DARURAT INTOLERANSI: FIKSI ATAU REALITAS
DARURAT INTOLERANSI: FIKSI ATAU REALITAS
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan presentasi pada acara yang digelar oleh para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam acara memperingati Milad IMM ke 54 di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, di Jakarta, 21 Maret 2017.
Acara ini diikuti oleh segenap mahasiswa program strata satu dan dua dan juga sejumlah dosen dan aktivis mahasiswa. Di antara yang menjadi panelis adalah Dr. KH. Marsudi Syuhud (PBNU), Dr. Makmun Murod (Dir. PPs UNJ), Ustadz Misbahul Ulum (FPI), Prof. Nur Syam (Sekjen Kemenag), Suhadi Sanjaya (NSI-Buddha) dan Jerry Sumampau (PGI). Sayangnya bahwa saya tidak bisa hadir di acara ini sampai tuntas karena harus hadir pada acara Sosialisasi beberapa Keputusan DSN-MUI di Wisma Antara. Jadi setelah selesai presentasi lalu meninggalkan acara ini.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas tersebut, saya sempat menyampaikan tiga hal penting, yaitu: pertama, konsep radikalisme atau fundamentalisme sering tidak tepat digunakan untuk menjelaskan mengenai beberapa aksi kekerasan atas nama apapun, termasuk tindakan anarkhis yang menggunakan agama. Fundamentalisme atau radikalisme masih memiliki konotasi positif, jika dikaitkan dengan makna dasarnya. Makanya, yang lebih tepat sebenarnya adalah konsep ekstrimisme atau terorisme. Dua istilah ini memang memiliki konotasi negative dalam kaitannya dengan gerakan atau tindakan menggunakan isme-isme untuk melakukan kekerasan. Oleh karena itu istilah deradikalisasi, misalnya juga sering bisa dimaknai sebagai upaya untuk mendegradasi makna agama di dalam kehidupan ini. Maka yang sesungguhnya lebih tepat digunakan adalah deekstrimisasi agama atau moderasi agama. Bertindak dari ekstrim ke moderat.
Kedua, tindakan esktrim atau terror juga akan terus terjadi jika factor penyebabnya tidak dieliminasi. Selama factor pemicu tersebut masih terdapat secara nyata di dalam relasi negara dan masyarakat, selama itu pula ekstrimisme atau terorisme juga akan terus terjadi. Misalnya tentang double standart negara-negara Barat dalam memandang relasinya dengan negara-negara di Timur Tengah, khususnya Palestina. Beda perlakuan Barat terhadap Israel dan Palestina. Jika terhadap Palestina dianggap tindakan melakukan kekerasan itu sebagai terror, sedangkan kepada Israel tindakan kekerasan dianggap sebagai membela diri dan masyarakat Israel. State terrorism yang dilakukan oleh Israel tidak dianggap sebagai tindakan terror tetapi dianggap sebagai yang lain. Double standard atau double speak ini yang akan menjadikan mengapa tindakan ekstrim dan terror itu akan terus terjadi.
Selain itu, juga factor keadilan. Selama keadilan belum menjadi arah baru bagi relasi negara dan masyarakat, maka selama itu pula juga akan terjadi kekerasan. Ketidakadilan hukum, sosial, ekonomi dan sebagainya juga menjadi pemicu terhadap peluang melakukan kekerasan. Penegakan hukum yang masih compang-camping di banyak negara akan menjadi penyebab mengapa terror itu muncul. Demikian pula pada ketidakadilan ekonomi atau kesejahteraan. Selama kesenjangan ekonomi terus menganga maka selama itu pula akan terjadi kekerasan atas nama apapun. Sebagaimana yang dikemukaan oleh Stigliez, bahwa di mana-mana di hampir semua negara, bahwa satu persen orang terkaya menguasai mayoritas sumber daya ekonomi dan lainnya. Jika ketidakadilan ini terus berlangsung itu sama artinya dengan memberikan peluang terjadinya ekstrimisme dan terorisme untuk hidup dan berkembang. Makanya, negara harus berjuang ekstra keras agar ketidakadilan ini bisa dieliminasi secara memadai, sehingga peluang untuk melakukan tindakan kekerasan tersebut bisa dihapuskan atau sekurang-kurangnya diminimalisasikan.
Factor yang juga tidak boleh dianggap remeh adalah tentang semakin berkembangnya paham dan praksis keagamaan yang diimpor dari tempat lain, yang di dalam banyak hal lalu berbeda dengan paham keagamaan yang telah menjadi arus utama di negeri ini. Paham tentang khilafah, keinginan mengganti Pancasila dengan ideology bangsa lainnya dan juga persebaran informasi yang cenderung manjadi hate speech tentu semakin memperkokoh prejudice antara satu kelompok atas kelompok lainnya. Di era cyber war seperti itu, maka akan terjadi disinformasi yang bisa membuat relasi sosial menjadi renggang dan saling berkontestasi.
Ketiga, lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita semua, khususnya organisasi kemahasiswaan di dalam menanggulangi terhadap gerakan-gerakan ekstrimisme, terorisme dan juga intoleransi. Sebelum saya membahas secara ringkas, saya ingin menyatakan bahwa intoleransi itu sesungguhnya bukan hanya wacana akan tetapi sudah merupakan realitas. Berbagai survey yang dilakukan oleh lembaga survey tentang gerakan intoleransi, maka dapat dketahui bahwa kecenderungan untuk melakukan kekerasan itu sudah sangat mengedepan. Demikian pula kalau kita melihat kenyataan terjadinya upaya kekerasan, misalnya di Medan, Solo, dan yang terakhir di Bandung, maka siapapun akan menyatakan bahwa tindakan intoleransi itu bukan hanya sekedar fiksi akan tetapi realitas.
Gerakan ekstrimisme, terorisme dan intoleransi itu juga bisa dilihat atas dasar perkembangannya. Jika di masa lalu, yang terlibat di dalam tindakan intoleran itu adalah rata-rata usia di atas 30 tahun, mereka kebanyakan adalah orang miskin dan putus asa karena keterpinggirannya, hanya dikaitkan dengan lelaki, dan hanya di daerah tertentu, maka sekarang sudah berbeda. Anak-anak selevel pendidikan menengah atas sudah punya kecenderungan untuk menjadi ekstrimisme dan teroris. Hasil penelitian PPIM, Wahid Institut dan Setara Institut memberikan gambaran tentang hal ini. Jadi, dari sisi usia semakin muda, banyak juga dari kaum terpelajar, sudah menggunakan wanita sebagai instrument gerakannya dan juga menyebar di wilayah-wilayah seluruh Indonesia. Jika di masa lalu hanya dikaitkan dengan Poso dan Ambon, maka sekarang sudah menyebar di beberapa wilayah di Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai generasi muda tentu harus berpikir ulang tentang bagaimana melakukan gerakan moderasi agama itu. Makanya, generasi muda yang tergabung dalam organisasi ekstra mahasiswa, seperti IMM, PMII, HMI dan sebagainya sudah seharusnya bergandeng tangan untuk menyatukan visi dan misi Keislaman, Kemoderenan dan Keindonesiaan. Kita sudah memiliki konsep dan aplikasinya tentang penguatan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, ukhuwah basyariyah yang kiranya bisa menjadi pedoman untuk merajut kebersamaan di dalam mengembangan agama yang wasathiyah, agama yang memberi rahmat kepada siapa saja.
Bagi saya, pada generasi mudalah semua tumpuan tentang nasib Islam dan Keindonesiaan itu diharapkan. Jika para pemudanya memiliki paham dan tindakan yang sama untuk tetap mempertahankan empat pilar kebangsaan, yaitu menegakkan Pancasila, mempertahankan UUD 1945, menegakkan NKRI dan mengembangkan kebinekaan, maka ke depan Indonesia akan tetap jaya. Tahun 2045 akan menjadi tahun keberhasilan bangsa Idonesia jika para pemuda sekarang memiliki pemahaman, sikap dan perilaku yang mengedepankan terciptanya keseimbangan antara Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan.
Saya yakin bahwa para pemuda yang tergabung di dalam organisasi ekstra kemahasiswaan akan dapat memerankan peran strategis bangsa ini, sekarang dan yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.
