KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (2)
KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (2)
Saya sesungguhnya mengenal gagasan ini cukup lama, meskipun berbeda konteksnya. Seingat saya di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, maka terdapat gagasan untuk bekerja sama dengan Kementerian Agama melalui Program Pendidikan Diniyah Takmiliyah. Melalui Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT), maka gagasan ini pernah mencuat di tahun 2013, sayangnya bahwa gagasan ini tidak diteruskan.
Saya sebenarnya cukup memahami akan pentingnya pendidikan tambahan bagi para siswa di Indonesia. Bukankah sering dipertanyakan tentang kualitas pendidikan budi pekerti atau pendidikan akhlak atau pendidikan karakter yang sesunnguhnya menjadi pilar dari keberhasilan pendidikan. Saya kira keberhasilan pendidikan tidak hanya menghasilkan anak yang cerdas dan kompetitif akan tetapi juga bermoral atau berkarakter yang baik.
Terhadap hal ini saya kira semua sependapat. Baik NU maupun Muhammadiyah dan organisasi sosial keagamaan lain sependapat bahwa memang perlu diperkuat pendidikan karakter tersebut. Sering masyarakat mempertanyakan tentang pendidikan karakter dimaksud. Berbagai kenakalan remaja sering dikaitkan dengan kurangnya pendidikan karakter. Jadi jika ada keinginan untuk memperkuat pendidikan karakter tentu pantaslah mendapatkan dukungan.
Issu tentang pendidikan karakter lalu menjadi tema Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Issu itu tentu dimaksudkan untuk menggeser issu tentang Full Day School (FDS) atau Delapan Jam Sekolah (DJS) atau Lima Hari Sekolah (LHS). Semenjak digulirkan tentang penambahan jam pelajaran di sekolah dan pengurangan hari sekolah dari 6 (enam) hari menjadi 5 (lima hari), yang digagas oleh Pak Muhajir Effendi semenjak diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka banyak resistensi yang terjadi. Yang sangat keras tentu datang dari kalangan Nahdhiyin yang merasakan dampak langsung FDS atau LHS atau DJS dimaksud. Bahkan di dalam banyak komentar kaum Nahdhiyin juga disebutkan data-data yang cukup akurat untuk membendung diberlakukannya LHS dimaksud.
Meskipun terjadi pro dan kontra, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Di dalam Pasal 2, ayat 1 disebutkan Hari sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam lima hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Permendikbud ini tidak berlaku bagi jenjang pendidikan TK/TKLB/RA atau sederajat pada sekolah keagamaan lainnya, sebagaimana tercantum di dalam pasal 7 ayat 1.
Secara tegas dinyatakan bahwa pelaksanaan belajar mengajar di Sekolah akan dilaksanakan dalam waktu 5 (lima) hari dengan kegiatan tambahan jam belajar berupa kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler. Terbitnya Keputusan Mendikbud ini tentu memicu pro dan kontra yang kuat. Hampir seluruh pesantren dan lembaga pendidikan nonformal yang terkait dengan pendidikan diniyah lantas melakukan penolakan secara lebih keras. Mungkin tidak diprediksi bahwa suara-suara nyaring yang semula memang menolak FDS itu justru menjadi ajang perdebatan, baik yang pro maupun yang kontra. Begitu kerasnya pertarungan ide ini dan berpotensi meresahkan masyarakat, maka Presiden Joko Widodo lalu meminta kepada Mendikbud untuk menunda pelaksanaan 5 (lima) hari sekolah sambil akan dicarikan landasan hukum dan implementasi yang lebih baik. Diisyaratkan akan diangkat menjadi Peraturan Presiden yang terkait dengan jam sekolah ini. Sebagaimana diketahui bahwa melalui intervensi presiden ini, maka pro-kontra tersebut mereda. Tetapi apakah benar bahwa perdebatan tersebut berhenti atau justru menguat?
Saya justru melihat bahwa pro-kontra semakin menguat. Berbagai tulisan di media semakin mengukuhkan pertarungan untuk saling memperkuat argumentasi apakah perlu atau tidak perlu mengatur jam belajar menjadi 5 (lima) hari saja. Kita melihat pertarungan justru melebar, pendukung 5 (lima) hari belajar yang dilakukan oleh Kaum Muhammadiyah dan penolak 5 (lima) hari belajar yang dilakukan oleh kaum Nahdhiyin. Perdebatan kemudian bergeser dari FDS atau LHS ke pendidikan karakter sebagaimana yang diusung oleh Mendukbud.
Di dalam kerangka untuk menyosialisasikan gagasan LHS ini, Mendikbud juga datang ke pesantren-pesantren yang bercorak NU, seperti pesantren Denanyar, Pesantren Sidogiri dan beberapa pesantren lainnya. Hanya sayangnya bahwa sikap pesantren dan NU serta beberapa organisasi lainnya sudah semakin mengeras, sehingga kunjungan itu tidak memiliki makna apa-apa. Sudah terlambat.
Bahkan sikap keras itu juga dilakukan oleh beberapa pejabat di Kemenag, misalnya Prof. Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam, dan beberapa pejabat di Direktorat Pesantren yang memang memiliki kepedulian terhadap keberadaan Madrasah Diniyah yang memang sedang menghadapi ujian.
Dan pertarungan ini masih akan berlangsung lama sebab sampai akhirnya Presiden memilih di Perpresnya, apakah akan terjadi lima hari belajar atau tetap sebagaimana semula.
Wallahu a’lam bi al shawab.
