KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (3)
KONTROVERSI LIMA HARI SEKOLAH (3)
Tentu semua tidak menduga bahwa rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan perubahan kebijakan yang terkait dengan hari dan jam sekolah ternyata terdapat resistensi yang sangat tinggi. Bahkan menyulut intervensi Presiden Joko Widodo tentang hal ini. Sungguh merupakan policy yang kemudian bisa memicu kegaduhan di kalangan masyarakat.
Memang sedari awal gagasan ini dimunculkan, sudah mengandung beberapa penolakan. Kemendikbud terlalu yakin bahwa gagasan ini memiliki kekuatan baik dukungan politik maupun dukungan kepentingan pendidikan. Namun kenyataannya bahwa di saat gagasan ini diformalkan di dalam Peraturan Kemendikbud No 25 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, maka resistensi itu sedemikian kuat dan akhirnya harus ditunda sampai memungkinkan Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden tentang hal ini.
Namun demikian kontroversi itu tidak berhenti sampai di sini. Artinya, bahwa diskusi dan perdebatan justru mengarah kepada persoalan lain, yaitu pro kontra yang melibatkan dua organisasi besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan NU. Di dalam dua dasa warsa terakhir nyaris tidak terjadi “kekisruhan” dari dua organisasi besar ini. NU dan Muhammadiyah berhubungan lebih dekat. Satu dan yang lain, semakin saling memahami posisi dan eksistensi yang lain. Pasca tidak dikumadangkannya Takhayul, Bidh’ah da Churafat yang sering disebut TBC, di dalam berbagai ceramah dan pertemuan lainnya, maka hubungan NU dan Muhammadiyah benar-benar sangat kondusif. Bahkan di dalam menghadapi tantangan liberalism, radikalisme, New Communism, dan politik kebangsaan, keduanya nyaris satu visi, yaitu bangsa Indonesia.
Di tengah kemesraan hubungan NU dan Muhammadiyah ini kemudian terjadi polarisasi yang dipicu oleh kebijakan teknis dan bahkan sangat teknis, yaitu LHS, FDS atau DJS. Keduanya lalu berkontestasi dan memandang kebijakan tersebut sebagai sesuatu yang “strategis” dan akan membawa bangsa ini ke arah yang salah. Sekali lagi bahwa kebijakan ini hanyalah masalah teknis yang sebenarnya bisa didiskusikan secara mendalam.
Di dalam berbagai komentar, maka dipastikan bahwa yang mendukung terhadap kebijakan LHS, FDS atau DJS ini adalah kelompok Muhammadiyah, sementara yang menolak adalah kelompok NU. Makanya menimbulkan posisi seakan-akan saling berhadapan. NU menolak terhadap LHS, FDS atau DJS dan sebaliknya MUhammadiyah menerima dan mendukungnya. Bahkan yang lebih mendalam juga sudah memasuki ranah saling menjelekkan atau memfitnah.
Jika dikategorikan, maka ada tiga kelompok yang saling berhadapan di dalam pro kontra ini, yaitu: pertama, kelompok yang menolak terhadap kebijakan LHS, FDS atau DJS yang kebanyakan adalah para pemerhati, penulis dan aktivis NU yang tersebar di Pesantren, Pengurus NU atau bahkan Kementerian/Lembaga. Misalnya, Prof. Ahmad Muzakki, pengurus PWNU Jawa Timur, Dr. Suwendi, Kementerian Agama, dan kemudian Prof. Said Aqil Siraj, Prof. Ma’ruf Amin, dan sebagainya. Tentu masih sangat banyak tetapi saya kira ini yang memberikan bantahan yang cukup jelas.
Kedua, mereka yang pro terhadap kebijakan LHS, FDS atau DJS ialah kelompok Muhammadiyah, misalnya Dr. Bianto, pengurus Muhammadiyah Jawa Timur, Dr. Yunahar Ilyas, Ketua PP MUhammadiyah, dan sebagainya. Tentu juga banyak lainnya akan tetapi mereka ini konsisten di dalam membela dan mendukung terhadap LHS, FDS atau DJS.
Yang sungguh disayangkan bahwa perdebatan itu sudah mengarah kepada hal-hal yang coraknya politis, misalnya pendapat yang menyatakan bahwa penolakan NU itu didasari oleh “lepasnya” Kemendikbud dari jabatan Menteri dari NU dan sebaliknya juga tudingan bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan sekolah Muhammadiyah dan sebaliknya membonsai terhadap lembaga-lembaga pendidikan NU seperti Madrasah Diniyah dan sebagainya. Jadi, secara tidak disadari sebelumnya bahwa pertentangan itu justru mengarah kepada NU vs Muhammadiyah. Sesuatu yang sungguh-sungguh tidak kita harapkan di tengah tantangan bangsa yang sangat besar dewasa ini.
Ketiga, kelompok netral, yang bukan berbasis pada kelompok Muhammadiyah dan NU. Di dalam konteks ini misalnya Retno LIstiyarti, dan penulis independen lainnya. Kelompok seperti ini sebagaimana biasanya lebih mengesankan penggunaan data dan fakta di dalam memahami persoalan tersebut. Meskipun di dalam banyak hal ada yang menolak atau menerima, akan tetapi posisinya lebih mengesankan sebagai opini yang bebas berbasis pada perspektif mereka sendiri.
Pak Muhajir dan segenap jajarannya dan kelompok pendukungnya, saya kira juga perlu mendengarkan keluhan dari warga bangsa ini yang merasakan akan memperoleh kerugian dari kebijakan teknis jam belajar, dan sebaliknya kelompok yang menolak juga harus mempertimbangkan aspek-aspek positif yang kiranya terdapat di dalam kebijakan teknis ini. Jadi, semua harus saling mendengarkan. Bukankah mendengarkan merupakan bagian penting di dalam merumuskan kebijakan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
