• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (4)

KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (4)
Apakah masih ada jalan keluar di antara pertentangan pendapat ini? Perdebatan tentu penting untuk mengukur dasar-dasar pemikiran yang mendasari pikiran tersebut. Keduanya pastilah memiliki logika masing-masing yang akan memperkuat pendapatnya. Namun demikian, keduanya sudah sampai titik “menolak atau menerima”. Saya akan mencoba mencari alternative atau jalan ketiga terkait dengan pro-kontra LHS, FDS atau JDS ini.
Pertama, ketidakmungkinan untuk menolak dan menerima secara absolut. Artinya kita menolak 100 persen atau menerima 100 persen. Dengan ini saya ingin menyatakan bahwa Kemendikbud tidak bisa memaksakan untuk meneruskan kebijakan lima hari sekolah tanpa mempertimbangkan keberatan masyarakat kita. Sekarang sudah bukan eranya untuk memaksakan kebijakan pemerintah tanpa mempertimbangkan pendapat masyarakat. Apalagi kebijakan ini bercorak populis. Di sisi lain, masyarakat juga tidak bisa untuk memaksakan kehendaknya untuk menolak seluruh kebijakan pemerintah yang sesungguhnya juga ada aspek manfaatnya.
Kedua, mecoba untuk berkompromi di antara yang menolak atau menerima. Lalu mencoba untuk merumuskan kebijakan yang memungkinkan terjadi win win solution. Jadi berpikirnya bukan menerima 100 persen atau menolak 100 persen. Di antara yang bisa dijadikan sebagai solusi ialah menerapkan lima hari sekolah, namun demikian bukan merupakan kewajiban atau mandatory. Sekolah diberi peluang untuk memilih dalam menerapkannya. Bagi yang secara infrastuktur dan SDM sudah memenuhi ketentuan atau telah relevan syarat-syaratnya, maka bisa melakukannya. Bagi yang lain bisa juga tidak melakukannya. Jadi bersifat voluntary. Sebuah pilihan saja. Jadi sekolah bisa juga tetap menerapkan (6) enam hari sekolah disebabkan belum memenuhi persyaratan yang ketat diberlakukan. Tentu pemerintah harus berupaya agar kelengkapan infrastruktur dan SDM akan terpenuhi dalam waktu tertentu.
Ketiga, menerapkan LHS atau DJS dengan kewajiban bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang sudah mapan selama ini. Jadi tidak harus diselenggarakan di sekolah untuk tambahan jamnya, akan tetapi dikerjasamakan dengan pondok pesantren, madrasah takmiliyah, madrasah diniyah, pendidikan keagamaan lainnya, sehingga tetap memenuhi 8 (delapan) jam sehari. Pemanfaatan madrasah diniyah dan lain-lain ini tentu berbasis kerjasama antar lembaga. Jika ini bisa dilakukan maka akan juga menumbuhkan gairah untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan diniyah dan sebagainya.
Keempat, pemberian pengakuan terhadap lembaga pendidikan diniyah dan lainnya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki status pendidikan non-formal dengan program peningkatan mutu dan pendampingan secara terstruktur. Lembaga-lembaga pendidikan diniyah yang selama ini dianggap hanya sebagai lembaga pendidikan sampingan, harus didorong untuk maju dan berkembang. Makanya, tentu diperlukan “pemberian” insentif tidak hanya bagi guru-gurunya atau ustadz-ustadznya akan tetapi juga lembaganya. Mungkin tidak diperlukan sampai memberikan akreditasi terhadap mereka, akan tetapi sentuhan perhatian terhadapnya dirasakan sebagai hal yang sangat penting.

Kelima, bagi lembaga pendidian di bawah Kementerian Agama tentu dapat menyelenggarakan pendidikan dalam (6) enam hari namun juga dengan kewajiban untuk menambah jam belajar untuk pendidikan diniyah atau program pendidikan diniyah takmiliyah. Di dalam konteks ini, maka dapat juga dilakukan kerjasama dengan pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan diniyah lainnya dalam kerangka pendidikan karakter atau apapun namanya. Dengan pola kerja sama ini, maka juga diharapkan akan tumbuh kembangnya lembaga pendidikan diniyah di kalangan masyarakat Indonesia.
Keenam, bahwa tujuan pendidikan ialah mencetak generasi Indonesia yang cerdas, kompetitif dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, tambahan jam atau penambahan muatan pendidikan kurikuler, non kurikuler atau ekstra kurikukuler harus bertujuan untuk meningkatkan kualitas anak Indonesia. Di dalam hal ini, maka harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan terprogram dengan jelas dan nyata sehingga akan bisa diukur perubahan menuju ke arah yang lebih baik atau berkualitas.
Secara umum, penerapan program pendidikan lima hari ini masih membutuhkan kajian yang lebih serius dan mendalam. Sebab saya melihat bahwa kesiapan infrastuktur dan SDM masih menjadi kendala yang tidak mudah diselesaikan. Jangan sampai tujuan meningkatkan pendidikan karakter yang dicita-citakan justru akan menambah kegaduhan sebab yang mengajar pada jam tambahan itu adalah orang-orang yang tidak sejalan dengan tujuan pendidikan Indonesia untuk menciptakan anak Indonesia yang berakhlak mulai dengan indikasi mencintai NKRI, kebangsaan dan kenegaraannya sendiri.
Makanya, memang dibutuhkan pendalaman dan keseriusan untuk memikirkan apa yang menjadi tantangan dan kendala di dalam penerapan LHS, DJS atau FDS ini. Jangan kita memaksakan kehendak di atas realitas atau berpikir cateris paribus. Rasanya memang harus cermat dan jeli di dalam merumuskan kebijakan public agar kebijakan itu tidak kontra produktif.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..