• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (1)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (1)
Diskusi panjang tentang perlu atau tidaknya Lima Hari Sekolah (LHS) sudah menguras energy kita semua. Saya kira problem utamanya bukan pada lima hari sekolahnya akan tetapi pada bagaimana mensinergikan antara kepentingan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan pendidikan keagamaan di bawah Kementerian Agama.
Perbincangan ini tentu sudah cukup untuk menguras energi kita dan bahkan terasa tidak produktif di kala masing-masing bersitegang tentang keharusan dan ketidakharusan bahkan penerimaan dan penolakan. Esensi dari perdebatan ini sesungguhnya berada di dalam kawasan mempertahankan yang sudah ada dan melakukan perubahan di sisi yang lain.
Bagi mereka yang menolak tentu juga memiliki dasar logika yang sangat masuk akal, seperti akan tergusurnya lembaga pendidikan yang selama ini diselenggarakan di waktu sore hari, misalnya madrasah diniyah (Madin), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), lembaga pendidikan sore hari yang selama ini menyelenggarakan pendidikan tambahan bagi pendidikan formal, semacam kursus-kursus untuk pendalaman materi pembelajaran di sekolah ( bimbingan belajar) yang menjamur di Indonesia dan sebagainya.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Agama, maka terdapat sebanyak puluhan ribu lembaga pendidikan ( madrasah diniyah) yang selama ini terlibat di dalam membantu program pendidikan agama. Dan juga terdapat puluhan juta anak yang belajar di lembaga ini dan jumlah guru yang mencapai angka ratusan ribu. Selama ini mereka telah berusaha dengan sangat gigih untuk membantu program literasi keagamaan.
Jawa Timur misalnya memiliki program penyetaraan Strata Satu (S1) bagi guru madrasah diniyah di seluruh Jawa Timur bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKI) yang tersebar di Jawa Timur. Semenjak tahun 2010 program ini dilaksanakan dan sudah ribuan guru madin yang memperoleh manfaatnya. Tidak berhenti di sini tetapi juga dilanjutkan dengan program sertifikasi bagi mereka yang sudah lulus strata satu (S1). Artinya, program pendidikan madrasah diniyah sudah memasuki era kemantapan kelembagaan dan kemantapan SDM.
Dan yang unik lembaga-lembaga pendidikan diniyah ini “kebanyakan” bernaung di bawah Organisasi NU dan bukan berafiliasi di Muhammadiyah. Logika berbasis pengalaman empiris ini yang kemudian memantapkan sikap penolakan NU terhadap rencana Lima Hari Sekolah( LHS) atau Program Pendidikan Karakter (PPK) yang direpresentasikan dengan lima hari sekolah atau Delapan Jam Sekolah (DJS) atau Full Day School (FDS). Merasa bahwa lembaga-lembaga pendidikan diniyah ini akan “tergusur” dengan delapan jam sekolah, maka disuarakan dengan sangat lantang “menolak” FDS, LHS atau DJS oleh NU, dan pesantren-pesantren yang selama ini berada di dalam naungan NU.
Memang harus diakui bahwa Madin, Madrasah Diniyah Takmiliyah, TPQ dan sebagainya itu telah memiliki sejumlah pengaruh yang signifikan di dalam program literasi agama. Saya ingin mengambil contoh Pendidikan Diniyah yang mengkhususkan programnya pada pendidikan Al Qur’an di Desa Borehbangle, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Sebuah lembaga pendidikan di daerah pedesaan yang sangat maju dalam pembinaan anak didik di bidang khusus “baca Al Qur’an”. Anak-anak Sekolah Dasar di desa sekelilingnya jika sore hari belajar di sini. Jam 15-17. Cukup dua jam sehari. Selama enam hari. Anak-anak usia 9-10 tahun sudah sangat fasih membaca Al Qur’an dengan tajwid dan makharij al Hurufnya. Mereka menyelesaikan 15 sampai 20 juz dengan bacaan yang sangat memadai sesuai dengan kaidah baca Al Qur’an. Ratusan anak yang belajar di Lembaga pendidikan Al Qur’an ini. Mereka menemukan metodologi pembelajaran al Qur’an yang sangat autentik dan menjadi tujuan membelajarkan anak-anak di bidang al Qur’an.
Jika program LHS atau DJS dilakukan maka dipastikan bahwa anak-anak yang selama ini sudah belajar di lembaga ini akan “drop out” karena aturan yang mengharuskan mereka belajar delapan jam itu. Artinya, mereka akan terputus program pembelajarannya dan akan memasuki arena baru LHS atau DJS yang belum tentu memiliki kualitas dan profesionalitas mengajarkan al Qur’an sebagaimana metodologi yang dikembangkan di Madrasah Diniyah dimaksud.
Inilah sesungguhnya yang menjadi keberatan bagi mereka yang menolak terhadap program pembelajaran LHS atau DJS. Dengan demikian, penolakan ini lalu menjadi rasional bagi kelompok NU dengan segenap eksponennya. Resistensi ini sesungguhnya sangat masuk akal dan memang berbasis pada kenyataan empiris di masyarakat.
Dengan demikian, jika NU, MUI dan juga beberapa organisasi lain menolak program LHS atau DJS maka hakikatnya bukan karena anti terhadap kebijakan itu, akan tetapi kemadharatan yang diindikasikan akan terdapat di dalamnya. Jadi seharusnya kita memang harus berpikir ulang tentang kebijakan dimaksud sambil mencari solusi yang mengenakkan semuanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..