• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (1)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (1)
Diskusi panjang tentang perlu atau tidaknya Lima Hari Sekolah (LHS) sudah menguras energy kita semua. Saya kira problem utamanya bukan pada lima hari sekolahnya akan tetapi pada bagaimana mensinergikan antara kepentingan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan pendidikan keagamaan di bawah Kementerian Agama.
Perbincangan ini tentu sudah cukup untuk menguras energi kita dan bahkan terasa tidak produktif di kala masing-masing bersitegang tentang keharusan dan ketidakharusan bahkan penerimaan dan penolakan. Esensi dari perdebatan ini sesungguhnya berada di dalam kawasan mempertahankan yang sudah ada dan melakukan perubahan di sisi yang lain.
Bagi mereka yang menolak tentu juga memiliki dasar logika yang sangat masuk akal, seperti akan tergusurnya lembaga pendidikan yang selama ini diselenggarakan di waktu sore hari, misalnya madrasah diniyah (Madin), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), lembaga pendidikan sore hari yang selama ini menyelenggarakan pendidikan tambahan bagi pendidikan formal, semacam kursus-kursus untuk pendalaman materi pembelajaran di sekolah ( bimbingan belajar) yang menjamur di Indonesia dan sebagainya.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Agama, maka terdapat sebanyak puluhan ribu lembaga pendidikan ( madrasah diniyah) yang selama ini terlibat di dalam membantu program pendidikan agama. Dan juga terdapat puluhan juta anak yang belajar di lembaga ini dan jumlah guru yang mencapai angka ratusan ribu. Selama ini mereka telah berusaha dengan sangat gigih untuk membantu program literasi keagamaan.
Jawa Timur misalnya memiliki program penyetaraan Strata Satu (S1) bagi guru madrasah diniyah di seluruh Jawa Timur bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKI) yang tersebar di Jawa Timur. Semenjak tahun 2010 program ini dilaksanakan dan sudah ribuan guru madin yang memperoleh manfaatnya. Tidak berhenti di sini tetapi juga dilanjutkan dengan program sertifikasi bagi mereka yang sudah lulus strata satu (S1). Artinya, program pendidikan madrasah diniyah sudah memasuki era kemantapan kelembagaan dan kemantapan SDM.
Dan yang unik lembaga-lembaga pendidikan diniyah ini “kebanyakan” bernaung di bawah Organisasi NU dan bukan berafiliasi di Muhammadiyah. Logika berbasis pengalaman empiris ini yang kemudian memantapkan sikap penolakan NU terhadap rencana Lima Hari Sekolah( LHS) atau Program Pendidikan Karakter (PPK) yang direpresentasikan dengan lima hari sekolah atau Delapan Jam Sekolah (DJS) atau Full Day School (FDS). Merasa bahwa lembaga-lembaga pendidikan diniyah ini akan “tergusur” dengan delapan jam sekolah, maka disuarakan dengan sangat lantang “menolak” FDS, LHS atau DJS oleh NU, dan pesantren-pesantren yang selama ini berada di dalam naungan NU.
Memang harus diakui bahwa Madin, Madrasah Diniyah Takmiliyah, TPQ dan sebagainya itu telah memiliki sejumlah pengaruh yang signifikan di dalam program literasi agama. Saya ingin mengambil contoh Pendidikan Diniyah yang mengkhususkan programnya pada pendidikan Al Qur’an di Desa Borehbangle, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Sebuah lembaga pendidikan di daerah pedesaan yang sangat maju dalam pembinaan anak didik di bidang khusus “baca Al Qur’an”. Anak-anak Sekolah Dasar di desa sekelilingnya jika sore hari belajar di sini. Jam 15-17. Cukup dua jam sehari. Selama enam hari. Anak-anak usia 9-10 tahun sudah sangat fasih membaca Al Qur’an dengan tajwid dan makharij al Hurufnya. Mereka menyelesaikan 15 sampai 20 juz dengan bacaan yang sangat memadai sesuai dengan kaidah baca Al Qur’an. Ratusan anak yang belajar di Lembaga pendidikan Al Qur’an ini. Mereka menemukan metodologi pembelajaran al Qur’an yang sangat autentik dan menjadi tujuan membelajarkan anak-anak di bidang al Qur’an.
Jika program LHS atau DJS dilakukan maka dipastikan bahwa anak-anak yang selama ini sudah belajar di lembaga ini akan “drop out” karena aturan yang mengharuskan mereka belajar delapan jam itu. Artinya, mereka akan terputus program pembelajarannya dan akan memasuki arena baru LHS atau DJS yang belum tentu memiliki kualitas dan profesionalitas mengajarkan al Qur’an sebagaimana metodologi yang dikembangkan di Madrasah Diniyah dimaksud.
Inilah sesungguhnya yang menjadi keberatan bagi mereka yang menolak terhadap program pembelajaran LHS atau DJS. Dengan demikian, penolakan ini lalu menjadi rasional bagi kelompok NU dengan segenap eksponennya. Resistensi ini sesungguhnya sangat masuk akal dan memang berbasis pada kenyataan empiris di masyarakat.
Dengan demikian, jika NU, MUI dan juga beberapa organisasi lain menolak program LHS atau DJS maka hakikatnya bukan karena anti terhadap kebijakan itu, akan tetapi kemadharatan yang diindikasikan akan terdapat di dalamnya. Jadi seharusnya kita memang harus berpikir ulang tentang kebijakan dimaksud sambil mencari solusi yang mengenakkan semuanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TANTANGAN SERTIFIKASI MUBALIGH PADA ERA MILENIAL (2)

TANTANGAN SERTIFIKASI MUBALIGH PADA ERA MILENIAL (2)
Di dalam acara workshop yng diselenggarakan oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya itu, 08/07/2017, saya sampaikan tiga hal penting. Pertama, kita sedang menghadapi tantangan generasi Milenial. Generasi yang dilahirkan pasca tahun 1980, disebut sebagai generasi milenial atau generasi Y atau juga disebut sebagai generasi Echo Boomers atau NetGen.
Berdasarkan bukunya, Jennifer J, Deal dan Alec Levenson yang berjudul “What Millenial Want from Work”, yang diresensi oleh Chrsitianto Sidoro dalam judul “Yang Didambakan oleh Generasi Milenial” di dalam Majalah “Swa” dinyatakan bahwa ada tiga hal mendasar bagi generasi milenial, yaitu: 1) kerja keras dan anti rutinitas. Generasi milenial ditandai dengan keinginannya yang kuat untuk bekerja keras. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan kerja keras semata maka kesuksesan akan bisa diraih. Tidak ada keberhasilan yang tidak dilalui melalui kerja keras itu. Makanya yang didambakan ialah dunia kerja yang memberikan peluang untuk bekerja secara optimal dan memuaskan. Selain itu mereka juga masuk dalam kelompok generasi yang tidak suka kemapanan. Mereka tidak menghendaki hal-hal yang rutin dan terus menerus dikerjakan. Mereka ingin selalu ada perubahan demi perubahan, baik dalam suasana kerja, jaringan dan juga hasil atau produk kerjanya. Itulah sebabnya mereka sering berganti-ganti pekerjaan sampai ditemukan jenis dan model pekerjaan yang cocok dan relevan bagi kebutuhannya.
2) tuntutan kebutuhan dan kemandirian. Sebagaimana diketahui bahwa para generasi milenial itu lahir di era post modern. Mereka merupakan generasi yang lahir bersamaan dengan berakhirnya era modern dan muculnya post modern dengan segenap konsekuensinya. Makanya, mereka tentu memiliki kebutuhan yang berbeda dengan generasi yang lahir di era masyarakat tradisional. Bagi kita yang lahir di era 1950-an, maka pikiran dan dunia kita adalah dunia pertanian, perkebunan dan perikanan tradisional dengan segala keterbatasannya. Generasi sekarang adalah generasi yang memiliki kompleksitas kebutuhan di era modern. Bagi mereka keterpenuhan kebutuhan adalah kunci kesuksesan. Makanya, idolanya ialah orang-orang yang sukses secara ekonomi. Tolok ukurnya ialah keberhasilan dan kesuksesan ekonomi. Itulah sebabnya mereka juga menjadi generasi yang menuntut kemandirian. Mereka lebih eksklusif di dalam menghadapi kehidupan ini. Jadi mereka adalah sosok individu yang mendambakan kebebasan dan menghindari tekanan dari kelompok lainnya. Makanya, mereka tidak menyukai terhadap otoritas kepemimpinan yang gigantic and powerfull, baik di masyarakat, negara atau pekerjaan yang terlalu kuat, sehingga menghambat kebebasannya dan perubahan yang diinginkannya.
3) peran teknologi informasi dan koneksi. Salah satu yang membedakan di antara generasi milenial dan generasi sebelumnya ialah terkait dengan teknologi. Generasi Y memiliki peluang yang sangat besar untuk hidup dengan kompleksitas teknologi informasi. Hampir keseluruhan generasi Y memiliki pemahaman mengenai teknologi informasi. Mereka kuasai aplikasi teknologi informasi dengan sangat memadai. Mereka memang benar-benar telah memasuki generasi yang hidup dengan sangat akrab dengan teknologi informasi. Aplikasi seperti Youtube, Skype, H5, instagram, Face book, dan sebagainya dapat menjadi teman akrabnya. Tiada hari tanpa koneksi dengan teknologi informasi. Makanya, meskipun mereka tidak memiliki teman secara fisikal yang banyak, akan tetapi teman di dunia maya tentu tidak terbilang jumlahnya. Itulah sebabnya mereka menjadi bagian dari dunia internasional disebabkan oleh banyaknya teman di dunia maya tersebut. Masih ingatkah kita akan pernikahan yang dilakukan oleh seorang pemuda desa di Jawa Tengah dengan gadis Italia yang intensitas pertemuannya ternyata di dunia maya. Dengan kenekadannya, gadis Italia tersebut datang ke Jawa Tengah dan kemudian mereka berdua dinikahkan.
Di sisi lain, misalnya semaraknya bisnis melalui teknologi informasi, seperti perusahaan on line juga tidak lepas dari lahirnya generasi milenial. Kecepatan dan kemudahan hidup bisa diperoleh melalui teknologi informasi telah menjadi gaya hidupnya. Dengan demikian, lahirnya generasi milenial merupakan penanda baru bagi perubahan orientasi dan gaya hidup masyarakat post modern yang memang telah menjadi kenyataan kehidupan.
Kedua, tantangan perubahan global. Dewasa ini kita sudah memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Di era ini maka yang menjadi tantangan utamanya ialah freedom of labor atau kebebasan ketenagakerjaan. Negara tidak lagi akan memproteksi negaranya dari “serbuan” tenaga kerja asing. Di era global, maka ada tiga kata kunci, yaitu “ketiadaan proteksi”, dan semakin menguatnya “kompetensi dan Kompetisi”. Ini merupakan tantangan kita yang sangat dahsyat. Kita tidak bisa menghindar dari dunia global. Kita tidak mungkin melawan globalisasi atau tidak akan melawan ketiadaan proteksi dan semakin pentingnya kompetensi dan kompetisi. Dengan demikian, kita mesti menghadapi terhadap tantangan globalisasi dengan menyadari bahwa kita harus melakukan sesuatu yang lebih baik, dan hal itu ialah peningkatan kualitas pendidikan.
Ketiga, dua tantangan di atas yang harus direspon oleh para pendidikan, khususnya bagi pendidik, termasuk para penyebar agama atau mubaligh. Kita msetilah melakukan peninjauan ulang terhadap pendidikan kita. ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu: 1) melakukan pembenahan terhadap program pembelajaran kita secara menyeluruh. Harus direview kurukulum kita dan juga program pembelajaran yang kita lakukan. Apakah kita akan terus mempertahankan gaya lama di dalam proses pembelajaran tanpa mengindahkan kebutuhan para generasi milenial yang tentu lebih kompleks tuntutannya. Apakah kita akan terus mendidik mereka dengan program pembelajaran masa lalu, yang sudah tidak up to date lagi. Ataukah kita harus menyesuaikan dengan perubahan zaman yang memang menuntut perubahan termasuk perubahan akan visi dan misi pendidikan untuk era yang akan datang.
Saya kira semua harus berubah dan semua harus terlibat di dalam proyek perubahan tersebut. Salah satu gap yang dihadapi oleh para dosen dengan para mahasiswa sekarang ialah kesenjangan mind set di antara dua entitas ini. Para dosen hidup dengan zamannya sendiri, sementara para mahasiswa hidup dengan zaman mereka pula. Jadi harus ada upaya untuk mempertemukan di antara dua generasi beda zaman tersebut.
2) strategi lainnya ialah standarisasi dan sertifikasi. Dua kata ini saya kira penting untuk menjawab terhadap kompetensi dan kompetisi yang terus bergerak di era global. Kita harus menstadarisasi terhadap kompetensi partner kita, atau mahasiswa. Jangan biarkan mereka hanya memiliki lembar ijazah dan nilai kumulatif. Mereka harus memiliki banyak sertifikat. Misalnya, sertifikat komputer berstandart internasional, bahasa asing berstandart internasional, kepemimpinan, sertifikasi keahlian dan sebagainya. Jadi seorang mahasiswa akan memiliki kelebihan keahlian yang semuanya standardized.
Di sinilah arti pentinya upaya untuk melakukan sertifikasi mubaligh sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan mereka berbasis pada standarisasi yang reasonable. Hanya saja untuk standarisasi itu, maka peran Prof. Mohammad Ali Azis dan Dr. Chalil Nafis akan menjadi penting. Keduanya tentu memiliki seperangkat pengalaman bagaimana memandang mubaligh yang standardized dimaksud.
Saya berharap bahwa workshop ini akan bisa menjadi pintu masuk bagi upaya untuk menghasilkan standarisasi bagi kaum mubaligh sebagai upaya untuk melakukan sertifikasi bagi mereka. Saya berkeyakinan bahwa sertifikasi mubaligh menjadi mendesak di tengah keinginan kita untuk meningkatan kualitas kehidupan beragama di kalangan masyaraat kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TANTANGAN SERTIFIKASI MUBALIG DI ERA MILENIAL (1)

TANTANGAN SERTIFIKASI MUBALIG DI ERA MILENIAL (1)
Pekan ini saya merasakannya sebagai hari-hari yang menyenangkan sebab saya bisa hadir di UIN Sunan Ampel Surabaya dalam kegiatan Halal bil Halal dan Pembinaan ASN, serta kegiatan Peran Sertifikasi Mubalig dalam Kehidupan Beragama. Sebuah momentum yang menyenangkan bisa kembali hadir di perguruan tinggi yang membesarkan saya. Sungguh tanpa UIN Sunan Ampel saya tentu bukan siapa-siapa.
Saya selalu mengenang IAIN Sunan Ampel yang kini menjadi UIN Sunan Ampel sebagai tempat yang penting di dalam karir akademik dan juga birokrasi yang saya jalani.
Saya sungguh mengagumi terhadap perubahan fisikal UIN Sunan Ampel. Kala saya menjadi rektor, selama tiga tahun, maka proyeksi saya adalah bagaimana agar terjadi revolusi fisikal itu. Dan saya merasakan bahwa upaya untuk menyusun proposal, mendiskusikan dan membuka jalur ke Islamic development Bank (IDB) yang dulu saya dan semua jajaran lakukan tersebut ternyata berbuah sangat manis.
Dulu saya selalu mengagumi perguruan tinggi dengan bangunan-bangunan yang sangat baik. Misalnya di dalam kunjungan saya ke Melbourne, Sydney dan Wollongong, maka saya selalu kagum dengan ruang-ruang theatrenya, kagum pada perpustakaannya dan sebagainya. Bahkan ketika saya datang ke Marmara University, Turki, maka saya kagumi ruang-ruang theatrenya. Tetapi kini saya harus membanggakan bahwa ruang theatre UIN Sunan Ampel Surabaya, ternyata tidak kalah dengan semuanya. Meski saya berada di UIN Sunan Ampel Surabaya, rasanya saya berada di Melbourne University. Dulu saya selalu menyatakan bahwa dengan sentuhan IDB, maka kita bisa melipat waktu 45 tahun menjadi 4 tahun saja. Ucapan saya itu terbukti, bahwa UIN Sunan Ampel Surabaya bisa membangun fisiknya menjadi luar biasa dalam waktu empat tahun saja. Jika secara regular pasti membutuhkan waktu selama 45 tahun. Ini adalah sebuah keajaiban yang menjadi nyata. Beyond believe.
Saya memang belum sempat untuk melihat seluruh ruangan dan fasilitas pendidikan di UIN Sunan Ampel, akan tetapi dengan melihat ruangan theaternya dan beberapa di antaranya, maka gambaran akan kehebatan fasilitas pendidikan di UIN Sunan Ampel pastilah sudah memenuhi persyaratan akademis. Jika tahun 2018, pembangunan fasilitas gedung di Gunung Anyar dapat dilakukan sesuai dengan format loan IDB, maka dipastikan bahwa sarana dan prasarana fisikal UIN Sunan Ampel pastilah makin luar biasa. Kampus UIN Sunan Ampel yang di Gunung Anyar itu berada di lintasan jalan dari dan ke Bandara Juanda. Jadi orang yang ke dan dari Bandara Juanda untuk ke Surabaya, maka dipastikan akan melewati Kampus UIN Sunan Ampel yang megah. Sungguh impian banyak pimpinan Perguruan Tinggi. Ini juga akan menjadi mimpi yang menjadi kenyataan.
Saya bersyukur bisa menikmati acara di ruang theater UIN Sunan Ampel. Acara yang diberi tema “Peran Sertifikasi Mubaligh bagi Kehidupan Beragama” ini tentu sangat penting. Hadir di acara ini Prof. Dr. Mohammad Ali Azis, penulis buku laris “Terapi Shalat Bahagia” dan juga da’i internasional. Sudah berdakwah di Afrika, Eropa, Amerika dan juga Australia. Lalu, Dr. Ahmad Yani Basuki, Mayjen Purnawirawan, doctor di bidang sosiologi militer yang langka, Prof. Dr. Aswadi, ahli Hadits, khususnya hadits tentang pengobatan Islam, mereka adalah alumni Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Lalu hadir juga Prof. Abd. A’la, Rektor UIN Sunan Ampel, Prof. Dr. Ali Mufrodi, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan, dan juga Dr. Chalil Nafis, cendekiawan Islam yang juga asset internasional, pimpinan MUI Pusat. Hadir juga para dosen dan alumni Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel.
Saya sampaikan beberapa hal sebagai pengantar untuk diskusi lanjutan di dalam workshop ini. yaitu, Kementerian Agama memiliki pengalaman pahit terkait dengan upaya untuk melakukan sertifikasi penceramah agama. Di kala istilah sertifikasi diungkapkan oleh Majalah Tempo, maka serentak terjadi penolakan luar biasa dari kalangan yang selama ini dikenal sebagai dai yang dikenal menggunakan “kebebasan” untuk mendakwahkan tafsir agamanya di kalangan masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa di era “kebebasan” ini, maka forum keagamaan juga menjadi sarana untuk membicarakan politik praktis. Terutama di era pilkada DKI, maka forum keagamaan, termasuk khutbah Jumat, juga tidak lepas dari upaya untuk menjadikannya sebagai forum untuk membicarakan politik. Sehingga nuansa Khutbah Jum’ahnya menjadi bercorak politik ketimbang pembicaraan agamanya. Mereka beralasan bahwa Islam dan politik tidak bisa dibedakan. Memilih pemimpin harus bersendi agama. Dan yang lebih mendasar lagi, orang yang memilih lawan politiknya dianggap sebagai kafir dan dilarang disalatkan di masjid yang dikuasainya.
Diskusi tentang sertifikasi atau standarisasi lalu menjadi pembicaraan yang sangat intensif baik di media sosial maupun media cetak, televise dan radio. Perdebatan tentang hal ini benar-benar menyita perhatian kita semua dan menjadi trending topic selama berbulan-bulan. Akhirnya, pembicaraan inipun reda pasca pilkada, yang dimenangkan oleh pasangan Anies-Sandi dan terkaparnya pasangan Ahok-Djarot. Akhir-akhir ini memang sudah tidak lagi terdapat diskusi public di sekitar sertifikasi atau standarisasi penceramah agama. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh diterbitkannya “Maklumat” Menteri Agama yang berisi Sembilan pesan. Namun sebagaimana yang sering saya ungkapkan bahwa intinya tiga saja, yaitu: “sebarkan agama yang memberikan ketenangan dan kedamaian”, lalu “tegakkan kebangsaan melalui pilar konsensus bangsa” dan “hindari pembicaraan politik praktis, kebencian, caci maki dan sabagainya”.
Workshop ini sebagaimana dinyatakan oleh Prof. A’la untuk menghasilkan standarisasi mubaligh di dalam kerangka untuk mengembangkan Islam yang rahmatan lil alamin di tengah semakin menguatnya arus radikalisme, ekstrimisme dan kekerasan agama yang terus terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Keinginan ini tentu tidak berlebihan dan semua di antara kita memang berkehendak agar Islam Indonesia akan semakin kuat dengan penyebarannya yang penuh kedamaian dan keselamatan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PETUGAS HAJI ANDALAN

PETUGAS HAJI ANDALAN
Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pengarahan dalam acara penutupan pelatihan petugas haji atau Panitia Penyelenggara Haji Indonesia (PPIH), yang dilaksanakan di Asrama Haji Pondok Gede, yang dilaksanakan oleh Direktorat Bina Haji dan Umroh pada Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama. Acara dilaksanakan pada tanggal 22 Juni 2017.
Acara ini diikuti oleh sebanyak 780-an peserta yang terdiri dari petugas kloter, yaitu TPHI, TPIHI dan petugas kesehatan. Hadir pada acara ini, Direktur Bina Haji dan Umrah dan segenap jajarannya, Kepala Biro Umum Kemenag, Kepala Biro Perencanaan Kemenag, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Kesehatan, yang mewakili TNI dan juga Polri serta para narasumber, pelatih dan pendamping pelatihan.
Di dalam kesempatan ini, saya sampaikan tiga hal penting, yaitu: Pertama, saya mengapresiasi terhadap penyelenggaraan pelatihan selama 10 hari. Saya bersyukur bahwa ternyata pelatihan ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan pengetahuan bagi para petugas haji. Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Bina Haji, Dr. Muhajirin, bahwa di dalam pre test, rerata nilai peserta adalah 60-an dan setelah mengikuti sessi demi sessi pelatihan ternyata meningkat menjadi 80 lebih pada rerata post test. Hal ini memberikan gambaran bahwa pengetahuan mengenai perhajian bagi petugas meningkat dengan sangat drastis. Demikian pula para petugas kesehatan, dari pre test dihasilkan rerata 80 an dan setelah mengikuti pelatihan maka nilainya sebesar di atas 90 pada reratanya. Kenyataan ini yang memberikan gambaran bahwa pelatihan ini memiliki makna strategis bagi petugas haji yang akan melaksanakan tugas negara untuk jamaah haji Indonesia.
Kedua, saya membuat rumusan agar para petugas haji menjadi petugas yang andal. Rumusan tersebut ialah 5 (lima) J. 1) Jadilah petugas yang sehat. Kesehatan merupakan kata kunci di dalam ibadah haji. Hampir seluruh pelaksanaan ibadah haji adalah urusan fisik. Makanya, memiliki fisik yang sehat tentu menjadi syarat utama bagi jamaah haji dan juga petugas haji. Jangan sampai petugas haji justru tidak sehat. Secara fisikal petugas haji harus memiliki fisik yang prima. Dengan melihat para petugas yang reratanya masih muda, maka saya berkeyakinan bahwa mereka adalah orang yang memiliki kesehatan yang memadai di dalam penyelenggaraan haji.
2) Jadilah petugas yang perkasa. Saya sungguh-sungguh berharap bahwa para petugas haji adalah orang yang sigap, cepat, tanggap dan kuat di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Tugas haji adalah tugas yang tidak mengenal waktu. Bagi petugas kesehatan, maka akan bisa dipanggil jam berapa saja. Mungkin kita baru saja memejamkan mata, akan tetapi ketika ada penggilan harus menolong orang yang sakit maka tidak ada alasan untuk tidak datang. Demikian pula petugas kloter lainnya. Maka dia juga harus sigap untuk membantu jam berapa saja dan di mana saja. Keperkasaan ini sungguh diperlukan di saat kita mendampingi jamaah haji di Mekkah maupun di Madinah serta di Armina.
3) Jadilah petugas yang memahami seluk beluk perhajian. Petugas haji tidak memandang apa tugasnya akan selalu dianggap oleh para jamaah sebagai orang yang tahu tentang penyelenggaraan haji. Mereka dianggap yang tahu regulasi haji, yang tahu manasik haji, yang tahu peta dan lokasi haji dan seterusnya. Makanya kita akan menjadi tempat bertanya bagi jamaah haji. Masih ada waktu yang tersisa sebelum keberangkatan haji, saya berharap pelajari manasik haji, pelajari Google Map agar kita tahu sedang berada di mana di peta Arab Saudi dan juga jamaah kita ada di mana. Mumpung masih ada waktu untuk belajar secara optimal untuk menjadi petugas yang paham tentang seluk beluk perhajian.
4) Jadilah petugas yang melayani jamaah haji secara optimal. Sekarang sudah eranya kita berbuat yang tindakan itu akan memberikan rasa dilayani oleh parner kita. Era sekarang adalah era di mana kita harus memberikan pelayanan yang bisa memberikan kepuasan bagi para pelanggan kita yang di dalam konteks ini ialah para jamaah haji. Kita bersyukur bahwa skore hasil survey kepuasan jamaah haji Indonesia semakin membaik. Tahun 2016, skore yang diperoleh dari survey BPS ialah sebesar 83,83 persen. Itu artinya kita sudah mendekati angka 85 persen. Jika tahun ini pelayanan kita optimal dan memperoleh skore 85 lebih maka dipastikan bahwa kepuasan pelanggan kita sangat memuaskan. Saya kira tinggal sedikit lagi untuk mencapai angka tersebut.
5) Jadilah petugas yang ikhlas. Salah satu kekuatan kita sebagai petugas adalah keikhlasan. Jika kita bekerja dengan ikhlas, maka segala bentuk kelelahan, kesulitan dan kerumitan itu akan dapat diselesaikan dengan baik. Yakinlah bahwa Allah akan memberikan pertolongan kepada kita semua jika kita bisa bekerja dengan sepenuh keikhlasan. Saya juga berkeyakinan bahwa hanya dengan keikhlasan semata, maka pahala dari Allah itu akan dapat diraih. Jadi mari kita tata niat kita untuk bekerja dengan ikhlas dan Allah pasti akan meridhoi apa yang kita lakukan.
Ketiga, kita ini adalah petugas negara, sebab berdasarkan UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji, maka penyelenggara haji adalah negara. Oleh karena itu petugas haji hakikatnya mengemban tugas negara. Sebagai petugas negara, maka kita semua adalah duta-duta bangsa yang akan menentukan keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji. Oleh karena itu, mari kita wujudkan 5 (lima) J di atas agar penyelenggaraan haji akan memperoleh penilaian optimal, yaitu kepuasan pelanggan atau customer satisfaction.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJADI PENJAGA INTEGRITAS

MENJADI PENJAGA INTEGRITAS
Pada akhir Ramadlan, 2017, memang ada banyak kegiatan yang dilakukan oleh para pejabat unit eselon satu Kementerian Agama. Di antara yang menyelenggarakan tersebut ialah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Kali ini, saya diundang oleh Sdr M. Munir, Kasubdit Organisasi Tata Kelola pada Ditjen Pendis untuk memberikan taushiyah Ramadlan dan sekaligus pembinaan ASN pada Subdt Ortala Ditjen Pendis. Selain saya, yang menjadi narasumber adalah Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI dan juga Rais Am PBNU.
Pada kesempatan yang membanggakan ini, saya sampaikan tiga hal mendasar agar bisa menjadi pedoman di dalam melaksanakan kegiatan pada ditjen Pendis. Pertama, saya merasakan bahwa ada desakan yang sangat kuat agar para ASN kita semakin mematuhi regulasi. Tema-tema pembicaraan yang kita lakukan di dalam banyak hal ialah mengenai bagaimana agar compliance kita itu semakin meningkat. Itulah sebabnya pada kesempatan ini saya menyatakan apresiasi terhadap kegiatan yang terkait dengan pembinaan ASN. Kita ingin agar kita mengingat kembali niat kita untuk bekerja di Kementerian Agama. Bukankah kita ini tidak hanya mengurus persoalan duniawi tetapi juga persoalan ukhrawi. Kita mengurus orang yang akan memasuki surga dan menjaga agar mereka tidak masuk neraka.
Kedua, di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi kita, agar kita menerapkan rumus 3 (tiga) J, yaitu: 1) Jaga integritas. Kita sudah memiliki 5 nilai budaya kerja dan yang utama dan mendasari lainnya ialah integritas. Percuma saja menjadi ASN yang professional, inovatif, jika tidak didasari oleh integritas. Tanggungjwab dan keteladanan hanya akan diperoleh jika integritas kita sangat teruji. Di dalam konteks ini, maka menjaga integritas menjadi sangat penting. Upayakan agar kita terus berada di dalam konteks kejujuran, amanah dan menjaga kepercayaan yang diberikan kepada kita.
Harkat dan martabat kemanusiaan kita itu sesungguhnya terletak pada kejujuran yang kita miliki dan kita lakukan. Dia tidak hanya ada di dalam slogan-slogan dan banner-banner dan bahkan juga tidak hanya ada di dalam upacara-upacara tetapi berada di dalam tindakan dan perilaku kita. Janganlah kita merekayasa kegiatan yang tidak ada kegiatannya. Janganlah kita memanipulasi public kita dengan tindakan culas yang tidak relevan dengan pedoman beragama kita.
2) Jaga kebersamaan. Di dunia ini tidak ada kesuksesan tunggal atau keberhasilan yang dicapai oleh individu dengan dirinya sendiri. Semua dilakukan dalam kebersamaannya dengan lainnya. Allah memang menciptakan kita semua untuk saling tolong menolong. Kita harus saling membantu agar kita mencapai yang terbaik. Islam mengajarkan kepada kita agar kita selalu tolong menolong di dalam kebaikan. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia memang secara sunnatullah memiliki kemampuan dan potensi untuk saling menolong.
Kita terkadang menjadi menyesalkan jika tidak terdapat kebersamaan di dalam bekerja. Kebersamaan di dalam kebaikan. Agar kita juga saling mengingatkan. Jika ada kelakuan rekan kerja kita tentu harus diingatkan. Jangan dibiarkan bahkan ditunggu kesalahannya. Saling tolong menolong dan saling mengingatkan adalah pasangan perintah Allah untuk bekerja sama. Jika di dalam dunia kerja lalu tidak didasari oleh dua konsep ini, maka akan mengalami kegagalan. Desain Allah di dalam kerangka relasi antar manusia ialah melalui konsep pertolongan dan penasehatan. Dua prinsip ini yang kiranya akan menjadi kata kunci kebaikan, keberhasilan dan bahkan kesejahteraan.
3) Jaga kerja keras. Tidak ada keberhasilan yang bisa diperoleh tanpa kerja keras. Agar kita bisa mencapai visi dan misi kelembagaan kita, maka kita semua harus bekerja keras untuk lembaga kita. Oleh karena itu, kita harus memiliki etos kerja yang kuat. Janganlah kita bekerja apa adanya saja. Janganlah kita bekerja hanya sebatas bekerja. Akan tetapi yang diharapkan ialah bekerja yang optimal agar visi dan misi Kementerian akan bisa dicapai.
Kita harus mengaca terhadap kesuksesan negara-nega lain yang memiliki kerja keras, misalnya Singapura, Korea Selatan dan beberapa negara lainya. Singapura menjadi hebat karena kerja keras warga negaranya, demikian pula Korea Selatan yang menjadi new emerging economy juga disebabkan oleh kerja keras dari warga negaranya, khususnya para aparat negara dan aparat swastanya. Semua berupaya untuk bekerja keras sehingga misi dan program yang dilakukan akan menuai keberhasilan yang tinggi.
Dengan demikian, Kementerian Agama, khususnya Ditjen Pendidikan Islam akan bisa memberikan pelayanan yang optimal kepada para stakeholdernya di kala semua ASN-nya bisa melakukan kerja yang berbasis pada integritas dan didukung oleh kebersamaan dan kerja keras. Saya sungguh berkeyakinan bahwa bangsa pribumi malas hanyalah mitos yang dibuat oleh mereka yang tidak menghendaki kita semua maju,
Marilah kita sadari bahwa kita bisa bekerja dengan baik melalui menjaga integritas, menjaga kerja sama dan juga menjaga kerja keras yang sesungguhnya menjadi tradisi kita. bulan puasa ini saya kira adalah moment yang tepat untuk melakukan “muhasabah” terhadap apa yang sudah kita lakukan selama ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.