faksi-faksi itu sebagai ajang untuk saling berkonstestasi negative dan menghakimi.
Sebagai lingkungan akademis, maka PT harus mengembangkan nuansa untuk saling berdiskusi, meneliti dan mengembangkan kapabilitas akademik. Harus ada tradisi menulis yang kuat di PT. Bukan maksud saya untuk menyombongkan diri, akan tetapi hingga hari ini, saya masih rajin menulis meskipun hanya di blog saja. Tidak pernah saya bayangkan bahwa dari 1449 artikel yang saya tulis di blog itu, ternyata ada sebanyak 48.183 orang Amerika yang mengakses. Artikel saya itu dibaca oleh masyarakat di 37 negara di dunia dan sebanyak 568.854 halaman yang dibaca orang. Jika ada dosen yang menguasai ilmu al Qur’an dengan baik dan Ilmu tafsir dengan baik, maka betapa banyak tulisan yang bisa dihasilkan. Jika ada yang memiliki kebiasaan ceramah agama tiap hari dan kemudian dituliskan bahan-bahannya meskipun hanya satu halaman, maka akan didapatkan kekayaan akademik yang luar biasa.
PT harus mengembangkan hal-hal seperti ini agar kampus bisa menjadi lahan akademik yang ekselen. Jadi, kewajiban para pimpinan PT adalah menjadikan kampusnya sebagai medan akademik yang unggul dengan terus memberikan dukungan bagi SDM-nya untuk maju dan berbuat optimal untuk dunia pendidikan.
Untuk bisa alih status tersebut, berikan kami senjata akademiknya, sehingga di saat mendiskusikan kekuatan PTKIN yang akan alih status di Kementerian lain, kami dengan kepala tegak dan dada membusung untuk menyatakan kekuatannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
