• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEBERHASILAN KECIL UNTUK KESUKSESAN BESAR (2)

KEBERHASILAN KECIL UNTUK KESUKSESAN BESAR (2)
Saya merasakan bahwa keberhasilan untuk mengembalikan asset RSHJ ke Kemenag merupakan keberhasilan kecil saja di tengah banyaknya program dan kegiatan yang dilakukan oleh Kemenag. Bayangkan dengan asset RSHJ senilai 400 Milyar tentu sangat kecil dibandingkan dengan anggaran Kemenag yang mencapai angka 60 trilyun. Makanya, keberhasilan ini hanya seperti setitik air di tengah sungai besar dengan air meluap.
Tetapi saya kira ada sesuatu hal yang sangat positif di tengah pengembalian asset RSHJ tersebut, sebab sudah diupayakan dalam kurun waktu yang sangat lama, kurang lebih delapan tahun, dan juga memiliki dampak negative berupa penilaian Opini BPK yang berkategori WDP untuk DAU Kemenag.
Melalui penyerahan asset RSHJ ini, maka Kemenag di dalam LKKA memperoleh Opini WTP , Laporan Keuangan Haji juga memperoleh WTP dan Laporan Keuangan DAU juga memperoleh Opini WTP. Apalagi oleh Bu Isma Yatun, Wakil Ketua BPK V disebutkan di dalam laporannya, bahwa pengembalian asset RSHJ menjadi penyebab Opini WTP bagi LK DAU Kemenag. Inilah yang saya sebutkan sebagai keberhasilan kecil untuk kesuksesan besar. Bukankah WTP adalah marwah Kemenag di dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang agama dan menjadi kriteria keberhasilan laporan keuangan.
Saya tentu harus menyebut kolega kantor yang sangat membantu terhadap keberhasilan mengembalikan asset RSHJ ke Kemenag. Pak Syafrizal, Kepala Biro Umum, adalah sosok yang penting di dalam proses penyerahan asset, demikian pula Pak Syihabuddin, Kepala Biro Keuangan dan BMN juga sangat berperan di dalam pengalihan saham RSHJ dari Pemda DKI ke Kemenag. Lalu Prof. Gunaryo dan Pak Anang Kusmayadi juga memiliki andil yang sangat besar di dalam proses penyelesaian hokum atas hibah saham dimaksud. Untunglah saya memiliki “pasukan tempur” yang andal di dalam kerja besar ini. Apresiasi saya sangat besar terhadap mereka semuanya.
Kemarin, 8/5/2017, saya bersama Prof. Gun, Pak Anang dan tim Hukum Kemenag bersama dengan Dr. dr. Syarief Hasan Luthfi, Ps.KFR., bertandang ke RSHJ untuk memperkenalkan direktur baru yang akan memimpin RSHJ. Makanya dating segenap jajaran pimpinan RSHJ, antara lain Dr. Wuwuh Utaminingtyas, M.Kes., Wadir Adm & Keuangan, Drs. Chamdani Tauchid, MM, M.Kes, MBA., Wadir Pelayanan Medik RSHJ, dr. Farid Azis, Sp.THT., Ketua Komite Medik RSHJ, dr. Tri Redjeki Soegiri, Sp.An., Ketua Komite Keperawatan RSHJ, Eva Trisna, SKM, M. Kep., dan Dewas RSHJ, dr. Ratna Rosita, MPHM dan sejumlah pejabat lainnya.
Di dalam acara ini, saya menyampaikan tiga hal penting, yaitu: Pertama, apresiasi atas keberhasilan tim Kementerian Agama dan Pemda DKI di dalam melakukan upaya untuk melakukan perubahan dan penetapan status RSHJ ke Kementerian Agama. Saya juga mengapresiasi terhadap Tim Koperasi karyawan RSHJ yang juga sangat akomodatif terhadap pengalihan saham ke Kementerian Agama. Demikian pula kepada Tim IPHI yang juga secara suka rela mengalihkan sahamnya ke Kementerian Agama. Semua ini menggambarkan bahwa terdapat niatan baik yang mendasari atas hibah dan upaya untuk mendudukkan status RSHJ ke Rumah Sakit pemerintah di bawah Kemenag yang ke depan akan menjadi Rumah Sakit Pendidikan bagi program dokter di UIN Jakarta.
Saya juga mengapresiasi terhadap Dewan Pengawas, dan Direksi RSHJ yang dengan gigih telah membina dan membangun RSHJ menjadi seperti sekarang. Dengan status peringkat Akreditasi Paripurna dan pengakuan ISO 2008, maka tentunya memberikan gambaran bahwa RSHJ ini sungguh menjadi rumah sakit yang sehat dalam manajemen dan juga perkembangan yang sangat baik. Makanya, tidak ada alasan untuk tidak mengapresiasi atas keberhasilan ini.
Kedua, ternyata bahwa untuk memperoleh hibah dari Pemda DKI bukan persoalan sederhana. Banyak liku-likunya. Meskipun secara hukum sudah jelas status kepemilikan RSHJ ini, akan tetapi ternyata juga tidak sesederhana penyelesaiannya. Dua kali DPRD Jakarta membentuk Pansus, dan baru di kala Pansus Rekomendasi hibah saham ini dipimpin oleh Haji Lulung Lunggana, maka rekomendasi tersebut bisa dilakukan. Pasca rekomendasi tersebut didapatkan, ternyata pembicaraan juga masih cukup alot. Perubahan status menjadi PT ternyata sungguh merepotkan di dalam pengalihan RSHJ ke Kemenag. Perlu ada berbagai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berkali-kali. Bahkan RUPS 1 sampai 5. Tetapi semuanya bisa dilalui dengan baik, sehingga sekarang sudah kelihatan hasil usaha yang kita lakukan berbulan-bulan. Tinggal satu langkah lagi, yaitu likuidasi PT RSHJ dan mengembalikannya sebagai BMN Kemenag. Upaya untuk mengembalikan status RSHJ ini tidak hanya membutuhkan perubahan administrative akan tetapi juga politis. Akan tetapi dengan upaya yang optimal, maka perubahan status itu sudah di depan mata, dan sebentar lagi sudahlah jelas statusnya.
Ketiga, saya ingin memastikan bahwa peralihan status RSHJ ini jangan membuat pelayanan kita terhadap masyarakat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Menurut saya justru harus memicu untuk bekerja keras. Harus dijaga relasi-relasi yang baik antara pimpinan RSHJ dengan dokter dan paramedic dan bahkan dengan masyarakat pengguna RSHJ. Harus tetap dijadikan stake holder RSHJ ini pada tempat yang sebenarnya. Pelayanan harus memuaskan pelanggan dan bahkan menciptakan loyalitas pelanggan. Jika selama ini setiap hari ada sebanyak 600 pasien yang berobat, ke depan harus lebih banyak lagi. Makanya, jadikan perubahan kepemilikan RSHJ sebagai titik tolak untuk peningkatan kualitas layanan RSHJ.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KEBERHASILAN KECIL UNTUK KESUKSESAN BESAR (1)

KEBERHASILAN KECIL UNTUK KESUKSESAN BESAR (1)
Mungkin ini memang bukan pencapaian yang besar, namun bagi saya tentu saja tetap merupakan hasil kerja yang sangat sukses di dalam penyelamatan asset-aset Kementerian Agama, yang memang harus diupayakan penyelesaiannya. Salah satu yang saya kira harus tetap diapresiasi adalah kesuksesan untuk menyelesaikan persoalan Rumah Sakit Haji Jakarta (RSHJ) yang ternyata membutuhkan waktu lebih dari delapan tahun.
Sengketa RSHJ memang sungguh berliku. Berkali-kali masuk ke pengadilan dan akhirnya memang dimenangkan Kementerian Agama oleh Keputusa Pengadilan Kasasi atas sejumlah orang yang mengatasnamaan Perusahaan Terbatas (PT) yang selama itu telah marasa memiliki RSHJ. Saya tentu tidak akan memasuki “kawasan” bagaimana proses memenangkan asset ini di Kasasi, akan tetapi yang penting bagi saya adalah RSHJ ini telah kembali menjadi asset Kemenag RI.
RSHJ memang merupakan Rumah Sakit yang didirikan sebagai monument atas terjadinya peristiwa Korban Mina pada tahun 1990-an. RSHJ didirikan atas prakarsa Presiden Soeharto untuk menandai peristiwa Mina, di mana Jamaah Haji Indonesia banyak yang menjadi korban. Berbekal atas tanah yang dimiliki oleh Kementerian Agama, dan biaya pembangunan dari hibah Pemerinth Arab Saudi dan juga beberapa pihak dari Pemerintah Indonesia dan masyarakat lainnya, maka berdirilah RSHJ yang diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Namun di dalam perjalanan panjangnya, kemudian RSHJ lalu menjadi Perusahaan Terbatas (PT) dengan saham yang terdiri dari Pemda DKI 51 persen, Kemenag 43 persen, Koperasi Karyawan 6 persen dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) sebesar 1 persen. Kita tentu tidak tahu bagaimana proses menjadikan RSHJ sebagai perusahaan terbatas tersebut. Hal ini terjadi pada waktu DKI dibawah Gubernur Sutiyoso. Kita sampai hari ini juga tidak tahu bagaimana pembagian saham seperti itu, apa dasarnya dan bagaimana prosesnya.
Berbasis pada sengketa RSHJ ini, maka atas prakarsa Wakil Presiden Jusuf Kalla –pada era Pemerintahan SBY jilid pertama—mengajak dan memerintahkan agar sengketa tentang RSHJ diselesaikan dan kemudian meminta Menteri Kesehatan untuk mengelola RSHJ dalam kurun waktu delapan bulan dan setelah itu diserahkan kepada Kemenag yang telah memenangkan sengketa kepemilikan RSHJ melalui Keputusan Kasasi.
Waktu terus berjalan dan berbagai upaya sudah dilakukan. Di antaranya ialah Pemda meminta kepada DPRD DKI untuk memberikan reomendasi penyerahan atau hibah saham 51 persen kepada Kemenag. DPRD juga membantuk Pansus untuk penyerahan atau hibah Saham tersebut, akan tetapi sampai batas waktunya tidak selesai. Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Pak Joko Widodo, secara khusus dating ke Menteri Agama, Pak Suryadharma Ali, untuk memberikan penjelasan bahwa Pemda DKI akan menyerahkan RSHJ tersebut ke Kemenang.
Waktu terus berjalan hingga hitungan delapan tahun semenjak Pak Wapres memberikan amanah agar RSHJ segera diserahkan kepada Kemenag. Untunglah kemudian DPRD DKI menetapkan Pak Haji Lulung Lunggana sebagai Ketua Panita Khusus hibah saham DKI kepada Kemenag. Titik awal penyelesaian kiranya dimulai dari sini. Pak Haji Lulung ternyata sangat akomodatif terhadap kepentingan ini dan melalui negosiasi-negosiasi yang sangat baik, rapat-rapat yang diselenggarama baik di RSHJ maupun di Kantor Kemenag, dalam banyak kali pertemuan, akhirnya disepakati bahwa DPRD DKI akan memberikan rekomendasi tersebut. Pak Haji Lulung saya kira memiliki peran yang sangat besar di dalam penyelesaian RSHJ kepada Kemenag.
Dengan bekal rekomendasi ini, maka proses penyerahan itu dijalankan. Tidak terhitung berapa kali rapat diselenggarakan di Pemda DKI untuk membahas penyerahan atau hibah RSHJ ini. ternyata memang juga tidak sederhana untuk penyerahannya. Jalan masih berliku. Namun demikian dengan upaya yang sangat rapi dan teratur, maka hibah saham itu pun dilakukan.
Pada tanggal April 2017, maka dilakukan RUPS I yang dilakukan di Kantor Pemda DKI untuk penyerahan Hibah Daerah berupa RSHJ kepada Kementerian Agama. Saya mewakili Kemenag dan Pak Saifullah, Sekretaris Daerah, mewakili Pemda DKI. Akhirnya saham Pemda DKI di RSHJ secara resmi diserahkan kepada Kemenag. Dengan demikian, di dalam regulasi PT, maka Kemenag sudah memiliki mayoritas saham PT sebanyak 93 persen. Yang perlu diselesaikan adalah saham Kopkar sbesar 6 persen dan saham IPHI sebesar 1 persen.
Proses negosiasi juga terus dilakukan terutama untuk menyelesaikan saham 7 persen tersebut. Pembicaraan dengan IPHI dan Kopkar tent uterus dilakukan, sebab untuk mengalihkan PT dan membubarkan PT sesuai dengan Keputusan Kasasi tentu harus bulat 100 persen saham dialihkan ke Kemenag. Sampai akhirnya dilakukan RUPS sirkular yang kelima. Semua sudah tandatangan serah terima saham yang dimiliki dan akhirnya secara de facto, RSHJ telah menjadi milik Kemenag.
Namun demikian, PT RSHJ tentu harus dilikuidasi oleh direktur yang diputuskan oleh RUPS. Kita sudah memilih DR. dr. Syarif Hasan Luthfi, Sp.KFR sebagai direktur dan saya dan Prof. Gunaryo sebagai komisaris, dengan tugas utamanya ialah meliuidasi PT RSHJ dan mengembalikan kepemilikan RSHj sebagai BMN Kemenag.
Tulisan ini tentu sangat sederhana dibandingkan dengan upaya-upaya hokum dan negosiasi yang dilakukan oleh Tim Kemenag dan juga seluruh yang terlibat di dalam proses penyerahan saham ini. namun satu hal penting bahwa usaha kecil ini ternyata memiliki dampak besar di dalam aspek pemerintahan. Dan ternyata, penyerahan BMN ini dicatat oleh BPK sebagai usaha maksimal untuk mengembalikan Kemenag memperoleh penilaian positif.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MODALITAS PENGALAMAN DALAM PENYELENGGARAAN HAJI

MODALITAS PENGALAMAN DALAM PENYELENGGARAAN HAJI
Bulan Ramadlan ternyata tidak menyurutkan banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Agama, di antaranya ialah kegiatan Sosialisasi dan Pelatihan Integrasi Petugas Haji, TPHI, TPIHI dan TKHI. Pada minggu kemarin saya terlibat di dua kegiatan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur. Dua kegiatan ini diselenggarakan di Asrama Haji Donohudan Solo dan Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Saya tentu sangat senang menghadiri acara ini dalam kapasitas saya sebagai Plt. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) pada Kementerian Agama Republik Indonesia.
Pada acara-acara tersebut, saya sampaikan tiga hal mendasar yang kiranya perlu untuk dicermati bersama. Pertama, bahwa kegiatan Pelatihan Terpadu bagi pendamping jamaah haji ini tentu sangat penting mengingat bahwa diperlukan kesamaan visi dan misi dari para petugas pendamping haji dalam kerangka untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi para Jemaah haji Indonesia. Kesamaan wawasan itu menjadi sangat penting di tengah keinginan masyarakat untuk terus meminta agar pelayanan terhadap Jemaah haji Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun. Tentu kita bersyukur bahwa berdasarkan Survey Pelayanan Jamaah Haji Indonesia yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 ternyata capaian kualitas pelayanan haji kita meningkat menjadi 83,83 persen. Artinya bahwa pelayanan haji Indonesia mencapai derajat memuaskan dengan kualitas yang semakin baik. Hal ini tentu memberikan harapan baru bagi kita semua, bahwa dengan kerja keras, maka kebaikan pelayanan Jemaah haji ternyata bisa sebanding dengan upaya yang dilakukan tersebut.
Kedua, di banyak kesempatan dinyatakan bahwa Kementerian Agama sebagai penyelenggara haji itu sudah bertahun-tahun akan tetapi selalu ada masalah yang terjadi, apakah Kementerian Agama tidak belajar dari situasi tersebut? Pertanyaan ini seharusnya menjadi tantangan kita sebagai petugas yang mendampingi jamaah haji. Pertanyaan ini merupakan cambuk yang seharusnya melecut semangat kita untuk terus melakukan perbaikan demi perbaikan.
Sebagaimana yang sering diungkapkan oleh Pak Menteri Agama, bahwa haji ini sebuah program yang unik. Baik dilihat dari pelaksana maupun pelaku kegiatannya. Coba bayangkan bahwa pelaku ibadah haji selalu orang baru dengan tingkat pengetahuan, pengalaman dan juga kondisi fisik yang sangat variatif. Resiko kesehatan haji itu mencapai angka 62 persen yang kemudian dikonsepsikan sebagai jamaah dengan resiko tinggi. Selain usianya yang sangat lanjut juga dengan resiko penyakit tua yang dialaminya. Dengan besarnya jumlah Jemaah dengan resiko tinggi, tentu juga menyebabkan ada banyak masalah yang dihadapi oleh para petugas haji,
Dari aspek pengetahuan, maka jamaah haji ini juga sangat variatif. Dari mereka yang berpendidikan doctor dan professor, sampai yang tidak tamat pendidikan dasar. Dan kenyataannya bahwa yang tidak tamat pendidikan dasar atau yang hanya berpendidikan dasar, maka jumlahnya tentu tidak sebanding. Yang berpendidikan dasar tentu sangat banyak atau mayoriotas. Hal ini tentu berakibat pada rendahnya literasi dan daya tangkap terhadap program pembelajaran terkait dengan penyelenggaraan haji melalui manasik haji. Belum lagi dari pengalaman bepergian ke tempat lain, ada sebagian kecil yang sudah melanglang buana sementera mayoritas lainnya belum pernah pergi ke Ibukota Negara, Jakarta. Ada yang sebagian kecil pernah naik pesawat terbang sementara itu jumlah terbesar belum pernah naik pesawat terbang. Jadi mereka belum paham bagaimana menggunakan toilet, memasang sabuk pengaman di pesawat sampai menggunakan layanan pesawat terbang.
Lalu, pelaksanaan ibadah haji dilakukan di negara lain, Arab Saudi, dengan tradisi, kebudayaan dan iklim yang sangat berbeda dengan Indonesia. Mereka belum memiliki strategi menghadapi cuaca yang sangat panas, mencapai 50 derajat. Mereka juga tidak mengenal medan di tempat ibadah. Makanya, jika tidak dikawal dengan cara yang sangat memadai, bisa jadi mereka akan tersesat di medan yang sangat tidak dikenalnya. Dengan demikian, jika sesungguhnya masih adanya masalah penyelenggaraan haji bukan semata-mata penyelenggaraannya yang kurang baik, akan tetapi karena banyaknya variabel yang menjadi penyebabnya.
Ketiga, para penyelenggara haji harus selalu tanggap terhadap berbagai peluang masalah yang akan terjadi. Makanya, diperlukan gerakan antisipatif terhadap munculnya peluang masalah. Kiranya diperlukan pemetaan terhadap seluruh masalah yang pernah dihadapi di dalam penyelenggaraan haji dan kemudian juga memetakan terhadap peluang masalah yang akan terjadi. Misalnya tentang paspor, visa, transportasi dari Bandara Jeddah atau Madinah ke pemondokan yang kendaraannya disediakan oleh Nagobah, antrian makan, penghitungan jumlah jamaah di Maktab, kurangnya tenaga pendamping jamaah haji dan sebagainya.
Sebagaimana yang disampaikan di dalam rapat koordinasi persiapan haji, maka jumlah jamaah kita tahun ini bertambah 31 persen dari tahun sebelumnya, sementara itu jumlah pendamping jamaah haji hanya berrtambah 13 persen. Hal ini tentu akan berakibat terhadap kesenjangan antara jumlah jamaah haji dengan petugasnya. Oleh karena itu diperlukan antisipasi terhadap kenyataan peluang problema ini.
Tetapi saya yakin bahwa dengan pengalaman kita selama ini dan juga kemampuan kita untuk bekerjasama yang sangat baik tentu akan menjadi modal berharga di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Saya berkeyakinan bahwa dengan persiapan yang baik pasti akan bisa dilaksanakan kegiatan tersebut dengan baik.
Wallahu a’lam bi asl shawab.

PUASA BAGI PERINDU IBADAH

PUASA BAGI PERINDU IBADAH
Sebagaimana biasanya, bahwa saya memperoleh kesempatan pertama untuk memberikan taushiyah ramadhan di Mushalla al Ikhlas di lantai dua Kementerian Agama di Jalan Lapangan Banteng, 3-4 Jakarta Pusat. Acara siraman rohani ini memang selalu dilakukan di saat bulan puasa. Sebagai bagian dari upaya wa tawashaub al haq wa tawashaub al shabr.
Acara shalat jamaah dhuhur ini memang diikuti oleh para ASN di Sekretariat Jenderal Kemenag RI. Jumlahnya tentu tidak banyak, lelaki dan perempuan. Tetapi sekurang-kurangnya Mushalla al Ikhlas ini cukup penuh dengan jamaah. Saya kira tetap merupakan acara yang sangat baik di tengah upaya untuk meningkatkan peribadahan kita kepada Allah swt.
Ada tiga hal yang saya sampaikan kepada para jamaah shalat dhuhur ini, yaitu: Pertama, ungkapan rasa syukur atas kesempatan diberi usia panjang sehingga bisa menikmati puasa Ramadhan. Kita sering berdoa agar diberi kesempatan untuk berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan tahun berikutnya. Alhamdulillah doa kita itu dikabulkan oleh Tuhan dengan mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan 2017 atau 1438 H tahun ini. Rasa syukur ini perlu kita kuatkan dengan sepenuh hati agar Allah bisa memberikan rahmatnya yang melimpah untuk kita semua. Ada banyak orang yang dipanggil Allah sebelum bertemu dengan bulan puasa. Dan kita diberi Allah bertemu dengan bulan Ramadlan yang mulya. Makanya, kita sering kumandangkan “Marhaban Ya Ramadlan, Ahlan wa Sahlan biqudumikum”. Kita merasa mendapatkan tamu yang sangat istimewa dan kita menyambutnya dengan suka cita.
Kedua, saya menggambarkan penggolongan sosial tentang pelaku puasa. Secara sosiologis dan bukan dari sisi teologis, saya memberikan pengelompokan terhadap pelaku puasa itu dengan tiga klasifikasi. Klasifikasi kesatu, ialah orang yang berpuasa secara lahiriyah saja. Puasa yang dilakukan dengan berpura-pura puasa. Hal ini dilakukan untuk memberikan hiburan bagi masyarakat sekelilingnya, bahwa ia menghormati bulan puasa dengan tindakan seakan-akan berpuasa. Bisa dilakukan karena dia berada di lingkungan orang berpuasa, atau berada di kelompok orang-orang yang berpuasa. Jadi puasa yang dilakukan itu merupakan tindakan manipulative terhadap lingkungannya. Orang yang seperti ini dipastikan tidak akan memperoleh pahala bahkan berdosa karena melakukan tindakan membohongi diri sendiri dan orang lain di sekelilingnya. Namun demikian, dia tetap merupakan orang Islam, hanya memang perlu memperoleh hidayah agar memperbaiki iman dan perilaku keagamaannya. Pada suatu saat jika Allah memberikan hidayah pastilah akan terjadi perubahan perilaku keagamaannya. Bukankah Allah itu maha pengasih dan penyayang bagi umatnya.
Klasifikasi kedua, ialah orang yang beribadah puasa dengan sungguh-sungguh tetapi masih ada celah untuk melakukan suatu perbuatan yang bisa mengurangi pahalanya. Bahkan bisa saja hanya memperoleh “ju’ wal athas” hanya lapar dan dahaga saja. Akan tetapi dari aspek kesungguhan puasa sudah diupayakannya. Tidak hanya menahan makan dan minum tetapi juga sudah berupaya menahan godaan lainnya. Dia tidak memanipulasi ibadah puasanya bagi orang lain. Dia telah sungguh-sungguh berpuasa. Hanya saja belum memasuki “ruang dalam” di dalam ritual puasanya. Secara structural dia telah memasuki “ruang luar” puasa hanya saja masih belum memasuki “ruang dalam” puasanya. Itulah sebabnya dia telah menjalani ritual puasa dan tentu mendapatkan pahala dari puasanya itu. Tentu kita semua tahu bahwa urusan pahala adalah hak Allah semata, akan tetapi secara dhahiriyah tentu kita bisa menilai mengenai tindakan ibadahnya itu.
Kelompok ketiga, ialah kelompok yang saya sebut sebagai puasa bagi perindu ibadah. Puasa ini tentu dilakukan oleh orang dengan derajat keimanan dan keislaman yang sangat luar biasa. Mungkin mereka adalah para ahli tasawuf, yang sudah memiliki “kawruh” atau pengetahuan ketuhanan yang sangat tinggi. Dia telah memasuki dunia esoteric atau dunia hakikat agama. Mungkin sudah tidak ada lagi hijab antara dirinya dengan Tuhannya. Tuhan sudah lebih dekat dengan urat nadinya. Puasa yang dilakukan itu merupakan amalan yang “lillah billlah” atau amalan agama yang hanya untuk Allah dan dilakukan dengan Allah semata. Mungkin di dalam tradisi “kewalian” puasa seperti ini sebagaimana yang dilakukan oleh Para Waliyullah, yang memang sudah memasuki “Alam Lahut” atau Alam Ketuhanan. Apakah manusia bisa mencapai puasa bagi perindu ibadah? Tentu saja bisa. Hanya saja tentu jumlahnya tergolong bukan mayoritas atau “laisa minal aktsarin”. Hanya orang-orang yang berusaha optimal saja yang bisa mencapai derajat seperti ini.
Ketiga, kita semua ini mungkin merupakan golongan awam dalam beribadah. Akan tetapi kita mungkin sudah berupaya untuk memasuki derajat yang ketiga ini. sudah ada upaya yang kita lakukan, misalnya dengan tadarrus Al Qur’an, dengan wiridan yang lebih banyak, dengan taffakur atas kenikmatan Allah dan ada juga yang sudah memberikan infaq dan shadaqah yang lebih banyak. Semua ini tentu mengindikasikan bahwa kita sudah berupaya ke arah berpuasa sebagaimana para perindu ibadah.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan bulan Ramadlan ini sebagai bulan untuk menjadi bagian dari “para perindu ibadah” sebab rasanya dengan upaya yang serius sajalah derajad itu akan bisa diperoleh. Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga kita semua menjadi bagian dari “laallakum tattaqun”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PUASA SEBAGAI PILAR ISLAM

PUASA SEBAGAI PILAR ISLAM
Di Indonesia, rukun Islam dinyatakan dalam lima hal, yaitu: Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Keyakinan masyarakat Indonesia tentang rukun Islam pastilah terdiri dari lima hal ini. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai rukun Islam yang lima tersebut.
Perintah untuk menjalankan puasa tentu sudah berulang kali dinyatakan di dalam mimbar-mimbar agama dan di tempat-tempat ibadah. Semua mengamini tentang perintah puasa ini. Semua umat Islam di dunia dipastikan menjalankan puasa sebagai bagian mendasar dari ukuran keislamannya. Meskipun puasa itu amaliyah yang bisa disembunyikan atau ibadah sirri, akan tetapi tetap saja nuansa puasa
memberikan ciri khas tertentu di dalam kehidupan umat Islam.
Puasa tentu merupakan ajaran Islam yang sangat mendasar dan didapati contoh-contohnya di dalam tindakan atau sunnah Nabi Muhammad Saw. Menjalankan puasa merupakan kewajiban yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw sepanjang perjalanan kenabiannya. Jadi tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa puasa bukanlah ajaran Islam yang jelas. Bagi umat Islam, ajaran puasa merupakan ajaran yang tidak diperdebatkan kesyariatannya karena sudah sangat jelas di dalam implementasinya.
Pertanyaan yang kemudian bisa dikemukakan adalah apakah puasa hanya kewajiban saja? Pertanyaan ini yang barangkali perlu untuk kita renungkan. Apakah kita cukup untuk menjalankan kewajiban ini. Apakah dengan menjalankan kewajiban berarti semua urusan keagamaan kita sudah selesai. Berdasarkan pandangan eksoterisme, maka dengan melakukan kewajiban puasa, maka sudah selesai urusan menjalankan ibadah ini. Pandangan kaum eksoteris ini yang barangkali menjadi ukuran kita selama ini. Jadi yang penting ialah menjalankan puasa untuk menggugurkan kewajiban.
Kita sesungguhnya mengharap agar semua ibadah yang kita lakukan merupakan bentuk pengabdian tertinggi kita kepada Allah. Semua ibadah seperti shalat adalah mi’rajnya kaum muslimin, sebagaimana mi’rajnya Nabi Muhammad asw. Bukankah shalat merupakan perintah langsung Allah swt yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Demikian pula ibadah puasa, zakat dan haji. Semuanya merupakan pilar Islam yang utama mengenai ibadah. Jadi umat Islam mestilah melakukan ibadah ini secara memadai agar indikasi sebagai umat Islam tersebut terpenuhi.
Namun demikian, ada banyak hal yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita terutama terkait dengan ibadah. Ada banyak di antara kita yang melakukan ibadah itu sekedar menghilangkan kewajiban saja.
Kita tentu saja bersyukur bahwa masih diberi oleh Allah kekuatan untuk melakukan puasa karena kita semua sehat. Melalui kesehatan yang telah dikaruniakan Allah swt itu, maka ibadah kita dalam bentuk puasa bisa dilakukan. Andaikan kita sakit maag saja, maka dipastikan bahwa puasa kita tentu akan sedikit terganggu. Sekurang-kurangnya kita harus minum obat anti maag atau obat yang bisa memperkuat kita di dalam menjalankan ibadah puasa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ibadah puasa memang terkait dengan kesehatan fisik kita. Makanya, kita dituntut untuk sehat agar bisa melakukan ibadah puasa dimaksud. Harus disadari bahwa puasa itu akan dapat memberikan kesehatan bagi kita. Allah tegaskan bahwa puasa itu menyehatkan. Maka barang siapa yang melakukan puasa, tentu dipastikan akan diperoleh kesehatan tersebut.
Ada banyak temuan para ahli tentang manfaat puasa bagi manusia, sehingga ada anjuran agar seseorang bisa melakukan puasa dua hari dalam seminggu atau sepekan. Dengan melakukan puasa dua kali dalam seminggu, maka akan diperoleh beberapa manfaat, misalnya menjadi semakin sehat dan kuat. Dengan melakukan puasa, maka akan mengurangi resiko lemak, akan menormalkan peredaran darah, akan membuat jantung makin sehat dan seterusnya. Makanya, ada ahli kesehatan yang menyatakan bahwa ajaran puasa itu sebenarnya adalah ajaran yang universal bagi umat manusia.
Di dalam konteks ini, maka puasa sebagai ajaran mendasar di dalam Islam sesungguhnya memiliki peran penting bagi umat manusia. Tidak hanya memiliki dimensi kerohanian saja, akan tetapi juga dimensi kejasmanian. Dengan demikian, puasa itu tidak hanya sebagai kewajiban kerohanian akan tetapi juga kewajiban fisikal atau kejasmanian.
Jadi, jika melakukan puasa, maka ada dua kewajiban yang bisa dilakukan, yaitu memenuhi kewajiban rohaniyah dan kewajiban jasmaniyah. Berpuasalah agar fisik kita sehat dan berpuasalah agar rohani kita sehat.
Wallahu a’lam bi al shawab.