ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (1)
ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (1)
Hari Jum’at, 23/12/16 yang lalu, saya mengikuti shalat Jum’at di masjid Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) setelah mengikuti acara Pertemuan Koordinasi antar Menteri di bawah Kemenko PMK. Saya ditugaskan mewakili Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, sebab Beliau harus melakukan beberapa tugas yang tidak bisa diwakilkan.
Karena waktunya tidak memungkinkan untuk shalat Jumat di Masjid Istiqlal, sebagaimana kebiasaan saya, maka saya putuskan untuk shalat Jumat di sini. Bersama saya juga Pak Mendikbud, Prof. Dr. Muhajir Effendi dan Pak Menteri PUPERA, Pak Basuki Hadimulyo, yang bertepatan duduk di samping saya. Menjelang shalat Jum’at, Pak Menteri sempat mengungkapkan perasaannya, bahwa “khutbah seperti ini, seharusnya tidak dilakukan. Bagaimana khatib membicarakan agama lain, sedangkan kita menghakimi orang lain yang membicarakan agama kita.” Secara spontan saya nyatakan, bahwa “jika hadirinnya homogin, seperti ini, tidak ada loud speaker yang sampai ke masyarakat luas, saya kira masih bisa ditoleransi, akan tetapi kalau menggunakan pengeras suara dan didengarkan oleh penganut agama lain tentu bisa bermasalah.” Tentu ini jawaban sekenanya, akan tetapi saya kira untuk sementara bisa dipahami.
Sesungguhnya sekarang ini agak sulit memberikan label terhadap para da’i atau khatib bahwa mereka berasal dan berafiliasi ke organisasi apa. Jika di masa lalu, dengan mudah kita akan bisa mengidentifikasi seseorang berasal dari mana, misalnya dari atribut keagamaannya. Dari sisi outward looking, misalnya bisa kopyah, pakaian, atau asesori lainnya. Akan tetapi sekarang tentu kurang relevan, untuk tidak menyebut tidak relevan.
Jika saya analisis dari apa yang dibicarakan oleh khatib ini, maka dengan mudah kita bisa menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah Islam hard line. Sekurang-kurangnya adalah dengan label Muhammadiyah. Akan tetapi di saat membaca Surat Al Fatihah, dia menyuarakan lafadz Basmalah dengan suara keras. Orang Muhammadiyah membacanya bil sirri dan orang NU dengan bil jahri. Jadi rasanya bukan orang Muhammadiyah dan juga bukan orang NU.
Si Khatib membicarakan dengan fasih mengenai agama Nasrani, baik dari sisi theologinya, ajaran ritualnya dan aspek sosialnya. Misalnya diungkapkan bahwa tidak ada sebutan ketuhanan bagi Yesus Kristus di dalam Kitab Injil dan sebagainya. Sebagian besar khutbah ini berisi tentang bagaimana perbandingan antara Islam dan Nasrani.
Sebagai khutbah yang ditujukan untuk umat Islam dalam kerangka memperkuat aqidah Islam tentu bukan sebuah kesalahan. Sebagaimana yang saya nyatakan selama jamaahnya homogin dan hanya didengarkan oleh orang dalam satu tempat dan tidak menggunakan pengeras suara yang bisa didengarkan oleh umat agama lain, maka hal ini merupakan kebolehan. Ada pembenarannya.
Namun yang membuat saya tercenung di saat yang bersangkutan juga menyatakan bahwa “orang yang menjaga gereja saat Natal dan mengamankan penganut agama lain adalah orang munafiq,” tentu saya menjadi kaget. Tentu masih untung sebab tidak dinyatakan sebagai “kafir”. Namun demikian, bagi saya bahwa dewasa ini memang sedang berkembang dengan suburnya ungkapan-ungkapan yang melabel terhadap sebagian umat Islam dengan sebutan “munafiq, kafir” dan sebagainya yang disebut sebagai gerakan takfiri.
Mereka adalah sekelompok orang yang memperjuangkan Islam kaffah, Islam syumuliyah, khilafah dan sebagainya. Mereka berpandangan bahwa “la hukma illa lillah”. Hukum yang dibuat manusia bukanlah hukum yang harus dipatuhi, sebab yang bisa dipatuhi hanya hukum Allah semata. Semua regulasi produk manusia merupakan hukum yang hanya nisbi dan tidak perlu untuk dipatuhi. Makanya, di Indonesia juga harus diterapkan hukum Islam, sebab hanya dengan cara ini, maka negara ini akan mencapai derajad negara yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.
Saya kira ungkapan-ungkapan seperti ini bukan lagi signal. Bukan lagi wacana. Akan tetapi sudah menjadi gerakan. Bahkan masjid-masjid pemerintah pun sudah menjadi ajang bagi mereka untuk mengekspresikan keberagamaannya dalam konsepsi seperti itu. Tiada keraguan sedikitpun di antara mereka untuk menyuarakan aspirasinya di dalam mendirikan khilafah Islamiyah.
Saya juga membaca WA dari kawan-kawan Jamaah Asyrakal, yang menginformasikan bahwa di masjid Universitas Negeri Jakarta (UNJ), perguruan tinggi negeri yang akan melahirkan calon guru di Indonesia, ternyata juga khutbahnya sudah sampai akan mendirikan khilafah Islamiyah. Jadi, bukan lagi wacana tetapi gerakan yang terstruktur. Melalui masjid dan jamaah-jamaahnya.
Saya tentu bergembira dengan upaya untuk mengembangkan Islam dalam konteks agar umat Islam makin menjalankan ajaran agamanya secara benar, secara kaffah atau menyeluruh. Kaffah tentu dalam konteks menjalankan ajaran agama yang memberikan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Dilengkapkan aqidahnya dan dan komplit pengamalan agamanya.
Namun demikian, jika pemahaman agamanya sudah mengacu kepada upaya untuk membangun relasi agama dan negara yang integrated atau negara agama, maka saya kira harus ditata ulang. Kita semua sudah merasakan bagaimana para pendahulu membangun kebersamaan untuk menegakkan negeri ini. Upaya mereka sudah kita nikmati selama ini, sehingga bentuk eksperimen tentang negara ini sudah selayaknya tidak dilakukan.
Para ulama Islam di masa lalu sudah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk membangun “keindonesiaan” yang bisa bersatu padu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam bahasa Ketua STAIN Jayapura, Dr. Idrus al Hamid “NKRI Harga Mati.” Oleh karena itu, paham tentang khilafah dan sebagainya tentu bisa menjadi tantangan yang nyata di hadapan Islam Nusantara Berkemajuan.
Jadi, saya kira, seluruh komponen bangsa ini dengan dipandu oleh NU dan Muhammadiyah dan organisasi Islam lain yang sevisi dan semisi sudah selayaknya untuk mendorong agar perjuangan menegakkan Indonesia dengan consensus kebangsaan harus tetap dikedepankan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
