TANTANGAN SERTIFIKASI MUBALIGH PADA ERA MILENIAL (2)
TANTANGAN SERTIFIKASI MUBALIGH PADA ERA MILENIAL (2)
Di dalam acara workshop yng diselenggarakan oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya itu, 08/07/2017, saya sampaikan tiga hal penting. Pertama, kita sedang menghadapi tantangan generasi Milenial. Generasi yang dilahirkan pasca tahun 1980, disebut sebagai generasi milenial atau generasi Y atau juga disebut sebagai generasi Echo Boomers atau NetGen.
Berdasarkan bukunya, Jennifer J, Deal dan Alec Levenson yang berjudul “What Millenial Want from Work”, yang diresensi oleh Chrsitianto Sidoro dalam judul “Yang Didambakan oleh Generasi Milenial” di dalam Majalah “Swa” dinyatakan bahwa ada tiga hal mendasar bagi generasi milenial, yaitu: 1) kerja keras dan anti rutinitas. Generasi milenial ditandai dengan keinginannya yang kuat untuk bekerja keras. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan kerja keras semata maka kesuksesan akan bisa diraih. Tidak ada keberhasilan yang tidak dilalui melalui kerja keras itu. Makanya yang didambakan ialah dunia kerja yang memberikan peluang untuk bekerja secara optimal dan memuaskan. Selain itu mereka juga masuk dalam kelompok generasi yang tidak suka kemapanan. Mereka tidak menghendaki hal-hal yang rutin dan terus menerus dikerjakan. Mereka ingin selalu ada perubahan demi perubahan, baik dalam suasana kerja, jaringan dan juga hasil atau produk kerjanya. Itulah sebabnya mereka sering berganti-ganti pekerjaan sampai ditemukan jenis dan model pekerjaan yang cocok dan relevan bagi kebutuhannya.
2) tuntutan kebutuhan dan kemandirian. Sebagaimana diketahui bahwa para generasi milenial itu lahir di era post modern. Mereka merupakan generasi yang lahir bersamaan dengan berakhirnya era modern dan muculnya post modern dengan segenap konsekuensinya. Makanya, mereka tentu memiliki kebutuhan yang berbeda dengan generasi yang lahir di era masyarakat tradisional. Bagi kita yang lahir di era 1950-an, maka pikiran dan dunia kita adalah dunia pertanian, perkebunan dan perikanan tradisional dengan segala keterbatasannya. Generasi sekarang adalah generasi yang memiliki kompleksitas kebutuhan di era modern. Bagi mereka keterpenuhan kebutuhan adalah kunci kesuksesan. Makanya, idolanya ialah orang-orang yang sukses secara ekonomi. Tolok ukurnya ialah keberhasilan dan kesuksesan ekonomi. Itulah sebabnya mereka juga menjadi generasi yang menuntut kemandirian. Mereka lebih eksklusif di dalam menghadapi kehidupan ini. Jadi mereka adalah sosok individu yang mendambakan kebebasan dan menghindari tekanan dari kelompok lainnya. Makanya, mereka tidak menyukai terhadap otoritas kepemimpinan yang gigantic and powerfull, baik di masyarakat, negara atau pekerjaan yang terlalu kuat, sehingga menghambat kebebasannya dan perubahan yang diinginkannya.
3) peran teknologi informasi dan koneksi. Salah satu yang membedakan di antara generasi milenial dan generasi sebelumnya ialah terkait dengan teknologi. Generasi Y memiliki peluang yang sangat besar untuk hidup dengan kompleksitas teknologi informasi. Hampir keseluruhan generasi Y memiliki pemahaman mengenai teknologi informasi. Mereka kuasai aplikasi teknologi informasi dengan sangat memadai. Mereka memang benar-benar telah memasuki generasi yang hidup dengan sangat akrab dengan teknologi informasi. Aplikasi seperti Youtube, Skype, H5, instagram, Face book, dan sebagainya dapat menjadi teman akrabnya. Tiada hari tanpa koneksi dengan teknologi informasi. Makanya, meskipun mereka tidak memiliki teman secara fisikal yang banyak, akan tetapi teman di dunia maya tentu tidak terbilang jumlahnya. Itulah sebabnya mereka menjadi bagian dari dunia internasional disebabkan oleh banyaknya teman di dunia maya tersebut. Masih ingatkah kita akan pernikahan yang dilakukan oleh seorang pemuda desa di Jawa Tengah dengan gadis Italia yang intensitas pertemuannya ternyata di dunia maya. Dengan kenekadannya, gadis Italia tersebut datang ke Jawa Tengah dan kemudian mereka berdua dinikahkan.
Di sisi lain, misalnya semaraknya bisnis melalui teknologi informasi, seperti perusahaan on line juga tidak lepas dari lahirnya generasi milenial. Kecepatan dan kemudahan hidup bisa diperoleh melalui teknologi informasi telah menjadi gaya hidupnya. Dengan demikian, lahirnya generasi milenial merupakan penanda baru bagi perubahan orientasi dan gaya hidup masyarakat post modern yang memang telah menjadi kenyataan kehidupan.
Kedua, tantangan perubahan global. Dewasa ini kita sudah memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Di era ini maka yang menjadi tantangan utamanya ialah freedom of labor atau kebebasan ketenagakerjaan. Negara tidak lagi akan memproteksi negaranya dari “serbuan” tenaga kerja asing. Di era global, maka ada tiga kata kunci, yaitu “ketiadaan proteksi”, dan semakin menguatnya “kompetensi dan Kompetisi”. Ini merupakan tantangan kita yang sangat dahsyat. Kita tidak bisa menghindar dari dunia global. Kita tidak mungkin melawan globalisasi atau tidak akan melawan ketiadaan proteksi dan semakin pentingnya kompetensi dan kompetisi. Dengan demikian, kita mesti menghadapi terhadap tantangan globalisasi dengan menyadari bahwa kita harus melakukan sesuatu yang lebih baik, dan hal itu ialah peningkatan kualitas pendidikan.
Ketiga, dua tantangan di atas yang harus direspon oleh para pendidikan, khususnya bagi pendidik, termasuk para penyebar agama atau mubaligh. Kita msetilah melakukan peninjauan ulang terhadap pendidikan kita. ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu: 1) melakukan pembenahan terhadap program pembelajaran kita secara menyeluruh. Harus direview kurukulum kita dan juga program pembelajaran yang kita lakukan. Apakah kita akan terus mempertahankan gaya lama di dalam proses pembelajaran tanpa mengindahkan kebutuhan para generasi milenial yang tentu lebih kompleks tuntutannya. Apakah kita akan terus mendidik mereka dengan program pembelajaran masa lalu, yang sudah tidak up to date lagi. Ataukah kita harus menyesuaikan dengan perubahan zaman yang memang menuntut perubahan termasuk perubahan akan visi dan misi pendidikan untuk era yang akan datang.
Saya kira semua harus berubah dan semua harus terlibat di dalam proyek perubahan tersebut. Salah satu gap yang dihadapi oleh para dosen dengan para mahasiswa sekarang ialah kesenjangan mind set di antara dua entitas ini. Para dosen hidup dengan zamannya sendiri, sementara para mahasiswa hidup dengan zaman mereka pula. Jadi harus ada upaya untuk mempertemukan di antara dua generasi beda zaman tersebut.
2) strategi lainnya ialah standarisasi dan sertifikasi. Dua kata ini saya kira penting untuk menjawab terhadap kompetensi dan kompetisi yang terus bergerak di era global. Kita harus menstadarisasi terhadap kompetensi partner kita, atau mahasiswa. Jangan biarkan mereka hanya memiliki lembar ijazah dan nilai kumulatif. Mereka harus memiliki banyak sertifikat. Misalnya, sertifikat komputer berstandart internasional, bahasa asing berstandart internasional, kepemimpinan, sertifikasi keahlian dan sebagainya. Jadi seorang mahasiswa akan memiliki kelebihan keahlian yang semuanya standardized.
Di sinilah arti pentinya upaya untuk melakukan sertifikasi mubaligh sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan mereka berbasis pada standarisasi yang reasonable. Hanya saja untuk standarisasi itu, maka peran Prof. Mohammad Ali Azis dan Dr. Chalil Nafis akan menjadi penting. Keduanya tentu memiliki seperangkat pengalaman bagaimana memandang mubaligh yang standardized dimaksud.
Saya berharap bahwa workshop ini akan bisa menjadi pintu masuk bagi upaya untuk menghasilkan standarisasi bagi kaum mubaligh sebagai upaya untuk melakukan sertifikasi bagi mereka. Saya berkeyakinan bahwa sertifikasi mubaligh menjadi mendesak di tengah keinginan kita untuk meningkatan kualitas kehidupan beragama di kalangan masyaraat kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.
