SIAPKAN PERENCANAAN TPG BERBASIS DATA
SIAPKAN PERENCANAAN TPG BERBASIS DATA
Hari Selasa, 20 Desember 2016, saya diminta oleh Pak Syihabuddin (Kepala Biro Keuangan dan BMN Kemenag) untuk memberi materi tentang “Kebijakan Perencanaan pada Penganggaaran Tunjangan Profesi Guru di Kementerian Agama”. Acara ini diselenggarakan di Hotel Cemara, Jakarta dengan dihadiri oleh para perencana di DKI, dan beberapa dari Jawa Barat. Saya ditemani oleh Pak Syihabuddin dan juga pejabat eselon 3 dan 4 pada Biro Keuangan dan BMN.
Acara ini tentu menarik sebab dilakukan di dalam kerangka untuk mencermati terhadap anggaran TPG yang selama ini memang selalu menyisakan masalah terutama di dalam serapannya. Hingga saat ini serapan anggaran TPG memang masih terkendala secara administrative.
Di dalam kesempatan ini, saya sampaikan tiga hal yang sangat penting, yaitu: pertama, tentang regulasi. Selama ini regulasi memang menjadi kendala untuk penyerapan anggaran. Masih ada sejumlah tafsir atas regulasi mengenai pembayaran TPG.
Tunjangan Profesi Guru diberikan sesungguhnya untuk memenuhi amanah Undang-Undang Sisdiknas, No. 20 Tahun 2003 dan juga Undang-Undang Guru dan Dosen, No. 14 Tahun 2005. Kedua undang-undang ini mengamanahkan agar para guru dan dosen diberikan tunjangan profesi sebagai konsekuensi guru dan dosen sebagai jabatan professional.
Kedua regulasi ini memang memihak kepada para guru dan dosen, sebab diindikasikan bahwa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan oleh rendahnya kesejahteraan guru dan dosen. Para guru dan dosen tidak terfokus pada program pembelajaran di dunia pendidikan sebab harus melakukan berbagai aktivitas untuk peningkatan kesejahteraannya. Kesejahteraan guru dan dosen sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan guru dan dosen di Malaysia.
Melalui pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen ini, maka para guru dan dosen diharapkan akan dapat berkonsentrasi di dalam program pendidikan sehingga kualitas pendidikan di Indonesia akan dapat mengejar posisi kualitas pendidikan di Negara-negara Asean lainnya, khususnya Singapura, Malaysia dan Thailand.
Namun demikian, masih terdapat kendala regulasi yang multi-interpretable. Yaitu mengenai kapan pembayaran TPG tersebut diberikan. Apakah setelah yang bersangkutan memperoleh kelulusan sertifikasinya ataukah setelah yang bersangkutan mendapatkan Nomor Registrasi Guru (NRG). Di sinilah persoalan yang memicu kelambatan pembayaran TPG.
Di Kemendikbud, sebagaimana yang kita ketahui, pembayaran TPG dapat diberikan tepat waktu, yaitu pada tahun berikutnya setelah yang bersangkutan mendapatkan NRG. Harap diketahui bahwa penerbitan NRG di Kemendikbud nyaris tidak pernah melampaui tahun kelulusan. Jika seorang guru lulus, misalnya tahun 2014, maka tahun 2014 pula NRG terbit dan tahun 2015 dapat dibayarkan TPG-nya.
Di Kemenag, memang agak sedikit berbeda. Banyak yang lulus tahun 2014 akan tetapi NRG-nya terbit di tahun berikutnya. Sehingga jika mengikuti regulasinya, maka pembayaran NRG akan dilakukan pada tahun setelah terbitnya NRG. Jadi, di Kemendikbud tepat waktu, sedangkan di Kemenag lompat waktu. Di dalam konteks ini, maka dibuatlah kebijakan agar terjadi “kesamaan” pembayaran yaitu penentuan pembayaran dilakukan berdasar atas tahun kelulusan. Jika misalnya guru lulus tahun 2014 dan NRG-nya terbit tahun 2015, maka TPG akan dibayarkan semenjak tahun 2015 dengan cara rapel setelah NRG-nya terbit. Problem ini yang kemudian membutuhkan “penyamaan” persepsi di antara Jnspektorat Jenderal, BPKP dan BPK. Akhirnya disepakati bahwa tahun 2016 merupakan tahun eksepsi bagi pembayaran TPG dengan pola pasca kelulusan dimaksud.
Kedua, masih ada problema perencanaan dan implementasi. Sebagaimana diketahui bahwa di era perencanaan berbasis kinerja ini, maka perencanaan dirumuskan setahun lebih awal, sehingga untuk pelaksanaan anggaran tahun 2017, maka perencanaan dilakukan semenjak Januari tahun 2016. Melalui system Pagu Indikatif, Pagu Sementara dan Pagu definitive. Dengan demikian, kita harus merumuskan perencanaan yang sangat akurat agar implementasi program dapat dilakukan secara lebih relevan dan tertib.
Namun demikian, yang menjadi problem utama adalah mengenai pendataan sebagai basis perencanaan. Saya melihat bahwa basis data perencanaan kita masih belum optimal. Untuk melihat belum optimalnya perencanaan itu dapat dilihat dari besarnya sisa serapan anggaran belanja pegawai yang di dalam dua tahun terakhir menyisakan angka yang cukup besar, demikian pula TPG yang juga belum terserap secara memadai. Penentuan besaran anggaran didasarkan atas pagu tahun sebelumnya, sehingga masih banyak yang belum relevan dengan kenyataan kebutuhan akan anggaran.
Yang tidak kalah menarik juga mengenai distribusi anggaran. Masih banyak daerah yang kekurangan anggaran, namun di tempat lain menyisakan anggaran yang cukup besar. Jadi ada problem distribusi yang masih menyisakan problem. Sebagai contoh untuk pembayaran belanja makan bagi pegawai di wilayah Kabupaten Kuningan kurang, sementara ada kelebihan anggaran belanja makan yang cukup besar. Jadi ketepatan perencanaan kita belum berbasis data yang akurat. Saya kira bukan tidak ada data yang bisa dijadikan sebagai rujukan, akan tetapi system perencanaan yang memang diperlukan untuk dibenahi.
Ketiga, untuk membenahi terhadap perencanaan yang masih kurang sesuai dengan kebutuhan ini, maka: (1) Biro Perencanaan telah memanggil seluruh kabag perencanaan di tingkat Kanwil agar menilai ulang terhadap distribusi dan besaran anggarannya. (2) Biro perencanaan harus mengembangkan system perencanaan melalui e-planning yang berbasis data akurat. Sesungguhnya melalui e-MPA dapat dikembangkan satu bagian yang penting yaitu mengenai e-planning ini. Tahun 2017 harus sudah diselesaikan perencanaan yang berbasis elektronik, sehingga akurasi program dan anggarannya akan dapat lebih relevan. (3) SDM Perencanaan harus memiliki kapasitas visioner. Sekarang di era perencanaan berbasis kinerja, maka SDM perencanaan harus betul-betul memahami apa yang akan dilakukan ke depan. Jadi bukan hanya copy paste terhadap apa yang dilakukan sebelumnya, akan tetapi bagaimana membuat terobosan baru di dalam perumusan perencanaan dan penganggarannya.
Jadi memang membutuhkan system yang baik dan juga SDM yang andal. System yang baik tentu tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh SDM yang hebat. Jadi keduanya diperlukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
