• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

LITERASI MEDIA DI ERA CYBER WAR

LITERASI MEDIA DI ERA CYBER WAR
Zaman kita sekarang disebut sebagai era cyber war, yaitu era di mana perang bukan lagi berciri khas fisikal tetapi perang melalui media elektronik. Teknologi informasi dijadikan sebagai media untuk melakukan peperangan. Memang korbannya bukan secara fisik manusia, akan tetapi kepribadian, ketidaktentraman, ketidaknyamanan yang di suatu kesempatan bisa berpengaruh terhadap fisikal manusia.
Jika di masa lalu peperangan itu bercorak satu melawan satu, orang per orang, maka kemudian dengan dtemukannya bubuk mesiu, maka peperangan menjadi lebih seru karena bisa terjadi jarak jauh. Saling tembak menembak, saling menghancurkan dengan daya ledakan yang lebih dahsyat. Kemudian dengan ditemukannya senjata kimia, maka perang juga menjadi medium penghancuran fisikal manusia dan seluruh kehidupan di dunia ini. Dengan senjata kimia maka pengaruhnya menjadi sangat massive dan merata.
Era sekarang, di tandai dengan perang media atau cyber war. Yaitu peperangan yang bertujuan untuk menghancurkan pikiran, meracuni kemanusiaan dan merusak harkat kemanusiaan. Di dalam cyber war, yang disasar bukannya fisik akan tetapi pikiran, sikap dan tindakan manusia. Makanya, di dalam cyber war yang terjadi adalah penghinaan, penistaan, penodaan, atau ujaran-ujaran kebencian dan pembunuhan karakter. hate speech and character assassination.
Di tengah semakin merebaknya penggunaan media komunikasi seperti face book, instagram, twitter, H5, Linkedin dan sebagainya, maka terjadi peningkatan hate speech dan character assassination ini. Media komunikasi yang seharusnya digunakan untuk kebaikan dan bahkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut akhirnya jatuh kepada perilaku yang merusak dan menghancurkan. Makanya di era seperti ini harus terdapat kecerdasan bermedia sosial agar masyarakat tidak jatuh kepada tindakan antipati. Kita semua menghendaki agar pemanfaatan media sosial dapat digunakan untuk kepentingan kebaikan dan bukan untuk kepentingan kejahatan atau kejelekan.
Penggunaan media sosial sudah tidak lagi melalui pembedaan desa atau kota, tua atau muda, guru atau siswa, dosen atau mahasiswa, kaum intelektual atau orang awam. Sebab media sosial sudah menjadi alat yang efektif untuk kepentingan membangun jejaring yang sangat massive. Bayangkan saja bahwa kita bisa membangun jejaring dengan seluruh masyarakat dalam aneka bangsa dan bahasa karena jejaring media sosial.
Ada tiga sikap di dalam menghadapi media sosial, yaitu: pertama, menerima seluruh message media sosial sebagai kebenaran. Jika seperti ini maka semua content media sosial yang diterima akan diteruskan atau dishare kepada sesama pengguna media sosial. Jadi di dalam banyak hal, bahwa apa yang diterima akan bisa dibagikan kepada siapapun yang menjadi anggotanya atau rekannya.
Kedua, menolak seluruh content media sosial, sehingga ada kecenderungan untuk menolak seluruh pemberitaan atau informasi dari media sosial. Dia tidak akan melakukan sharing kepada siapapun. Di dalam konteks ini, maka semua berita atau informasi yang sampai kepadanya dianggapnya sebagai kebohongan belaka. Jumlah yang seperti ini tentu sangat sedikit atau bahkan nyaris tidak ada. Ketiga, menerima pesan atau message media sosial secara kritis. Pilihan ketiga inilah yang saya kira penting untuk diperhatikan. Kita berharap bahwa perilaku ketiga ini yang ke depan bisa didorong untuk mendominasi informasi di media sosial. Cara ini merupakan cara cerdas di dalam bermedia sosial. Jadi tidak semuanya dianggap disinformasi akan tetapi juga tidak semua dianggap sebagai the correct information. Jadi harus dipilah dan dipilih mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat akan bisa dishare kepada sesama pengguna media sosial dan yang tidak bermanfaat harus dikeep sebagai informasi yang harus dibuang.
Kita sungguh memiliki perbedaan dibandingkan dengan binatang lainnya, karena kita diberi kekuatan untuk perilaku memilih. Makanya dengan kemampuan perilaku memilih tersebut, tentunya kita bisa menggunakan yang bermanfaat dan membuang yang tidak ada gunanya. Dengan demikian, secara konseptual manusia memiliki kemampuan yang sangat mendasar untuk memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Makanya, jika kita menerima informasi dari manapun datangnya, maka yang perlu diperhatikan adalah check and recheck terhadap informasi tersebut secara akurat dan lalu share yang dinyatakan relevan dan memiliki fakta yang akurat, dan buang yang ternyata tidak memiliki akurasi dan fakta yang benar. Dengan begitu, maka kita akan terhindar dari menyebarkan berita hoax yang menyesatkan.
Hal-hal inilah yang saya kira perlu untuk diperhatikan oleh seluruh jajaran ASN Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha. Dan hal ini yang saya sampaikan di dalam forum pertemuan sosialisasi dengan ASN Ditjen Bimbingan Masyarakat Buddha, Jum’at, 7/4/2017 di Jakarta.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBUDAYAKAN ZAKAT (2)

MEMBUDAYAKAN ZAKAT (2)
Di saat saya memperoleh kesempatan untuk memberikan presentasi di hadapan para pejabat di Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, di Jakarta, 30/03/ 2017, maka saya sampaikan beberapa hal yang saya anggap urgen. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya maka saya terus dihantui oleh perasaan, bagaimana membudayakan membayar zakat di kalangan umat Islam. Maka, saya sampaikan bahwa problem-problem perzakatan itu harus diuraikan dulu untuk diselesaikan sebelum dituntaskan pembudayaannya.
Kali ini saya ingin membahas mengenai program pentasarufan zakat bagi umat Islam. Sengaja di dalam tulisan ini saya menggambarkan mengenai pemanfaatan zakat, sebab satu hal pasti yang harus dilakukan oleh pengelola zakat ialah bagaimana memanfaatkan zakat untuk umat. Di dalam hal ini, maka saya menyampaikan ada tiga besaran program terkait dengan pemanfaatan zakat, yaitu:
Pertama, zakat untuk pendidikan. Di era sekarang, maka pembiayaan pendidikan tidak hanya melalui APBN akan tetapi juga melalui peran serta masyarakat dan dunia usaha. Pemanfaatan zakat untuk pendidikan tentu merupakan bagian tidak terpisahkan dari keinginan banyak pihak bahwa dana zakat dapat digunakan untuk penguatan pendidikan.
Pendidikan merupakan instrument penting di dalam penguatan SDM suatu negara. Jika pendidikannya berkualitas maka dipastikan bahwa SDM bangsa itu juga akan menjadi lebih baik. Sebagaimana diketahui bahwa sampai tahun 2019, maka Rencana Strategik Pemerintah di bidang pendidikan ialah perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Makanya, diharapkan bahwa zakat akan dapat menjadi salah satu kekuatan untuk membantu bagi perluasan akses dan pemerataan pendidikan ini. Seyogyanya dilakukan pemetaan oleh Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf dan juga BAZNAS untuk bersama-sama memetakan terhadap bagaimana peran dana zakat untuk pendidikan ini.
Di masa lalu terdapat “Program Satu Keluarga Satu Sarjana” yang dijadikan sebagai program unggulan BAZNAS. Lalu pertanyaannya, apakah kita sudah melakukan evaluasi terhadap program ini terutama dilihat dari sasarannya dan ketepatan kegiatannya. Yang tidak kalah penting juga bagaimana cakupannya. Saya khawatir bahwa program yang baik semacam ini kemudian tidak terevaluasi dari berbagai aspek yang dibutuhkan.
Kedua, pemberdayaan ekonomi umat. Diketahui bahwa jumlah orang miskin di Indonesia semakin banyak. Sebagai akibat dari problema ekonomi dunia, maka jumlah orang miskin cenderung meningkat meskipun tidak signifikan. Di Indonesia masih terdapat sebanyak 13,5 juta orang miskin, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka ini adalah orang yang tidak memiliki akses ekonomi. Mereka tidak memiliki asset yang dapat digunakan untuk pengembangan ekonominya. Makanya, mereka akan terus miskin di tengah perubahan-perubahan perekonomian dunia dan juga perekomian Indonesia.
Di dalam konteks ini, maka zakat harus memerankan sumbangannya secara signifikan dalam pengentasan ekonomi umat. Jangan sampai zakat hanya digunakan untuk pembayaran konsumtif saja, akan tetapi juga harus ada yang digunakan untuk kepentingan produktif. Saya tidak tahu kabar terakhir dari upaya pengentasan kemiskinan melalui zakat oleh masyarakat desa Putukrejo, Malang. Apakah terus berlangsung atau mengalami stagnansi dan bahkan kemunduran. Tetapi yang jelas bahwa cerita keberhasilan pemberdayaan zakat di tempat ini sudah menghasilkan tesis dan disertasi yang baik.
Alangkah baiknya jika Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf bersama BAZNAS melakukan berbagai inovasi program unggulan yang terkait dengan pemanfaatan zakat produktif. Saya menjadi teringat dengan upaya Bank Mandiri untuk membantu para mahasiswa yang memiliki talenta baik di dalam kewirausahaan, lalu mereka diberikan voucher jika proposal usahanya memiliki tingkat prospectus yang baik. Jadi, terhadap mereka yang sungguh-sungguh ingin berwirausaha maka akan diberikan bantuan yang memadai sesuai dengan kapasitas usaha yang akan dikembangkannya. Tidak hanya diberi bantuan permodalan akan tetapi juga diberi pendampingan dan pengarahan. Saya kira penting ke depan, BAZNAS memiliki tim yang kuat untuk melakukan pendampingan ekonomi umat ini, agar peran zakat untuk umat semakin menunjukkan keberhasilannya.
Ketiga, yang penting juga zakat untuk kesehatan umat. Warga miskin memang sudah terjangkau dengan BPJPS kesehatan. Artinya, bahwa mereka sudah memiliki akses untuk sehat. Tetapi yang tidak kalah penting adalah bagaimana menjaga agar masyarakat sehat. Di sinilah saya kira peran BAZNAS di dalam mengembangkan kesehatan umat tersebut. Jadi, bukan pada tataran memberikan insentif bagi umat untuk berobat ke Rumah Sakit, tetapi menjaga agar mereka bisa menjaga kesehatannya. Pengembangan warung kesehatan, agen kesehatan dan sebagainya dengan upaya-upaya preventif di di bidang kesehatan tentu bisa dilakukan.
Jika tiga aspek ini bisa dilakukan oleh pentasarufan zakat bagi umat, maka secara langsung atau tidak langsung, BAZNAS dan Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf sudah terlibat di dalam penguatan SDM di Indonesia. Harus diiingat bahwa tiga variabel, yaitu: pendidikan, ekonomi dan kesehatan adalah tiga variabel penting di dalam peningkatan kualitas SDM.
Jadi, dana zakat akan bisa dijadikan sebagai instrument untuk ikut serta di dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia di tengah kompetisi antar bangsa yang semakin kuat. Dan seharusnya kita bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBUDAYAKAN ZAKAT (1)

MEMBUDAYAKAN ZAKAT (1)
Salah satu di antara tugas penting Kementerian Agama ialah membudayakan pengamalan zakat di kalangan masyarakat. Tugas ini tentu sangat urgen mengingat bahwa zakat memiliki peran strategis di dalam kehidupan umat Islam. Sebagai pilar ajaran di dalam Islam tentu zakat memiliki peran strategis bagi kehidupan umat Islam.
Di dalam kerangka pembudayaan zakat tersebut, maka yang sungguh-sungguh perlu untuk diperhatikan adalah tidak hanya mengenai pembayaran zakat akan tetapi juga tentang pemanfaatan zakat. Sebagaimana diketahui bahwa potensi zakat di Indonesia sungguh-sungguh sangat fantastis. Berdasarkan beberapa analisis, maka potensi zakat itu berkisar pada angka 217 trilyun. Angka yang cukup besar sebagai modal ekonomi umat. Besaran angka potensi zakat ini belum diimbangi dengan pembayaran zakat, sebab berdasarkan data Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf untuk tahun 2016 barulah pada angka 5,8 Trilyun saja. Makanya, masih jauh pasak daripada tiang.
Kita sudah memiliki perangkat structural atau kelembagaan yang memadai. Didapati Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama dan juga Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang memiliki organ sampai ke daerah-daerah. Namun demikian efektivitas institusi ini belum optimal. Masih banyak kendala di dalam pengumpulan zakat yang hingga sekarang belumlah bisa diuraikan dengan jelas.
Oleh karena itu tentu harus dipetakan masalah-masalah yang dihadapi oleh BAZNAS dan LAZ di dalam kerangka untuk memahami secara mendasar tentang problem pembayaran zakat ini. Pertama, problem kelembagaan dalam hubungannya dengan pemerintah khususnya Kementerian Keuangan. Meskipun secara jelas digambarkan bahwa pembayaran zakat dapat menjadi instrument bagi pengurangan pajak, tetapi hingga sekarang pemerintah nampaknya enggan untuk melepaskan otoritasnya pada urusan zakat. Makanya, upaya untuk menjadikan zakat sebagai instrument pengurangan pajak rasanya jalan di tempat atau mengalami stagnansi. Jadi, para muzakki terutama kaum pengusaha lalu harus menggunakan dua instrument untuk zakat dan pajak. Seandainya, upaya mengoptimalkan zakat tersebut didampingi dengan instrument pengurangan pajak, maka akan didapati semakin menguatnya upaya orang untuk membayar zakat.
Kedua, kendala belum optimalnya penekanan zakat melalui instansi-instansi pemerintah. Hingga hari ini masih didapati keluhan banyaknya lembaga pemerintah yang belum memiliki Unit Pengumpulan Zakat (UPZ). Makanya, penguatan ke arah penguatan zakat di kalangan instansi pemerintah sepertinya harus makin ditingkatkan. Upaya Presiden Jokowi untuk membayar zakat melalui BAZNAS juga belum diikuti oleh institusi pemerintah untuk mendirikan UPZ dan memerankan SDM yang kuat untuk pembayaran zakat.
Ketiga, kesadaran masyarakat membayar zakat juga belum optimal. Di dalam banyak hal, maka masyarakat masih cenderung untuk membayar zakat bukan pada lembaga resmi zakat, misalnya BAZNAS dan LAZ, akan tetapi membayar kepada masing-masing orang yang diinginkannya. Mungkin bukan karena tidak percaya kepada BAZNAS atau LAZ, akan tetapi sekedar ingin lebih mudah dan simple saja. Masih ada anggapan bahwa yang penting mengeluarkan zakat di manapun dan kepada siapapun. Jadi belum ada kekuatan yang mengharuskan membayar zakat pada lembaga resmi perzakatan. Jadi sebenarnya angka yang didapatkan oleh BAZNAS itu masih angka yang tercatat padanya saja dan belum menggambarkan besaran angka perolehan zakat. Meskipun demikian kiranya jumlah yang membayar zakat dengan caranya sendiri ini juga tidak signifkan jumlahnya.
Di dalam konteks seperti ini, maka program pemberdayaan zakat melalui mekanisme pembudayaan zakat menjadi penting maknanya. Presiden Jokowi telah memberinya contoh, artinya bahwa presiden ingin agar apa yang dilakukannya menjadi contoh bagi masyarakat di dalam membayar zakat. Jika seperti itu yang dilakukan oleh pemimpin negara, sementara rakyatnya belum mengikutinya tentu lalu ada masalah yang dihadapi. Jadi tidak hanya percontohan melakukannya, akan tetapi juga diperlukan upaya untuk mencari solusi bagi hambatannya.
Makanya, hambatan structural menjadikan zakat sebagai instrument pengurangan zakat dan juga kendala ketidakberpihakan instansi pemerintah untuk menindaklanjuti UU Zakat, kiranya harus dicarikan solusinya. Jika kedua hal ini tidak dibuka, maka upaya percontohan oleh siapapun tidak akan menggerakan masyarakat untuk membayar zakat.
Gerakan Pembudayaan Zakat atau GEMAR ZAKAT atau Gerakan Masyarakat Membayar Zakat hanya akan berdampak pada perubahan perilaku jika variabel penghambatnya bisa diatasi. Constrain ini yang kiranya perlu untuk dikaji dan dianalisis untuk menghasilkan rencana aksi bagi pembudayaan zakat.
Jadi, semua upaya untuk menggerakkan masyarakat membayar zakat akan sia-sia jika kendala dan hambatan pembayaran zakat tersebut tidak dibuka. Dengan demikian, BAZNAZ dan Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk meyakinkan pemerintah agar zakat dapat digerakkan lebih kuat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMPERKUAT KINERJA DENGAN SPIRITUAL INTELLIGENT (3)

MEMPERKUAT KINERJA DENGAN SPIRITUAL INTELLIGENT (3)
Potensi lain yang terkait dengan spiritualitas kerja ialah kerja itu ibadah. Seseorang yang melakukan pekerjaan yang baik dan benar hakikatnya ialah ibadah. Maka siapapun juga yang bekerja dengan baik dan benar yang diniatkan sebagai amalan ibadah kepada Allah, maka pekerjaan yang dilakukan itu hakikatnya adalah ibadah kepada Allah. Jadi kerja tidak hanya untuk memperoleh keuntungan duniawi tetapi juga untuk memperoleh keuntungan secara ukhrawi.
Semua agama memiliki konsepsi bahwa bekerja adalah ibadah kepada Tuhan. Secara khusus Islam mengajarkan bahwa bekerja dan beribadah adalah dua entitas yang hakikatnya sama, yaitu sebagai instrument untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di dalam sebuah sunnah diceritakan bahwa sahabat Nabi Muhammad saw itu memiliki lakon beribadah bermacam-macam. Salah satunya ialah Sahabat Salman al Farisi, yang di dalam kehidupannya hanya melakukan ibadah dan ibadah saja, sehingga keluarganya pun ditinggalkannya. Maka di kala bertemu Nabi Muhammad saw., maka Salman diingatkan bahwa semua memiliki hak, dan yang tidak boleh dilupakan ialah hak keluarga. Maka menunaikan hak kepada keluarga merupakan kewajiban yang sama nilainya dengan hak untuk melakukan ibadah. Semua hak itu jika dilakukan dengan benar, maka menunaikan hak itu sama dengan ibadah kepada Allah.
Prinsip lainnya ialah saling menolong. Agama apapun tentu mengajarkan agar sesama manusia selalu melakukan prinsip saling menolong. Begitu pentingnya saling tolong menolong itu, maka Islam misalnya mengajarkan agar manusia saling memberi pertolongan dalam kebaikan. Bekerja tentu mengandung prinsp kebaikan, maka di kala kita bekerja dan dipastikan di dalam bekerja tersebut terdapat banyak orang atau ada orang lain, maka yang diutamakan ialah saling menolong. Hakikat bekerja adalah saling menolong tersebut. Allah memberikan kemampuan yang berbeda-beda antara satu manusia dengan lainnya, tentu untuk menjawab mengapa manusia harus saling menolong. Dengan kemampuan yang berbeda-beda tersebut, maka Allah sepertinya memberikan peluang dan potensi untuk saling membantu dan menerima bantuan. Dengan memahami kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap individu, maka akan memunculkan sikap toleran, terbuka dan saling menghargai.
Institusi, birokrasi, negara, pemerintahan dan semua hal yang dikaitkan dengan pengelompokan sejumlah orang, maka dipastikan akan terdapat pembagian kewenangan dan tanggungjawab. Di dalam kewenangan dan tanggungjawab tentu dipastikan akan terjadi proses saling menerima dan memberi. Hal ini merupakan sunnah Allah yang dipastikan terjadinya. Hanya saja bahwa pembagian kewenangan dan tanggungjawab itu tentu terdapat mekanisme yang disepakati bersama. Namun demikian, semua ini adalah prinsip saling menolong. Jadi jika ada manusia yang egois dan merasa paling hebat, maka di dalam dirinya dipastikan tidak terdapat kecerdasan spiritual itu.
Inti agama di dalam relasi dengan lainnya adalah nasehat. Agama adalah nasehat. Di dalam konteks ini, maka agar terjadi tindakan saling tolong menolong, maka haruslah digunakan nasehat sebagai pola hubungan antar manusia. Inti dari nasehat ialah bertutur kata dengan lembut dan mengena. Memasukkan kata-kata itu tidak hanya di dalam kesadaran intelektual, akan tetapi juga kesadaran emosional. Misalnya, di kala menghadapi situasi sulit karena ada kesalahan fatal yang dilakukan oleh seseorang, maka upayakan jangan marah di sembarang tempat. Jika ada orang yang marah, maka janganlah kita terlibat dengan kemarahan itu. Upayakan agar nalar intelektual dan emosional kita tetap berjalan seirama. Semarah apapun jika seseorang tidak menanggapi dengan kemarahan tentu dapat dipastikan bahwa kemarahan tersebut akan menjadi reda.
Di dalam filsafat tentang alam, bahwa air dan api adalah dua entitas alam yang bisa dijadikan sebagai pedoman di dalam relasi antar kemanusiaan. Api memiliki sifat untuk menghanguskan, meniadakan atau menihilkan dan menghancurkan. Daya hancur atau hangusnya tentu luar biasa. Akan tetapi api sesungguhnya bisa menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Melalui api manusia dapat menghangatkan sesuatu yang dingin dan bahkan mematangkan barang yang mentah, seperi daging, air, bahan-bahan makanan dan sebagainya. Jadi, api dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia jika digunakan dengan cara-cara yang benar. Tetapi api akan menyebabkan malapetaka jika besar dan tidak terkendali. Air sebaliknya juga begitu. Air adalah sumber kehidupan. Di mana ada air maka di situ akan terdapat kehidupan. Air dapat digunakan untuk menghidupi kehidupan. Akan tetapi air yang besar dan tidak terkendali akan menyebabkan malapetaka. Maka air juga harus dimanej agar berguna bagi manusia. Watak air dan api memang berbeda, tetapi keduanya suatu ketika akan bermanfaat dan sekali waktu memberikan madarat.
Jika air bersifat mendinginkan, maka api bersifat menghangatkan atau memanaskan. Terkait dengan sifat manusia, maka di kala ada yang panas, maka harus ada yang dingin. Makanya, jika ada seseorang yang marah sebagaimana sifat api, maka harus ada lainnya yang mendinginkan sebagaimana sifat air. Dengan demikian, maka kemarahan akan bisa diselesaikan dengan mendinginkannya. Itulah sebabnya, Rasulullah meminta kita untuk mengambil wudlu di kala marah, sebab dengan berwudlu maka peluang untuk sadar dari kemarahan akan semakin besar.
Selain itu, agar kita bisa ikhlas, menolong dan bersabar adalah dengan meletakkan semua hal yang kita alami sebagai ketentuan Tuhan. Ada kepastian Tuhan yang akan berlaku bagi diri kita. Kesadaran ini yang kiranya akan menjadikan kita akan menerima semua kehidupan diri dan juga orang lain di dalam kerangka bagian dari perjalanan hidup yang mesti kita lakukan.
Di sinilah letak dari kecerdasan spiritual itu. Semakin tinggi tingkat keikhlasan, kerelaan dan kemauan kita untuk menolong dalam kebaikan, maka semakin besar peluang kita untuk menjadi insan kamil. Manusia sempurna itu adalah manusia yang berupaya untuk mencapai kebahagiaan di dunia secara optimal dan juga berusaha mencapai kebaikan untuk akherat secara optimal. Jadi tidak bisa hanya salah satu saja yang tercapai.
Wallahu a’lam bi al shawab.

DARURAT INTOLERANSI: FIKSI ATAU REALITAS

DARURAT INTOLERANSI: FIKSI ATAU REALITAS
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan presentasi pada acara yang digelar oleh para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam acara memperingati Milad IMM ke 54 di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, di Jakarta, 21 Maret 2017.
Acara ini diikuti oleh segenap mahasiswa program strata satu dan dua dan juga sejumlah dosen dan aktivis mahasiswa. Di antara yang menjadi panelis adalah Dr. KH. Marsudi Syuhud (PBNU), Dr. Makmun Murod (Dir. PPs UNJ), Ustadz Misbahul Ulum (FPI), Prof. Nur Syam (Sekjen Kemenag), Suhadi Sanjaya (NSI-Buddha) dan Jerry Sumampau (PGI). Sayangnya bahwa saya tidak bisa hadir di acara ini sampai tuntas karena harus hadir pada acara Sosialisasi beberapa Keputusan DSN-MUI di Wisma Antara. Jadi setelah selesai presentasi lalu meninggalkan acara ini.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas tersebut, saya sempat menyampaikan tiga hal penting, yaitu: pertama, konsep radikalisme atau fundamentalisme sering tidak tepat digunakan untuk menjelaskan mengenai beberapa aksi kekerasan atas nama apapun, termasuk tindakan anarkhis yang menggunakan agama. Fundamentalisme atau radikalisme masih memiliki konotasi positif, jika dikaitkan dengan makna dasarnya. Makanya, yang lebih tepat sebenarnya adalah konsep ekstrimisme atau terorisme. Dua istilah ini memang memiliki konotasi negative dalam kaitannya dengan gerakan atau tindakan menggunakan isme-isme untuk melakukan kekerasan. Oleh karena itu istilah deradikalisasi, misalnya juga sering bisa dimaknai sebagai upaya untuk mendegradasi makna agama di dalam kehidupan ini. Maka yang sesungguhnya lebih tepat digunakan adalah deekstrimisasi agama atau moderasi agama. Bertindak dari ekstrim ke moderat.
Kedua, tindakan esktrim atau terror juga akan terus terjadi jika factor penyebabnya tidak dieliminasi. Selama factor pemicu tersebut masih terdapat secara nyata di dalam relasi negara dan masyarakat, selama itu pula ekstrimisme atau terorisme juga akan terus terjadi. Misalnya tentang double standart negara-negara Barat dalam memandang relasinya dengan negara-negara di Timur Tengah, khususnya Palestina. Beda perlakuan Barat terhadap Israel dan Palestina. Jika terhadap Palestina dianggap tindakan melakukan kekerasan itu sebagai terror, sedangkan kepada Israel tindakan kekerasan dianggap sebagai membela diri dan masyarakat Israel. State terrorism yang dilakukan oleh Israel tidak dianggap sebagai tindakan terror tetapi dianggap sebagai yang lain. Double standard atau double speak ini yang akan menjadikan mengapa tindakan ekstrim dan terror itu akan terus terjadi.
Selain itu, juga factor keadilan. Selama keadilan belum menjadi arah baru bagi relasi negara dan masyarakat, maka selama itu pula juga akan terjadi kekerasan. Ketidakadilan hukum, sosial, ekonomi dan sebagainya juga menjadi pemicu terhadap peluang melakukan kekerasan. Penegakan hukum yang masih compang-camping di banyak negara akan menjadi penyebab mengapa terror itu muncul. Demikian pula pada ketidakadilan ekonomi atau kesejahteraan. Selama kesenjangan ekonomi terus menganga maka selama itu pula akan terjadi kekerasan atas nama apapun. Sebagaimana yang dikemukaan oleh Stigliez, bahwa di mana-mana di hampir semua negara, bahwa satu persen orang terkaya menguasai mayoritas sumber daya ekonomi dan lainnya. Jika ketidakadilan ini terus berlangsung itu sama artinya dengan memberikan peluang terjadinya ekstrimisme dan terorisme untuk hidup dan berkembang. Makanya, negara harus berjuang ekstra keras agar ketidakadilan ini bisa dieliminasi secara memadai, sehingga peluang untuk melakukan tindakan kekerasan tersebut bisa dihapuskan atau sekurang-kurangnya diminimalisasikan.
Factor yang juga tidak boleh dianggap remeh adalah tentang semakin berkembangnya paham dan praksis keagamaan yang diimpor dari tempat lain, yang di dalam banyak hal lalu berbeda dengan paham keagamaan yang telah menjadi arus utama di negeri ini. Paham tentang khilafah, keinginan mengganti Pancasila dengan ideology bangsa lainnya dan juga persebaran informasi yang cenderung manjadi hate speech tentu semakin memperkokoh prejudice antara satu kelompok atas kelompok lainnya. Di era cyber war seperti itu, maka akan terjadi disinformasi yang bisa membuat relasi sosial menjadi renggang dan saling berkontestasi.
Ketiga, lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita semua, khususnya organisasi kemahasiswaan di dalam menanggulangi terhadap gerakan-gerakan ekstrimisme, terorisme dan juga intoleransi. Sebelum saya membahas secara ringkas, saya ingin menyatakan bahwa intoleransi itu sesungguhnya bukan hanya wacana akan tetapi sudah merupakan realitas. Berbagai survey yang dilakukan oleh lembaga survey tentang gerakan intoleransi, maka dapat dketahui bahwa kecenderungan untuk melakukan kekerasan itu sudah sangat mengedepan. Demikian pula kalau kita melihat kenyataan terjadinya upaya kekerasan, misalnya di Medan, Solo, dan yang terakhir di Bandung, maka siapapun akan menyatakan bahwa tindakan intoleransi itu bukan hanya sekedar fiksi akan tetapi realitas.
Gerakan ekstrimisme, terorisme dan intoleransi itu juga bisa dilihat atas dasar perkembangannya. Jika di masa lalu, yang terlibat di dalam tindakan intoleran itu adalah rata-rata usia di atas 30 tahun, mereka kebanyakan adalah orang miskin dan putus asa karena keterpinggirannya, hanya dikaitkan dengan lelaki, dan hanya di daerah tertentu, maka sekarang sudah berbeda. Anak-anak selevel pendidikan menengah atas sudah punya kecenderungan untuk menjadi ekstrimisme dan teroris. Hasil penelitian PPIM, Wahid Institut dan Setara Institut memberikan gambaran tentang hal ini. Jadi, dari sisi usia semakin muda, banyak juga dari kaum terpelajar, sudah menggunakan wanita sebagai instrument gerakannya dan juga menyebar di wilayah-wilayah seluruh Indonesia. Jika di masa lalu hanya dikaitkan dengan Poso dan Ambon, maka sekarang sudah menyebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai generasi muda tentu harus berpikir ulang tentang bagaimana melakukan gerakan moderasi agama itu. Makanya, generasi muda yang tergabung dalam organisasi ekstra mahasiswa, seperti IMM, PMII, HMI dan sebagainya sudah seharusnya bergandeng tangan untuk menyatukan visi dan misi Keislaman, Kemoderenan dan Keindonesiaan. Kita sudah memiliki konsep dan aplikasinya tentang penguatan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, ukhuwah basyariyah yang kiranya bisa menjadi pedoman untuk merajut kebersamaan di dalam mengembangan agama yang wasathiyah, agama yang memberi rahmat kepada siapa saja.
Bagi saya, pada generasi mudalah semua tumpuan tentang nasib Islam dan Keindonesiaan itu diharapkan. Jika para pemudanya memiliki paham dan tindakan yang sama untuk tetap mempertahankan empat pilar kebangsaan, yaitu menegakkan Pancasila, mempertahankan UUD 1945, menegakkan NKRI dan mengembangkan kebinekaan, maka ke depan Indonesia akan tetap jaya. Tahun 2045 akan menjadi tahun keberhasilan bangsa Idonesia jika para pemuda sekarang memiliki pemahaman, sikap dan perilaku yang mengedepankan terciptanya keseimbangan antara Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan.
Saya yakin bahwa para pemuda yang tergabung di dalam organisasi ekstra kemahasiswaan akan dapat memerankan peran strategis bangsa ini, sekarang dan yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.