• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PEMBUBARAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA: POLITIK ATAU AGAMA? (3)

PEMBUBARAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA: POLITIK ATAU AGAMA? (3)
Pada waktu saya diwawancarai oleh METRO TV dalam acara pagi hari, Prime Time, saya sampaikan bahwa untuk menyelesaikan kemelut HTI tidak bisa dilakukan oleh kementerian-kementerian secara parsial. Harus ditangani secara berjamaah atau bersama-sama. Kementerian Agama tentu memiliki keterkaitan dengan persoalan HTI sebab selama ini HTI memang mengusung tema-tema dakwah. Tetapi Kemenag tidak bisa sendirian mengatasi hal ini sebab ada irisannya dengan masalah kebangsaan yang tentu bisa ditangani oleh banyak institusi pemerintah. Misalnya, Kejaksaan, Kepolisian, Kemendagri, Kemenkumham, Kemenkoinfo, bahkan Kemenkopolhukam.
Selama ini memang ada anggapan bahwa dari sisi agama, terutama terkait dengan teologi dan amalan ibadahnya tidak ada sedikitpun keraguan mengenai kebenarannya. Dengan mengusung tema Islam kaffah dan Islam syumuliyah banyak menarik minat kaum muslimin untuk masuk ke dalamnya. Keinginan untuk menerapkan syariah juga banyak mendapatkan apresiasi, termasuk juga suara-suara kerasnya tentang pembelaan Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Yang sering terdengar nyaring suaranya untuk membela Palestina dan Muslim Rohingya serta Islam di daratan lain adalah eksponen HTI.
Upaya membangun ideology Islam tentu tidak diragukan. Melalui gerakan penerapan Islam secara kaffah dan merealisasikan syariah Islam secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat lalu menjadi tema-tema penting yang menarik minat banyak kalangan generasi muda. Makanya juga tidak salah jika beberapa perguruan tinggi menjadi home base mereka yang nyaman dan mendapatkan dukungan optimal dari banyak komponen di PT tersebut.
Dukungan terhadap HTI memang kebanyakan dari generasi muda. Jumlah mereka yang mencapai 2 juta orang, kebanyaan adalah mahasiswa dari perguruan tinggi umum dan terutama adalah fakultas Sains dan Teknologi. Meskipun demikian, sekarang hampir seluruh prodi di perguruan tinggi umum dan bahkan juga perguruan tinggi Agama Islam juga mengalami hal yang sama. Tidak ada lagi tempat steril dari pengaruh HTI dimaksud. Bahkan yang lebih menggemaskan adalah penguasaan mereka terhadap tempat ibadah, di kampus-kampus atau juga asrama-asrama mahasiswa.
Mula-mula memang mengajarkan agama dalam konsepsinya. Menjelaskan tentang dimensi-dimensi ketuhanan dan peribadahan. Tetapi ketika keislaman mereka sudah sangat kuat, maka dengan leluasa mereka menjelaskan tentang konsepsi-konsep ketatanegaraan yang benar sesuai dengan syariah Islam, kebobrokan demokrasi sebagai system taghut dalam bernegara dan sebagainya. Bahkan mereka juga sering kali mengundang tokoh-tokoh agama, seperti NU dan Muhammadiyah untuk berdiskusi dengannya. Bukannya dijadikan sebagai referensi tetapi untuk dibedah mana ajarannya yang benar dan salah. Ditunjukkan kepada jamaahnya tentang kesesatan-kesesatan berpikir dan beragama atau bersyariah.
Melalui murabbi’ yang sudah teruji ideologi HTI-nya, maka dengan mudah mereka bisa mempengaruhi terhadap mindset mahasiswa yang menjadi simpatisannya.
Harus dilihat bahwa gerakan HTI adalah gerakan politik. HTI bukan hanya sekedar dakwah dalam konteks yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam, yaitu mengajak ke jalan Allah dengan hikmah, nasehat dan perdebatan yang beradab. Jika diamati gerakan HTI ialah untuk mendirikan negara Islam dalam label Khilafah Islamiyah yang bercorak trans-nasional. Puncaknya ialah pada waktu Mu’tamar Khilafah di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, Juni 2014. Semua mengusung tema yang terkait dengan bagaimana upaya untuk mendirikan Khilafah Islamiyah yang dimulai dari Indonesia. Sekarang HTI telah memiliki Cabang di 34 Provinsi dengan melakukan kegiatan yang sangat variatif untuk mempengaruhi massa. Kegiatan itu antara lain adalah penyebaran bulletin Al Islam, seminar, diskusi, bimbingan belajar, kegiatan sosial, ceramah agama di masjid, di radio, televise dan juga unjuk rasa.
Mengamati terhadap upaya yang dilakukan oleh HTI maka dapat dipastikan bawa gerakan HTI bukanlah gerakan dakwah dalam konteks penyebaran agama, akan tetapi lebih merupakan gerakan politik. Atau mungkin bisa dinyatakan sebagai gerakan politik berbaju dakwah. Siapapun yang mengamati terhadap gerakan HTI di Indonesia, maka dapat dipastikan bahwa HTI merupakan gerakan politik dan bukan gerakan dakwah semata.
Bagi HTI bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Agama dan politik berkorelasi secara integrated. Islam dan politik itu menyatu dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Makanya ketika berdakwah kemudian mengajak untuk mendirikan khilafah, maka hal ini bukan merupakan sesuatu yang mustahil sebab mendakwahkan Islam itu sama dengan mendakwahkan politik atau kekuasaan. Jadi memperjuangkan agama berarti juga memperjuangkan kekuasaan politik berbasis agama.
Oleh karena itu di manapun HTI hidup, maka yang diutamakan adalah untuk meraih kekuasaan dengan menggunakan jargon-jargon agama. Itulah sebabnya keberadaan HTI dimana pun berada dibubarkan oleh para penguasa negara sebab dianggap membahayakan terhadap pemerintahan yang sah. Saya kira hanya Indonesia yang memberikan peluang HTI berkembang dengan pesat di seluruh tanah air dalam kurun waktu yang relative panjang.
Lalu jika dalam kesempatan akhir-akhir ini pemerintah dan masyarakat lainnya menyadari akan bahaya HTI sebagai kelompok yang akan menumbangkan pemerintahan dengan cara mendeklarasikan khilafah, maka sudah selayaknya jika pemerintah melakukan upaya hukum untuk mencegahnya. Dan salah satu cara ialah dengan membubarkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PEMBUBARAN HIBZUT TAHRIR INDONESIA (HTI) (2)

PEMBUBARAN HIBZUT TAHRIR INDONESIA (HTI) (2)
Sudah tidak terhitung banyaknya berapa kali wacana pembubaran HTI ditayangkan oleh media televisi di Indonesia. Bahkan semua stasiun televisi mendiskusikannya dengan nara sumber dan content yang beraneka ragam. Makanya kemudian terjadi pro-kontra terhadap pembubaran HTI. Ada ragam pandangan tokoh tentang tema pembubaran HTI ini.
Jika dianalisis ternyata ada tiga pandangan yang sangat kontraindikatif. Saya secara sengaja memberinya istilah kontraindikatif, sebab HTI itu seperti virus yang memasuki tubuh manusia. Ada yang imun, ada yang menolak dan ada yang terpengaruh sangat kuat. Tiga di antara respon tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: pertama, yang menolak pembubaran HTI. Tentu saja yang menolak pembubaran HTI ialah pimpinan dan massa HTI. Di antara pandangan yang menolak HTI itu disuarakan oleh Ismail Yusanto dan sejumlah eksponen HTI dan juga organisasi garis keras lainnya seperti MMI dan eksponen organisasi kemahasiswaan yang selama ini memang menyuarakan Islam garis keras, seperti KAMMI. Di dalam pandangan mereka bahwa HTI tidak menyatakan menolak Pancasila, terutama Ketuhanan yang Maha Esa. Hanya saja bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan itu ialah Allah swt dan tidak ada yang lain. Konsepsi teologis itu jelas. Di satu sisi Undang-Undang itu semata milik Allah, tidak ada undang-undang yang dibuat oleh manusia. “La hukma illah lillah”. Hanya hukum Allah yang boleh berlaku di dunia ini. Mereka berlindung dengan HAM dan UU Keormasan untuk melindungi diri mereka dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak pernah melakukan dialog dan memberikan surat teguran kepada HTI. Termasuk yang menyatakan keberatan adalah beberapa politisi dari PKS. Mereka menyatakan bahwa pemerintah harus hati-hati di dalam menetapkan eksekusi mengenai pembubaran HTI. Mereka keberatan mengenai rencana pemerintah untuk membubarkan HTI.
Kedua, kelompok abu-abu atau yang berada di antara menerima atau membubarkan HTI tetapi lebih dekat kepada penolakan terhadap pembubaran HTI. Di dalam konteks ini ialah Ikatan Pemuda Muhammadiyah, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mereka melakukan penolakan terhadap upaya pemerintah untuk membubarkan HTI. Di dalam konteks tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa di era keterbukaan dan demokratisasi, maka kehadiran sebuah kelompok apapun program dan ideologinya tentu bukanlah sesuatu yang perlu untuk dilarang. Baginya, bahwa HTI bukanlah organisasi terlarang sebab belum jelas melakukan tindakan makar terhadap negara. HTI lebih dimaknai sebagai organisasi dakwah dan bukan politik. Jadi, tidak perlu dilakukan upaya untuk membubarkan HTI dimaksud.
Ketiga, yang mendukung dan mendorong pembubaran HTI. Yang bisa digolongkan dalam tipologi ini ialah NU, Muhammadiyah, PMII, Gerakan Pemuda Anshor, MUI dan organisasi lain yang senafas dengan Islam wasathiyah. Melalui berbagai pimpinannya, maka dapat dipastikan bahwa organisasi ini memang menolak terhadap upaya HTI untuk mendirikan khilafah di negara Indonesia. Di dalam banyak komentar di media dinyatakan oleh pimpinan NU, MUI dan lainnya bahwa keinginan mendirikan negara Khilafah merupakan bentuk pengingkaran terhadap NKRI dengan Pancasila dan UUD sebagai dasar ideologis dan yuridisnya. Dengan melakukan deklarasi dan pembaiatan terhadap sejumlah mahasiswa maka dapat dipastikan bahwa HTI sudah melawan negara. Maka, sahlah HTI untuk dibubarkan. Kyai Said Aqil Siraj, Kyai Marsudi Syuhud, Kyai Ma’ruf Amin, Kyai Haidar Nashir dan lainnya secara terbuka menyatakan bahwa HTI memang pantas untuk dibubarkan. Berdasarkan atas AD/ART organisasi dan juga Undang-Undang Khilafah yang diterbitkannya, maka sudah sepantasnya jika organisasi ini dicabut atau dibubarkan.
Jika dianalisis secara lebih mendasar, bahwa HTI itu seperti negara di dalam negara. Mereka di negara Indonesia, akan tetapi yang dilakukannya ialah melawan terhadap negara di mana HTI berada. HTI bukan hanya sebagai organisasi dakwah yang menginginkan terbentuknya Islam kaffah atau masyarakat yang berhukum dengan hukum syariah, akan tetapi yang paling mendasar ialah keinginan untuk mendirikan negara khilafah. Jadi yang sebenarnya menjadi maqsudul a’dzomnya ialah mendirikan negara khilafah tersebut. Jika ada sekelompok orang yang hanya menganggap HTI itu ialah organisasi dakwah, maka sesungguhnya mereka tidak mau tahu bahwa ada hidden agenda HTI untuk mendirikan negara khilafah.
Untunglah kita sekarang hidup di era keterbukaan dan demokratisasi, sehingga seringkali HAM menjadi ukuran apakah kita bisa melakukan tindakan memberangus terhadap individu atau sekelompok individu dan bahkan organisasi yang secara terang-terangan menantang negara. Jika kita hidup di era Orde Baru, maka hukum besi kekuasaan yang akan dipergunakan, sehingga tidak ada pemaafan terhadap tindakan melawan negara.
Pemerintah memang harus arif di dalam menghadapi perilaku warga negaranya. Namun demikian, jika tindakan warga negaranya itu sudah membahayakan terhadap eksistensi negara dan masyarakatnya, maka negara tentu memiliki sejumlah potensi kekuasaan untuk mengembalikan yang melenceng tersebut ke dalam system pemerintahan yang sudah diyakini kebenarannya dan teruji mempersatukan bangsa. Jadi kiranya kita perlu mendukung upaya pemerintah yang mendapatkan legitimasi dari rakyat Indonesia secara lebih memadai.
Wallahu a’lam bi aal shawab.

PEMBUBARAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI) (1)

PEMBUBARAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI) (1)
Saya diminta oleh Pak Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, untuk mewakili Beliau dalam acara Rakor Terbatas Para Menteri Kabinet Indonesia Kerja di Kemenkopolhukam. Rapat ini dihadiri oleh Panglima TNI, Wakapolri, Jamintel, Kepala BNPT, dan wakil-wakil kementerian yang diundang. Acara ini terutama membahas situasi politik akhir-akhir ini terutama pasca Pilkada DKI, yang dimenangkan oleh pasangan Anis-Sandi atas pasangan Ahok-Jarot.
Namun secara khusus sebenarnya membicarakan tentang ulah HTI yang menurut pandangan kebangsaan dan keindonesian sudah dianggap melampaui batas. Dengan memproklamirkan mengenai khilafah atau system pemerintahan berdasarkan atas pandangan khilafah ini, maka dianggap bahwa HTI telah keluar dari pakem kebangsaan dan kenegaraan. Dengan telah melakukan deklarasi tentang Khilafah, maka penganut HTI tentu sudah vis a vis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi sebenarnya telah terjadi “makar” dalam konteks negara Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila dan UUD 1945. Dengan mendeklarasikan system khilafah sebagai system kenegaraan, maka penolakan terhadap system pemerintahan Republik Indonesia sudah terjadi.
Sebenarnya, ada kegamangan untuk memperlakukan pembubaran terhadap HTI karena Undang-Undang Ormas memang mengatur secara rinci tentang proses pembubaran organisasi massa. Misalnya harus melalui pembicaraan, peringatan tertulis satu sampai tiga kali, dan baru kemudian bisa diajukan ke pengadilan jika memang telah terjadi pelanggaran. Makanya, harus dicarikan solusi yang sangat baik dan diperlukan suatu tim kecil yang akan melakukan pembahasan secara lebih mendalam untuk menentukan bagaimana sebaiknya pemerintah melakukan tindakan terhadap organisasi yang melakukan “pembangkangan” terhadap dasar negara. Baik Menkopolhukam, Panglima TNI, Kepala BNPT dan juga Wakapolri memiliki pandangan yang sama bahwa harus dilakukan tindakan yang tepat di dalam menangani kasus HTI dimaksud.
Di dalam forum ini, saya sampaikan tiga hal yang saya anggap penting terkait bagaimana seharusnya negara memperlakukan terhadap HTI. Pertama, bahwa HTI memang mengusung system pemerintahan yang dianggapnya sebagai bagian tidak terpisahkan dari keyakinannya. Yaitu system khilafah. Melalui deklarasi terhadap khilafah, maka tentu sudah dianggap bahwa NKRI dengan dasar Pancasila, UUD 1945 dan kebinekaan sudah tidak lagi relevan dengan pemikiran dan aksi politiknya. Pancasila dan UUD 1945 merupakan bagian dari system secular yang tidak sesuai dengan ajaran khilafah yang diperjuangkannya.
Mereka telah melakukan deklarasi dan mereka juga sudah melakukan baiat akan mendukung untuk memperjuangkan berdirinya khilafah di Indonesia dan juga di seluruh dunia. Pada tahun 2014 mereka telah mendeklarasikan tentang berdirinya khilafah di Indonesia dan akan terus diperjuangkannya sehingga menjadi kenyataan politik di Indonesia. Lalu mereka juga sudah melakukan baiat di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan diikuti oleh sejumlah komponen anak-anak muda atau para mahasiswa lintas perguruan tinggi dan mereka menyatakan akan berjuang sampai darah penghabisan untuk berdirinya khilafah. Mereka akan memperjuangkannya sebagai jihad fi sabilillah. Melalui deklarasi ini tentu sudah sangat kuat bukti bahwa mereka melalukan makar terhadap NKRI yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Jadi sudah ada alasan yang sangat kuat untuk mengeksekusi bahwa HTI memang lawan negara, HTI adalah musuh negara.
Kedua, berbeda dengan gerakan Hizbut Tahrir di negara lain, seperti di Libanon, Sudan, Uni Emirat Arab dan lain-lain yang menjadikan HT sebagai gerakan politik untuk melawan pemerintahan yang sah melalui hard power, maka di Indonesia HTI menggunakan cara soft power. Ada tiga cara atau strategi yang digunakan, yaitu: memperkuat dan memperbanyak agen, lalu hidup bersama masyarakat untuk menyebarkan ajaran HTI dan ketiga mendirikan khilafah melalui system pemerintahan. Secara pasti bahwa tahap pertama untuk memperkuat agen HTI sudah dilalui. Agen HTI sudah tersebar di seluruh pelosok negeri. Tidak ada lembaga pendidikan tinggi yang tidak menjadi sasaran gerakan HTI. Jika di masa lalu hanya perguruan tinggi umum saja yang terpapar virus HTI, maka sekarang PTKN juga sudah terpapar. Jadi tidak ada lagi perguruan tinggi yang tidak terdapat agen militant HTI di dalamnya.
Secara analistis dapat dinyatakan bahwa sekarang ini sedang memasuki tahapan kedua, yaitu hidup bersama masyarakat untuk menyebarkan paham kekhilafahan di kalangan masyarakat. Jika kita melihat berbagai kegiatan keagamaan dan politik yang dilakukan oleh HTI maka kita bisa menyatakan bahwa mereka telah memiliki sejumlah pengaruh di masyarakat. Sesuai dengan soft power strategy yang digunakannya, maka mereka bisa memasuki semua kawasan, baik pendidikan maupun keagamaan. Melalui lembaga pendidikan mereka merekrut kader-kader terbaik dan kemudian menjadikannya sebagai agen militant, dan ke dalam masyarakat mereka menggunakan pendekatan Islam kaffah atau Islam syumuliyah untuk mengelabui masyarakat tentang amalan yang Islami bersumber dari Timur Tengah. Melalui kader-kader yang berpendidikan Timur Tengah, maka masyarakat kita yang lagi gandrung pengamalan ajaran agama yang “asli” merasakan kehadiran HTI sebagai solusi. Bertemulah dua kepentingan, satu sisi ingin mendalami ajaran Islam melalui proyek Islam Syumuliyah dan satu sisi lainnya ingin menyebarkan ajaran agama sesuai dengan tafsirnya dengan tujuan mendirikan khilafah.
Ketiga, dewasa ini sudah muncul gerakan “NKRI Harga Mati” yang dijumpai di sejumlah acara ceramah agama, khususnya yang dilakukan oleh Kyai-Kyai NU di wilayah Jawa Timur dan lainnya. Selain itu juga di PTKIN yang sudah menyuarakan aspirasinya untuk menolak pengamalan agama yang radikal. Misalnya di UIN Aceh dilangsungkan Deklarasi Aceh yang digagas oleh para Rektor PTKIN. Di dalam acara Pekan Ilmiah, olah raga dan Seni Nasional, tanggal 24 April yang lalu sudah dilakukan pendatanganan Deklarasi Aceh, yang ditandangani oleh para Rektor PTKIN. Di antara butir penting deklarasi tersebut ialah menolak paham radikal dan terror di dalam agama, mengembangkan agama yang moderat dan mendeklarasikan untuk mempertahankan empat pilar consensus kebangsaan.
Satu hal yang ditekankan oleh Pak Wiranto ialah agar upaya untuk melakukan analisis dan berujung pembubaran HTI ini agar dapat dilakukan dengan cermat dan berdasar atas regulasi yang tepat, sehingga diperlukan diskusi-diskusi yang intensif dari tim kecil yang akan dibentuk oleh pemerintah. Sayangnya, bahwa pesan Pak Wiranto ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga terjadilah pewacanaan pembubaran HTI sebelum kajian mendalam yang bermuara pada pembubaran HTI dieksekusi.
Saya kira ini pelajaran yang mahal agar di kemudian hari tidak lagi terjadi pewacanaan terhadap upaya pemerintah untuk melarang ormas, yang sesungguhnya sedang diupayakan jalan keluarnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KINERJA PENGAWASAN KEMENTERIAN AGAMA

KINERJA PENGAWASAN KEMENTERIAN AGAMA
Saya selalu menyatakan bahwa semakin optimal pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama tentunya berkorelasi dengan semakin membaiknya transparansi dan akuntabilitas para aparat Sipil Negara (ASN) Kemenag. Hal ini saya sampaikan di dalam acara yang digelar oleh Inspektorat Jenderal (Itjen ) Kemenag, di Bogor, 30/4/2017. Acara ini diselenggarakan untuk melakukan evaluasi kinerja Triwulan I tahun 2017. Acara ini diikuti oleh segenap inspektur, pejabat eselon III dan IV dan juga tim auditor.
Di dalam acara ini, saya sampaikan tiga hal mendasar tentang kinerja dan perubahan manajemen kinerja yang sekarang sedang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, saya tentu mengapresiasi atas semua capaian kinerja Itjen Kemenag dalam tahun-tahun terakhir. Ada banyak capaian yang bisa dilakukan di antaranya ialah peningkatan kepatuhan terhadap regulasi yang sudah menjadi pedoman di dalam penyelenggaraan kegiatan. Kemudian juga mengenai audit kinerja terhadap unit-unit kerja Kemenag, baik pusat maupun daerah. Dengan menggunakan audit kinerja itu, maka ada ukuran yang lebih jelas tentang seberapa kinerja kita itu bisa diukur. Ada yang memperoleh nilai memadai, misalnya di atas 80 dan ada juga yang bernilai kurang dari 60. Saya bersyukur juga bahwa Sekretariat Jenderal Kemenag sudah memperoleh skor di atas 70 untuk audit kinerja tahun 2015.
Yang juga tidak kalah penting ialah dengan diberlakukannya Zona Integritas (ZI) dan menjadikan ratusan unit kerja untuk menjadi percontohan. Dengan menjadikan unit-unit kerja sebagai wilayah ZI, maka sekurang-kurangnya terdapat sejumlah perilaku yang lebih baik di dalam memandang terhadap integritas dimaksud. Kita sungguh merasakan bahwa membangun integritas merupakan hal yang sangat sulit di tengah lingkungan yang memang belum kondusif untuk melakukannya. Selain itu juga dengan dicanangkannya mengenai Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Kedua, secara institusional, kita sudah memiliki satu system penilaian kinerja, yang disebut dengan Sistem Informasi Penilaian Kinerja (SIPKA). Namun yang belum kita miliki adalah system penilaian kinerja individual yang memungkinkan kita bisa dengan cepat mengetahui bagaimana kinerja ASN kita sampai di daerah-daerah. Kita membutuhkan satu system manajemen informasi kinerja individu, yang bisa saja disebut sebagai Sistem Informasi Elektronik Kinerja (SIEKA) ASN Kemenag. Jika hal ini bisa dirumuskan, maka kita akan mengetahui dengan jelas bagaimana profiling ASN dan juga prestasi kinerja seluruh ASN kita di manapun berada.
Saya sudah tekankan pada Biro Kepegawaian agar membangun sinergi dengan Itjen dan juga tim ahli di bidang pemrograman untuk membangun system ini agar keinginan untuk merealisasikan tentang elektronik kinerja ASN itu akan menjadi kenyataan. Saya meminta agar pada semester II tahun 2017 sudah dirancang hal ini, sehingga tahun 2018 sudah running well. Ini adalah bagian mimpi yang harus direalisasikan segera agar kita tidak tertinggal dengan kementerian lain yang sudah menerapkannya.
Ketiga, terus terang saya secara tegas menyatakan bahwa ada ambisi dan keinginan yang kuat dari Pak Jokowi untuk mewujudkan perencanaan yang lebih operasional dan terukur. Di dalam pernyataannya di Musrenbangnas 2017 disampaikan bahwa perencanaan kita masih belum tepat sasaran. Seharusnya perencanaan itu harus bisa diukur berapa tingkat ketercapaiannya. Harus jelas sasarannya. Ada banyak perencanaan yang ketika diimplementasikan ternyata tidak bisa didayagunakan. Misalnya pembangunan waduk yang tidak diikuti dengan pembangunan irigasi dan sebagainya.
Bertitiktolak dari pemikiran Pak Joko Widodo yang simple dan terukur tersebut, seharusnya kita semua melakukan hal yang sama. Misalnya di dalam sasaran kinerja yang akan dicapai mestinya, itjen menjelaskan angka berapa banyak yang akan ditargetkan dalam setahun, seperti penetapan ZI, WBK dan WBBM berapa tahun depan dicanangkan, dan kemudian berapa tingkat ketercapaiannya. Jadi bukan dengan menempatkan prosentase capaiannya, seperti target 60 persen atau lainnya. Target harus angka riil yang akan dicapai dalam setahun anggaran. Peningkatan jumlah ASN yang makin patuh pada regulasi, maka harus dituangkan dalam angka-angka yang jelas, sehingga nanti akan diketahui berapa tingkat pencapaiannya.
Makanya, kita harus menerapkan manajemen kinerja sebagai bagian tidak terpisahkan di dalam cabinet kerja. Empat hal yang menjadi tuntutan dari manajemen kinerja harus dipenuhi, yaitu: penetapan sasaran kinerja yang menetapkan apa dan siapa yang menjadi sasaran kinerja kita. Lalu indicator kinerja yang menetapkan tentang apa, siapa, berapa dan bagaimana program dan kegiatan tersebut dilakukan, kemudian target kinerja yang berupa angka-angka yang jelas dan terukur, dan melakukan evaluasi berapa persen target tersebut bisa dilakukan melalui pencapaian kinerja atau out put dan out come.
Jika kita melakukannya dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen kinerja ini, maka kita berkeyakinan bahwa ke depan akan jelas berapa banyak dan bagaimana kualitas kinerja kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENGUATAN KOMPETENSI DI ABAD 21

PENGUATAN KOMPETENSI DI ABAD 21
Hari Jum’at, 28/04/2017, saya berkesempatan untuk datang di Jogyakarta. Tentu ada acara yang sangat penting yaitu membuka program assessment untuk calon Pejabat Tinggi Madya Kementerian Agama. Karena yang diassesment adalah para calon Pejabat Tinggi Madya, maka saya harus datang dalam kerangka mengapresiasi program ini. Acara dilangsungkan di Operation Room Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogyakarta.
Prof. Dr. Sahiron (Wakil Rektor II) UIN Suka Jogyakarta) yang mengetahui saya hadir di UIN Suka, lalu menghubungi saya, agar saya dapat memberikan pengarahan kepada para pimpinan UIN Suka Jogyakarta. Tentu saya menyambut dengan gembira atas keinginan Prof. Sahiron ini. Saya selalu merasa tersanjung jika bisa memberikan presentasi apapun temanya di perguruan tinggi. Rasanya, saya menjadi “dosen” lagi sebagaimana di masa lalu, sebelum saya menapaki pekerjaan structural di Jakarta.
Pada kesempatan yang langka ini, saya menyampaikan tiga hal sebagai masukan kepada para pejabat di UIN Suka Jogyakarta. Pertama, tentang penguatan kembali program integrasi ilmu. Saya merasakan bahwa perbincangan tentang integrasi ilmu mengalami penurunan. Di masa lalu, saya kira bahwa perbincangan tentang integrasi ilmu itu dimotori oleh UIN Jogyakarta. Dengan mengacu kepada tulisan Waryani tentang integrasi ilmu, maka dapat digambarkan bahwa pusat pengembangan integrasi ilmu itu ada di UIN Suka Jogyakarta. Saya menganggap bahwa integrasi ilmu merupakan kekhasan pengembangan akademis di PTKIN. Melalui program ini, maka dunia akademis di PTKIN memiliki distingsi dan ekselensinya. Jangan kita membandingkan ilmu sosial di PTU dengan PTKI. Pasti pertarungan dimenangkan oleh PTU, selain memiliki sejarah panjang juga pengalaman pengelolaan dan pengembangannya yang sudah mapan. Makanya, keunikan ilmu sosial di UIN adalah program integrasi ilmu, yang bisa saja disebut sebagai ilmu sosial transcendental atau ilmu sosial profetik.
Saya sungguh-sungguh berharap agar UIN Suka Jogyakarta kembali menjadi center of development dari integrasi ilmu. Saya merindukan perbincangan yang hangat tentang integrasi ilmu di masa sekarang dan akan datang. Harus ada program yang mensupport terhadap pengembangan program integrasi ilmu di dalam perjalanan perencanaan dan penganggaran.
Kedua, abad 21 memberikan tantangan sendiri terkait dengan skilled yang harus dimiliki oleh masyarakat, khususnya masyarakat professional dan akademis. Tantangan kompetensi merupakan tantangan yang sangat mendasar. Di era globalisasi maka hanya ada dua kata yang penting, yaitu kompetensi dan kompetisi. Di era seperti ini, maka PTKI harus memberikan jawaban. Salah satu di antaranya ialah tentang relevansi kurikulum dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh alumni. Harus dirumuskan dengan jelas kompetensi dasar dan intinya, sehingga akan menghasilkan alumni UIN yang hebat, yang memiliki kompetensi dan kompetisi. Harus ada keberanian untuk merekonstruksi kurikulum agar selaras dengan tujuan untuk mengembangkan skilled mahasiswa yang memiliki relevansi dengan tuntutan perubahan. Saya kira diperlukan perubahan drastis tentang kurikulum ini. jangan selalu terpaku dengan kurikulum lama yang sudah out of date. Mahasiswa harus dibekali dengan kompetensi professional, kepribadian dan sosial agar mereka bisa menatap masa depan dengan kepala tegak dan dada membusung. Bukan karena kesombongan akan tetapi karena keberanian berbasis kompetensi yang cukup.
Lalu komunikasi yang andal. Saya memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya kita memiliki modalitas yang sangat memadai. Ada modalitas pengetahuan, modalitas SDM, modalitas spiritual, modalitas sosial dan bahkan modalitas politik. Jika modalitas ini bisa disupport oleh kemampuan komunikasi yang baik, maka dapat dipastikan akan terdapat semakin banyak jejaring yang kita miliki. Di era globalisasi maka yang menentukan ialah kemampuan komunikasi untuk mengembangkan jejaring.
Kemudian kemampuan kolaborasi. Di era persaingan bebas, maka sebenarnya harus ada sebuah team work yang bagus. Sebuah team yang bagus akan dapat memberikan support terhadap kerja pimpinan di dalam banyak event. Saya kira meskipun ada seorang pimpinan yang visioner, akan tetapi jika tidak ditopang oleh team yang hebat, maka dapat dipastikan akan terdapat ketimpangan. Keberhasilan lembaga atau institusi di dalam kemajuan ternyata memang didukung oleh team work yang hebat, dengan ide dan kemampuan bekerja yang hebat.
Selain itu juga harus ada kreativitas. Bisa jadi harus ada creative minority yang bisa menghasilkan ide atau gagasan yang dapat menjadi bahan atau sumber inovasi. Di era sekarang, maka keberhasilan di dalam suatu kepemimpinan ialah keberadaan team work yang baik dan disupport oleh creative minority yang andal. Saya kira ada banyak contoh bagaimana keberhasilan suatu institusi, lembaga atau organisasi itu disupport secara luar biasa oleh orang-orang kreatif yang jumlahnya tidak perlu banyak.
Ketiga, yang tidak kalah penting ialah bagaimana memanej terhadap perubahan tersebut. Di dalam konteks ini, maka kita harus mempersiapkan anggaran yang baik, jelas dan terukur hasilnya. Saya mengapresiasi terhadap upaya yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang begitu konseren agar anggaran harus dirumuskan untuk program yang jelas dan terukur dan dapat dirasakan hasilnya oleh rakyat. Program itu tidak usah terlalu banyak, tetapi memiliki quick win yang jelas, menjadi unggulan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu saya juga berharap agar UIN Suka Jogyakarta dapat melakukan evaluasi penganggarannya pada tahun 2018 agar bisa memenuhi keinginan Presiden untuk merumuskan anggaran yang tepat sasaran, tetap guna dan tepat manfaatnya. Dan itu memerlukan kebersamaan untuk merumuskannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.