• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA BAGI PERINDU IBADAH

PUASA BAGI PERINDU IBADAH
Sebagaimana biasanya, bahwa saya memperoleh kesempatan pertama untuk memberikan taushiyah ramadhan di Mushalla al Ikhlas di lantai dua Kementerian Agama di Jalan Lapangan Banteng, 3-4 Jakarta Pusat. Acara siraman rohani ini memang selalu dilakukan di saat bulan puasa. Sebagai bagian dari upaya wa tawashaub al haq wa tawashaub al shabr.
Acara shalat jamaah dhuhur ini memang diikuti oleh para ASN di Sekretariat Jenderal Kemenag RI. Jumlahnya tentu tidak banyak, lelaki dan perempuan. Tetapi sekurang-kurangnya Mushalla al Ikhlas ini cukup penuh dengan jamaah. Saya kira tetap merupakan acara yang sangat baik di tengah upaya untuk meningkatkan peribadahan kita kepada Allah swt.
Ada tiga hal yang saya sampaikan kepada para jamaah shalat dhuhur ini, yaitu: Pertama, ungkapan rasa syukur atas kesempatan diberi usia panjang sehingga bisa menikmati puasa Ramadhan. Kita sering berdoa agar diberi kesempatan untuk berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan tahun berikutnya. Alhamdulillah doa kita itu dikabulkan oleh Tuhan dengan mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan 2017 atau 1438 H tahun ini. Rasa syukur ini perlu kita kuatkan dengan sepenuh hati agar Allah bisa memberikan rahmatnya yang melimpah untuk kita semua. Ada banyak orang yang dipanggil Allah sebelum bertemu dengan bulan puasa. Dan kita diberi Allah bertemu dengan bulan Ramadlan yang mulya. Makanya, kita sering kumandangkan “Marhaban Ya Ramadlan, Ahlan wa Sahlan biqudumikum”. Kita merasa mendapatkan tamu yang sangat istimewa dan kita menyambutnya dengan suka cita.
Kedua, saya menggambarkan penggolongan sosial tentang pelaku puasa. Secara sosiologis dan bukan dari sisi teologis, saya memberikan pengelompokan terhadap pelaku puasa itu dengan tiga klasifikasi. Klasifikasi kesatu, ialah orang yang berpuasa secara lahiriyah saja. Puasa yang dilakukan dengan berpura-pura puasa. Hal ini dilakukan untuk memberikan hiburan bagi masyarakat sekelilingnya, bahwa ia menghormati bulan puasa dengan tindakan seakan-akan berpuasa. Bisa dilakukan karena dia berada di lingkungan orang berpuasa, atau berada di kelompok orang-orang yang berpuasa. Jadi puasa yang dilakukan itu merupakan tindakan manipulative terhadap lingkungannya. Orang yang seperti ini dipastikan tidak akan memperoleh pahala bahkan berdosa karena melakukan tindakan membohongi diri sendiri dan orang lain di sekelilingnya. Namun demikian, dia tetap merupakan orang Islam, hanya memang perlu memperoleh hidayah agar memperbaiki iman dan perilaku keagamaannya. Pada suatu saat jika Allah memberikan hidayah pastilah akan terjadi perubahan perilaku keagamaannya. Bukankah Allah itu maha pengasih dan penyayang bagi umatnya.
Klasifikasi kedua, ialah orang yang beribadah puasa dengan sungguh-sungguh tetapi masih ada celah untuk melakukan suatu perbuatan yang bisa mengurangi pahalanya. Bahkan bisa saja hanya memperoleh “ju’ wal athas” hanya lapar dan dahaga saja. Akan tetapi dari aspek kesungguhan puasa sudah diupayakannya. Tidak hanya menahan makan dan minum tetapi juga sudah berupaya menahan godaan lainnya. Dia tidak memanipulasi ibadah puasanya bagi orang lain. Dia telah sungguh-sungguh berpuasa. Hanya saja belum memasuki “ruang dalam” di dalam ritual puasanya. Secara structural dia telah memasuki “ruang luar” puasa hanya saja masih belum memasuki “ruang dalam” puasanya. Itulah sebabnya dia telah menjalani ritual puasa dan tentu mendapatkan pahala dari puasanya itu. Tentu kita semua tahu bahwa urusan pahala adalah hak Allah semata, akan tetapi secara dhahiriyah tentu kita bisa menilai mengenai tindakan ibadahnya itu.
Kelompok ketiga, ialah kelompok yang saya sebut sebagai puasa bagi perindu ibadah. Puasa ini tentu dilakukan oleh orang dengan derajat keimanan dan keislaman yang sangat luar biasa. Mungkin mereka adalah para ahli tasawuf, yang sudah memiliki “kawruh” atau pengetahuan ketuhanan yang sangat tinggi. Dia telah memasuki dunia esoteric atau dunia hakikat agama. Mungkin sudah tidak ada lagi hijab antara dirinya dengan Tuhannya. Tuhan sudah lebih dekat dengan urat nadinya. Puasa yang dilakukan itu merupakan amalan yang “lillah billlah” atau amalan agama yang hanya untuk Allah dan dilakukan dengan Allah semata. Mungkin di dalam tradisi “kewalian” puasa seperti ini sebagaimana yang dilakukan oleh Para Waliyullah, yang memang sudah memasuki “Alam Lahut” atau Alam Ketuhanan. Apakah manusia bisa mencapai puasa bagi perindu ibadah? Tentu saja bisa. Hanya saja tentu jumlahnya tergolong bukan mayoritas atau “laisa minal aktsarin”. Hanya orang-orang yang berusaha optimal saja yang bisa mencapai derajat seperti ini.
Ketiga, kita semua ini mungkin merupakan golongan awam dalam beribadah. Akan tetapi kita mungkin sudah berupaya untuk memasuki derajat yang ketiga ini. sudah ada upaya yang kita lakukan, misalnya dengan tadarrus Al Qur’an, dengan wiridan yang lebih banyak, dengan taffakur atas kenikmatan Allah dan ada juga yang sudah memberikan infaq dan shadaqah yang lebih banyak. Semua ini tentu mengindikasikan bahwa kita sudah berupaya ke arah berpuasa sebagaimana para perindu ibadah.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan bulan Ramadlan ini sebagai bulan untuk menjadi bagian dari “para perindu ibadah” sebab rasanya dengan upaya yang serius sajalah derajad itu akan bisa diperoleh. Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga kita semua menjadi bagian dari “laallakum tattaqun”.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..