ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI TENGAH KONTESTASI (3)
ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI TENGAH KONTESTASI (3)
Bagi Indonesia, memiliki organisasi semacam NU, Muhammadiyah, dan organisasi lain yang berwawasan wasathiyah tentu sangat menguntungkan. Melalui keberadaannya, maka jaminan untuk kelangsungan negeri ini dari berbagai perpecahan tentu akan bisa dihindarkan. Bukankah sudah terbukti bahwa organisasi ini yang menjadi penyangga terhadap pilar consensus kebangsaan dalam berbagai dinamikanya.
Secara historis telah dibuktikan bahwa melalui organisasi semacam NU dan Muhammadiyah, maka dukungan terhadap pemerintah tersebut berlangsung dengan indahnya melalui dinamika pemikiran dan aksinya yang sangat brillian di dalam mengekspressikan sikap dan tindakan kebangsaan. Suatu sikap yang sangat nyata di dalam memandang relasi agama dan negara yang bercorak simbiosis mutualisme. Agama membutuhkan negara di dalam ekpressi keagamaannya, dan negara memerlukan agama sebagai dasar pijak etikanya.
NU misalnya pernah menerima Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) yang pernah digagas oleh Presiden Soekarno sebagai pemikiran akomodatif terhadap pemerintahan yang secara realitas politik memang seperti itu. Di dalam kerangka menyelamatkan warga NU yang jumlahnya sangat banyak tentu harus dipikirkan bagaimana jalan menyelamatkannya. Di sisi lain, dengan menolak terhadap gagasan Nasakom berarti harus berada di luar, dan itu berarti tidak ada lagi control internal yang bisa dilakukan.
Namun di kala PKI membuat ulah dengan akan mengkomuniskan Indonesia, maka NU menjadi penyangga utama Pancasila, NKRI dan Islam. Suatu sikap yang saya kira berbanding terbalik dengan penerimaannya terhadap “komunisme” di dalam konsepsi Nasakom. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa NU sangat tegas di dalam pembelaannya terhadap Islam, NKRI dan Kebangsaan. Oleh banyak kalangan sikap seperti ini dianggap sebagai ambivalensi atau bahkan tidak konsisten, akan tetapi inilah pilihan terbaik yang dilakukan oleh pemimpin NU di dalam membaca realitas politik yang sedang terjadi.
NU juga pernah menjadi penyangga Pancasila dan pembela Pancasila yang luar biasa. Di saat semua organisasi keagamaan “menolak” terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik, keagamaan, kebudayaan dan sebagainya, maka NU menerimanya di dalam Mu’tamar di Situbondo, tahun 1984. Dan dengan cara begitu, hubungan NU dan pemerintah yang selama itu beku karena NU memilih sebagai organisasi politik berhadapan dengan Golkar yang menjadi artikulasi politik pemerintah.
Muhammadiyah juga menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan pembelaannya terhadap Pancasila, NKRI dan Islam. Memang Muhammadiyah mengambil cara yang berbeda dengan NU dalam artikulasi sosial politiknya. Muhammadiyah menggunakan konsepsi yang disebut sebagai high politics atau politik canggih di dalam artikulasi kepentingannya. Muhammadiyah tidak pernah terjun secara politis secara organisasional. Muhammadiyah lebih bergerak di bidang pendidikan, sosial dan kesehatan. Makanya, Muhammadiyah memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang sangat baik mulai dari Busthanul Athfal sampai perguruan tinggi. Semua berada di dalam satu komando sehingga memungkinkan mobilisasi dukungan terhadap gerakan Muhammadiyah di dalam praksis pendidikan. Lembaga kesehatannya juga menjadi alternative pilihan bahkan menjadi pilihan utama bagi masyarakat di dalam mengakses kesehatan, demikian pula di dalam pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi.
Muhammadiyah menempatkan orang-orangnya yang terbaik di dalam pemerintahan. Jadi, meskipun secara organisasional Muhammadiyah tidak menyatakan secara tegas mendukung Pancasila sebagai satu-satunya asas, akan tetapi secara personal mereka mendukungnya. Para pejabat yang berafiliasi kepada Muhammadiyah tentu seirama dengan pemerintah yang kala itu memang sedang giat-giatnya untuk menegakkan Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah menerapkan konsep “politik alokatif” untuk menjaga relasi dengan pemerintah di satu sisi dan masyarakat di sisi yang lain. Secara organisasional Muhammadiyah tidak menjadi organisasi politik, tetapi menempatkan kader-kader terbaiknya untuk duduk di birokrasi pemerintahan. Dengan demikian, Muhammadiyah secara organisasional dapat berkhidmat untuk umat melalui medium pendidikan, sosial dan kesehatan dan di sisi lain bisa menempatkan kader-kadernya untuk menempati pos-pos penting di dalam birokrasi.
Saya kira NU dan Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat baik di dalam dukungannya terhadap Islam, Pancasila dan NKRI. Dua cara yang berbeda, tetapi tetap berada di dalam satu visi, yaitu tegaknya Islam, Pancasila dan NKRI tersebut. Saya kira ini adalah dinamika dukungan yang luar biasa dari dua organisasi besar di Indonesia yang ke depan tentu akan tetap memainkan peran strategis di dalam menjaga pilar consensus kebangsaan.
Ke depan peran NU dan Muhammadiyah untuk memainkan high politics akan tetap diperlukan. Keduanya akan menjadi penyangga politik keislaman, kebangsaan dan kenegaraan dengan cara dan variasinya yang jitu dengan tetap mengedepankan satu visi Keislaman, Kebangsaan dan Kenegaraan. Organisasi lain yang hingga sekarang tetap mengedepankan Islam wasathiyah tentu juga akan dapat memainkan peranan yang seirama. Ibaratnya, permainan high politics organisasi Islam itu seperti pagelaran orchestra yang padu padan yang semua ingin menciptakan keharmonisan untuk Indonesia.
Dengan demikian, selama NU dan Muhammadiyah tetap memiliki visi yang sama dalam memandang relasi Islam, Pancasila dan NKRI, maka selama itu pula negara ini akan tetap berada di dalam jalur yang benar, on the track. Organisasi Islam wasathiyah akan berada di depan, tengah dan belakang negara untuk menjadi benteng yang kokoh.
Hanya saja yang menjadi penting juga dipikirkan adalah bagaimana negara harus hadir secara adil dalam bidang ekonomi, hukum, politik dan sebagainya, sehingga tidak membuat kekecewaan “mendalam” dari para penyangga negara seperti NU dan Muhammadiyah.
Wallahu a’lam bi al shawab.
