LITERASI MEDIA DI ERA CYBER WAR
LITERASI MEDIA DI ERA CYBER WAR
Zaman kita sekarang disebut sebagai era cyber war, yaitu era di mana perang bukan lagi berciri khas fisikal tetapi perang melalui media elektronik. Teknologi informasi dijadikan sebagai media untuk melakukan peperangan. Memang korbannya bukan secara fisik manusia, akan tetapi kepribadian, ketidaktentraman, ketidaknyamanan yang di suatu kesempatan bisa berpengaruh terhadap fisikal manusia.
Jika di masa lalu peperangan itu bercorak satu melawan satu, orang per orang, maka kemudian dengan dtemukannya bubuk mesiu, maka peperangan menjadi lebih seru karena bisa terjadi jarak jauh. Saling tembak menembak, saling menghancurkan dengan daya ledakan yang lebih dahsyat. Kemudian dengan ditemukannya senjata kimia, maka perang juga menjadi medium penghancuran fisikal manusia dan seluruh kehidupan di dunia ini. Dengan senjata kimia maka pengaruhnya menjadi sangat massive dan merata.
Era sekarang, di tandai dengan perang media atau cyber war. Yaitu peperangan yang bertujuan untuk menghancurkan pikiran, meracuni kemanusiaan dan merusak harkat kemanusiaan. Di dalam cyber war, yang disasar bukannya fisik akan tetapi pikiran, sikap dan tindakan manusia. Makanya, di dalam cyber war yang terjadi adalah penghinaan, penistaan, penodaan, atau ujaran-ujaran kebencian dan pembunuhan karakter. hate speech and character assassination.
Di tengah semakin merebaknya penggunaan media komunikasi seperti face book, instagram, twitter, H5, Linkedin dan sebagainya, maka terjadi peningkatan hate speech dan character assassination ini. Media komunikasi yang seharusnya digunakan untuk kebaikan dan bahkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut akhirnya jatuh kepada perilaku yang merusak dan menghancurkan. Makanya di era seperti ini harus terdapat kecerdasan bermedia sosial agar masyarakat tidak jatuh kepada tindakan antipati. Kita semua menghendaki agar pemanfaatan media sosial dapat digunakan untuk kepentingan kebaikan dan bukan untuk kepentingan kejahatan atau kejelekan.
Penggunaan media sosial sudah tidak lagi melalui pembedaan desa atau kota, tua atau muda, guru atau siswa, dosen atau mahasiswa, kaum intelektual atau orang awam. Sebab media sosial sudah menjadi alat yang efektif untuk kepentingan membangun jejaring yang sangat massive. Bayangkan saja bahwa kita bisa membangun jejaring dengan seluruh masyarakat dalam aneka bangsa dan bahasa karena jejaring media sosial.
Ada tiga sikap di dalam menghadapi media sosial, yaitu: pertama, menerima seluruh message media sosial sebagai kebenaran. Jika seperti ini maka semua content media sosial yang diterima akan diteruskan atau dishare kepada sesama pengguna media sosial. Jadi di dalam banyak hal, bahwa apa yang diterima akan bisa dibagikan kepada siapapun yang menjadi anggotanya atau rekannya.
Kedua, menolak seluruh content media sosial, sehingga ada kecenderungan untuk menolak seluruh pemberitaan atau informasi dari media sosial. Dia tidak akan melakukan sharing kepada siapapun. Di dalam konteks ini, maka semua berita atau informasi yang sampai kepadanya dianggapnya sebagai kebohongan belaka. Jumlah yang seperti ini tentu sangat sedikit atau bahkan nyaris tidak ada. Ketiga, menerima pesan atau message media sosial secara kritis. Pilihan ketiga inilah yang saya kira penting untuk diperhatikan. Kita berharap bahwa perilaku ketiga ini yang ke depan bisa didorong untuk mendominasi informasi di media sosial. Cara ini merupakan cara cerdas di dalam bermedia sosial. Jadi tidak semuanya dianggap disinformasi akan tetapi juga tidak semua dianggap sebagai the correct information. Jadi harus dipilah dan dipilih mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat akan bisa dishare kepada sesama pengguna media sosial dan yang tidak bermanfaat harus dikeep sebagai informasi yang harus dibuang.
Kita sungguh memiliki perbedaan dibandingkan dengan binatang lainnya, karena kita diberi kekuatan untuk perilaku memilih. Makanya dengan kemampuan perilaku memilih tersebut, tentunya kita bisa menggunakan yang bermanfaat dan membuang yang tidak ada gunanya. Dengan demikian, secara konseptual manusia memiliki kemampuan yang sangat mendasar untuk memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Makanya, jika kita menerima informasi dari manapun datangnya, maka yang perlu diperhatikan adalah check and recheck terhadap informasi tersebut secara akurat dan lalu share yang dinyatakan relevan dan memiliki fakta yang akurat, dan buang yang ternyata tidak memiliki akurasi dan fakta yang benar. Dengan begitu, maka kita akan terhindar dari menyebarkan berita hoax yang menyesatkan.
Hal-hal inilah yang saya kira perlu untuk diperhatikan oleh seluruh jajaran ASN Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha. Dan hal ini yang saya sampaikan di dalam forum pertemuan sosialisasi dengan ASN Ditjen Bimbingan Masyarakat Buddha, Jum’at, 7/4/2017 di Jakarta.
Wallahu a’lam bi al shawab.
