• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MELINDUNGI NEGARA DARI GERAKAN INKONSTITUSIONAL

MELINDUNGI NEGARA DARI GERAKAN INKONSTITUSIONAL
Dunia media sosial sedang diramaikan oleh hadirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU NO 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo, tanggal 10 Juli 2017. PERPPU ini dimaksudkan di dalam kerangka melindungi negara dari tindakan-tindakan inkonstitusional, berupa tindakan anti Pancasila, anti NKRI dan juga tindakan yang membahayakan negara lainnya.
Diterbitkannya PERPPU ini tentu terkait dengan semakin gencarnya kampanye anti NKRI dan Anti Pancasila yang dilakukan sebagian kecil organisasi berbasis keagamaan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan lainnya yang mengusung tema-tema penyebaran paham anti Pancasila dan Anti NKRI dan ingin mendirikan khilafah, yang sebenarnya merupakan bagian dari tindakan melawan pemerintah yang syah. Selain itu juga tentu saja terkait dengan tindakan bom bunuh diri, yang juga diidentifikasi oleh mereka yang disebut sebagai tindakan makar dan ekstrim.
Harus diakui bahwa kaum radikalisme atau ekstrimisme dewasa ini semakin gencar melakukan berbagai maneuver yang terkait dengan upaya untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan aspek kemanusiaan atau against humanity dan bahkan juga membahayakan negara dan bangsa. Jadi sesungguhnya PERPPU ini dimaksudkan bahwa di dalam menghadapi kelompok yang melakukan tindakan melawan negara, maka negara memiliki instrument untuk menghentikannya.
Selama ini dirasakan bahwa aparat hukum dan aparat keamanan tidak bisa melakukan tindakan preventif, sebab tindakan hokum dan keamanan baru bisa melaukan tindakannya jika sudah terjadi masalah. Misalnya di kala bom bunuh diri sudah meletus barulah aparat keamanaan dan aparat hokum bergerak untuk menyelesaikannya. Sungguh pemerintah sangat mandul menghadapi berbagai rongrongan kaum radikal disebabkan oleh kevakuman regulasi yang menyangkut apa yang seharusnya dilakukan untuk mereka.
Sesungguhnya kita berharap agar Rencana Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Terorisme itu akan segera bisa diselesaikan. Akan tetapi kenyataannya bahwa RUU ini juga tidak kunjung selesai. Ada dinamika perdebatan yang tidak dengan mudah bisa diselesaikan. Panitia Khusus (Pansus) yang dibentuk oleh DPR untuk melakukan berbagai diskusi dengan segenap lapisan masyarakat juga mengalami jalan yang terjal. Memang RUU ini mengandung resistensi yang sangat tinggi terkait dengan Hak Asasi Manusia ( HAM) yang selalu dijadikan sebagai upaya untuk menghadang agar RUU tindak Pidana Terorisme ini tidak segera klar dan bahkan bisa digagalkan.
Saya tentu sependapat bahwa negara ini harus dijaga secara optimal. Negara Republik Indonesia yang ditinggalkan kepada kita semua untuk merawatnya tentu harus dijaga secara sungguh-sungguh. Semua harus berada di dalam satu kesepahaman untuk mempertahankan NKRI. Kita semua sungguh khawatir bahwa negara yang diperjuangkan oleh para pahlawan kemerdekaan ini lalu menjadi porak poranda oleh tindakan sebagian kecil bangsa Indonesia yang menginginkan sesuatu yang tidak cocok dengan bangsa ini.
Sejarah di beberapa negara telah membuktikan bahwa keteraturan sosial yang terjaga karena kesepahaman yang sama tentang bentuk dan consensus kebangsaan menjadi rusak dan kaca balau karena tindakan yang melawan terhadap kesepahaman tersebut. Yang terbaru, misalnya Marawi yang dikenal sebagai The City of Islam di Filipina menjadi hancur berantakan karena ulah mereka yang menginginkan penguasaan mutlak atas wilayahnya melalui konsepsi khilafah yang dipengaruhi oleh ISIS. Kota ini menjadi hancur berantakan dan membuat stigma bahwa Islam dijadikan sebagai basis ideology kekerasan.
Indonesia telah menjadi besar dan kuat. Siapapun harus mengakuinya. Negara yang terdiri dari etnis, bahasa dan agama yang bervariasi akan tetapi selalu damai. Hal ini didasari oleh kesepahaman warga negaranya untuk menjadi satu kesatuan, berbangsa dan bernegara. Kekuatan itu tentu disebabkan karena common platform yang beruapa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai perekatnya. Berbeda tetapi hakikatnya satu jua.
Pengalaman panjang bernegara ini tentu saja tidak boleh dicederai oleh segelintir orang Indonesia yang tertarik dengan ideology lain, seperti khilafah, ISIS dan negara agama lainnya. Penolakan terhadap upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah yang diyakini oleh para penganutnya sebagai pilihan terbaik hakikatnya tentu didasari oleh kenyataan bahwa hal ini akan merusak kesatuan dan persatuan bangsa.
Jadi sesungguhnya kehadiran PERPPU No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan di tengah system pemerintahan ini tidak lain adalah untuk melindungi bangsa ini dari perpecahan yang diakibatkan oleh adanya pemahaman dan gerakan ideology trans-nasional yang terus tumbuh dengan subur. Dengan mempertimbangkan bahwa penganut ideologi ini adalah kebanyakan generasi muda –termasuk mahasiswa—maka gerakan tersebut perlu diwaspadai. Lahirnya PERPPU ini tentu untuk kewaspadaan dini terhadap upaya-upaya inkonstitusional yang akan berakibat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi, memang perlu paying sebelum hujan. Kita perlu PERPPU sebelum keadaan darurat kita alami. Saya kira semua sependapat bahwa melindungi negara dan bangsa ini dari anasir yang akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa merupakan kewajiban bagi kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (5)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (5)
Rasanya masih cukup lama perdebatan tentang lima hari sekolah. Hal ini disebabkan penolakan terhadap LHS, FDS atau DJS itu ternyata semakin mengental atau semakin menguat. Hal ini tentu didasari oleh besarnya keinginan untuk melindungi terhadap lembaga pendidikan non formal yang berupa madrasah diniyah, madrasah diniyah takmiliyah dan TPQ-TPQ atau bahkan eksistensi bimbingan belajar yang juga hidup dan berkembang.
Namun demikian, titik kuat penolakan tersebut terletak pada eksistensi lembaga pendidikan non formal keagamaan yang memang bisa gulung tikar jika penerapan LHS, FDS atau DJS tersebut tidak benar-benar dilakukan. Saya memang sependapat bahwa eksistensi lembaga pendidikan non formal keagamaan ini justru harus lebih kuat di masa mendatang.
Saya secara substansial wajib menerima konsepsi pendidikan karakter yang diimplementasikan di dalam program pembelajaran baik di sekolah maupun di madrasah. Namun demikian tetap akan menjadi problem di saat kemudian diimplementasikan di dalam lima hari sekolah. Hal ini tentu terkait dengan realitas bahwa sudah ada lembaga-lembaga pendidikan yang eksis di dalam melaksanakan pembelajaran non formal yang telah bekerja dalam puluhan tahun, yaitu madrasah diniyah dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, yang kiranya terbaik di dalam pilihan untuk hari sekolah tentunya ialah dengan menyesuaikan dengan tradisi Indonesia yang selama ini telah menyelenggarakan pendidikan formal dalam enam hari sekolah dan kemudian melaksanakan pendidikan tambahan melalui lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah atau madrasah diniyah takmiliyah atau bahkan lembaga pendidikan non formal lainnya
Bagi saya, pemerintah di dalam hal ini, juga tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menyelenggarakan pendidikan dengan cara menetapkan peraturan atau regulasi yang berakibat terhadap runtuhnya bangunan system pendidikan non formal yang sudah berkontribusi terhadap program pendidikan. Sebaiknya pemerintah justru harus memperkuat system pendidikan non formal tersebut agar menjadi lebih berdaya.
Kesan yang dirasakan sebagai akibat regulasi yang dikeluarkan oleh Kemendikbud tentunya ialah perasaan bahwa pemerintah (kemendikbud) akan membonsai terhadap pendidikan madrasah diniyah yang selama ini telah memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan masyarakat. Berdasar atas kesan itu maka menimbulkan resistensi yang luar biasa. Penolakan itu terasa semakin kuat akhir-akhir ini.
Jika di dalam tulisan kemarin saya memberikan solusi penerimaan terhadap LHS, DJS atau FDS, maka tentunya dengan syarat yang sangat ketat. Bukan merupakan mandatory tetapi voluntary. Meskipun saya tahu bahwa sebuah kebijakan yang dibuat tentu harus bercorak populis, sama bagi semua, akan tetapi hal ini merupakan diskresi yang harus dilakukan. Saya memberikan gagasan ini mengingat bahwa yang menolak tidak akan mundur dan demikian pula sebaliknya. Sudah kepalang basah, maka harus dicari diskresinya.
Oleh karena itu, yang sebaiknya ditempuh ialah “tetap” mempertahankan pendidikan enam hari dengan beberapa persyaratan. Pertama, semua siswa yang belum mengikuti program pendidikan non formal, untuk pendalaman agama, maka wajib bagi yang bersangkutan untuk mengikutinya. Semua lembaga agama harus memiliki lembaga pendidikan non formal keagamaan yang menyediakan fasilitasi pendidikan agama.
Kedua, lembaga pendidikan agama non formal ini harus menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan formal sebagai perwujudan untuk memastikan bahwa para siswa mengikuti program dimaksud. Semua siswa harus terdaftar di dalam lembaga pendidikan non-formal untuk kepentingan pendidikan tambahan, baik agama, kesenian, olahraga dan sebagainya.
Ketiga, memastikan bahwa lembaga pendidikan non formal tersebut memang benar-benar memiliki kompetensi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan non formal. Hal ini bisa dibuktikan dengan tanda daftar pada Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian lain yang terkait. Keformalan administrasi lembaga pendidikan dimaksud sebagai basis untuk bisa bekerja sama dengan lembaga pendidikan formal dalam penyelenggaraan pendidikan tambahan.
Keempat, pemerintah harus memperkuat status dan posisi lembaga pendidikan non formal melalui pendampingan program yang bertujuan untuk penguatan dan pemberdayaan lembaga pendidikan non formal tersebut. Hal ini harus dilakukan agar lembaga pendidikan non formal tersebut memiliki “kesetaraan” di dalam program pembelajarannya.
Kelima, meskipun pemerintah tidak harus berkeinginan untuk melakukan intervensi terhadap program dan penyelenggaraan pendidikan non formal, akan tetapi juga sebaiknya pemerintah merumuskan standarisasi pendidikan non formal untuk menghindari mal praktek di dalam penyelenggaraan pendidikan non formal.
Dengan demikian, ke depan akan terjadi gerakan simbiosis mutualisme antara lembaga pendidikan formal dan non formal, sehingga tujuan utama pendidikan karakter akan bisa dicapai. Saya kira tidak perlu ada rasa “malu” untuk melakukan suatu kebijakan public yang relevan dengan keinginan bersama.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (4)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (4)
Apakah masih ada jalan keluar di antara pertentangan pendapat ini? Perdebatan tentu penting untuk mengukur dasar-dasar pemikiran yang mendasari pikiran tersebut. Keduanya pastilah memiliki logika masing-masing yang akan memperkuat pendapatnya. Namun demikian, keduanya sudah sampai titik “menolak atau menerima”. Saya akan mencoba mencari alternative atau jalan ketiga terkait dengan pro-kontra LHS, FDS atau JDS ini.
Pertama, ketidakmungkinan untuk menolak dan menerima secara absolut. Artinya kita menolak 100 persen atau menerima 100 persen. Dengan ini saya ingin menyatakan bahwa Kemendikbud tidak bisa memaksakan untuk meneruskan kebijakan lima hari sekolah tanpa mempertimbangkan keberatan masyarakat kita. Sekarang sudah bukan eranya untuk memaksakan kebijakan pemerintah tanpa mempertimbangkan pendapat masyarakat. Apalagi kebijakan ini bercorak populis. Di sisi lain, masyarakat juga tidak bisa untuk memaksakan kehendaknya untuk menolak seluruh kebijakan pemerintah yang sesungguhnya juga ada aspek manfaatnya.
Kedua, mecoba untuk berkompromi di antara yang menolak atau menerima. Lalu mencoba untuk merumuskan kebijakan yang memungkinkan terjadi win win solution. Jadi berpikirnya bukan menerima 100 persen atau menolak 100 persen. Di antara yang bisa dijadikan sebagai solusi ialah menerapkan lima hari sekolah, namun demikian bukan merupakan kewajiban atau mandatory. Sekolah diberi peluang untuk memilih dalam menerapkannya. Bagi yang secara infrastuktur dan SDM sudah memenuhi ketentuan atau telah relevan syarat-syaratnya, maka bisa melakukannya. Bagi yang lain bisa juga tidak melakukannya. Jadi bersifat voluntary. Sebuah pilihan saja. Jadi sekolah bisa juga tetap menerapkan (6) enam hari sekolah disebabkan belum memenuhi persyaratan yang ketat diberlakukan. Tentu pemerintah harus berupaya agar kelengkapan infrastruktur dan SDM akan terpenuhi dalam waktu tertentu.
Ketiga, menerapkan LHS atau DJS dengan kewajiban bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang sudah mapan selama ini. Jadi tidak harus diselenggarakan di sekolah untuk tambahan jamnya, akan tetapi dikerjasamakan dengan pondok pesantren, madrasah takmiliyah, madrasah diniyah, pendidikan keagamaan lainnya, sehingga tetap memenuhi 8 (delapan) jam sehari. Pemanfaatan madrasah diniyah dan lain-lain ini tentu berbasis kerjasama antar lembaga. Jika ini bisa dilakukan maka akan juga menumbuhkan gairah untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan diniyah dan sebagainya.
Keempat, pemberian pengakuan terhadap lembaga pendidikan diniyah dan lainnya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki status pendidikan non-formal dengan program peningkatan mutu dan pendampingan secara terstruktur. Lembaga-lembaga pendidikan diniyah yang selama ini dianggap hanya sebagai lembaga pendidikan sampingan, harus didorong untuk maju dan berkembang. Makanya, tentu diperlukan “pemberian” insentif tidak hanya bagi guru-gurunya atau ustadz-ustadznya akan tetapi juga lembaganya. Mungkin tidak diperlukan sampai memberikan akreditasi terhadap mereka, akan tetapi sentuhan perhatian terhadapnya dirasakan sebagai hal yang sangat penting.

Kelima, bagi lembaga pendidian di bawah Kementerian Agama tentu dapat menyelenggarakan pendidikan dalam (6) enam hari namun juga dengan kewajiban untuk menambah jam belajar untuk pendidikan diniyah atau program pendidikan diniyah takmiliyah. Di dalam konteks ini, maka dapat juga dilakukan kerjasama dengan pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan diniyah lainnya dalam kerangka pendidikan karakter atau apapun namanya. Dengan pola kerja sama ini, maka juga diharapkan akan tumbuh kembangnya lembaga pendidikan diniyah di kalangan masyarakat Indonesia.
Keenam, bahwa tujuan pendidikan ialah mencetak generasi Indonesia yang cerdas, kompetitif dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, tambahan jam atau penambahan muatan pendidikan kurikuler, non kurikuler atau ekstra kurikukuler harus bertujuan untuk meningkatkan kualitas anak Indonesia. Di dalam hal ini, maka harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan terprogram dengan jelas dan nyata sehingga akan bisa diukur perubahan menuju ke arah yang lebih baik atau berkualitas.
Secara umum, penerapan program pendidikan lima hari ini masih membutuhkan kajian yang lebih serius dan mendalam. Sebab saya melihat bahwa kesiapan infrastuktur dan SDM masih menjadi kendala yang tidak mudah diselesaikan. Jangan sampai tujuan meningkatkan pendidikan karakter yang dicita-citakan justru akan menambah kegaduhan sebab yang mengajar pada jam tambahan itu adalah orang-orang yang tidak sejalan dengan tujuan pendidikan Indonesia untuk menciptakan anak Indonesia yang berakhlak mulai dengan indikasi mencintai NKRI, kebangsaan dan kenegaraannya sendiri.
Makanya, memang dibutuhkan pendalaman dan keseriusan untuk memikirkan apa yang menjadi tantangan dan kendala di dalam penerapan LHS, DJS atau FDS ini. Jangan kita memaksakan kehendak di atas realitas atau berpikir cateris paribus. Rasanya memang harus cermat dan jeli di dalam merumuskan kebijakan public agar kebijakan itu tidak kontra produktif.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (3)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (3)

Tentu semua tidak menduga bahwa rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan perubahan kebijakan yang terkait dengan hari dan jam sekolah ternyata terdapat resistensi yang sangat tinggi. Bahkan menyulut intervensi Presiden Joko Widodo tentang hal ini. Sungguh merupakan policy yang kemudian bisa memicu kegaduhan di kalangan masyarakat.
Memang sedari awal gagasan ini dimunculkan, sudah mengandung beberapa penolakan. Kemendikbud terlalu yakin bahwa gagasan ini memiliki kekuatan baik dukungan politik maupun dukungan kepentingan pendidikan. Namun kenyataannya bahwa di saat gagasan ini diformalkan di dalam Peraturan Kemendikbud No 25 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, maka resistensi itu sedemikian kuat dan akhirnya harus ditunda sampai memungkinkan Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden tentang hal ini.
Namun demikian kontroversi itu tidak berhenti sampai di sini. Artinya, bahwa diskusi dan perdebatan justru mengarah kepada persoalan lain, yaitu pro kontra yang melibatkan dua organisasi besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan NU. Di dalam dua dasa warsa terakhir nyaris tidak terjadi “kekisruhan” dari dua organisasi besar ini. NU dan Muhammadiyah berhubungan lebih dekat. Satu dan yang lain, semakin saling memahami posisi dan eksistensi yang lain. Pasca tidak dikumadangkannya Takhayul, Bidh’ah da Churafat yang sering disebut TBC, di dalam berbagai ceramah dan pertemuan lainnya, maka hubungan NU dan Muhammadiyah benar-benar sangat kondusif. Bahkan di dalam menghadapi tantangan liberalism, radikalisme, New Communism, dan politik kebangsaan, keduanya nyaris satu visi, yaitu bangsa Indonesia.
Di tengah kemesraan hubungan NU dan Muhammadiyah ini kemudian terjadi polarisasi yang dipicu oleh kebijakan teknis dan bahkan sangat teknis, yaitu LHS, FDS atau DJS. Keduanya lalu berkontestasi dan memandang kebijakan tersebut sebagai sesuatu yang “strategis” dan akan membawa bangsa ini ke arah yang salah. Sekali lagi bahwa kebijakan ini hanyalah masalah teknis yang sebenarnya bisa didiskusikan secara mendalam.
Di dalam berbagai komentar, maka dipastikan bahwa yang mendukung terhadap kebijakan LHS, FDS atau DJS ini adalah kelompok Muhammadiyah, sementara yang menolak adalah kelompok NU. Makanya menimbulkan posisi seakan-akan saling berhadapan. NU menolak terhadap LHS, FDS atau DJS dan sebaliknya MUhammadiyah menerima dan mendukungnya. Bahkan yang lebih mendalam juga sudah memasuki ranah saling menjelekkan atau memfitnah.
Jika dikategorikan, maka ada tiga kelompok yang saling berhadapan di dalam pro kontra ini, yaitu: pertama, kelompok yang menolak terhadap kebijakan LHS, FDS atau DJS yang kebanyakan adalah para pemerhati, penulis dan aktivis NU yang tersebar di Pesantren, Pengurus NU atau bahkan Kementerian/Lembaga. Misalnya, Prof. Ahmad Muzakki, pengurus PWNU Jawa Timur, Dr. Suwendi, Kementerian Agama, dan kemudian Prof. Said Aqil Siraj, Prof. Ma’ruf Amin, dan sebagainya. Tentu masih sangat banyak tetapi saya kira ini yang memberikan bantahan yang cukup jelas.
Kedua, mereka yang pro terhadap kebijakan LHS, FDS atau DJS ialah kelompok Muhammadiyah, misalnya Dr. Bianto, pengurus Muhammadiyah Jawa Timur, Dr. Yunahar Ilyas, Ketua PP MUhammadiyah, dan sebagainya. Tentu juga banyak lainnya akan tetapi mereka ini konsisten di dalam membela dan mendukung terhadap LHS, FDS atau DJS.
Yang sungguh disayangkan bahwa perdebatan itu sudah mengarah kepada hal-hal yang coraknya politis, misalnya pendapat yang menyatakan bahwa penolakan NU itu didasari oleh “lepasnya” Kemendikbud dari jabatan Menteri dari NU dan sebaliknya juga tudingan bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan sekolah Muhammadiyah dan sebaliknya membonsai terhadap lembaga-lembaga pendidikan NU seperti Madrasah Diniyah dan sebagainya. Jadi, secara tidak disadari sebelumnya bahwa pertentangan itu justru mengarah kepada NU vs Muhammadiyah. Sesuatu yang sungguh-sungguh tidak kita harapkan di tengah tantangan bangsa yang sangat besar dewasa ini.
Ketiga, kelompok netral, yang bukan berbasis pada kelompok Muhammadiyah dan NU. Di dalam konteks ini misalnya Retno LIstiyarti, dan penulis independen lainnya. Kelompok seperti ini sebagaimana biasanya lebih mengesankan penggunaan data dan fakta di dalam memahami persoalan tersebut. Meskipun di dalam banyak hal ada yang menolak atau menerima, akan tetapi posisinya lebih mengesankan sebagai opini yang bebas berbasis pada perspektif mereka sendiri.
Pak Muhajir dan segenap jajarannya dan kelompok pendukungnya, saya kira juga perlu mendengarkan keluhan dari warga bangsa ini yang merasakan akan memperoleh kerugian dari kebijakan teknis jam belajar, dan sebaliknya kelompok yang menolak juga harus mempertimbangkan aspek-aspek positif yang kiranya terdapat di dalam kebijakan teknis ini. Jadi, semua harus saling mendengarkan. Bukankah mendengarkan merupakan bagian penting di dalam merumuskan kebijakan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (2)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (2)
Saya sesungguhnya mengenal gagasan ini cukup lama, meskipun berbeda konteksnya. Seingat saya di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, maka terdapat gagasan untuk bekerja sama dengan Kementerian Agama melalui Program Pendidikan Diniyah Takmiliyah. Melalui Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT), maka gagasan ini pernah mencuat di tahun 2013, sayangnya bahwa gagasan ini tidak diteruskan.
Saya sebenarnya cukup memahami akan pentingnya pendidikan tambahan bagi para siswa di Indonesia. Bukankah sering dipertanyakan tentang kualitas pendidikan budi pekerti atau pendidikan akhlak atau pendidikan karakter yang sesunnguhnya menjadi pilar dari keberhasilan pendidikan. Saya kira keberhasilan pendidikan tidak hanya menghasilkan anak yang cerdas dan kompetitif akan tetapi juga bermoral atau berkarakter yang baik.
Terhadap hal ini saya kira semua sependapat. Baik NU maupun Muhammadiyah dan organisasi sosial keagamaan lain sependapat bahwa memang perlu diperkuat pendidikan karakter tersebut. Sering masyarakat mempertanyakan tentang pendidikan karakter dimaksud. Berbagai kenakalan remaja sering dikaitkan dengan kurangnya pendidikan karakter. Jadi jika ada keinginan untuk memperkuat pendidikan karakter tentu pantaslah mendapatkan dukungan.
Issu tentang pendidikan karakter lalu menjadi tema Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Issu itu tentu dimaksudkan untuk menggeser issu tentang Full Day School (FDS) atau Delapan Jam Sekolah (DJS) atau Lima Hari Sekolah (LHS). Semenjak digulirkan tentang penambahan jam pelajaran di sekolah dan pengurangan hari sekolah dari 6 (enam) hari menjadi 5 (lima hari), yang digagas oleh Pak Muhajir Effendi semenjak diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka banyak resistensi yang terjadi. Yang sangat keras tentu datang dari kalangan Nahdhiyin yang merasakan dampak langsung FDS atau LHS atau DJS dimaksud. Bahkan di dalam banyak komentar kaum Nahdhiyin juga disebutkan data-data yang cukup akurat untuk membendung diberlakukannya LHS dimaksud.
Meskipun terjadi pro dan kontra, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Di dalam Pasal 2, ayat 1 disebutkan Hari sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam lima hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Permendikbud ini tidak berlaku bagi jenjang pendidikan TK/TKLB/RA atau sederajat pada sekolah keagamaan lainnya, sebagaimana tercantum di dalam pasal 7 ayat 1.
Secara tegas dinyatakan bahwa pelaksanaan belajar mengajar di Sekolah akan dilaksanakan dalam waktu 5 (lima) hari dengan kegiatan tambahan jam belajar berupa kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler. Terbitnya Keputusan Mendikbud ini tentu memicu pro dan kontra yang kuat. Hampir seluruh pesantren dan lembaga pendidikan nonformal yang terkait dengan pendidikan diniyah lantas melakukan penolakan secara lebih keras. Mungkin tidak diprediksi bahwa suara-suara nyaring yang semula memang menolak FDS itu justru menjadi ajang perdebatan, baik yang pro maupun yang kontra. Begitu kerasnya pertarungan ide ini dan berpotensi meresahkan masyarakat, maka Presiden Joko Widodo lalu meminta kepada Mendikbud untuk menunda pelaksanaan 5 (lima) hari sekolah sambil akan dicarikan landasan hukum dan implementasi yang lebih baik. Diisyaratkan akan diangkat menjadi Peraturan Presiden yang terkait dengan jam sekolah ini. Sebagaimana diketahui bahwa melalui intervensi presiden ini, maka pro-kontra tersebut mereda. Tetapi apakah benar bahwa perdebatan tersebut berhenti atau justru menguat?
Saya justru melihat bahwa pro-kontra semakin menguat. Berbagai tulisan di media semakin mengukuhkan pertarungan untuk saling memperkuat argumentasi apakah perlu atau tidak perlu mengatur jam belajar menjadi 5 (lima) hari saja. Kita melihat pertarungan justru melebar, pendukung 5 (lima) hari belajar yang dilakukan oleh Kaum Muhammadiyah dan penolak 5 (lima) hari belajar yang dilakukan oleh kaum Nahdhiyin. Perdebatan kemudian bergeser dari FDS atau LHS ke pendidikan karakter sebagaimana yang diusung oleh Mendukbud.
Di dalam kerangka untuk menyosialisasikan gagasan LHS ini, Mendikbud juga datang ke pesantren-pesantren yang bercorak NU, seperti pesantren Denanyar, Pesantren Sidogiri dan beberapa pesantren lainnya. Hanya sayangnya bahwa sikap pesantren dan NU serta beberapa organisasi lainnya sudah semakin mengeras, sehingga kunjungan itu tidak memiliki makna apa-apa. Sudah terlambat.
Bahkan sikap keras itu juga dilakukan oleh beberapa pejabat di Kemenag, misalnya Prof. Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam, dan beberapa pejabat di Direktorat Pesantren yang memang memiliki kepedulian terhadap keberadaan Madrasah Diniyah yang memang sedang menghadapi ujian.
Dan pertarungan ini masih akan berlangsung lama sebab sampai akhirnya Presiden memilih di Perpresnya, apakah akan terjadi lima hari belajar atau tetap sebagaimana semula.
Wallahu a’lam bi al shawab.